KOMPLIKASI ANESTESI REGIONAL PADA OBSTETRI

PENDAHULUAN
  • Pasien obstetri adalah unik dimana faktor hormon dan mekanis dapat menyebabkan timbulnya komplikasi neurologis. Kelemahan dari ligamen, perubahan postur bersama dengan membesarnya uterus dan anyaman nervus pada daerah pelvis yang berhubungan dengan tekanan oleh kepala bayi adalah semua yang berhubungan dengan kehamilan. Disfungsi neurologi selama kehamilan dan periode post partum telah dimasukkan kedalam literatur obstetri. Dengan meningkatnya penggunaan analgesia neuraksial untuk persalinan, kelumpuhan saraf pada obstetri sering terjadi. Hal ini penting untuk membedakan injuri neurologi pada obstetri disebabkan dari intervensi anestesi dalam menyediakan perawatan yang tepat.
KELUMPUHAN SARAF PADA OBSTETRI
  • Sequlle neurologi yang terjadi akibat kelumpuhan saraf pada obstetri dilaporkan terjadi pada 0,1% - 20% pada semua persalinan dan sering tidak disertai dengan komplikasi anestesi. Pemulihan tergantung pada luas dan beratnya kerusakan dari saraf tersebut dapat beberapa hari untuk kasus yang sedang sampai 1 – 2 tahun untuk injuri kompresi yang berat.
  • Injuri neurologi saat persalinan sering terjadi dari transient parestesia sampai kelemahan kaki yang berakhir kurang dari 3 hari. Kejadian komplikasi neurologi yang kecil telah dilaporkan 18,9 pada 10.000 pada studi retrospektif oleh Ong dkk. Mereka melaporkan bahwa faktor yang mempengaruhi termasuk primiparitas, persalinan dengan bantuan forcep atau vaccum dan kesalahan letak. Kejadian defisit neurologi juga lebih besar terjadi pada pasien yang menerima epidural dan anestesi umum. Walaupun pasien-pasien ini adalah lebih memungkinkan untuk mengalami lebih lama. Kesimpulan dari survey ini dibatasi dengan ukuran sample yang kecil, periode waktu yang pendek dan design retrospektif.
  • Pada studi prospektif baru-baru ini, Holdcroft dkk, menemukan defisit neurologi terjadi dengan frekuensi 1 dari 2530 , hanya satu dalam 13,007 yang menyertai anestesi epidural. Studi ini dilakukan dalam periode satu tahun dan 48.066 persalinan. Sepertiga dari yang mengalami defisit neurologi akan menetap selama bertahun-tahun. Penulis menemukan kegemukan sebelum kehamilan pada hampir 2/3 pasien yang dilaporkan mengalami problem neurologi.
  • Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf pada obstetri meliputi disproporsi kepala panggul, primigravida dengan bayi makrosomi dan sectio caesaria. Persalinan dengan forceps dapat menyebabkan defisit neurologi tetapi disfungsi motorik yang berat berkurang sesuai dengan jumlah dari persalinan forcep sedang untuk persalinan yang sulit telah diubah dengan persalinan sectio caesaria lebih awal. Mayoritas kelumpuhan saraf pada obstetri bersifat unilateral.
  • Kaki lumpuh post partum dapat diakibatkan dari kerusakan dari batang saraf lumbosakral pada pelvis atau kompresi dari saraf peroneal. Kompresi batang lumbosakral terjadi antara penurunan kepala bayi dan ala sacrum, lebih sering terjadi pada lesi saraf obstetri. Kelumpuhan kaki unilateral terjadi pada kebalikannya occiput pada bayi. Pemeriksaan fisik pada ekstremitas bawah terdapat mati rasa dan parestesia sepanjang betis dan kaki sebelah lateral, hilangnya eversi dari ankle dan penurunan kekuatan dorsofleksi dari otot affektor kaki. Kompresi atau tekukan dari saraf peroneal seperti menyilangkan kepala fibula selama posisi litotomi yang salah atau lama dapat juga menyebabkan kelumpuhan kaki. Pasien-pasien sering menunjukkan penurunan rasa pada ounggung kaki.
  • Injuri pada nervus cutaneus femoralis lateralis lebih umum terjadi pada kelumpuhan saraf pada obstetri. Saraf ini dapat menjadi trauma pada ligamen inguinal pada pelvis atau saat saraf ini terperangkap di seputar SIAS. Saraf ini adalah saraf sensoris dan pasien-pasien akan mengeluh hilangnya rasa dari paha sebelah lateral. Gejala ini timbul selama kehamilan dan periode post partum. Saraf cutaneus femoralis anterior adalah saraf sensoris lain yang dapat rusak pada kehamilan. Injuri pada saraf ini akan menyebabkan penurunan sensasi dari paha anterior.
  • Injuri nervus femoralis biasanya terjadi karena penekanan yang berlebihan dari kepala bayi pada pelvis. Injuri bilateral ditemukan pada 25% dari pasien. Manifestasinya termasuk; penurunan atau hilangnya reflek lutut, hilangnya sensasi yang berat dari paha bagian atas sebelah medial dan antromedial dari betis, dan hilangnya fleksi panggul dan ekstensi dari lutut. Pasien akan kesulitan naik tangga, tetapi masih dapat berjalan pada permukaan yang datar. Kerusakan saraf juga dihasilkan oleh fleksi mendadak dari lutut abduksi dan putaran keluar. Penekanan saraf ini melawan ligamen inguinal. Terdapat hubungan antara penggunaan forcep dan neuropati femoralis.
  • Defisit nervus obturator timbul pada 25% dari neuropati femoralis . Kerusakan saraf ini terjadi selama penggunaan forcep yang mengalami kesulitan dan fleksi yang berlebihan dari paha. Kerusakan saraf ini mengakibatkan hilangnya kemampuan dari kaki untuk adduksi dan penurunan sensasi dari paha sebelah medial.
  • Kelumpuhan saraf sciatica telah digambarkan oleh Silva dkk. Pasien pertama dengan presentasi bokong dan dilakukan sectio caesaria untuk indikasi bayi. Pasien kedua obesitas dengan bayi besar dilakukan sectio caesaria elektif. Meskipun kedua pasien menerima analgesia epidural, neuropati ini terjadi karena tekanan pada saraf sciatica yang dipengaruhi oleh posisi dan postur dari pasien. Gejala dari kelumpuhan saraf sciatica antara lain: hilangnya sensasi separo lateral atas dari kaki dan paling sering pada kaki kecuali garis bagian dalam telapak kaki dan kelemahan dari semua otot otot di bawah lutut.
  • Kejadian herniasi diskus intervetebralis adalah satu dari 10.000 kehamilan terutama terjadi pada tingkat L5 - S1. Analgesia epidural berperan dalam hal ini. Forster dkk melaporkan kasus dari herniasi diskus lumbalis yang di tampilkan dari pemeriksaan MRI pada pasien yang menerima analgesia epidural untuk persalinan tanpa komplikasi dan pervaginam. Pada kasus ini, pasien tampak paresis flacid bilateral dengan kontrol kandung kencing dan rectal yang lengkap yang hilang 4 hari setelah melahirkan. Analgesia epidural dipikirkan bukan sebagai penyebab, hal itu merupakan gejala yang tertutupi.
KOMPLIKASI ANESTESI NEURAKSIAL PADA PASIEN OBSTETRI
  • Injuri neurologi yang menyertai anestesi epidural atau spinal sangat jarang terjadi. Disfungsi neurologi yang berhubungan dengan blok neuraksial dalm kehamilan antara lain radikulopati, toksisitas anestesi lokal, hematom atau abses.
  • RADIKULOPATI
    • Traumatik radikulopati terjadi pada saat penempatan kateter epidural. Pasien akan mengalami parestesia unilateral dan hiperestesia yang menetap setelah anestesi lokal menghilang. Parestesia terbatas pada satu atau dua dermatom. Reflek tendon dalam dan motorik tidak terpengaruh. Trauma dari kateter epidural lebih sering terjadi dengan penggunaan kateter nylon yang keras dibandingkan dengan kateter polyurethane non styletted yang lebih lunak.
    • Hal serupa terjadi pada penusukan jarum spinal yang mengenai akar-akar saraf spinal, dapat menyebabkan nyeri yang hebat dan penurunan sensasi pinprick dalam distribusi yang dipengaruhi oleh akar saraf. Sebuah review dari ASA menyebutkan bahwa trauma langsung pada jaringan saraf adalah paling sering menyebabkan kerusakan saraf yang berhubungan dengan anestesi regional pada pasien obstetri.
  • TOKSISITAS ANESTESI LOKAL DAN ZAT TAMBAHAN
    • Konsentrasi yang sangat tinggi dari anestesi lokal mempunyai pengaruh neurotoksis secara langsung. Pada konsentrasi yang biasa digunakan, zat kimia tambahan seperti bahan pengawet dan kontaminan dapat merusak jaringan saraf. Benzyl alkohol 1,5% yang terdapat pada larutan Na Cl untuk injeksi epidural, menyebabkan paraplegia flacid pada pasien-pasien obstetri. Defisit neurologi yang menyertai pemberian 2-chloroprocain baik secara epidural maupun spinal yang tidak hati-hati juga ditemukan pada pasien hamil. pH yang rendah dan bahan pengawet kimia sodium bisulfit yang terdapat pada larutan chloroprocain yang digunakan pada kasus ini diduga menyebabkan kerusakan jaringan saraf yang irreversibel.
    • Toksisitas anestesi lokal bertanggung jawab untuk angka kematian anestesi dari tahun 1979 – 1990. Injeksi dalam dosis besar bupivakaine ke dalam vena epidural yang tidak dikenali menghasilkan kardiotoksisitas. Sementara angka kematian oleh karena anestesi umum tetap stabil, kematian karena anestesi regional sangat menyolok penurunannya. Terdapat beberapa alasan berkaitan dengan berkembangnya anestesi regional yang aman, termasuk pertimbangan yang aman dan penghentian pemakaian bupivakain 0,75% pada anestesi obstetri. Dengan perkembangan tehnik yang terus menerus dan peningkatan kewaspadaan pada komplikasi yang mungkin terjadi, angka kematian oleh karena anestesi regional akan terus menurun.
  • HEMATOM EPIDURAL DAN SPINAL
    • Hematom epidural merupakan komplikasi yang sangat jarang pada kasus-kasus obstetri. Pada analisis retrospektif dari 505.000 pasien yang telah menerima anestesi epidural untuk kehamilan dan persalinannya, hanya satu yang ditemukan mengalami hematom epidural. Hal yang serupa, pada analisis prospektif dari 108.133 pasien dengan epidural obstetri ditemukan tanpa hematom. Pasien yang menerima blok epidural atau spinal tidak meningkatkan resiko hematom, sementara hal itu lebih sering menyebabkan perdarahan spontan. Usaha seperti Valsava yang terjadi dengan mendorong akan menyebabkan ruptur dari vena epidural dan menghasilkan hematom, terutama pada pasien koagulopati. Gejala-gejala yang menetap setelah regresi dari anestesi lokal diantaranya back pain, disfungsi kandung kencing, defisit motorik dan sensorik. Dekompresi laminektomi darurat diperlukan untuk mencegah sequelle neurologi yang permanen.
  • ABSES EPIDURAL
    • Abses epidural merupakan komplikasi lain yang jarang terjadi pada persalinan dengan dan tanpa blok spinal atau epidural. Gejala post-partum termasuk: low back pain, demam, leukositosis, paraplegia, dan hilangnya fungsi spingter. Sequelle neurologi disebabkan karena kompresi dan iskemia. Yang berpengaruh dalam hal ini termasuk diantaranya koloni bakteri dari flora kulit, peralatan yang terkontaminasi, jarum dan anestesi lokal dan penyebaran hematogen dari infeksi.Pengelolaannya meliputi penegakan diagnosis dengan MRI dan laminectomi darurat.
SUNTIKAN OBAT SUBDURAL
  • Sekitar 0,1% - 0,8% dari maksud anestesi epidural menghasilkan pemberian anestesi subdural. Respon injeksi anestesi lokal bervariasi. Blokade dengan onset lambat, tingkat sensoris tinggi, dan blokade motoris yang bervariasi. Karena rongga subdural diperpanjang ke intrakranial, kehilangan kesadaran dengan tingkat sensoris tinggi dapat terjadi. Laporan secara radiologismembuktikan bahwa penempatan kateter subdural untuk sectio caesaria menunjukkan tidak ada blokade motoris dan tingkat sensoris T1, walaupun injeksi dengan dosis besar anestesi lokal. Pada kasus ini, tidak adanya blok motoris dapat dihubungkan dengan lokasi katetersubdural, mencegah penyebaran anestesi lokal ke bagian anterior dari serabut motorik.
MALFORMASI ARTERIVENA ( AVM )
  • Gejala seperti back pain, kelemahan ekstremitas, dan defisit sensoris dihasilkan dari perubahan pada tekanan vena transmural yang menyebabkan penurunan aliran darah spinal. Perubahan fisiologi pada kehamilan dapat memperburuk keadaan ini meningkatnya volume darah, peningkatan tekanan vena dari meningkatnya tekanan intraabdoinal, tingginya kadar estrogen menyebabkan perubahan dalam endothel vaskuler. Lebih lanjut, peningkatan tekanan dalam pembuluh epidural dengan kontraksi uterus dan usaha seperti Valsava menghasilkan trombosis atau hemoragik dari AVM.
  • Hubungan antara AVM dan analgesia epidural dilaporkan pada pasien yang mengalami paraplegia post-partum dan ditemukan AVM cervical. Walaupun epidural tidak menimbulkan gejala, terdapat hubungan yang temporer antara injeksi epidural dan keluhan nyeri. Peningkatan tekanan pada rongga epidural secara temporer yang dihasilkan karena injeksi epidural berperan pada penurunan drainase dari AVM yang sudah terjadi oleh perubahan selama kehamilan.
  • Anestesi spinal untuk sectio caesaria telah digunakan tanpa komplikasi dalam persalinan dengan AVM pada cervical. Dengan menggunakan tehnik ini, penulis menghindari peningkatan tekanan epidural, intrathorakal, dan intraabdominal dan perubahan hemodinamik. Kemungkinan terjadinya hipotensi harus dipahami, hal itu diminimalisasi dengan prehidrasi yang adekuat untuk blok spinal.
SINDROMA ARTERI SPINAL ANTERIOR
  • Variasi hemodinamik dari kehamilan dipengaruhi aliran darah ke spinal cord pada pasien-pasien yang mengalami kolateral ke arteri spinal anterior. Tumor intraspinal, stenosis spinal, dan arterosklerosis juga disertai hal ini. Hilangnya fungsi motoris, nyeri, dan sensasi suhu yang dihasilkan dari nekrosis bagian anterior2-3 dari spinal cord di bawah lesi. Meskipun jarang AVM spinal anterior harus dipertimbangkan pada disfungsi neurologi post-partum.
HORNER SYNDROMA
  • Kelumpuhan saraf trigeminus oleh karena pengaruh pada serabut motorik pada tingkat pontine yang akan menghasilkan sindroma Horner pada persalinan setelah blok epidural. Penyebaran ke sefalad anestesi lokal dari epidural ke rongga subarahnoid merupakan penyebabnya.
NYERI PUNGGUNG
  • Low back pain merupakan keluhan umum baik selama kehamilan maupun periode post-partum. Faktor predisposisi yang berpengaruh diantaranya : peningkatan berat, lordosis lumbal, regangan ligamentum, dan kenaikan kadar relaksin dalam serum. Kejadian dari low back pain setelah persalinan pervaginam tanpa blok neuraksial diperkirakan 12% - 40%. Simon dkk, menggambnarkan kasus nyeri punggung disebabkan oleh karena herniasi diskus thorakal pada pasien setelah persalinan pervaginam dengan analgesia epidural. Kasus ini menunjukkan tanda yang penting dan pengobatan gejalanya. Nyeri punggung jarang menyertai anestesi regional baik pada pasien maupun komunitas medis.
  • Laporan kejadian dan penyebab dari sakit punggung pada kehamilan masih diperdebatkan. Pada survey postal retrospektif, MacArthur dkk, menjelaskan bahwa anestesi epidural bertanggung jawab untuk sakit punggung. Kejadian nyeri punggung 19% pada pasien yang menerima anestesi epidural dan 10% yang tidak.
  • Sebaliknya, Breen dkk, memberikan kuisener prospektif pada 1042 wanita tentang gejala nyeri punggung. Wanita-wanita itu ditanyakan saat 12 – 48 jam, 2 bulan dan 12 – 18 bulan setelah melahirkan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan nyeri punggung diantaranya riwayat nyeri punggung antepartum, gemuk, dan usia muda. Pada 2 bulan setelah melahirkan, kejadian nyeri punggung post partum serupa pada pasien yang telah menerima anestesi epidural dan yang tidak ( 44 vs 45%). Tidak ada perbedaan kejadian nyeri punggung antara persalinan pervaginam dan sectio caesaria.
  • Hanya ada satu studi prospektif yang menjelaskan hubungan antara timbulnya nyeri punggung dan anestesi epidural. Pada survey postal British ini, kejadian timbulnya nyeri punggung 18% pada wanita yang dilakukan dengan anestesi epidural dan 12% tanpa anestesi epidural.; walaupun pada 156 pasien yang dilaporkan nyeri punggung , hanya tiga yang berat. Satu pasien ditemukan mempunyai spondylolisthesis, herniasi diskus lumbalis, dan yang terakhir terbentuknya hematom jaringan lunak. Seperti survey oleh MacArthur, studi ini menggambarkan di Britania dimana terdapat gambaran bias yang tinggi antara wanita hamil yang nyeri punggung yang ditimbulkan dari anestesi epidural.
  • Kesimpulan, bahwa anestesi epidural untuk persalinan pervaginam dan caesaria dihubungkan dengan nyeri punggung post-partum. Walaupun dengan kewaspadaan yang tinggi terhadap keluhan dengan anestesi regional, kesalahan implikasi dalam anestesi regional sebagai penyebab nyeri punggung yang lebih sering oleh faktor lain.
NYERI KEPALA
  • Nyeri kepala sering nerupakan keluhan pada periode antepartumdan postpartum. Kemungkinan penyebabnya antara lain hormonal, vaskuler, metabolik, dan neurologi, juga komplikasi anestesi. Sebanyak 40% pasien melahirkan yang tidak menerima anestesi mengeluh nyeri kepala pada periode peripartum.
POSDURAL PUNCTURE HEADACHE ( PDPH )
  • Penusukan duramater yang tidak berhati-hati selama penempatan epidural merupakan komplikasi yang umum terjadi pada anestesi epidural untuk persalinan. Tergantungpada pengalaman dari operator, kejadian PDPH sesudah anestesi epidural berkisar antara 1% - 3%. Noris dkk, menunjukkan bahwa permukaan bevel yang sejajar dengan serabut duramater akan menurunkan insiden PDPH. Tiga puluh satu persen wanita pada kelompok paralel terjadi PDPH, sedangkan pada kelompok tegak lurus 75%. Hal itu juga menjelaskan bahwa pemutaran bevel dari jarum epidural dapat meningkatkan resiko penusukan duramater yang tidak hati-hati sebagian besar penulis menganjurkan untuk dihindari.
  • Dengan meningkatnya penggunaan jarum spinal atraumatis ( pencil point ), insiden PDPH yang menyertai blok subarachnoid akan menurun secara dramatis 0,02% - 1,5%. Penusukan duramater yang berulang-ulang walaupun dengan pencil point, akan meningkatkan insiden PDPH.
  • Nyeri kepala yang terjadi pada penusukan duramater dengan jarum epidural cenderung menjadi lebih berat dibanding dengan yang menggunakan jarum spinal. Gurmanik menyampaikan bahwa nyeri kepala sedang sewaktu-waktu dapat terjadi menyertai anestesia spinal yang disebabkan oleh pengaruh kimia dari povidone-iodine, yang sering digunakan untuk membersihkan kulit.
  • Kebocoran cairan serebrospinal yang disebabkan oleh penusukan duramater dapat mengakibatkan penarikan pada saraf kranial. Manifestasi kelumpuhan saraf kranial seperti penurunan pendengaran dan diplopia. Epidural blood patch yang cepat, efektif untuk mengatasi kondisi ini.
KOMPLIKASI DARI EPIDURAL BLOOD PATCH (EBP)
  • Punggung yang tidak nyaman merupakan efek samping yang sering timbul pada EBP dan dapat sembuh dengan sendiri. Pasien juga mengeluh nyeri pada leher dan bahu. Parestesia dan pengulangan penusukan duramater dengan disertai nyeri kepala dijumpai saat EBP terbentuk. Peningkatan sementara suhu tubuh dapat terjadi setelah injeksi darah. Efek yang lebih serius seperti kelumpuhan saraf kranial dapat terjadi. Lowe dkk, melaporkan sebuah kasus kelumpuhan saraf kranial VII pada pasien post-partum setelah EBP. Diperkirakan bahwa iskemia saraf kranial VII yang diakibatkan oleh berkurangnya suplai darah meningkatnya tekanan intrakranial dari injeksi darah di rongga epidural.
HEMATOM SUBDURAL
  • Sangat jarang terjadi, hal ini dapat terjadi berhubungan dengan PDPH yang tidak diobati. Hal ini terjadi ketika hipotensi intrakranial oleh karena kebocoran yang menetap dari cairan serebrospinal yang mengakibatkan regangan dan robekan vena meningea dan selanjutnya terjadi perdarahan dan pembentukan hematom. Gejala klinis antara lain; somnolen, gelisah, nyeri kepala, muntah, dan gejala neurologi lokal.
PNEUMOCHEPALUS
  • Hilangnya tahanan dengan menggunakan udara sering dipakai untuk mengetahui rongga epidural. Penusukan duramater yang tidak hati-hati dapat menyebabkan masuknya udara ke rongga subduramater atau subarachnoid. Gejala diantaranya : nyeri kepala, leher, bahu, dan punggung yang tidak nyaman.Pasien dengan udara di rongga subarachnoid mengeluh meningkatnya nyeri kepala pada posisi supine dan menghilang saat berdiri. Sewaktu udara diserap kembali, gejala akan menghilang. Proses ini dapat dipercepat dengan inhalasi oksigen konsentrasi tinggi.
TROMBOSIS VENA KORTEX CEREBRAL
  • Beberapa kasus trombosis vena serebral ( CVT ) telah dilaporkan anestesi epidural. Dalam satu kasus, EBP untuk mengatasi nyeri kepala, walaupun gejala menetap memerlukan pemeriksaan secepatnya. Hal itu kemungkinan karena kesulitan membedakan antara PDPH dan CVT pada periode post partum. Dalam kasus nyeri kepala hebat, gejala dari CVT antara lain defisit neurologi focal, mual, muntah dan koma. Tidak semua nyeri kepala yang timbul setelah anestesi spinal dan epidural terjadi selama penusukan duramater, semua kasus nyeri kepala postspinal membutuhkan evaluasi pasien yang hati-hati.
MENINGITIS
  • Walaupun tindakan antiseptis sudah dilakukan dengan hati-hati, meningitis bakteri masih timbul pada pasien obstetri setelah pemberian blokade neuroaksial. Hal ini merupakan komplikasi yang sangat jarang, tanpa disengaja bakteri dari kulit atau subkutan mengikuti jarum spinal atau epidural. Bakteri dapat tumbuh juga dari sediaan larutan anestesi lokal bebas dan sediaan opioid tanpa disengaja untuk suntikan spinal atau epidural, dan telah dilaporkan kasus dari povidone-iodine yang terkontaminasi dengan bakteri. Meningitis disebabkan oleh karena penyebaran hematogen dari bakteri.
  • Meningitis aseptis telah dilaporkan sebagai komplikasi yang mungkin terjadi dari anestesi regional. Gejala dari meningitis aseptis dan bakterial serupa dan meliputi pireksia, kaku kuduk, photopobia, mual, muntah, dan nyeri kepala. Meningitis akut menunjukkan komplikasi yang lain diantaranya kejang dan kebutaan.
  • Kesimpulan. Terdapat sejumlah penyebab dari nyeri kepala pada pasien obstetri, beberapa diantaranya tidak ada hubungannya dengan anestesi. Penyebab nyeri kepala nonanestesi perioperatif diantaranya tension, migraine, caffein withdrawal, sinusitis, dan eklampsia. Pemeriksaan neurologi dan riwayat sebelumnya diperlukan pada beberapa wanita hamil atau postpartum dengan keluhan nyeri kepala, untuk menghindari komplikasi yang lebih serius oleh karena diagnosis yang terlambat.
KOMPLIKASI BLOK SARAF PERIFER PADA PERSALINAN
  • Blok Paracervical
    • Pada keadaan dimana seorang ahli anestesi tidak dapat menentukan lokasi untuk melakukan anestesi epidural, blok paracervical merupakan alternatif yang efektif dan dapat diterima oleh ahli kebidanan. Blok ini memberikan analgesia hanya untuk kala I dari persalinan, dan hanya diperlukan agent jangka pendek, suntikan sering diulang-ulang. Tehnik ini mempunyai beberapa komplikasi yang harus dibatasi penggunaannya. Bradikardi dari janin merupakan akibat yang paling serius dan yang paling sering timbul pada blok paracervical. Walaupun biasanya dapat sembuh sendiri, hal itu dapat dihubungkan dengan asidosis janin dan kematian janin. Beberapa teori menerangkan terjadinya bradikardi janin diantaranya tingginya kadar anestesi lokal dalam darah selama absorpsi vaskuler, dan pengaruh langsung terhadap arteri uterina yang berupa vasokontriksi. Komplikasi pada ibu dari blok paracervical jarang terjadi dan diantaranya toksisitas anestesi lokal, abses, hematom, dan neuropati.
  • Blok simpatis lumbal
    • Blok simpatis lumbal, seperti blok paracervical, menghilangkan jalur sensoris dari cervix dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan kala I persalinan. Dengan penggunaan yang luas anestesi spinal dan epidural , blok simpatis lumbal ini sekarang jarang dilaksanakan untuk mengurangi nyeri persalinan. Komplikasi-komplikasi pada ibu meliputi toksisitas anestesi lokal sistemik, hipotensi, blok subarachnoid atau epidural yang tidak hati-hati dan hematom retroperitoneal. Fetal distress dapat terjadi karena insufisiensi uteroplasental yang berhubungan secara significant dengan hipotensi ibu.
  • Blok pudendal
    • Blok pudendal dilakukan dengan menyuntikkan 5 – 10 ml anestesi lokal di bawah spina ischiadica. Karena letak tempat injeksi dekat dengan pembuluh darah besar, injeksi intravaskuler dapat menyebabkan toksisitas anestesi lokal. Pembentukan abses dan hematom dapat tetapi sangat jarang. Komplikasi-kompliksi ibu yang lain adalah trauma saraf sciatica dan tertusuknya rectum. Pengaruh pada janin jarang terjadi.
Komplikasi-komplikasi kombinasi anestesi spinal dan epidural
  • Akhir-akhir ini , penggunaan tehnik kombinasi anestesi spinal dan epidural (CSE)menjadi metode yang populer untuk memberikan analgesia pada persalinan. Kombinasi injeksi intrathecal dilanjutkan dengan penempatan kateter epidural memberikan banyak keuntungan dibandingkan tehnik anestesi spinal atau epidural saja. Komplikasi-komplikasi pada CSE dibandingkan dengan epidural konvensional pada persalinan secara prospektif dievaluasi oleh Norris dkkyang menyimpulkan bahwa CSE ini adalah pilihan yang aman untuk analgesia epidural. Collis dkk juga melaporkan bahwa tidak ada perbedaan dalam kejadian komplikasi utama dalam 20 menit setelah terjadinya blok. 
  • Beberapa laporan kasus yang baru, menyatakan terjadinya komplikasi yang serius akibat dari tehnik ini. Komplikasi-komplikasi ini diantaranya bradikardi janin dan uterus hipertonus dan cardiac atau respirasi arrest pada ibu. Kegagalan untuk menelan dan bersuara dan heart rate janin menggambarkan abnormalitas setelah pemberian narkotik intrathecal sebagai bagian dari CSE
RINGKASAN
  • Pada dekade yang lalu penggunaan anestesi regional pada obstetri telah meningkat secara dramatis. Laporan Bromage yang terbaru, pasien yang mengalami komplikasi – komplikasi neurologi dari anestesi subarachnoid dan epidural , meskipun proporsi dari kasus ini bisa terjadi pada praktek anestesi yang merupakan bagian atau sama sekali bukan karena penyebab-penyebab anestesi. Sementara prevalensi yang nyata dari sequlle neurologi karena anestesi regional pada obstetri sulit diperkirakan, ini seperti sequelle neurologi yang permanen yang hampir tidak pernah terjadi pada praktek regional anestesi yang aman. Sementara komplikasi-komplikasi neurologi yang dapat sembuh sendiri dapat terjadi, resiko-resiko teori ini harus dibandingkan dengan resiko nyata dengan anestesi umum pada pasien-pasien partus yang akan menjalani sectio caesaria.

BLOKADE SYARAF PUSAT: KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGELOLAAN NYERI AKUT

KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGELOLAAN NYERI AKUT
  • Analgesia regional merupakan tehnik terbaik untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat setelah trauma pembedahan atau beberapa masalah medis yang berkaitan dengan pengelolaan nyeri akut apalagi dengan tehnik continous epidural akan dihasilkan tingkat analgesi yang baik dan efek samping minimal. Ditambahkan bahwa analgesia regional akan mengurangi perubahan-perubahan pathologis yang disebabkan oleh karena pengaruh dari pembedahan mayor. Meskipun demikian harapan yang optimis ini harus didukung oleh beberapa pengamatan klinis. 
  • Pertama, sampai saat ini hamnya ada sedikit fakta yang menyebutkan bahwa analgesia epidural post – operasi menurunkan morbiditas dan mortalitas. Kedua, analgesia epidural post-operasi yang melewati periode post-operasi yang cepat mengharuskan penilaian kembali oleh seorang ahli untuk memastikan analgesia yang optimal dengan efek yang tidak dikehendaki minimal. Yang jelas, hal ini akan menambah biaya perawatan pasien. Pada akhirnya, analgesia epidural akan menyebabkan beberapa komplikasi yang potensial terjadi, yang secara umum berhubungan dengan analgesia post-operasinya dan secara khusus berhubungan dengan tehnik epiduralnya sendiri. Sebagai seseorang yang selalu berhubungan dengan kasus medis, kita berkewajiban untuk memastikan bahwa keuntungannya akan lebih banyak daripada resikonya. Meskipun beberapa macam obat dapat diberikan secara epidural untuk analgesi, dalam praktek klinis sehari-hari digunakan bupivakain ( atau ropivakain ) dan atau opioid, biasanya fentanyl , atau morphin. Saya akan memfokuskan pada tehniknya.
KOMPLIKASI ANALGESIA EPIDURAL
  • Sistem saraf pusat 
    • Keadaan bingung setelah operasi
      • Keadaan bingung setelah operasi adalah suatu hal yang umum setelah pembedahan mayor. Pada usia muda biasanya sedang dan hilang dengan sendirinya, tetapi diantara pasien usia tua terjadi kelemahan intelektual yang berat dan berlarut-larut dan pemulihannya mungkin tidak sempurna. Delirium setelah operasi dilaporkan merupakan komplikasi yang umum dari pembedahan mayor pada usia tua, dengan insiden dilaporkan 10 – 50 % dan prognosisnya lebih buruk, termasuk meningkatnya waktu perawatan, meningkatnya mortalitas .
      • Keadaan bingung setelah operasi yang akut atau delirium adalah karakteristik oleh hilangnya/lemahnya fungsi intelektual secara global. Pada kenyataannya pasien menunjukkan kesadaran berkabut dengan karakteristik hilangnya kewaspadaan, kesadaran dan perhatian. Memori, kognisi, dan persepsi juga hilang. Pasien kadang-kadang mengalami disorientasi waktu dan tempat, bicara tidak tepat, ngawur atau inkoheren bahkan dapat tejadi ilusi maupun halusinasi. Respon emosi tumpul termasuk depresi, agitasi dan ketakutan. Aktivitas motorik sering menurun, tetapi pasien-pasien yang menderita delirium setelah operasi kadang menjadi hiperaktif dan gelisah. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain preexisting dementia, usia lanjut, komplikasi perioperativ seperti gangguan metabolisme, sepsis, gizi jelek, nyeri, hipoksemia post-operasi dan penggunaan obat psikoaktif peri atau post-operativ.
      • Dibandingkan dengan pemberian opioid perenteral, analgesia epidural mempunyai insiden yang rendah terjadinya delirium post-operasi. Pasien akan mendapatkan analgesi yang kuat dengan pemeliharaan yang lebih baik dan pemulihan fungsi respirasi yang lebih cepat, terutama setelah pembedahan besar pada abdomen atau thorak. Pasien yang menerima analgesia epidural dengan opioid saja atau dalam kombinasi dengan anestesi lokal, akan membutuhkan dosis kumulatif yang lebih kecil dari analgesia opioid, obat yang dikaitkan dengan terjadinya delirium.
      • Tergantung pada level epidural, pemilihan obat dan dermatom dari pembedahan, dosis dari opioid yang dibutuhkan tidak menjadi lebih kecil dibanding penggunaan perenteral. Hal ini terutama pada penggunaan opioid yang bersifat lipofilik seperti fentanyl. Pada penggunaan fentanyl secara epidural lumbal setelah pembedahan abdomen atas atau thorak, dosis yang dibutuhkan sama dengan pemberian fentanyl secara intravena. Pada penempatan kateter epidural pada level thorak yang tepat untuk pembedahan dengan penggunaan fentanyl saja, penurunan pada fentanyl yang diberikan kecil, tidak lebih dari 40 %, dibandingkan dengan pemberian fentanyl perenteral. Sebaliknya, jika salah satu pilihannya adalah opioiod hidrofilik yang tinggi seperti morphine untuk analgesia epidural, penurunan dalam pemberian morphine sekitar 80 %; rata-rata pemberian morphine sekitar 0,5 mg/jam dibanding dengan 2,5 mg/jam jika diberikan secara perenteral. Untuk meperidin suatu opioid dengan sifat lipofilik sedang, dosis pemberian berkisar antara 6 – 18 mg, untuk pemberian perenteral berkisar 25 mg.
      • Penurunan dosis kumulatif dari opioid yang diberikan secara epidural yang sebanding dengan pemberian secara perenteral, tidak menjamin penurunan pada pengaruhnya terhadap susunan saraf pusat, sementara pengaruh kognitif dari opioid epidural tidak hanya tergantung pada uptake dan transport sistemik ke otak melalui sirkulasi sistemik. Semua opioid epidural dipancarkan chepalad dalam cairan serebrospinal dinyatakan dengan adanya sedasi, depresi respirasi, dan gatal pada muka yang tampak beberapa jam setelah pemberian dosis kecil dari morphine (kurang dari1,0 mg) secara intrathecal. Opioid dalam cairan serebrospinal akan berdifusi kedalam jaringan saraf superfisial dan secara langsung akan mempengaruhi fungsi kognisi seperti pengaruhnya pada respirasi. Disini sebuah gradien konsentrasi dengan menurunnya konsentrasi opioid pada cairan serebrospinal secara progresif sebagai suatu gerakan yang jauh dari tempat injeksi. Pada umumnya dosis penggunaan morphin intratechal atau epidural, level serum tidak dapat dideteksi dalam beberapa jam dari suntikan dan beberapa yang mendukung atau depresi pernafasan yang terlambat dari opioid dihubungkan dengan pancaran ke chepalad dari obat pada cairan serebrospinal.
      • Beberapa pasien setelah operasi yang menerima obat bersama-sama termasuk NSAID dan benzodiazepin, dapat menghasilkan keadaan bingung pada usia tua. Sementara penurunan kebutuhan untuk opioid dan bertambahnya analgesia, perlu dipertimbangkan untuk melawan resiko dari obat tambahan.
      • Sekarang tidak ada fakta bahwa kejadian delirium setelah operasi akan turun dengan penggunaan analgesia epidural. Setelah total knee replacement pada usia tua, William-Russo dkk menemukan tidak ada perbedaan dari kejadian delirium pada penggunaan fentanyl intravena atau fentanyl epidural/bupivakain untuk analgesia. Marcantonio dkk menemukan bahwa opioid setelah operasi (terutama meperidin), benzodiazepin, dan analgesia epidural (dibandingkan dengan intravena sebagai kontrol) dihubungkan dengan meningkatnya kejadian delirium setelah operasi. Penulis lain melaporkan bahwa meperidin adalah obat yang sering diberikan melalui epidural, dan meperidin dihubungkan dengan meningkatnya kejadian delirium . Pada analisis prospektif dari 1014 pasien yang menerima bupivakain 0,1% dengan fentanyl 1,5 atau 10 g/ml, Scott dkk menemukan bahwa kejadiaan yang lebih besar dari sedasi atau kecemasan pada pasien yang menerima fentanyl 5 ug/ml dibanding dengan fentanyl 1 g/ml, hal ini diduga berhubungan dengan pengaruh dari dosis opioid. Meskipun data terbatas, tetapi jelas bahwa pemberian opioid epidural tidak terbukti melawan keadaan delirium setelah operasi.
      • Untuk mengurangi masalah ini, penekanan pada hasil analgesia yang sebaik mungkin dengan jumlah opioid sekecil mungkin. Morphine epidural pada dosis kecil bekerja sangat efektif melalui rute lumbal untuk bedah thorak. Bagaimanapun juga anestesi lokal dan opioid lipofilik lebih efektif jika diberikan pada dermatom yang tepat untuk pembedahan. Pemberian opioid akan berkurang jika pemberiannya dikombikasikan dengan anestesi lokal biasanya bupivakain. Jika menggunakan salah satu dari fentanyl 2,5 – 5 ug/ml atau morphin 50 – 100 ug/ml dalam kombinasi dengan bupivakain 0,1% - 0,125% 5 – 8 ml perjam, lebih banyak pasien akan mendapatkan analgesia yang memuaskan dengan dosis yang lebih rendah dibanding dengan pemberian perenteral. Di dalam petunjuk praktis klinis dari Departemen Kesehatan USA, direkomendasikan penggunaan tambahan NSAID. Walaupun pada penderita usia tua akan menambah pengaruh pada susunan saraf pusat
      • Diagnosa banding penyebab dari keadaan bingung setelah operasi salah satunya sepsis, hipoksia, gangguan metabolik, dan keracunan obat atau withdrawal. Apabila penyebab tidak jelas, konsultasi lebih awal dengan ahli penyakit dalam atau geriatri akan lebih bijaksana. Pasien yang mengalami agitasi, paranoid akan mempunyai respon terhadap tranquilizer mayor seperti haloperidol. Pada pasien usia tua, dosis yang sangat kecil 0,5 – 1 mg sudah efektif, sering digunakan sebagai dosis tunggal sehari diberikan pada malam hari, sedangkan dosis yang besar dapat menyebabkan sedati yang dalam.
  • Depresi pernafasan
    • Pemberian morphin secara spinal dilaporkan pada awal tahun 1901, tetapi pemberian opioid spinal tidak umum dipakai pada praktek klinis sampai tahun1980. Laporan klinis awal menyebutkan analgesia yang kuat dan durasi yang panjang pada penggunaan dosis kecil dari morphine, tetapi hal ini hampir selalu disertai dengan potensial terjadinya depresi respirasi yang mematikan. Terutama depresi respirasi dapat terjadi sepanjang 11 jam setelah pemberian sekecil dosis morphin 1 mg intratechal. Setelah dekade terakhir, opioid epidural dengan atau tanpa anestesi lokal telah populer untuk analgesia setelah operasi.
    • Fisiologi dan Farmakologi; 
      • untuk mengetahui pengaruh opioid epidural terhadap depresi pernafasan, kita perlu mengulang fisiologi dan farmakologi dari kontrol pernafasan. Irama pernafasan merupakan gerakan dari otot-otot respirasi yang berasal dari bagian dorsal dan ventral neuron pada medulla. Kontrol kimia dari pernafasan disusun dari reseptor perifer_ badan karotid yang terutama respon terhadap hipoksia dan kemoreseptor sentral yanmg respon terhadap perubahan pH yang berhubungan dengan perubahan pCO2 pada cairan serebrospinal. Tidak seperti kemoreseptor perifer, kemoreseptor sentral dan neuron respiratory medullary ditekan oleh hipoksia.
      • Berbeda dengan kelompok neuron respirasi dorsal dan ventral yang letaknya dalam melekat pada substansi dari medulla, kemoreseptor sentral letaknya lebih superfisial pada permukaan anterolateral dari medulla.Opioid intravena menekan pernafasan akibat respon terhadap hipoksia maupun karbondioksida akibat aksi mereka pada kemoreseptor sentral dan kelompok neuron respirasi dorsal dan ventral. Pemberian opioid intratechal aksi utamanya dalam cairan serebrospinal pada kemoreseptor sentral. Secara klinis artinya bahwa semua pasien yang menerima opioid spinal hanya ringan tingkat depresi respirasinya walaupun mempunyai konsentrasi opioid lebih tinggi dibanding dengan pemberian secara perenteral. Jika pasien ini menerima tambahan opioid perenteral, kelompok neuron respirasi medulla juga akan ditekan. Dengan mekanisme yang serupa, obat depresant respirasi lainnya termasuk benzodiazepine akan menyebabkan tingkat depresi pernafasan yang berat jika diberikan secara sistemik pada pasien yang menerima analgesia opioid secara spinal.
      • Depresi pernafasan yang timbulnya terlambat merupakan gambaran setelah pemberian dosis tunggal morphine intratechal dan menyertai pancaran ke chepalad dari morphine pada cairan serebrospinal. Setelah dosis tunggal 10 mg morphine pada epidural lumbal, puncak kadar dalam darah tercapai kurang dari 10 menit. Sebaliknya pada tingkat CSF cervical kadar puncak tercapai sekitar 3 jam setelah pemberian dalam konsentrasi yang meningkat sampai tujuh kali lebih tinggi dibanding kadar puncak dalam darah. Morphine merupakan opioid hidrofilik tinggi, diserap lambat dari CSF oleh jaringan syaraf dan sirkulasi; sebagai hasilnya lebih dari 45 % morphine CSF masih tersimpan di CSF lebih dari 8 jam. Meperidin. Obat lebih lipofilik lebih cepat meninggalkan CSF dan hanya 10 % tersisa sampai 8 jam setelah pemberian intratechal. Fentanyl, suatu opioid lipofilik tinggi dengan cepat diserap oleh jaringan syaraf, lemak epidural dan sirkulasi setelah pemberian epidural; kadar di CSF turun dengan cepat dan signifikan dengan depresi pernafasan yang tidak mungkin terjadi melebihi jam pertama setelah pemberian dosis tunggal.
      • Kecepatan clearance fentanyl dari CSF telah memberikan peranan yang penting pada beberapa penulis untuk memberikan pengertian bahwa penyebaran ke chepalad dari fentanyl secara epidural sangat minimal sehingga resiko klinisnya yaitu depresi pernafasan secara signifikan juga menurun. Bagaimanapun juga terdapat fakta yang meyakinkan bahwa penyebaran ke chepalad dari fentanyl epidural dapat terjadi. Gourlay dkk memberikan fentanyl secara lumbal epidural 1 ug / kg, kemudian mengambil sample CSF pada lumbal dan cervical setiap 45 menit. Pada 2 dari 6 pasien, konsentrasi pada CSF cervical meningkat (4,2 dan 5,7 ug/ml) melebihi batas analgesia antara 1 – 2 ug/ml.
      • Setelah pemberian dosis tunggal fentanyl epidural , depresi pernafasan yang lambat seperti terlihat pada pemberian morphin, tidak akan terjadi, tetapi postoperasi dengan fentanyl epidural yang diberikan secara kontinyu akan menyebabkan penyebaran ke chepalad yang nyata pada CSF. Dan juga dosis perjam dari fentanyl epidural yang biasanya 0,5 – 1,0 ug/kg/jam yang berhubungan dengan level serum dimana menyebabkan depresi pernafasan masih dibawah level untuk memberikan efek analgesia. Sebuah catatan yang berharga bahwa uptake sistemik dari pemberian opioid epidural sebanding antara pemberian secara ( im ) atau ( sc ) , pemberian opioid secara epidural pada dosis yang sebanding pada pemberian perenteral juga menghasilkan efek yang serupa. Hal ini dicontohkan dengan adanya depresi pernafasan yang berat setelah pemberian dosis tunggal atau berulang sufentanyl 50 – 75 ug secara epidural.
    • Insiden klinis depresi pernafasan
      • Kejadian depresi pernafasan yang serius setelah pemberian morphine secara epidural dilaporkan bervariasi antara 0,09% - 1,0%. Nilai – nilai ini sulit diinterpretasikan untuk beberapa alasan.Pertama, tidak ada definisi depresi pernafasan secara klinis yang dibahas secara konsisten pada literatur. 
      • Diagnosis pada umumnya dibuat berdasarkan laju nafas yang lambat atau sedasi yang berlebihan daripada analisis gas darah, sayangnya laju nafas berhubungan jelek dengan tekanan parsial dari karbondioksida arteri (pCO2). Kedua, banyak data dari pengamatan retrospektif yang dilakukan dari survey beberapa rumah sakit , jumlah data yang hilang dan tidak akurat tidak diketahui. Terakhir banyak data dari beberapa pengobatan pasien pada awal sampai pertengahan tahun 1980. Sejak saat itu praktek klinik banyak mengalami perubahan yang nyata. Khususnya dosis total dari pemberian opioid epidural menjadi lebih kecil dan kita tahu bahaya yang berhubungan dengan pemberian bersamaan dengan opioid perenteral atau obat obat sedatif lainnya . Lebih baru lagi, Ready dkk melaporkan keadaan yang aman pada pemberian berulang bolus morphin epidural setelah anestesi pada 1106 pasien yang menjalani pembedahan. Dilaporkan hanya 2 pasien ( 0,2 % ) dengan depresi pernafasan yang nyata. Depresi pernafasan pada semua pasien diketahui dengan monitoring klinis dan diobati tanpa sequelle. Hasil serupa yang bagus dilaporkan oleh de Leon-Casasola dkk. 
      • Pada 4227 pasien post-operasi yang menerima kombinasi antara bupivakain dan morphine secara epidural, hanya tiga kasus ( 0,07 % ) yang mengalami depresi pernafasan yang nyata. Pada semua pasien yang mengalami depresi pernafasan dapat diketahui dengan mengawasi gejala klinis dan diobati tanpa gejala sisa. Pada 4227 pasien yang telah menjalani operasi dengan pemberian kombinasi bupivakain dan morphin secara epidural, hanya 3 ( 0,07 % ) yang diketahui mengalami depresi pernafasan yang memerlukan pemberian nalokson.
      • Sampai saat ini terdapat kejadian yang sangat kecil yang berhubungan dengan pemberian fentanyl yang meyebabkan depresi pernafasan seperti yang disebutkan pada literatur. Beberapa penulis kemudian menganjurkan pemberian fentanyl secara epidural sebagai pengganti yang lebih aman dibanding dengan morphin epidural. Weightman melaporkan 3 pasien yang menjalani thorakotomi mengalami gagal nafas 3 – 26 jam setelah operasi. Ketiga pasien ini menerima fentanyl epidural thorax pada dosis melebihi 1,5 ug/kg/jam. Dosis ini sebanding dengan pemberian fentanyl secara perenteral dan depresi pernafasan yang terjadi tidaklah mengejutkan.Pada analisa prospektif dari 1014 pasien yang menerima fentanyl/bupivakain epidural post operasi, Scott dkk, melaporkan secara signifikan terjadinya depresi pernafasan pada 12 % pasien (1,2%), 4 diantaranya (0,4%) menerima nalokson. 
      • Kejadian ini pada 2 pasien terjadi pada hari pembedahan dan 10 pasien terjadi pada hari I – ke-6 setelah operasi. Dosis rata-rata fentanyl epidural 0,73 ug/kg/jam, tetapi 3 pasien menerima kurang dari 0,5 ug/kg/jam.
  • Pasien-pasien beresiko
    • Dari pengamatan di atas dan beberapa laporan kasus pada literatur,telah jelas bahwa depresi pernafasan terjadi pada proporsi yang kecil 0,5 % pada pasien yang menerima opioid epidural.Hal ini terjadi baik dengan morphin yang bersifat hidrofilik maupun fentanyl yang bersifat lipofilik. Semua opioid agonis murni yang lain mempunyai reaksi dengan cara yang serupa.Selanjutnya dosis tunggal bolus opioid lipofilik, depresi pernafasan yang lambat tidak akan terjadi, tetapi ketika diberikan dengan infus kontinyu, kadar serum dan cairan serebrospinal dalam otak cukup untuk mengontrol pernafasan. Bagaimanapun, sering terjadi kelupaan untuk mengidentifikasi faktor resiko pada beberapa pasien akan menyebabkan terjadinya depresi pernafasan yang mengancam kehidupan.
  • Safe practice
    • Diketahuinya jumlah populasi pasien yang mengalami kejadian depresi pernafasan, dapat memberikan tuntunan bagaimana menangani pasien yang aman seperti pada ruangan post operasi, atau ruangan – ruangan khusus seperti ICU. Hal ini sangat penting bahwa yang pertama kita dapat mengetahui masalah tentang keamanan pasien. Meskipun data terbatas, hal ini bagus bahwa kejadian depresi pernafasan yang serius yang berhubungan dengan opioid epidural kurang atau seimbang dengan apa yang dilaporkan dengan PCA ( parenteral patient-controlled analgesia), sekitar 0,5%. Untuk opioid intramuskuler, dilaporkan kejadiannya lebih besar, 0,9%. Tanpa memperhatikan cara pemberiannya, keamanan pasien setelah pemberian opioid tergantung pada tingkat pendidikan dari tenaga medis dan perawat dan pengawasan pasien yang tepat. Depresi pernafasan dengan opioid epidural jarang terjadi secara mendadak. Paling sering kejadiannya seperti sedasi yang progresif, dengan atau tanpa bradypnea, dan lebih mudah dikenali dan diobati seperti pada keadaan sebelumnya. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ini, analgesia opioid secara epidural adalah tepat untuk digunakan secara umum pada ruang perawatan setelah operasi.
    • Pengetahuan dan pengawasan pasien diperlukan untuk keamanan pasien setelah pemberian oipioid epidural. Meskipun begitu, resiko kemungkinan akan menurun jika dosis pemberian opioid juga diturunkan. Cara penghematan opioid diantaranya adalah penempatan epidural yang tepat dengan tingkat dermatom pembedahan, penggunaan opioid dalam kombinasi dengan anestesi lokal ( umumnya bupivakain ), penggunaan tambahan analgetik nonopioid, dan kemungkinan penggunaan PCA.
    • Oleh karena bersifat hidrofilik, morphin epidural tersimpan dalam cairan serebrospinal selama beberapa jam setelah pemberian bolus initial dan akan terpancar melalui neuraksis. Ketika pemberian pada tingkat lumbal,onset pada analgesia thorak atau abdomen bagian atas akan berlangsung 2 jam atau lebih tetapi pada pemberian dengan dosis yang serupa hanya sedikit lebih lama dibandingkan dengan pemberian melalui kateter epidural thorak. Rata-rata dosis untuk epidural lumbal pada orang dewasa berkisar 0,5 mg/jam, sebanding dengan 2-2,5 mg/jam jika diberikan secara (iv) – penurunan dosis 75%-80%. Untuk opioid yang bersifat lipofilik seperti fentanyl, keadaannya banyak berbeda. Saat pemberian fentanyl secara epidural lumbal, untuk pembedahan mayor pada abdomen / thorak, dosis pemberian sering serupa dengan pemberian secara intravena ( iv ), ketika diberikan melalui penempatan epidural thorak yang tepat, penurunan dosis pemberian 50% dan paling tidak sampai 25%. Opioid lipofilik lainnya mungkin memperlihatkan aktifitas yang serupa.
    • Bagaimanapun juga pemberian kombinasi dari opioid dan anestesi lokal bupivakain melalui kateter epidural pada thorak, dosis total opioid menurun secara nyata. Liu dkk melaporkan bahwa rata-rata morphin yang dibutuhkan setelah pembedahan abdomen mayor turun dari 0,5 mg/jam dengan morphin saja menjadi 0,27 mg/jam ketika dikombinasikan dengan bupivakain 0,1%. Temuan serupa dilaporkan oleh Dahl dkk, yang menampilkan tingkat analgesia yang nyaman dengan morphin 0,02 mg/mL, dalam kombinasi dengan bupivakain 0,125% pada kecepatan 10 mL/jam. Untuk kombinasi fentanyl dan bupivakain, penurunan pemberian fentanyl makin bertambah secara nyata seperti konsentrasi fentanyl diturunkan.. Scott dkk menggunakan bupivakain 0,1% dengan fentanyl 5 atau 10 ug/mL, melaporkan rata-rata pemberian fentanyl tiap jamnya sekitar 45 dan 70 ug/jam. Penggunaan bupivakain 0,125% dengan fentanyl 2-5ug/mL ,pada pengamatan lokal ( tidak dipublikasikan ) dilaporkan bahwa paling banyak pasien menerima 4-8mL /jam, atau kurang dari 20 ug/jam. Hasil serupa dilaporkan dengan penggunaan fentanyl 2 ug/mL dalam kombinasi dengan bupivakain 0,1% dan adrenalin 2 ug/mL.
    • Setelah pembedahan besar, terutama bedah orthopedi , penambahan NSAID atau acetaminofen secara nyata menurunkan pemberian analgetik opioid parenteral untuk memberikan efek analgesia. Ditambahkan, beberapa studi memberikan anggapan bahwa pasien-pasien yang menerima tambahan terapi dengan NSAID kurang memberikan efek sedasi dibanding dengan pemberian dengan hanya opioid saja secara parenteral. Setelah Radical Retropubic Prostatectomy, Grass dkk melaporkan penurunan 33%-50% pada pasien yang dikontrol dengan pemberian fentanyl epidural diantara pasien yang menerima ketorolac setelah operasi. Sampai saat ini, walaupun peneliti tidak menjelaskan tentang peran dari penambahan NSAID atau asetaminofen diantara pasien-pasien yang menerima kombinasi opioid epidural dan anestesi lokal. Walaupun fakta yang melawan ini tidak cukup, hal ini merupakan dugaan yang beralasan bahwa penambahan obat selanjutnya akan menurunkan pemberian obat secara epidural, dan penulis merekomendasikan untuk semua pasien diberikan tambahan asetaminofen setelah operasi.. NSAID mungkin seefektif asetaminofen, tetapi resiko efek samping, terutama produksi urine yang menurun pada pasien-pasien yang menerima anestesi lokal epidural merupakan kontraindikasi untuk digunakan.
    • Terdapat 4 – 6 variabilitas diantara pasien yang menerima opioid tanpa memperhatikan cara pemberiannya. Nyeri yang menyertai pembedahan tidak menetap. Pasien merasa nyaman saat istirahat tetapi akan merasa nyeri saat aktif. Nyeri akut akan berkurang sejalan dengan waktu. Maka dari itu, beberapa infus epidural yang menetap, yang diberikan secara titrasi oleh tenaga medis dan perawat terlatih mungkin tidak tepat untuk beberapa pasien sewaktu waktu selama periode pemulihan setelah operasi. Penggunaan PCEA ditujukan untuk alasan ini dan akan mengurangi jumlah opioid epidural yang diberikan. Marlowe dkk menemukan penurunan 55% pemberian hydromorphone epidural dengan penggunaan PCEA dibandingkan dengan pemberian kontinyu menggunakan titrasi infus. Boudreault dkk membandingkan pemberian fentanyl epidural dengan PCEA atau infus kontinyu terhadap pasien yang menjalani pembedahan mayor abdomen. Semua pasien dipasang kateter epidural thorak dengan tepat. Pasien pada kelompok infus kontinyu mendapatkan fentanyl 10 ug/mL dengan bupivakain0,1%, dengan kecepatan awal 0,1mL/kg/jam. Pasien pada kelompok PCEA menerima bupivakain 0,1%, pada kecepatan yang tetap 0,1mL/kg/jam ditambah PCEA fentanyl 15ug 92mL) dengan interval yang tetap selama 12 menit. Analgesia dan efek samping pada kedua kelompok serupa, tetapi kebutuhan fentanyl menurun 75% pada pasien dengan PCEA _ 0,25 melawan 1,05ug/kg/jam. Konsentrasi rata-rata fentanyl dalam serum untuk pasien dengan PCEA rendah, sekitar 0,5ug/mL, sebaliknya rata-rata konsentrasi pada pasien dengan infus kontinyu sekitar 1,5ug/mL dimana dosis normal terapeutik dari fentanyl parenteral antara 1-2 ug/mL.
    • Jika salah satu pilihan adalah PCEA, haruskah digabung dengan infus? Dengan intravena PCA sebagai penggunaan rutin, ini berbahaya , analgesia dan tidur tidak bertambah, kebutuhan opioid lebih besar dan kejadian dan beratnya efek samping terutama sedasi akan meningkat. Dua studi baru-baru ini melaporkan penemuan yang sangat mirip perbandingan antara PCEA dengan atau tanpa infus. Pada studi dimana yang satu dengan sufentanyl epidural dan yang satunya dengan hydromorphone, penambahan infus menghasilkan 33%-50% membutuhkan opioid lebih banyak, tetapi tidak menambah analgesia dan tidur. Yang terpenting, pasien yang menerima sufentanyl PCEA dengan penambahan infus terjadi sedasi yang lebih berat.
    • Kesimpulan dari diskusi di atas, tanpa memperhatikan pilihan opioid maupun cara pemberian , terjadinya depresi pernafasan kejadiannya sedikit.Opioid epidural dapat digunakan secara aman di ruang bedah dengan tenaga medis dan perawat yang terdidik dan prosedur perawatan yang tepat. Kita dapat menurunkan terjadinya bahaya depresi pernafasan, jika kita menggunakan tehnik pemberian opioid :
      1. Penempatan kateter epidural pada tingkat yang tepat dengan prosedur pembedahan terutama ketika menggunakan opiopid lipofilik atau anestesi lokal
      2. Jika fentanyl merupakan pilihan , gunakan konsentrasi larutan fentanyl 2-5ug/mL dalam kombinasi dengan bupivakain
      3. Penggunaan tambahan analgetik termasuk NSAID dan asetaminofen
      4. Penggunaan PCEA sebagai pengganti infus epidural kontinyu
Blok yang berlebihan
  • Autonom 
    • Pemberian opioid epidural tidak secara langsung menghambat aktifitas simpatis, tetapi onset dari analgesi yang efektif dengan atau tanpa efek sedasi sentral oleh karena uptake dari opioid secara sistemik yang menyebabkan timbulnya gejala hipovolemia dari pasien yang mempunyai ketergantungan yang tinggi pada peningkatan aktifitas simpatis. Hal ini pengaruhnya serupa apa yang diamati pada pasien dengan akut hipovolemia setelah pemberian opioid parenteral.
    • Sebaliknya, hipotensi adalah sesuatu yang umumnya tidak diinginkan timbul pada pemberian anestesi lokal secara epidural. Pada keadaan euvolemik pada pasien terlentang, blokade simpatis sendiri tidak nyata menurunkan venous return ke jantung dan hanya akan menyebabkan menurunnya tahanan vaskuler sistemik (10%-20%) dan tekanan darah,sedangkan cardiac output tetap terpelihara. Pada pasien hipovolemik, hipotensi terutama hipotensi orthostatik akan lebih berat. Resiko hipotensi selanjutnya akan meningkat pada penggunaan kateter epidural thorak tinggi, terjadi blokade inervasi simpatis ke jantung ( T1-T5), yang secara nyata akan menghambat reflek kompensasi normal dari jantung.
    • Laporan kejadian hipotensi berkaitan dengan bupivakain epidural sangat bervariasi mulai dari 0 – 60 %. Hipotensi lebih sering dilaporkan dengan epidural thorak dibandingkan dengan epidural lumbal. Blokade simpatis nerupakan faktor yang bermakna, tetapi hipovolemia umumnya setelah pembedahan mayor abdomen dan thorak. Tanpa memperhatikan penyebabnya, kejadian hipotensi lebih banyak dengan kateter epidural thorak dibanding dengan kateter epidural lumbal, dan lebih umumnya dengan peningkatan konsentrasi bupivakain atau ropivakain.
    • Pemeriksaan sederhana harus dilakukan untuk meminimalisasi kejadian dan beratnya hipotensi yang berhubungan dengan anestesi lokal epidural thorak. Pertama kita harus memastikan bahwa pasien telah mendapatkan terapi cairan parenteral yang adekuat. Dalam hal ini paling baik dilengkapi dengan penempatan kateter epidural yang tepat, penggunaan anestesi lokal dalm kombinasi dengan opioid epidural dan pemberian secara rutin obat tanbahan seperti NSAID atau asetaminofen. Pada beberapa pasien kadang kadang membutuhkan penghentian infus epidural dalam waktu singkat, hal ini juga menghentikan anestesi lokal epidural dan bahkan hanya diberikan opioid saja. Perawat harus mengawasi pasien ketika mereka mulai mobilisasi setelah pembedahan. Terutama yang perlu diamati untuk tanda-tanda terjadinya hipotensi orthostatik saat mereka pertama kali duduk dan berdiri setelah operasi. Jika terjadi hipotensi, sebagian besar pasien respon terhadap pengobatan konservatif seperti telah disebutkan di atas. Pemberian cairan intravena yang adekuat cukup untuk mengembalikan tekanan darah jarang sampai memberikan vasopressor.
    • Hal penting yang perlu diingat bahwa pemberian anestesi lokal epidural hanya salah satu dari beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi setelah operasi. Terutama saat terjadi hipotensi yang berat, berulang, atau tidak ada respon dengan penggantian cairan intravena , harus dicari penyebab yang lain. Dalam hal ini termasuk perdarahan selama operasi, infeksi, atau penyebab kardiopulmonal langsung dari kolap kardiovaskuler akut.
  • Oliguria. 
    • Insiden dan beratnya oliguria umumnya terjadi bersamaan dengan hipotensi dan sebagian kasus respon terhadap penggantian cairan. Pada jaman analgesia multimodal ini, pasien-pasien menerima baik anestesi lokal epidural dan tambahan analgetika lainnya terutama NSAID. Bagaimana obat-obat ini dapat berinteraksi belum dipelajari, tetapi dalam pengamatan penulis pada periode setelah operasi, pemberian epidural thorak; meperidin 0,1% dan bupivakain 0,1% dalam kombinasi ditambah dengan indomethasin perectal , beberapa pasien mengalami oliguria yang tidak berespon terhadap penggantian cairan intravena. Dalam kasus ini produksi urine akan kembali normal dengan cepat ketika bupivakain dan indomethasin dihentikan.
  • Sensoris
    • Jika seseorang memberikan anestesi lokal secara epidural dalam dosis yang cukup untuk memberikan analgetik yang efektif, diharapkan pasien menunjukkan defisit sensoris pada dermatom yang berdekatan dengan tingkat penempatan kateter epidural. Pada umumnya, daerah penurunan sensasi atau mati rasa ini dibatasi dan gejala klinis yang minimal, meskipun pada pasien yang menerima anestesi lokal epidural lumbal, defisit sensoris dapat memanjang sampai ke kaki atau daerah sakral dengan konsekuensi terjadinya kelumpuhan saraf perifer, sindroma kompartemen, luka tekan pada daerah kaki atau sakrum.
    • Horlocker dkk mencatat kejadian kelumpuhan sarah peroneal setelah total knee arthroplasty dan melaporkan kejadian diatas 2,2% (delapan dari 361 operasi).Kelumpuhan saraf peroneal terjadi pada empat dari 108 (3,7%) pasien yang menerima analgesia epidural setelah operasi (bupivakain, 0,1% - 0,25% dengan atau tanpafentanyl) dibandingkan dengan empat dari 253 (1,6%) pasien yang menerima analgesia parenteral (secara statistik tidak signifikan). Dan yang lebih penting, kelumpuhan saraf peroneal ini diketahui terlambat dan lebih berat diantara pasien-pasien yang menerima analgesia epidural setelah operasi.. Pasien-pasien yang tidak menerima analgesia epidural dilaporkan hanya defisit sensoris dan keempatnya pulih dengan sempurna. Sebaliknya pada pasien yang menerima analgesia epidural menunjukkan defisit sensoris maupun motoris dan tak satupun dari keempatnya pulih secara sempurna. Beberapa faktor yang berperan terjadinya kelumpuhan saraf peroneal ini diantaranya tekanan oleh pembalut pada saraf seperti saat menyilangkan kepala dari fibula dan tarikan dari saraf peroneal dari posisinya. Jika komplikasi ini diketahui lebih awal, pengendoran pembalut atau mengatur posisi dari kaki tidak akan mengembalikan injuri saraf yang telah terjadi tetapi akan mencegah menjadi progresif. Adanya blokade sensoris yang berlebihan, tanda-tanda dari injuri saraf akan ditutupi. Penulis menganjurkan penggunaan konsentrasi minimal dari anestesi lokal epidural dan pengawasan yang ketat. Dapat ditambahkan kasus dari injuri saraf peroneal dihubungkan dengan analgesia epidural yang menyertai tekanan yang lama dari fibula pada tempat tidur. Hal ini menarik bahwa pasien ini menerima bupivakain epidural lumbal dalam konsentrasi yang lemah 0,05%.
    • Blokade sensoris yang berlebihan saat pemberian bupivakain epidural setelah operasi juga telah disebut sebagai penyebab tingginya tekanan nyeri dan sindroma kompartemen kaki dari tekanan yang terus menerus terhadap tempat tidur. Walaupun tidak semua kasus dilaporkan pengenalan terhadap tingkat (level) epidural, hal itu menggambarkan bahwa pasien pasien itu menerima bupivakain epidural lumbal 0,1% - 0,25% melalui infus. Seperti mekanisme dari injuri pada semua kasus bahwa iskemi jaringan selama periode imobilisasi dengan analgesia yang hebat. Komplikasi yang serius ini lebih baik dihindari dengan menggunakan dosis total yang rendah dari anestesi lokal dan secara hati-hati mengawasi periode setalah operasi. Dosis anestesi lokal dapat dikurangi dengan; penggunaan anestesi lokal dalam kombinasi dengan opioid, penempatan epidural thorak daripada lumbal, dan penggunaan tambahan analgetika. Yang jelas, setelah blokade sensoris dan motoris tercapai, pemberian analgesia epidural harus dirubah untuk mengatasi masalah ini.
    • Yang terakhir, defisit sensoris dari anggota badan bagian bawah akan tampak sebagai gangguan propioseptif, jarang dibanding dengan mati rasa. Penulis menyadari ada beberapa studi yang ditujukan terhadap masalah ini, tetapi adanya pusing dan vertigo yang umumnya terjadi saat pasien pertama kali duduk atau berdiri setelah operasi, hilangnya propioseptif merupakan resiko gagalnya saat mereka mulai ambulasi.
  • Motorik
    • Salah satu harapan bahwa dengan anestesi epidural ,pasien-pasien yang mengalami pembedahan akan merasa lebih menyenangkan ; bebas dari efek-efek yang merugikan, dan keluar dari tempat tidur pada hari pertama setelah operasi, Opioid epidural tunggal akan memberiakan analgesia yang baik tetapi hal ini dihubungkan dengan kejadian efek samping yang tidak diinginkan. Dengan penambahan anestesi lokal epidural , pemberian opioid akan berkurang banyak dan efek samping dari opioid dapat dikurangi, meskipun larutan anestesi lokal epidural akan menghasilkan blokade motoris yang cukup untuk mencegah ambulasi yang lebih awal. Bagaimana selanjutnya kita mengurangi efek samping yang tidak kita inginkan ?
    • Blokade motoris secara nyata lebih sering terjadi jika menggunakan analgesia epidural lumbal atau thorakal rendah (di bawah T10). Pada dua studi yang terpisah, Badner dkk membandingkan fentanyl epidural lumbal 10 ug/mL dengan bupivakain 0,1%, 0,125%, atau 0,25% diberikan 6-9mL/jam setelah pembedahan mayor abdomen atau bedah thorak. Peneliti menemukan perbedaan yang sedikit pada pemberian fentanyl atau skor nyeri dibanding dengan fentanyl tunggal tetapi menemukan blokade motoris anggota badan bawah pada dua dari 15 pasien yang menerima bupivakain 0,1% dan empat dari 13 atau 12 pasien yang menerima bupivakain 0,125% atau 0,25%.
    • Lee dkk, melaporkan blokade motoris anggota badan bawah pada sembilan dari 28 pasien yang menerima bupivakain 0,125% dengan kecepatan 15 mL/jam dengan atau tanpa diamorphine melalui kateter T 10-11 atau T 11-12. Cooper dkk, melaporkan bahwa setelah sectio caesaria, epidural lumbal bupivakain 0,1% sekitar 9 mL/jam menghasilkan blokade motoris yang nyata pada 13 dari 18 pasien 24 jam setelah operasi. Pada studi yang sama, bupivakain 0,05% dengan fentanyl menghasilkan blokade motoris pada tiga dari 19 pasien , hal ini menggambarkan bahwa pada konsentrasi yang sangat rendah bupivakain epidural lumbal menghasilkan blokade motoris yang nyata.
    • Kejadian blokade motoris akan berkurang secara cepat sesuai dengan bergesernya kateter epidural dari lumbal ke midthorakal. Breivik dkk, menggunakan bupivakain 0,1% dengan fentanyl 2 ug/mL dan epinefrin 2 ug/mL melaporkan blokade motoris yang nyata sekitar 30% dari pasien dengan kateter lumbal menurun sekitar 5% atau kurang dari pasien dengan kateter dibawah T11. Data ini sama dengan Scott dkk yang melaporkan blokade motoris pada 30% pasien yang menerima bupivakain 0,1% dengan fentanyl melalui kateter epidural thorak. Untuk ropivakain data juga serupa bahwa blokade motoris berkurang dengan pemberian melalui thorakal.
    • Tingkat blokade motoris anggota gerak bawah berhubungan dengan banyaknya pemberian anestesi lokal dan penempatan dari kateter epidural. Tidak ada studi yang membandingkan antara efek blokade motoris dari jumlah pemberian bupivakain pada konsentrasi yang berbeda. Meskipun pada salah satu studi diantara beberapa studi yang melaporkan bahwa epidural lumbal ropivakain , tingkat blokade motoris lebih tergantung dari jumlahnya dibanding dengan konsentrasinya.Studi ini menampilkan bahwa tingkat blokade motoris meningkat cepat dengan ropivakain 0,1%, 0,2%, 0,3% pada kecepatan 10 mL/jam seperti meningkatkan volume ropivakain 0,2%. 
    • Pada kenyataannya, blokade tampak dengan 0,1% atau 0,3% pada kecepatan 10mL/jam dibanding apa yang terlihat dengan ropivakain 0,2% pada kecepatan 6 atau 14 mL/jam, berturut-turut, hal itu menunjukkan dengan jumlah obat yang serupa, konsentrasi yang tetap tetapi kecepatan berbeda. Hal ini penting untuk dicatat bahwa rata-rata dosis yang diperlukan dari ropivakain untuk menghasilkan blokade motoris dan sensoris sesuai dengan dermatompembedahan, banyak pasien masih mebutuhkan tambahan analgesia opioid, anestesi lokal saja tidak cukup. Studi-studi mengenai bupivakain tunggal juga menunjukkan hasil yang serupa.
    • Kesimpulan, kejadian dan beratnya blokade motoris anggota gerak bawah adalah lebih besar sesuai dengan peningkatan dosis anestesi lokal dan dengan kateter epidural lumbal deibanding dengan thorakal. Anestesi lokal saja ( bupivakain atau ropivakain ) tidak akan memberikan analgesia yang adekuat, hanya cukup menghasilkan blokade motoris dari anggota gerak bawah. Untuk mengurangi kejadian dan beratnya masalah ini, kombinasi anestesi lokal dengan opioid diperlukan pada sebagian besar pasien.
  • Saluran pencernaan
    • Komplikasi saluran pencernaan yang umum terjadi setelah operasi diantaranya; mual, muntah, ileus, dan konstipasi. Konstipasi paling banyak terjadi ketika pasien mulai pertama kali minum dan makan, terutama pada pasien yang menerima analgetika peroral. Konstipasi biasanya tidak akan berlangsung lebih lanjut.
    • Mual dan muntah setelah operasi berhubungan dengan faktor-faktor; umur, jenis kelamin, obesitas, riwayat muntah, tipe pembedahan, dan pilihan obat anestesi dan faktor-faktor setelah operasi termasuk di dalamnya ; nyeri, pergerakan, pusing, dan terutama opioid. Terdapat perbedaan yang kecil tentang kejadian dan beratnya mual dan muntah dengan analgesia epidural dibanding dengan pemberian opioid parenteral. Beberapa yang beranggapan bahwa morphine epidural lebih bersifat emetogenik dibanding dengan agen yang lebih lipofilik seperti fentanyl sebab jumlah obat yang dipancarkan ke rostral pada kelompok yang terakhir lebih sedikit.
    • De Leon Cassanola dkk, melaporkan suatu kejadian dari tiga atau lebih episode mual dan muntah pada 139 dari 4227 (3,3%) pada pasien-pasien bedah mayor yang menerima morphine dengan bupivakain. Scott dkk, melaporkan mual dan muntah yang berat dan menetap pada 48 dari 1014 (4,7%) dari pasien yang menerima fenytanyl dan bupivakain. Ditambahkan bahwa mual dan muntah timbul dari hipotensi orthostatik yang umumnya tampak dengan pemberian anestesi lokal secara epidural thorak.
    • Ketika mual dan muntah menetap, pertama yang harus dipertimbangkan adalah penyebab dari pembedahannya seperti lambung penuh, seperti yang terjadi pada ileus, kemudian nyeri dan hipotensi. Jika mual dan muntah diperkirakan dari pemberian opioid, langkah awal adalah diberikan terapi anti emetik. Jika mual menetap walaupun sudah diberikan salah satu obat anti emetik, cara yang tepat adalah mengurangi dosisnya.
    • Walaupun mual dan muntah setelah operasi merupakan hal yang tidak nyaman, mereka pada umumnya tidak menyebabkan morbiditas yang serius dan waktu perawatan yang memanjang. Hal ini tidak dapat disamakan dengan ileus. Ileus setelah operasi berhubungan dengan pembedahan mayor, trauma dan kondisi stress yang lain seperti sepsis, nutrisi enteral yang terlambat, berkurangnya mobilitas, dan memanjangnya waktu perawatan. Banyaak studi beranggapan bahwa lamanya ileus lebih kecil dengan anestesi lokal epidural atau opioid dibanding dengan pemberian opioid parenteral. Bagaimanapun juga pilihan dari opioid epidural atau anestesi lokal akan mempengaruhi pemulihan. Opioid akan mengganggu fungsi usus dengan aksi spinal dan supraspinal, tidak hanya aksi langsung mereka pada usus, dan blokade simpatis yang berhubungan dengan anestesi lokal epidural.
    • Terdapat substansi yang nyata bahwa opioid enteral dan parenteral menghambat motilitas usus dan menyebabkan konstipasi, terutama pengaruhnya langsung pada usus. Secara klinis dosis yang menyebabkan konstipasi dari opioid lebih kecil dibanding dengan dosis analgesia, dan hal ini didukung dengan penelitian pada binatang. Pada tikus, sebagai contoh, dosis yang melambatkan motilitas atau menyebakan konstipasi sekitar ¼ kali dosis analgesia. Penggunaan analog kuartener dari antagonis narkotik yang mana tidak dengan mudah menembus sawar darah otak, salah satunya secara luas dapat melawan penghambatan tansport saluran cerna tanpa melawan efek analgesia. Selanjutnya efek gastroinhitory dari loperamide atau diphenoxylate -anti diare meperideneyang mempunyai sedikit efek opioid sentral dapat dilawan dengan antagonis opioid.
    • Opiois epidural (dan intrathecal) menghambat motilitas saluran cerna dalam beberapa cara. Pertama, pemberian opioid epidural dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi dan pada tingkat yang sama diantar ke dalam otot. Pada keadaan ini kecuali morphine, secara epidural akan efektif pada dosis sekitar 20% yang diberikan secara parenteral, dosis dari opioid epidural yang biasanya diberikan secara tunggal yang diharapkan untuk menghasilkan pada kadar serum yang cukup untuk menghambat fungsi usus secara langsung. Hal ini terutama dengan fentanyl epidural, yang ketika digunakan dosis tunggal umumnya pemberian pada dosis seimbang antara 50%-100% dari pemberian melalui intravena. Kedua, morphine epidural atau agonist opioid lainnya, menghambat motilitas usus melalui pengaruh langsung spinal. Pada studi orang yang sehat Thorn dkk, memberikan morphine 4 mg melalui kateter epidural T6 dan mempelajari pengaruh pengaruh pada motilitas usus. Penulis memperlihatkan bahwa pengosongan lambung yang lambat dan transport orocoecal yang memanjang sebanding dengan bupivakain epidural. Motilitas duodenum meningkat menyertai pemberian morphine epidural. Sebaliknya, pemberian morphine 4 mg intramuskuler, tidak merubah pengosongan lambung, walaupun kadar dalam serum sama tanpa memperhatikan rute pemberiannya. Pada binatang tikus, reseksi nervus vagus akan menghilangkan aktifitas antidiare dari morphine intracerebroventrikuler. Mekanisme supraspinal ini terutama bermakna dengan opioid hidrofilik, khususnya morphine sejak obat ini bergerak ke sefalad dalam konsentrasi yang cukup nyata. Yang terpenting dari mekanisme supraspinal dengan opioid lipofilik seperti meperidine ( lipofilik sedang ) dan fentanyl atau sufentanyl ( lipofilik tinggi ) belum jelas. Beberapa alasan bahwa pancaran ke sefalad dari obat-obat ini dalam cairan serebrospinal adalah minimal.
    • Jika opioid epidural dapat menghambat fungsi saluran cerna, anestesi lokal epidural dapat membantu pemulihannya. Mekanisme putative dari ileus setelah operasi merupakan suatu reflek inhibisi dengan serabut aferent nosisptif abdominal dan serabut inhibisi eferent ke saluran cerna. Sebagai tambahan nyeri setelah operasi dan respon stress pembedahan ditingkatkan dengan aktifitas simpatis. Tingkatan untuk mengetahui dua mekanisme yang tumpang tindih ini belum diketahui. Sebalinya, aktifitas parasimpatis melalui aktifitas parasimpatis nervus vagus dan sakralis dapat meningkatkan motilitas saluran cerna. Dengan demikian analgesia epidural rendah atau midthorakal dengan anestesi lokal memberikan blok dan dermatom midthorak sampai midlumbal, tetapi perjalanan di sefmen sakralis, seharusnya memblok serabut aferen nosiseptif dan aferen inhibisi dan inervasi simpatis saluran cerna saat pemeliharaan aliran parasimpatis. Teorinya demikian,tetapi apakah ini bekerja? Beberapa peneliti menduga seperti tersebut di atas.
    • Setelah operasi kolon, Scheinin dkk, mengawasi kembalinya fungsi defekasi pada pasien yang mendapat oxycodone intramuskuler selain, morphine epidural, atau bupivakain epidural. Di kedua kelompok epidural sebagian besar pasien memperoleh oxycodone intramuskuler untuk menghilangkan nyeri. Konsumsi suplemen oxycodone dan analgesis disamakan di kedua kelompok epidural, tetapi fungsi defekasi kembali lebih cepat pada pasien yang mendapat bupivakain epidural. Tak ada perbedaan waktu pulihnya fungsi defekasi antara kelompok oxycodone intramuskuler dan kelompok morphine epidural. Meskipun analgesia lebih baik dan konsumsi opioid lebih sedikit pada kelompok epidural. Thoren dkk, melaporkan penemuan yang sama setelah histerektomi, namun tidak sama dengan penelitian Scheinin dkk, subyek di dua kelompok tidak menerima anestesi yang sama, kemudian membandingkan hasilnya.
    • Penelitian lebih lanjut, Liu dkk membandingkan efek pada PCA intravena fungsi defekasi dengan morphine, bupivakain epidural 0,15%, epidural bupivakain 0,1% dengan morphine 0,03 mg/mL, dan epidural morphine 0,05mg/mL. Semua pasien menerima anestesi umum yang standard dan semua pasien menerima ketorolac 30 mg intramuskuler setiap 6 jam selama 72 jam setelah operasi. Analgesia dititrasi sampai skor nyeri verbal kurang dari 5 keluar dari 10. Pasien yang mendapat bupivakain dengan atau tanpa morphine, memperoleh analgesia lebih baik dan pulihnya fungsi saluran cerna lebih awal daripada pasien yang hanya mendapat morphine, baik epidural maupun intravena. Pasien di kedua kelompok bupivakain epidural juga ditemukan keluar dari rumah sakit 34 jam lebih awal, bagaimanapun, waktu yang sebenarnya untuk keluar dari rumah sakit tidak berbeda antar kelompok. Penelitian ini mendukung argumen bahwa opioid epidural dapat menghambat pemulihan dari ileus setelah operasi dibandingkan dengan anestesi lokal epidural, tetapi keterangan alternatif menganjurkan tetap diberikan . Hal lain, analgesia dilaporkan dengan morphine epidural kurang efektif daripada dengan yang dilaporkan pada kedua kelompok bupivakain epidural. Hal ini tidak menunjukkan juga bahwa pasien yang mendapat kombinasi bupivakain dan morphine hanya membutuhkan hanya sekitar 50% dari dosis yang diberikan sebagai obat tunggal. Lagipula orang dapat berpikiran bahwa analgesia yang lebih baik, lebih jarang daripada anestesi lokal yang spesifik, mungkin merupakan faktor yang penting. Bagaimanapun, dalam penelitian Scheinin dkk, analgesia adalah sama antara kelompok bupivakain epidural masih superior daripada morphine epidural.
    • Secara keseluruhan, kedua bukti laboratorium dan klinis menduga bahwa fungsi defekasi kembali lebih awal setelah operasi dengan analgesia epidural daripada dengan analgesia parenteral, dan dengan anestesi lokalepidural, dengan atau tanpa opioid. Sebagaimana telah dibandingkan dengan pemberian opioid epidural saja. Pada dasar dari bukti terbatas ini, bahkan dosis kecil anestesi lokal dianjurkan dalam kombinasi denganopioid mungkin memulihkan fungsi saluran cerna seperti yang dibandingkan dengan pemberian opioid saja.
  • Saluran Kencing
    • Retensi urine setelah operasimerupakan masalah yang umumyang dapat menimbulkan konsekuensi yang serius. Distensi kandung kemih yang berat mungkin mengarah ke masalah yang menetap dengan kencing dan kateterisasi kandung kemih memiliki resiko infeksi saluran kencing dan kadangkala penyebaran infeksi secara hematogen ke tempat operasi.
    • Fisiologi pengaturan kencing adalah komplek. Inervasi otot-otot detrusor datang dari pleksus parasimpatis dan sakral (S2-4) dan sebagian besar dari pleksus simpatis hipogastrikus (T10-12) seperti beta - 2. Otot lurik pelvis menerima inervasi dari saraf pudendus, tetapi spincter urethra eksterna baik komponen polos maupun luriknya menerima saraf parasimpatis dan simpatis sebagian besar alfa 1, suatu persarafan efferent. 
    • Pengaturan kencing terdiri dari relaksasi dari otot dasar pelvis dan spincter urethra eksterna, mengikuti peningkatan tonus dan kontraksi dari otot detrusor. Pendekatan farmakologi untuk retensi urine setelah operasi termasuk pemberian obat-obat kolinergik seperti bethanecol untuk meningkatkan tonus kandung kencing dan antagonis alfa seperti phenoxybenzamine dan prazosin. Phenoxybenzamine tampak efektif pada pencegahan retensi setelah sectio caesaria dengan morphine epidural, tetapi berhubungan dengan hipotensi dan takikardi.
    • Morphine epidural atau intratechal secara cepat menhasilkan relaksasi otot detrusor dan meningkatkan tonus spincter urethra eksterna, efeknya dapat dilawan dengan nalokson. Pada keadaan sehat morphine 10 mg intravena mempunyai pengaruh yang kecil pada pengaturan kencing. Meskipun pada pasien-pasien pembedahan yang menerima opioid parenteral setalah operasi, insiden retensi urine meningkat 40%. Jelasnya faktor-faktor lain termasuk nyeri, sedasi, posisi supine dan termasuk obat antikolinergik. Kejadian retensi urine meningkat lebih lanjut setelah pemberian opioid epidural. Sebalinya, morphine parenteral , Bromage menemukan bahwa 6 dari 10 wanita sehat yang menerima morphine epidural 10 mg yang kemudian membutuhkan nalokson untuk mengatasi retensi. Walts dkk, melaporkan suatu kejadian dari retensi urine setelah total hip arthroplasty pada 24% dari pasien-pasien yang menerima analgesia opioid parenteral dan 62% dari pasien yang menerimamorphine epidural. Faktor lain termasuk usia, jenis kelamin dan tehnik anestesi( anestesi umum saja atau dengan blok epidural) tidaklah penting.Tidak diketahui apakah fentanyl epidural menghasilkan hal yang sama. Suatu studi menunjukkan kejadian retensi urine serupa (30%-40%) ketika fentanyl diberikan melalui intravena atau epidural lumbal. 
    • Kita harus mengerti bahwa penggunaan opioid epidural tunggal atau dengan anestesi lokal akan menyebabkan retensi urine. Setelah pembedahan mayor abdomen, ginekologi, atau daerah pelvis hal ini bermakna kecil, sementara pada pasien-pasien ini kateter perioperativ merupakan bagian yang rutin dari prosedur pembedahan.
  • Gatal
    • Gatal sering ditemukan sebagai efek samping dari pemberian opioid baik spinal maupun parenteral, tetapi lebih umum dan lebih berat setelah pemberian secara parenteral. Penyebab gatal tidak pasti, tetapi tidak berhubungan dengan histamin release atau penggunaan bahan pengawet. Onset gejala ini lambat beberapa jam setelah pemberian opioid epidural atau intrathecal dan lebih berat terjadi pada daerah muka dan dada. Kenyataan ini memberikan anggapan bahwa gatal terutama dipengaruhi oleh kadar obat di dalam otak.
    • Kejadian dan beratnya gatal tampaknya berhubungan dengan dosis dan mungkin berkurang dengan opioid yang bersifat lipofilik seperti fentanyl. Gatal merupakan masalah yang besar dalam bidang obstetri, dilaporkan kejadian 40%-100% dibandingkan dengan jenis pembedahan lainnya.Kejadian dan beratnya gatal akan berkurang ketika pemberian opioid epidural dalam kombinasi dengan anestesi lokal. Pada analisis prospektif dari 1014 pasien setelah operasi yang menerima bupivakain dan fentanyl dalam kombinasi , Scott dkk, melaporkan kejadian gatal yang mebutuhkan pengobatan hanya 10% dan hanya 1% pasien yang mengharuskan menghentikan terapi. 
    • Pada pengamatan prospektif dari 4227 pasien kanker yang menerima bupivakain dan morphine setelah operasi, De Leon Cassasola dkk, melaporkan insiden gatal 22%, tetapi gatal yang membutuhkan pengobatan hanya 4,3%. Penilaian ini lebih kecil dibanding apa yang dilaporkan pada morphine epidural digunakan sebagai obat tunggal.Beberapa pasien melaporkan gatal pada pertanyaan langsung tetapi tidak membutuhkan berbagai pengobatan atau mengganti obat epidural. Jika pengobatan diperlukan, sebagian besar pasien respon terhadap anti histamin termasuk didalamnya difenhidramin, hydroxyzine dan promethazine. Campuran obat agonis-antagonis opioid, nalbuphine 5-10 mg intravena, sering kali efektif, tetapi menghasilkan sedasi yang berlebihan. Gatal yang berat mungkin berhasil dengan pengobatan dosis kecil nalokson, awalnya bolus dan seterusnya infus intravena . Hal ini akan mengurangi gatal tetapi analgesia yang lengkap ditinggalkan. Propofol intravena 10 mg juga dilaporkan efektif untuk pengobatan gatal setelah operasi oleh morphine intrathecal. Penulis melaporkan bahwa bolus tunggal 10 mg efektif untuk 3-6jam pada 85% pasien yang diobati dan sedasi minimal. Yang terakhir, hal itu memberikan pengertian bahwa pemberian prednison epidural mungkin mengurangi kejadian gatal, jika hal itu benar, itu sulit untuk dibenarkan pemberian rutin steroid epidural.Untuk pasien-pasien yang menerima analgesia epidural dalam jangka waktu yang lama, beratnya gatal mungkin berkurang secara efektif dengan pengurangan dosis opioid epidural atau mengganti jenis opioid yang lain.
Pencegahan komplikasi
  • Sebagian besar masalah yang berhubungan dengan analgesia epidural setelah operasi berkaitan dengan dosis yang mengakibatkan efek samping dari opioid atau anestesi lokal. Oleh karena itu secara logika untuk mengembangkan strategi dengan menurunkan dosis baik obat maupun waktu yang sama untuk memelihara analgesia yang baik. Kita harus menempatkan kateter epidural dari pasien pada tingkat dermatom yang tepat. Untuk incisi pembedahan dan kemudian penggunaan opioid epidural dan anestesi lokal pada kombinasi untuk mengurangi kebutuhan dosis maupun obat.Akhirnya, penambahan analgetik termasuk NSAID dan asetaminofen yang selanjutnya akan menurunkan dosis kebutuhan dari obat-obat epidural.
  • Starndarisasi obat, bentuk sediaan dan komponen-komponen yang menurunkan resiko dari kesalahan obat. Idealnya semua obat harus di sediakan dan diolah oleh bagian farmasi pada konsentrasi dan volume yang diperlukan. Jika beberapa obat yang berbeda diperlukan dalam hal ini mungkin akan mahal dan untuk itu farmasi akan lebih praktis menyediakan sediaan obat , lebih sering berupa cairan . Pada beberapa keadaan, resiko kesalahan sediaan obat lebih berkurang ketika obat-obat disediakan oleh farmasi sentral dan seorang anestesiolog harus mendorong untuk menggunakan sediaan standard. Standard sediaan epidural (analgetika lain) harus jernih, terang dan cukup fleksibel.
  • Untuk penggunaan infus epidural, hal itu bermanfaat untuk menentukan kecepatan infus dan dosis bolus yang dianjurkan untuk analgesia. Ketika permasalahan muncul, staff keperawatan membutuhkan buku petunjuk yang secepatnya berada disampingnya. Untuk yang terakhir, di institusi penulis dikembangkan formulir analgesia epidural yang memuat instruksi dan pengelolaan komplikasi yang serius.
  • Beberapa rumah sakit merasa terganggu dengan hal-hal yang membingungkan tentang perlengkapan infus dan hal ini akan meningkatkan resiko kesalahan tehnis seperti kesalahan pemberian obat, terutama saat seorang pasien dihubungkan dengan lebih dari satu pump. Di praktek , kami menggunakan satu pump, tidak untuk digunakan keperluan lain, pada semua infus acute pain service (APS) dan PCA, dengan pipa kuning untuk epidural dan blok regional lainnya dan pipa yang bening untuk infus intravena dan PCA. Untuk mengurangi kesalahan pemberian obat, tidak ada alat yang dipakai untuk injeksi ulang.
  • Pengawasan pasien yang efektif diperlukan untuk mengetahui efek samping lebih awal. Hal ini hanya mungkin jika pasien, dokter dan terutama perawat memiliki pengetahuan didalam perawatan pasien yang menerima analgesia epidural. Secara menyeluruh, program pendidikan keperawatan disertai dengan prosedur perawatan yang jelas , dipastikan bahwa perawat-perawat akan mengetahui sesuatu yang salah dan tahu apa yang harus mereka perbuat.
Kesimpulan
  • Kurang dari dekade yang telah berlalu sejak Ready dan koleganya mengembangkan sebuah APS dasar dalam bidang anestesiologi. Dalam waktu yang pendek konsep acute pain service (APS) berkembang dari sesuatu yang aneh menjadi standard perawatan. Dengan munculnya APS, pengertian yang lebih besar tentang farmakologi opioid , analgesia epidural setelah operasi menjadi lebih populer. 
  • Untuk beberapa prosedur pembedahan mayor, epidural analgesia dan terutama analgesis epidural thorak dengan anestesi lokal dan opioid dalam kombinasi , menjadi standard emas, meskipun beberapa masalah masih ada, dari iritasi minimal seperti mual atau gatal dan potensial terjadinya depresi pernafasan. Untuk mengurangi kejadian dan beratnya masalah ini, diperlukan pengetahuan, ketrampilan, keputusan dan standard yang tinggi dari tenaga medis dan perawat.

PERBANDINGAN ANTARA RESIKO DENGAN KEUNTUNGAN ANESTESI REGIONAL DAN ANESTESI UMUM

ANESTESI REGIONAL ATAU LOKAL DAN ANESTESI UMUM
  • Tidak ada teksbook anestesi regional menjadi komplit tanpa membicarakan keuntungan keuntungannya dibanding dengan anestesi umum seperti hasilnya, keuntungan fisiologi, harganya, kepuasan pasien dan kesukaan dokternya. Beberapa percobaan telah membandingkan antara anestesi epidural atau anestesi spinal dengan anestesi umum pada beberapa keadaan. Agaknya informasi ini lebih banyak mengulang, Saya seharusnya mencoba untuk menampilkan pada pendekatan dasar dari persoalan ini dan memfokuskan pada keahlian tehnik dan manajemen fisiologi yang memainkan peranan penting pada hasilnya.
PROSEDUR PEMBEDAHAN PADA ANESTESI REGIONAL YANG LEBIH MENGUNTUNGKAN
  • Anestesi regional memperlihatkan hasil yang lebih baik pada beberapa prosedur pembedahan melalui berbagai cara yang berbeda. Termasuk didalamnya menurunnya angka kejadian DVT (Deep Vein Thrombosis), emboli paru, perdarahan intraoperasi, pemberian transfusi. Anestesi regional pada kombinasi dengan analgesia post-operasi akan mengurangi bergesernya arteri pada pembedahan vaskuler perifer mayor, fungsi gastrointestinal setelah reseksi kolon dan rehabilitasi setelah TKA (total knee arthroplasty). Pengamatan – pengamatan ini akan dibicarakan lebih lanjut.
PEMBEDAHAN TULANG PINGGUL
  • Angka kejadian DVT menurun pada pembedahan fraktur tulang pinggul, THA (Total Hip Arthroplasty), dan prostatectomi bila dilakukan dengan anestesi regional. Mekanismenya tidak diketahui dengan pasti tetapi mungkin karena sedikitnya perdarahan atau tetap terpeliharanya aliran darah pada ekstremitas bawah selama atau secepatnya setelah pembedahan. 
  • DVT merupakan proses dinamis dari pembentukan bekuan fibrin dan fibrinolisis. Pada hakekatnya tidak pernah ada proses yang dipengaruhi oleh jenis anestesi, sehingga pengaruh dari jenis anestesi pada proses koagulasi tidak mungkin menjadi penting. Selanjutnya, keuntungan yang terjadi baik dengan anestesi spinal dan anestesi epidural, sehingga hal itu rasanya bukan pengaruh dari anestesi lokal terhadap koagulasi.
  • Emboli paru setelah THA pada umumnya lebih kecil kejadiannya pada anestesi epidural . Modig dkk mencatat penurunan yang berarti kejadian emboli paru pada keterangan scan paru dengan anestesi epidural. Pada pengamatan retrospektif dari kematian setelah THA , kami mencatat penurunan enam kali dengan emboli paru ( p lebih kecil 0,05 ) sebagai penyebab kematian dengan anestesi epidural dibanding dengan anestesi umum. Akhirnya pada tahun 1970 dan awal 1980, sekitar 5 % sampai 10 % pasien yang menerima anestesi umum, emboli paru menyertai setelah THA dan 1 % nya meninggal karena emboli paru. Pada Rumah Sakit Khusus Bedah , penggunaan anestesi epidural angka kejadian emboli paru di rumah sakit sekitar 0,5 % dan angka kematian oleh karena emboli paru 0,02 %. Penurunan yang nyata angka kejadian emboli paru ini menjadi dasar dari penggunaan yang optimal dari anestesi epidural.
  • Perdarahan berkurang dengan epidural anestesi selama THA, prostatectomy, dan histerectomy, tetapi tidak ada perbedaan dicatat selama TKA dengan torniquet. Mekanismenya mungkin oleh karena penurunan dari MAP pada penggunaan anestesi regional. Berbagai studi telah mencatat penurunan yang bersamaan pada jumlah unit dari transfusi darah dengan anestesi regional.
  • Jika MAP tidak menurun dengan anestesi regional , perdarahan tidak berkurang dan hal ini sama dengan perdarahan pada penggunaan anestesi umum. Jika MAP selanjutnya menurun selama anestesi epidural, perdarahan juga akan menurun. Pada pasien yang sadar, kehilangan darah tidak tergantung pada tekanan vena sentral atau curah jantung tetapi sebagian besar dari MAP. Dengan anestesi hipotensi , kehilangan darah saat operasi menurun sama dengan anestesi epidural hipotensi. Selanjutnya, keuntungan dari anestesi epidural dalam penurunan kehilangan darah utamanya tergantung pada penurunan MAP selama pembedahan. Lebih mudahnya, MAP yang rendah dan terpeliharanya keadaan hipotensi yang stabil lebih mudah dengan anestesi regional dibanding dengan anestesi umum.
PEMBEDAHAN VASKULER PERIFER
  • Anestesi epidural dan analgesia epidural post-operasi memperlihatkan hasil yang lebih baik pada pembedahan graft arteri perifer pada 2 dari 3 studi yang dipublikasikan, tetapi anestesi regional tidak mempengaruhi pada pembedahan vaskuler intra-abdominal. Mekanisme yang berkaitan dengan hal itu belum diketahui tetapi teori termasuk terjadinya vasodilatasi atau tetap terpeliharanya koagulasi yang normal pada anestesi epidural. Koagulasi pada arteri biasanya dimulai oleh perlekatan platelet untuk merubah permukaan dari vaskuler tersebut. Perubahan– perubahan pada fungsi platelet selama anestesi umum menjadi penting pada proses ini.
PEMBEDAHAN KOLON
  • Pada pemberian analgesi epidural post-operasi dengan anestesi lokal ( bupivakaine ) melalui kateter epidural thorax akan menghasilkan analgesi yang nyaman dan pemulihan aktivitas yang singkat setelah reseksi kolon. Pada keadaaan yang berbeda, penggunaan analgesi epidural dengan campuran antara narkotik – anestesi lokal tidak memperlihatkan penurunan kejadian ileus setelah pembedahan orthopedi. Kami menemukan angka kejadian ileus yang serupa ( lebih dari 5% ) setelah TKA dengan menggunakan narkotik sistemik dan epidural anestesi. Diharapkan dengan jumlah yang kecil dari narkotik sudah mampu untuk menekan fungsi kolon. Kemungkinan lain , bahwa dengan infus epidural thorak memberikan perbaikan pada fungsi kolon sementara infus epidural lumbal yang terlalu ke kaudal menekan outflow simpatis thorak.
PEMULIHAN SETELAH TOTAL KNEE REPLACEMENT
  • Sejak diketahui bahwa analgetika epidural mengurangi stress pembedahan dan dapat membatasi respon katabolik untuk trauma pembedahan, dan dari penelitian klinis telah dipercaya bahwa anestesi epidural dan analgetik epidural membuat pemulihan pembedahan yang baik. Epidural anestesi ditambah dengan analgetika post-operasi menunjukkan pemulihan yang lebih baik. Pertama, pasien yang menerima anestesi epidural mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih luas dibanding dengan anestesi umum. Kedua, pasien-pasien yang menerima anestesi epidural mampu berjalan di tangga dengan bantuan sebelum meninggalkan rumah sakit 1 1/2 hari lebih awal dibandingkan dengan anestesi umum. Pada studi awal , tidak dapat menjelaskan keuntungan dari analgesia epidural dengan bupivakain dan fentanyl dibanding dengan fentanyl intravena pada pemulihan setelah “one stage bilateral TKA” . Tidak jelas apakah keuntungan ini didapat dari anestesinya sendiri atau kombinasi anestesi dengan analgesia post-operasi yang optimal.
PROSEDUR PEMBEDAHAN YANG LAIN
  • Bedah Thorax atau Abdomen Atas
    • Walaupun anestesi regional akan menurunkan morbiditas dan mortalitas setelah berbagai macam tipe pembedahan, hal itu tidak ditunjukkan pengaruhnya pada situasi yang lain. Hal yang merugikan pada pembedahan thorax dan abdomen bagian atas tidak tampak berubah dengan analgesia epidural, walaupun skor nyeri dan waktu ekstubasi akan meningkat. Angka mortalitas pada penggunaan anestesia epidural tidak terlalu rendah.
BEDAH MINOR
  • Pasien-pasien yang menjalani prosedur bedah minor ( arthroscopy atau pembedahan pada tangan ) dengan anestesi umum tidak menunjukkan hasil yang baik pada kasus kasus emergensi. Mereka biasanya mengantuk dan memperlihatkan respirasi yang dangkal dan beberapa keluhan nyeri, mual dan muntah. Sebaliknya, pemulihan pasien dari anestesi epidural menunjukkan beberapa dari gangguan ini dan tampak seperti tidak mengalami prosedur pembedahan. Perbedaan–perbedaan ini sangat menyolok , meskipun 2 jam berikutnya ketika blok sudah hilang , hal itu tidak tampak lagi. Beberapa studi menunjukkan bahwa anestesi regional mempunyai keuntungan yang signifikan pada pembedahan minor.
PENGARUH ANESTESI REGIONAL PADA FUNGSI ORGAN
  • Fungsi Jantung
    • Anestesi regional mengurangi respon untuk nyeri. Sehingga heart rate, tekanan arteri, dan tekanan pengisian jantung menurun. Ditambahkan, blokade sensoris dari thorax bagian atas akan meningkatkan aktifitas simpatis dari jantung dan memperkecil vasospasme koroner. Suatu gambaran bahwa pengaruh fisiologi ini pada sirkulasi akan menurunkan beban jantung dan beresiko terjadinya odema paru atau iskemi aritmia. 
    • Pada studi tentang anestesi epidural dan anestesi umum pada TKA unilateral, 3 % penderita akan terjadi infark miokard atau odema pulmo. Angka kejadiannya serupa antara anestesi umum dan anestesi epidural. 
    • Pengaruh pada jantung yang paling merugikan setelah pembedahan adalah edema paru akut atau gagal jantung kongestif, aritmia yang berat atau AMI. Pengaruh pada jantung yang sangat merugikan kemungkinan dari faktor faktor seperti manejemen cairan, gangguan elektrolit dan respon metabolik dari pembedahan itu sendiri.
  • Fungsi Paru 
    • Anestesi umum menekan setiap aspek dari fungsi respirasi dimana pada umumnya fungsi ini terkait dengan anestesi regional. Pada periode post operasi, pengaruh depresi respirasi dari anestesi umum menghilang dan jika penderita tidak mengalami keadaan kritis fungsi respirasi akan menjadi normal kembali. Fungsi respirasi merupakan pengaruh yang merugikan yang menyertai pembedahan abdomen bagian atas dan thorax sedangkan tingkat gangguan respirasi post operasi tidak mempengaruhi pemilihan tehnik anestesi. Penyakit respirasi yang berat sebelum operasi dan jenis pembedahan merupakan prediksi utama dari pengaruh respirasi yang merugiakan ( misal ; pneumonia ) dan hal ini melatar belakangi beberapa keuntungan dari anestesi regional. Sehingga walaupun anestesi regional mempunyai beberapa keuntungan fisiologi, pemeriksaan peri operative yang optimal juga sangat diperlukan.
Sumbatan jalan nafas atas
  • Pasien dengan sleep apnea dan mengorok yang berat oleh karena pengaruh dari anestesi umum, narkotik dan sedatif cenderung terjadi sumbatan jalan nafas. Sebaliknya , mereka menerima dengan baik anestesi regional, dengan menghindari sedasi yang berlebihan pada bedah orthopedi dengan nyaman. Penggunaan positive airway pressure secara kontinyu melalui nasal dapat mengurangi efek yang merugikan dari sedatif pada pasien ini.
AIRWAY ISSUES
  • Salah satu keuntungan dari anestesi regional dibanding dengan anestesi umum adalah menghindari masalah masalah yang berkaitan dengan jalan nafas. Ketika intubasi menjadi sulit, anestesi regional dapat digunakan untuk menghindari kesulitan ini. Dan juga pasien yang dengan resiko aspirasi dapat dengan aman dipakai anestesi regional. Hal ini tentunya merupakan alasan yang kuat untuk penggunaan dari anestesi spinal atau epidural pada kasus obstetri.
  • Keuntungan dari anestesi regional dapat hilang jika kita memakai sedasi yang berlebihan. Selanjutnya kita dapat menggunakan sedasi yang ringan apabila mampu memelihara jalan nafas atau resiko aspirasi.
FUNGSI KOGNITIF
  • Anestesi umum, sedatif, dan narkotik menekan fungsi kognisi secara akut. Delirium akut menyertai TKA unilateral sekitar 10 % tanpa memperhatikan metode anestesi yang digunakan, dan kejadian disfungsi kognisi yang lambat sekitar 5 % pada masing-masing kelompok. Tidak ditemukan adanya perbedaan kejadian delirium antara analgesia epidural dengan bupivakain dan fentanyl dibanding dengan fentanyl intravena untuk analgesia post-operasi setelah “single stage bilateral TKA”. Angka kejadian delirium setelah TKA bilateral 22 % dua kali lebih besar daripada TKA unilateral. Hal ini mungkin berkaitan dengan respon metabolisme dari pembedahan itu sendiri. Usia dan riwayat gangguan kognisi merupakan faktor utama terjadinya delirium.
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL STUDI
  • Jika kita akan melihat pengaruh dari anestesi epidural pada hasil dari suatu pembedahan, kita harus memperhatikan beberapa hal / prosedur. Pertama, hasil harus dapat diperkirakan semestinya ( misal angka kejadian DVT 50 % setelah TKA ) sehingga ukuran sample dapat dikendalikan. Kedua, variabel yang mempengaruhi hasil harus sensitif terhadap pengaruh dari anestesi epidural. Ketiga, pengukuran hasil harus mempunyai beberapa pengertian yang pengaruhnya kuat pada hasil studi. Perubahan pengukuran fisiologi seperti PaO2, PaCO2, volume tidal, sodium serum, heart rate, dan volume urine bukan merupakan sebuah pengaruh yang merugikan.
PERBEDAAN-PERBEDAAN ANTARA TEHNIK-TEHNIK ANESTESI REGIONAL
  • Pengaruh fisiologi dari anestesi regional bervariasi secara luas, tergantung dari metode yang digunakan. Sebagai contoh, blok pleksus brakialis , mempunyai pengaruh yang berbeda pada respirasi : pada blok aksiler tidak mempunyai pengaruh , sedangkan pada blok interskalenus akan menurunkan kapasitas vital sekitar 30 % - 40 % dan juga paralisis diafragma ipsilateral.
  • Pada umumnya blok perifer sama sekali tidak ada perubahan atau gangguan fisiologi. Sebaliknya pada blokade saraf pusat akan menyebabkan kelainan-kelainan fisiologi yang cukup bermakna terutama pada sistem sirkulasi. Disini terdapat perbedaan yang luas antara tipe blokade saraf pusat dan efek fisiologinya. Sebagai contoh 15 ml bupivakain 0,5 % yang disuntikkan secara epidural akan menghasilkan perbedaan efek fisiologi jika disuntikkan pada T6 dan L5 , dan suntikan intratechal berbeda sangat luas dengan suntikan epidural. Toksisitas dari larutan intratechal juga mempengaruhi efek fisiologi.
  • Pada spinal rendah tidak memerlukan intervensi, tetapi jika hipotensi terjadi, alfa adrenergik perlu diberikan. Kemungkinan lain, pemberian cairan 2 liter diperlukan untuk mencegah terjadinya perbedaan pada hasil post-operasi. Alpha agonist tidak memperbear stroke volume dan ketika diberikan bersama dengan anestesi konduksi, dihubungkan dengan cardiac output yang rendah dan menurunnya aliran darah pada ekstremitas bawah. Sebaliknya dengan campuran aktifitas alpha dan beta akan meningkatkan stroke volume, cardiac output dan aliran darah pada ekstremitas bawah. Aliran darah yang hiperkinetik pada ekstremitas bawah akan menurunkan kecenderungan untuk terjadinya DVT.
  • Perbedaan fisiologi antara anestesi epidural lumbal dan thorakal mempengaruhi hasil dari suatu pembedahan. Anestesi epidural lumbal terutama berpengaruh pada ekstremitas bagian bawah. Blokade thorakal lebih ekstensif pada blokade simpatis, dimana akan melindungi jantung dengan meminimalisasi vasospasme koroner dan peningkatan heart rate yang akut.Akhirnya, dengan tidak mempengaruhi ekstremitas bawah, penempatan epidural yang lebih tinggi dapat mempercepat ambulasi lebih awal. Sehingga, tipe dan manajemen dari anestesi epidural dan analgesia epidural menjadi hal yang penting sebagaimana perbedaan antara anestesi epidural dan anestesi umum.
  • Baik anestesi epidural dan analgesia epidural mempunyai keuntungan yang dipengaruhi oleh situasi yang berbeda. Sebagai contoh , bahwa lebih banyak keuntungan yang diperoleh dengan anestesi epidural pada pembedahan kolon terjadi pada periode post-operasi. Demikian juga keuntungan dari pengaruh anestesi epidural pada DVT setelah TKA terlepas dari analgesia post-operasi. Selanjutnya peran dari anestesi epidural dibanding dengan anestesi umum ditambah analgesia harus dipertimbangkan tidak hanya oleh tipe dari analgesia epidural post-operasi ( dengan atau tanpa anestesi lokal ) tetapi juga oleh tipe pembedahan yang akan dijalani.
M o r t a l i t a s
  • Hasil dari suatu pembedahan yang merugikan diukur dari angka kematiannya. Beberapa publikasi telah dilakukan untuk menerangkan pengaruh dari anestesi regional dan anestesi umum terhadap kematian. Pada sebuah metaanalisis tentang mortalitas setelah operasi fraktur tulang pinggul, terdapat kecenderungan yang menurun dengan anestesi spinal, tetapi terlalu kecil tingkat kemaknaannya. 
  • Publikasi data kematian dari Rumah Sakit Khusus Bedah, perbandingan dari tahun 1982 – 1985, dimana anestesi umum hampir selalu digunakan dengan tahun 1987 – 1991, dimana anestesi epidural mulai banyak digunakan, angka kematian turun dari 0,39 % menjadi 0,1 % pada operasi THA dan TKA. Pengelolaan anestesi untuk THA mengalami perubahan secara nyata ; hampir semua pasien menerima anestesi epidural dan menyebabkan hipotensi. Hal ini berhubungan dengan penurunan dalam pemberian cairan 50 % dan penurunan perdarahan selama operasi 70 %, meskipun pemberian cairan selama TKA sama. 
  • Di USA, dari tahun 1988 angka kematian dalam 30 hari untuk THA 0,72 % dan TKA 0,44 %. Antara tahun 1983 dan 1985, angka kematian untuk operasi elektif THA 0,95 %. Selanjutnya, dalam periode waktu yang sama, penggunaan anestesi regional menunjukkan angka kematian yang rendah. Hal yang serupa, kejadian DVT 8 % menjadi 15 % menggunakan anestesi epidural hipotensiv, lebih cepat turunnya dibanding dengan anestesi umum.
  • Dari hal ini menunjukkan bahwa anestesi regional yang optimal dapat menurunkan angka kematian dan komplikasi lain setelah bedah orthopedi.
ANESTESI REGIONAL YANG OPTIMAL
  • Anestesi regional yang optimal berhubungan dengan tehnik maupun pengelolaan perioperativ. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, pasien membutuhkan pengelolaan yang tepat.
  • Pada salah satu studi tentang anestesi spinal, nyeri punggung setelah operasi sering terjadi jika penempatan jarum spinal mengalami kesulitan (pkurang dari 0,001). Pada studi yang lain menunjukkan peningkatan tiga kali angka kejadian “dural puncture headache”setelah operasi ketika penusukan spinal yang berulang-ulang. Pada studi yang membandingkan anestesi epidural dan anestesi umum pada bedah vaskuler perifer, terdapat peningkatan yang bermakna dari hasil pembedahan yang merugikan apabila terdapat masalah dalam tehnik anestesi spinal atau epidural.
  • Pengelolaan pasien yang optimal setelah penempatan dari anestesi regional juga penting. Mencegah bradikardi dan “low flow states” adalah penting, untuk menghindari tidak hanya asistole tetapi juga DVT dan kemungkinan komplikasi lain dari low flow states. Hal itu membutuhkan pemberian cairan yang berlebihan untuk stabilisasi sirkulasi. 
  • Kombinasi alpha dan beta agonist akan menstabilkan tekanan darah, heart rate, dan tekanan pengisian tanpa memerlukan pemberian cairan yang berlebihan, untuk menghindari retensi urine, edema paru atau masalah lain yang berhubungan dengan retensi cairan setelah operasi. Sedasi yang tepat juga penting. Sedasi yang berlebihan akan menyebabkan hiperkapnia atau hipoksia, terutama pada orang tua.
  • Akhirnya, pengetahuan yang lengkap dari kesulitan yang potensial terjadi pada anestesi regional dapat membantu menghindari dari masalah ini. Hal ini termasuk pengetahuan kapan tidak boleh menggunakan anestesi epidural (misal pada pasien yang mendapat heparin BM rendah atau pasien dengan resiko indroma kompartemen setelah operasi). Perhatian tentang tehnik yang mendetail dari praktisi akan mampu menghindari kejang, pneumothorak, dan total spinal. Dan juga seorang ahli yang memperhatikan secara mendalam, akan mampu melakukan tindakan anestesi regional dengan komplikasi yang kecil dan yang pasti dengan hasil yang baik dibanding dengan apa yang dapat dicapai dengan anestesi umum yang optimal.
KESIMPULAN
  • Anestesi regional akan memberikan beberapa keuntungan dibanding dengan anestesi umum. Mekanisma dari hal itu bervariasi diantara beberapa prosedur pembedahan, termasuk diantaranya meningkatnya aliran darah, penurunan tekanan darah, perbaikan motilitas usus, dan menekan respon metabolisma dari pembedahan itu sendiri. Keuntungan ini dapat bertambah lagi dari pengelolaan pasien yang optimal dengan menghindari masalah tehnik dan mengoptimalisasikan keadaan fisiologi dari pasien. Keadaan ini lebih mudah dicapai dengan anestesi epidural dibanding dengan anestesi umu.