Jenis obat- obatan untuk pengobatan penyakit malaria

OBAT ANTIMALARIA

PENDAHULUAN

Malaria merupakan penyakit menular yang sejak lama sudah dikenal. Demikian pula obat antimalaria sudah tersedia sejak dahulu kala. Walaupun demikian sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Kendala yang dihadapi diawali dengan kesulitan mendapat kepastian diagnosis sedini mungkin, keter lambatan mendapat pengobatan, ketidaktepatan regimen dan dosis obat antimalaria yang diberikan, resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria yang sudah menyebar luas dan bertambah berat, dan belum adanya obat antimalaria yang ideal.

Obat antimalaria yang ideal adalah obat yang efektif terhadap semua jenis dan stadia parasit, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, cara pemakaian mudah, harganya terjangkau oleh seluruh lapisan penduduk dan mudah diperoleh, efek samping ringan dan toksisitas rendah. Obat antimalaria dapat dikelompokan menurut rumus kimia dan efek atau cara kerja obat pada stadia parasit. Disamping itu terdapat beberapa obat yang terdaftar sebagai antibiotika tetapi dapat juga bekerja sebagai antimalaria.

Penggunaan obat-obat yang terdaftar sebagai antimalaria sudah diatur dan dibakukan oleh Departemen Kesehatan sesuai dengan daerah dan sensitivitas Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria. Pembatasan penggunaan obat tersebut berguna untuk mencegah penggunaan obat yang tidak rasionil dan menekan berkembangnya kasus resisten terhadap obat-obat antimalaria lainnya. Kebijaksanaan penggunaan obat selain mempertimbangkan efikasi dan keamanan obat, tetapi juga harus mempertimbangkan imunitas populasi setempat, kepatuhan dalam pengobatan, harga dan persediaan obat, dan karakteristik pelayanan kesehatan setempat.

Untuk mengantisipasi masalah tersebut, Departemen Kesehatan telah membuat pedoman Pegobatan dan Penatalaksanaan Malaria Berat di Rumah Sakit dan Puskesmas yang disesuaikan dengan kebijaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Malaria. De- ngan demikian dapat dicapai prinsip pengobatan malaria yaitu penemuan penderita secara dini, melakukan pengobatan penderita yang efektif untuk mengurangi atau membasmi parasitemia, mencegah komplikasi dan kematian, menemukan dan mengobati rekrudensi atau relaps, mencegah penyakit kambuh kembali dan mengurangi penularan penyakit malaria.

EFEKTIVITAS OBAT ANTIMALARIA

Efektivitas obat dinilai dari sensitivitas atau resistensi terhadap obat tersebut. Resistensi parasit malaria terhadap obat antimalaria adalah kemampuan sejenis parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit walaupun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi, yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat. Batasan ini umumnya untuk resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat antimalaria yang bersifat skizontosida darah. Saat ini batasan tersebut juga digunakan untuk resistensi jenis parasit malaria lain yaitu P. vivax.

Penentuan resistensi P. falciparum dapat dilakukan dengan cara in-vitro (tes makro atau mikro ) dan in-vivo. Cara in-vitro hanya menilai kemampuan parasit untuk terus hidup atau berkembang biak pada konsentrasi obat tertentu, dan dapat menunjukkan resistensi dari beberapa jenis obat (klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, amodiakuin, dan meflokuin) karena dapat di tes pada saat yang bersamaan. Cara ini dilakukan dengan menggunakan kit WHO yang telah dibakukan (Tabel 1).

Tabel 1. Batas konsentrasi beberapa obat skizontosida darah yang menunjukkan in-vitro P. falciparum resisten.

Obat antimalaria
 Batas konsentrasi skizont masih hidup/berkembang
Klorokuin     
8 pmol
Sulfadoksin-pirimetamin  
≥ 1000 / 12,5 pmol
Kina  
 ≥ 256 pmol
Amodiakuin 
 ≥ 4 pmol
Meflokuin   
 ≥ 64 pmol

Cara in-vivo dapat menunjukkan derajat atau tingkat resistensi parasit (Tabel 2) yang berdasarkan penurunan jumlah parasit dalam tubuh yang diikuti dalam kurun waktu 7 hari (field test) atau 28 - 42 hari (extended test) tergantung dari jenis obat.

Tabel 2. Derajat resistensi parasit aseksual P. falciparum terhadap obat skizontosida darah
Respon pengobatan
 Derajat resistensi
Keterangan
Sensitif
S  
Hilangnya semua parasit aseksual dari darah perifer dalam waktu 7 (tujuh) hari dihitung setelah hari pertama minum obat, tanpa ada rekrudesensi.
Resisten
R I
Hilangnya semua parasit aseksual dari darah perifer seperti halnya pada S, tetapi selalu ada rekrudesensi dalam kurun waktu 28-42 hari.

R II
Penurunan yang jelas (75 % atau lebih) dari jumlah parasit aseksual dalam darah perifer tetapi tidak pernah hilang sama sekali.

  R III  
Tidak ada perubahan yang berarti ( kurang dari 75 %) atau jumlah bertambah dari jumlah parasit  aseksual dalam darah perifer.             

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon parasit secara in-vivo terhadap obat tersebut yaitu penyerapan obat dan kekebalan tubuh. Oleh sebab itu, data in-vitro umumnya digunakan sebagai data dasar, sedangkan untuk penentuan kebijaksanaan lebih diutamakan menggunakan data dari in-vivo. Walaupun demikian data tersebut masih belum dapat digunakan sebagai penentuan kebijaksanaan penggunaan obat antimalaria karena yang dinilai hanya respon parasitologisnya, tidak menilai respon klinis yang sangat penting untuk mencapai tujuan pengobatan. Sejak tahun 1997, WHO memperbaiki cara penilaian resistensi in-vivo P. falciparum yaitu berdasarkan respon klinis dan parasitologis dan diikuti dalam kurun waktu minimal 14 hari3 (Tabel 3).
Tabel 3. Klasifikasi respon pengobatan menurut WHO 1996
Respon   
   Keterangan
Kegagalan Pengobatan Dini
(ETF= Early Treatment Failure)
Bila penderita berkembang dengan salah satu keadaan:
- Ada tanda bahaya/malaria berat pada H1,H2,H3 dan parasitemia.
- Parasitemia pada H2 lebih dari  H0.
- Parasitemia pada H3 ≥ 25 % H0.
Kegagalan Pengobatan Kasep
 (LTF=Late Treatment Failure)
Bila penderita berkembang dengan salah satu keadaan sbb pada H4-H28 yang sebelumnya tidak ada persaratan ETF sbb:
- Ada tanda bahaya/ malaria berat setelah H3 dan
   parasitemia (jenis parasit =H0).
- Penderita kembali berobat karena kemunduran klinis
   dan parasitemia
- Parasitemia pada H7/ H14/ H21/ H28 (jenis parasit=H0).
Respon Klinis Memadai   (ACR=Adequate  Clinical Respon)
Bila penderita sebelumnya tidak berkembang dengan salah  satu persaratan ETF dan LTF, dan tidak ada parasitemia selama diikuti.

Sampai saat ini konsentrasi klorokuin dalam darah yang efektif untuk pengobatan malaria masih belum jelas. Beberapa peneliti menggunakan batasan Konsentrasi Efektif Minimal dalam darah (MEC=Minimal Effective Concentration) dari klorokuin yaitu 200 ng/ml untuk P. falciparum dan 100 ng/ml untuk P. vivax Sejak tahun 1991, penilaian P. vivax resisten klorokuin menggunakan batasan ini, sedangkan untuk P. falciparum tetap menggunakan cara WHO.

OBAT ANTIMALARIA DI INDONESIA
  • Obat antimalaria yang tersedia di Indonesia hanya terbatas pada klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, dan primakuin.
KLOROKUIN (chloroquine)
  • Klorokuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-amino kuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. malariae. Obat ini merupakan obat antimalaria standar untuk pengobatan profilaksis, pengobatan malaria klinis, dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria.
  • Klorokuin mempunyai kemampuan untuk menghalangi sintesa enzim pada parasit dalam pembentukan DNA dan RNA. Obat ini bersenyawa dengan DNA sehingga proses pembelahan dan pembentukan RNA terganggu.
  • Klorokuin tersedia dalam bentuk tablet atau sirup klorokuin sulfat atau klorokuin difosfat untuk pemberian per oral, dan larutan 8 % atau 10 % klorokuin difosfat untuk pemberian parentral (intramuskular). Satu tablet mengandung 250 mg difosfat atau 204 mg klorokuin sulfat yang setara 150 mg basa, sedangkan 5 ml sirup klorokuin sulfat atau difosfat setara dengan 50 mg basa. Satu ml larutan 8 % atau 10 % klorokuin difosfat setara dengan 80 mg atau 100 mg basa.
  • Pada pemakaian per oral, kosentrasi puncak di dalam plasma dicapai dalam 2-3 jam, sedangkan pada pemakaian intramuskular dicapai dalam 15 menit. Waktu paruh klorokuin adalah 1-2 bulan tetapi waktu paruh yang sebenarnya untuk pengobatan adalah 6-10 hari.
  • Dosis klorokuin untuk pengobatan profilakasis adalah 5 mg basa/kg BB(berat badan)/minggu dan dapat diberikan sampai 6 tahun tanpa efek samping. Selama musim penularan dapat diminum dengan frekuensi 2 kali/minggu dan dianjurkan hanya untuk 3-3,5 tahun saja. Dosis kumulatif maksimal untuk pengobatan profilaksis pada orang dewasa adalah 100 gram basa. Bila sulit mengetahui berat badannya, penentuan dosis obat dapat berdasarkan kelompok umur (Tabel 4)

Tabel 4. Dosis klorokuin untuk pengobatan profilaksis malaria berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur (tahun)   
Jumlah tablet / minggu
Kurang dari  1
  ¼
1 -  4 
 ½
5 -   9
   1
10 - 14
11/2
 ≥ 15  
 2
1 tablet 250 mg klorokuin sulfat atau difosfat = 150 mg basa klorokuin.
  • Dosis klorokuin untuk pengobatan malaria klinis adalah 10 mg basa/kg bb/ hari, dosis tunggal pada hari pertama dan ke dua; sedangkan pada hari ke tiga adalah 5 mg basa/kg bb/hari, dosis tunggal sehingga dosis total adalah 25 mg basa/kg BB/3 hari. Pada pengobatan malaria klinis, selain klorokuin juga diberikan obat pelengkap primakuin dengan dosis tunggal pada hari pertama. Bila tidak memungkinkan mengetahui berat badan penderita, dapat diberikan berdasarkan kelompok umurnya (Tabel 5).
Tabel 5. Dosis klorokuin dan primakuin untuk pengobatan malaria klinis atau pengobatan radikal malaria falsiparum yang sensitif klorokuin berdasarkan kelompok umur.

Hari 

Jenis obat
 Jumlah tablet (dosis tunggal)  berdasarkan kelompok umur (th)


Kurang dari  1
1 - 4
5 - 9
10 - 14
15

I
Klorokuin
½
1
2
3
3 - 4

Primakuin
-
½
¾
1
2 - 3
II
Klorokuin
½
1
2
3
3 - 4
III
Klorokuin
¼
½
1
2
                I tablet 250 mg klorokuin sulfat atau difosfat = 150 mg basa klorokuin
1 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil.
  • Dosis klorokuin untuk pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi yang sensitif klorokuin adalah sama dengan pengobatan malaria klinis yaitu dosis total adalah 25 mg basa/kg BB/3 hari. Selain obat standar klorokuin, juga dikombinasikan dengan obat pelengkap yaitu primakuin yang dosisnya sesuai dengan jenis spesiesnya. Bila tidak diketahui berat badan penderita dapat diberikan berdasarkan kelompok umur (Tabel 5 dan Tabel 6).
Tabel 6. Dosis klorokuin dan primakuin untuk pengobatan radikal malaria vivaks yang sensitif  klorokuin, malaria malariae dan malaria ovale berdasarkan kelompok umur.
Hari 
 Jenis obat
 Jumlah tablet (dosis tunggal)  berdasarkan kelompok umur (th)


 Kurang dr 1
1 - 4
5 - 9
10 - 14
15
I
Klorokuin
 ½
1
2
3
3 - 4

Primakuin
-
½
 ¾  
 1   
 2 - 3
II
Klorokuin
 ½
1
2
3
3 - 4

Primakuin
-
½
 ¾  
 1   
 2 - 3
III
Klorokuin
  ¼
  ½ 
 1
 2

Primakuin
-
¼
½
 ¾  
 1   
IV
Primakuin
-
¼
½
 ¾  
 1   
V
Primakuin
-
¼
½
 ¾  
 1   
                        1 tablet 250 mg klorokuin sulfat atau difosfat = 150 mg basa klorokuin.
 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil
  • Apabila terjadi kegagalan pengobatan radikal malaria vivaks, regimen tersebut diulangi dengan dosis yang sama seperti pada pengobatan radikal malaria vivaks yang sensitif klorokuin, tetapi hanya pemberian primakuin diperpanjang sampai dengan hari ke 14 (Tabel 7).
Tabel 7. Dosis klorokuin dan primakuin untuk pengobatan malaria vivaks yang resisten klorokuin berdasarkan kelompok umur.
Hari 
 Jenis obat
 Jumlah tablet (dosis tunggal)  berdasarkan kelompok umur (th)


 Kurang dari  1
1 - 4
5 - 9
10 - 14
 ≥ 15
I
Klorokuin
 ½
1
2
3
3 - 4

Primakuin
-
½
 ¾  
 1   
 2 - 3
II
Klorokuin
 ½
1
2
3
3 - 4

Primakuin
-
½
 ¾  
 1   
 2 - 3
III
Klorokuin
  ¼
  ½ 
 1
 2

Primakuin
-
 ¼
½
 ¾  
 1   
IV - XIV
Primakuin
-
 ¼
½
 ¾  
 1   
              1 tablet 250 mg klorokuin sulfat atau difosfat = 150 mg basa klorokuin.
1 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil.
  • Bila ternyata masih gagal kembali, diberikan regimen yang sama dengan dosis klorokuin 10 mg basa/kg bb dan primakuin, dosis tunggal, setiap minggu, selama 12 minggu (Tabel 8).
Tabel 8. Dosis klorokuin dan primakuin untuk pengobatan malaria vivaks yang resisten  klorokuin berdasarkan kelompok umur.
Hari 
 Jenis obat
 Jumlah tablet (dosis tunggal)  berdasarkan kelompok umur (th)


 Kurang dari 1
1 - 4
5 - 9
10 - 14
 ≥ 15
I
Klorokuin
 ½
1
2
3
3 - 4

Primakuin
-
½
 ¾  
 1   
 2 - 3

 1 tablet 250 mg klorokuin sulfat atau difosfat = 150 mg basa klorokuin.
1 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil.
  • Efek samping klorokuin yang pernah dilaporkan adalah pusing, vertigo, pandangan kabur, mual, muntah, sakit perut, dan pruritus. Hal ini yang mungkin membuat penderita minum obat tidak sesuai dengan aturan atau menolak, selain rasanya yang pahit. Keracunan dapat terjadi pada anak-anak karena kecelakaan (tertelan) dan pada orang dewasa pada percobaan bunuh diri. Gangguan yang dapat terjadi dapat merupakan gangguan neurologis (kelemahan otot, pusing, sakit kepala, pandangan kabur, kejang-kejang dll), saluran pencernaan ( mual, muntah dan diare), saluran nafas ( nafas pendek dan dangkal, pernafasan lumpuh dll), kardiovaskular ( hipotensi, blokade atrioventrikular, aritmia dan jantung lumpuh dll).
  • Kasus P. falciparum resisten terhadap klorokuin pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 dari Kalimantan Timur dan telah menyebar di 27 propinsi. Tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Kalimantan Tengah dan Bali hanya melaporkan resisten in-vitro; 3 propinsi lain yaitu Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan DI-Yogyakarta hanya melaporkan resisten in-vivo; dan 21 propinsi lainnya melaporkan resisten in-vitro dan in-vivo pada derajat R I - R III. Kasus resisten RIII P. falciparum terhadap klorokuin telah ditemukan di 20 propinsi. Kasus pertama P. vivax resisten klorokuin dilaporkan pada tahun 1991 dari Sumatera Utara (P. Nias). Sampai saat ini, P. vivax resisten klorokuin telah ditemukan di 6 dari 8 propinsi yang di tes yaitu Irian Jaya, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jakarta dan Kalimantan Barat; sedangkan di propinsi DI-Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat tidak ditemukan kasus resisten
SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN (sulfadoxine-pyrimethamine)
  • Sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat antimalaria kombinasi antara sulfonamida atau sulfon dengan diaminopirimidin yang bersifat skizontosida jaringan P. falciparum, skizontosida darah dan sporontosida untuk ke 4 jenis Plasmodium manusia. Obat ini merupakan obat antimalaria alternatif yang digunakan selektif untuk pengobatan radikal penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah-daerah dengan proporsi P. falciparum resisten terhadap klorokuin tinggi.
  • Kombinasi obat ini menghambat pembentukan asam folat dengan mengikat enzim parasit yaitu dihidropteroat sintese dan dihidrofolat reduktase. Asam folat dibutuhkan oleh parasit untuk pembentukan asam nukleat yang berguna untuk pembentukan inti parasit.
  • Di Indonesia obat ini tersedia hanya dalam bentuk tablet untuk pemberian per oral. Satu tablet mengandung 500 mg sulfadoksin atau sulfalen dan 25 mg primetamin. Di luar negeri, juga tersedia dalam bentuk larutan untuk pemberian parentral yaitu dalam kemasan 2,5 ml yang mengandung 500 mg sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin.
  • Obat ini tidak diberikan untuk bayi. Konsentrasi puncak dalam darah dicapai dalam 2-4 jam. Waktu paruh sulfonamida adalah 180 jam, sedangkan pirimetamin adalah 90 jam. Sulfadoksin- pirimetamin tidak digunakan untuk pengobatan profilaksis karena kemungkinan terjadinya reaksi kulit. Walaupun demikian, obat ini dapat digunakan secara intermiten untuk pengobatan profilaksis ibu hamil.
  • Dosis untuk pengobatan radikal malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin adalah setara dengan dosis pirimetamin 1,25 mg/kg BB, maksimum 3 tablet untuk orang dewasa, dosis tunggal. Selain sulfadoksin-pirimetamin, juga diberikan obat pelengkap yaitu primakuin. Bila sulit mengetahui berat badannya, penentuan dosis obat dapat berdasarkan kelompok umur (Tabel 9)
Tabel 9. Dosis sulfadoksin-pirimetamin dan primakuin untuk pengobatan radikal malaria falsiparum yang resisten klorokuin berdasarkan kelompok umur.

Hari 

Jenis obat
 Jumlah tablet (dosis tunggal)  berdasarkan kelompok umur (th)


 Kurang dari  1
1 - 4
5 - 9
10 - 14
 ≥ 15

I
Sulfadoksin- Pirimetamin
 ½
 ¾
2
3

Primakuin
-
½
 ¾  
 1   
 2 - 3
                        1 tablet sulfadoksin-primetamin = 500 mg sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin.
1 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil.
  • Efek samping yang pernah dilaporkan adalah bercak kulit kemerahan dengan gatal, dan sindroma Steven Johnson yang dapat berakibat fatal. Resistensi P. falciparum terhadap sulfadoksin-pirimetamin ditemukan di 11 dari 14 propinsi yang telah diteliti. Tujuh propinsi (DI-Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah) hanya melaporkan resisten in-vitro dan 4 propinsi lainnya ( Jawa Tengah, Timor Timur, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya) melaporkan resisten in-vitro dan in-vivo pada derajat R I - R II. Dari 3 propinsi yang melaporkan tidak ada kasus resisten, 2 propinsi yaitu Bengkulu dan DKI-Jakarta hanya melakukan tes in-vitro, dan 1 propinsi lainnya yaitu Sulawesi Tenggara hanya melakukan tes in-vivo.
KINA (quinine)
  • Kina merupakan obat antimalaria kelompok alkaloida kinkona yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. malariae. Obat ini merupakan obat antimalaria alternatif untuk pengobatan radikal malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin, dan merupakan obat antimalaria darurat untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi.
  • Mekanisme kerja kina sebagai obat antimalaria masih belum jelas. Kina dapat membentuk ikatan hidrogen dengan DNA yang akan menghambat sintesa protein sehingga pembelahan DNA dan perubahan menjadi RNA tidak terjadi.
  • Di Indonesia obat ini tersedia dalam bentuk tablet kina sulfat untuk pemberian per oral pada pengobatan radikal malaria falsiparum tanpa komplikasi; bentuk larutan 25 % dan 50 % kina antipirin untuk pemberian intramuskular, dan larutan kina dihidroklorida untuk pemberian intravena atau perinfus pada pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Satu tablet mengandung 200 mg kina sulfat. Satu ampul ada yang mengandung 1 atau 2 cc kina antipirin 25 % yang setara dengan 250 mg kina dihidroklorida dan 125 mg antipirin dalam 1 cc, atau 50 % yang setara dengan 500 mg kina dihidroklorida dan 250 mg antipirin dalam 1 cc. Ampul lain mengandung 2 cc kina dihidroklorida yang setara dengan 250mg dalam 1cc.
  • Konsentrasi puncak di dalam plasma dicapai dalam waktu 1 - 3 jam setelah dosis pertama, sedangkan konsentrasi di dalam eritrosit lebih kurang seperlima konsentrasi di dalam plasma1. Waktu paruh kina pada orang sehat adalah 11 jam, sedangkan pada penderita malaria tanpa komplikasi adalah 16 jam, dan pada malaria berat adalah 18 jam.
  • Dosis kina sulfat untuk pengobatan radikal malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (multidrug) adalah 10 mg/kg BB/ dosis, 3 kali sehari, selama 7 hari. Selain kina, juga diberikan obat pelengkap yaitu primakuin. Bila sulit mengetahui berat badannya, penentuan dosis obat dapat berdasarkan kelompok umur. Dosis khusus untuk bayi adalah 10 mg/umur dalam bulan/hari, dibagi dalam 3 bagian dan diberikan selama 7 hari (Tabel 10 )
Tabel 10.  Dosis kina dan primakuin untuk pengobatan radikal malaria falsiparum yang resisten klorokuin atau resisten multidrug  berdasarkan kelompok umur.

Jenis obat
 Jumlah tablet (dosis tunggal)  berdasarkan kelompok umur (th)

 Kurang dari  1
1 - 4
5 - 9
10 - 14
15
Kina Sulfat
-
 ½
1
2

diminum tiga(3) kali sehari selama tujuh(7) hari
Primakuin
-
½
 ¾  
 1   
 2 - 3

diminum pada hari pertama(1) bersamaan dengan
pengobatan kina
                                                1 tablet = 200 mg kina sulfat
1 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil.
*Dosis khusus untuk bayi adalah 10 mg/umur dalam bulan/hari, dibagi dalam 3 bagian,selama 7 hari.
  • Dosis kina dihidroklorida untuk pengobatan malaria berat atau dengan komplikasi adalah 10 mg garam/kg bb/dosis (8,3 mg basa/kg bb/dosis) dalam 10 cc/kg BB larutan dekstrosa 5 % atau larutan NaCl fisiologis, diberikan per infus dalam 4 jam, dan diulangi tiap 8 jam. Secepatnya bila penderita dapat menelan obat, pemberian per infus diganti dengan per oral sampai hari ke 7 dengan dosis total 21 kali. Pada penderita malaria otak, dosis awal dapat diberikan dengan loading dose yaitu 20 mg garam/kg bb/dosis (16,7 mg basa/kg BB/dosis). Pemberian dosis awal dengan maksud memberi hasil lebih cepat, tetapi tidak diberikan kepada penderita yang dalam 24 jam sebelumnya sudah diberi meflokuin atau kina. Pada gangguan fungsi ginjal, setelah hari ke 3 pengobatan, bila keadaannya belum mengalami perubahan, dosis kina dikurangi menjadi separuhnya untuk menghindari efek toksik kumulatif. Selain kina juga diberikan primakuin sebagai pelengkap, dosis tunggal seperti pada pengobatan malaria falsiparum. Di Thailand, dosis kina untuk anak-anak adalah 10 mg garam/kg BB tiap 8 jam selama 4 hari, kemudian dilanjutkan dengan dosis 15 mg garam/kg BB tiap 8 jam selama 3 hari untuk mencapai Minimal Inhibitory Concentration (MIC).
  • Pada pengobatan kina parentral dapat terjadi hipoglikemia, dan efek samping yang paling sering dilaporkankan adalah tinitus, pusing dan mual. Dari 12 propinsi yang telah diteliti, 6 propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Irian Jaya) melaporkan adanya kasus P. falciparum resisten in-vitro terhadap kina. Sampai saat ini belum ada laporan P. falciparum resisten in-vivo terhadap kina
PRIMAKUIN (primaquine)
  • Primakiun merupakan obat antimalaria kelompok 8-amino kuinolin yang bersifat skizontosida jaringan, gametositosida dan sporontosida untuk jenis Plasmodium manusia. Obat ini merupakan obat antimalaria pelengkap atau tambahan pada pengobatan malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat atau dengan komplikasi. Primakuin mempunyai efek yang menghambat proses respirasi mitochondrial di dalam parasit malaria melalui metabolitnya yang bersifat sebagai oksidan. Di Indonesia obat ini tersedia dalam bentuk tablet primakuin difosfat untuk pemberian per oral. Satu tablet primakuin difosfat setara dengan 15 g basa primakuin. Di negara lain juga tersedia tablet primakuin difosfat yang satu tablet setara dengan 5 mg dan 7,5 mg basa primakuin.
  • Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 1 jam, dan dalam 6 jam konsentrasi plasma yang tertinggal hanya separuhnya. Obat ini tidak diberikan pada bayi, ibu hamil dan penderita defisiensi enzim Glukosa-6 Phospho Dehydrogenase`(G-6PD). Walaupun primakuin dapat digunakan untuk pengobatan profilaksis kausal, tetapi tidak direkomendasikan, karena efek sampingnya yang cukup berat bila diberikan pada penderita dengan defisiensi G-6PD terutama untuk jangka waktu yang agak lama..
  • Dosis primakuin sebagai pelengkap pengobatan malaria klinis, dan pengobatan radikal malaria falsiparum adalah 0,5 - 0,75 mg basa/kg BB(berat badan), dosis tunggal, pada hari pertama pengobatan (Tabel 2, 6 dan 7). Untuk pengobatan radikal malaria vivaks, malariae, dan ovale adalah 0,25 mg/kg bb, dosis tunggal selama 5 hari (Tabel 3) atau 14 hari (Tabel 4); atau 0,75 mg/kg BB, dosis tunggal, tiap minggu selama 8-12 minggu (Tabel 5). Diduga ada efek sinergistik antimalaria pada pengobatan malaria vivaks dengan menggunakan regimen klorokuin dan primakui.
  • Efek samping yang dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan (mual, muntah dan sakit perut), dan gangguan sistem hemopoetik (anemia, leukopenia dan methemoglobinemia). Sampai saat ini belum ada cara dan penelitian untuk mengetahui Plasmodium resisten terhadap primakuin.

OBAT ANTIMALARIA LAIN
  • Obat antimalaria lain adalah obat antimalaria yang sudah lama dikenal tetapi tidak tersedia di Indonesia.
AMODIAKUIN (amodiaquine)
  • Amodiakuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-amino kuinolin yang mempunyai struktur dan aktivitas yang sama dengan klorokuin. Obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan antiinflamasi. Diluar negeri terutama di Afrika, obat ini merupakan obat pilihan pertama seperti klorokuin untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi. 
  • Obat ini tidak direkomendasi untuk pengobatan profilaksis, karena risiko efek samping yang berat. Amodiakuin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup hidroklorida atau klorohidrat untuk pemberian per oral. Satu tablet mengandung 200 mg dan 600 mg basa amodiakuin hidroklorida atau 151,1 mg basa amodiakuin klorohidrat, sedangkan 1 ml sirup mengandung 10 mg basa amodiakuin hidroklorida atau klorohidrat. Dalam waktu 8 jam, obat ini telah dapat ditemukan dalam darah. Waktu paruhnya dapat mencapai 18 hari.
  • Dosis amodiakuin untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi adalah seperti klorokuin yaitu 25 - 35 mg basa/kg bb/3 hari. Penambahan dosis obat, tidak meningkatkan efikasi dan toksisitas. Obat ini tidak terlalu pahit seperti klorokuin, sehingga memudahkan pemberian pada anak-anak. Amodiakuin juga dapat diberikan pada masa kehamilan. Dari Afrika dilaporkan bahwa amodiakuin pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi, lebih efektif dari klorokuin atau sulfadoksin-pirimetamin.
  • Efek samping umumnya sama seperti klorokuin yaitu terutama adalah mual, muntah, sakit perut, diare dan gatal-gatal. Efek samping yang berat adalah dapat menyebabkan hepatitis toksik dan agranulositosis yang fatal. Oleh sebab itu obat ini tak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi hati, dan tidak digunakan untuk profilaksis. Walaupun amodiakuin belum ada dan tidak digunakan, 4 dari 5 propinsi (Kalimantan Timur, Timor Timur, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya) yang diteliti melaporkan P. falciparum in-vitro resisten amodiakuin.
MEPAKUIN
  • Mepakuim merupakan obat antimalaria kelompok 9-amino akridin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. malariae. Obat ini mungkin tidak digunakan lagi karena efek supresif dicapai dengan pemberian setiap hari, resistensi silang dengan klorokuin, efek samping yang cukup berat (kulit dan conjunctiva kuning, gangguan mental), dan waktu pengobatan memerlukan waktu cukup lama yaitu 7 hari.
PROGUANIL (proguanil)
  • Proguanil merupakan sntesa biguanid dari derivat pirimidin yang bersifat skizontosida jaringan untuk P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale. Efek terhadap P. malariae masih belum diketahui. Obat ini tidak mempunyai efek terhadap hipnozoit. Walaupun juga bersifat skizontosida darah, obat ini tidak digunakan untuk pengobatan karena mudah timbul resistensi dan efeknya lambat. Proguanil hanya digunakan untuk profilaksis, dan dapat diberikan selama kehamilan. 
  • Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat enzim dihidrofolat reduktase melalui metabolitnya yaitu sikloguanil, sehingga tidak terbentuk asam folat yang dibutuhkan untuk pembentukan inti parasit. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet proguanil hidroklorida untuk pemberian per oral. Satu tablet mengandung 100 mg proguanil hidroklorida yang setara dengan 87 mg basa proguanil. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam 4 jam, dan waktu paruhnya adalah 16 jam.
  • Dosis proguanil yang lebih baik untuk profilaksis adalah 1.5 mg/kg BB dua kali sehari, bila dibandingkan dengan dosis 3 mg/kg BB (dosis untuk dewasa adalah 200 mg) dosis tunggal. Kombinasi atovakon dengan proguanil ternyata efektif untuk pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug di Thailand. Obat ini dilaporkan sangat aman, dan hanya pernah dilaporkan efek samping luka di mulut dan rambut rontok. Proguanil tidak diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
KUINIDIN (quinidine)
  • Kuinidin adalah distereo-isomer dari kina yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. malariae. Obat ini tidak direkomendasikan untuk pengobatan rutin malaria tanpa komplikasi. Kuinidin digunakan untuk pengobatan malaria berat dan malaria dengan komplikasi.
  • Obat ini tersedia dalam bentuk tablet kuinidin sulfat. Satu tablet mengandung 200 mg basa kuinidin. Dosis untuk pengobatan sama seperti kina. Obat ini sedikit lebih efektif dari kina, tetapi mempunyai efek kardiotoksik yang sedikit lebih besar dari kina.
KUINIMAKS (quinimax)
  • Kuinimaks merupakan kombinasi dari 4 alkoloida kinkona yaitu kina, kuinidin, kinkonin dan kinkonidin. Walaupun obat ini in-vitro lebih efektif dari kina, tetapi tidak ditemukan perbedaan efikasi pengobatan dengan kina. 
  • Obat in tersedia dalam bentuk tablet yang mengandung 100 mg kuinimaks untuk pemberian per oral. Selain itu tersedia dalam bentuk larutan yang mengandung 100 mg kuinimaks/ml untuk pemberian parentral. Dalam 100 mg kuinimaks terdapat 96,1 mg kina resorsin biklorhidrat yang setara dengan 59,3 mg basa kina, 2,55 mg kuinidin resorsin biklorhidrat yang setara dengan 1,6 mg basa kuinidin, 0,68 mg kinkonin resorsin biklorhidrat yang setara dengan 0,4 mg basa kinkonin, dan 0,67 mg kinkonidin resorsin biklorhidrat yang setara dengan 0,4 mg basa kinkonidin.

OBAT ANTIMALARIA BARU
  • Obat antimalaria baru adalah obat antimalaria yang baru dikenal pada tahun delapan puluhan , dan belum tersedia di Indonesia.
MEFLOKUIN (mefloquine)
  • Meflokuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-kuinolin metanol yang bersifat skizontosida darah untuk ke 4 spesies Plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten multidrug. Struktur kimiawi obat ini menyerupai kina, dan mekanisme kerja sebagai antimalaria masih belum jelas. Obat ini digunakan untuk profilaksis di daerah malaria falsiparum resisten klorokuin, dan pengobatan malaria tanpa komplikasi. Meflokuin tidak diberikan pada wanita hamil trimester pertama untuk mencegah kemungkinan adanya efek embriotoksik.
  • Obat ini tersedia hanya dalam bentuk tablet meflokuin hidroklorida untuk pemberian per oral. Satu tablet mengandung 274 mg meflokuin hidroklorida yang setara dengan 250 mg basa meflokuin, atau satu tablet mengandung 250 mg meflokuin hidroklorida yang setara dengan 228 mg basa meflokuin. Waktu paruh meflokuin adalah 3 minggu pada orang sehat, dan 2 minggu pada pada penderita malaria. Waktu paruh ini lebih pendek pada anak-anak dan wanita hamil, dan lebih panjang pada Kaukasian dibandingkan dengan Afrikan atau Thailand.
  • Dosis meflokuin untuk profilaksis adalah 5 mg basa/kg BB/minggu (dewasa 250 mg/minggu), dan dimulai 2-3 minggu sebelum berpergian ke daerah endemis malaria, untuk mengetahui adanya efek samping yang mungkin terjadi dan mempersiapkan obat profilaksis alternatif. Pada profilaksis, biasanya diberikan dosis awal 5 mg basa/kg bb/hari, dosis tunggal, selama 3 hari pada minggu pertama, kemudian dilanjutkan 5 mg/kg BB/minggu. Dosis meflokuin untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi adalah 15 mg basa/kg BB, dosis tunggal. Untuk memperlambat timbulnya resisten terhadap obat ini, maka meflokuin dikombinasikan dengan sulfadoksin dan pirimetamin (MSP). Disamping itu dengan adanya kasus resisten meflokuin, WHO merekomendasi memberikan pemberian dosis yang lebih tinggi yaitu 25 mg basa/kg BB untuk meningkatkan efikasi meflokuin. Obat ini dapat diberikan dengan dosis tunggal atau dibagi menjadi 2 dosis yaitu dosis pertama 15 mg basa/kg BB, dan dosis ke dua 10 mg/kg BB dengan selang waktu 6-24 jam, untuk menghindari efek samping yang berlebihan.
  • Hasil uji pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi di beberapa daerah Indonesia, dengan menggunakan dosis 15 mg/kg BB, dosis tunggal, adalah sangat efektif dan aman. Demikian pula hasil uji profilaksis malaria pada transmigran dan tentara di Irian Jaya, menunjukkan hasil yang sangat baik29. Walaupun sampai saat ini tidak ada laporan kasus resisten in-vivo terhadap meflokuin, tetapi 5 dari 18 propinsi (Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, dan Irian Jaya) yang telah diteliti melaporkan P. falciparum in-vitro resisten meflokuin.
  • Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan neuropsikiatri(cemas, halusinasi, sulit tidur, psikosis, ensefalopati dan kejang-kejang), pusing, mual, muntah, sakit perut, diare, dan gangguan kardiovaskular (bradikardia dan sinus aritmia).
HALOFANTRIN ( halofantrine)
  • Halofantrin merupakan obat antimalaria kelompok fenantren metanol yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten multidrug. Obat ini hanya digunakan untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi. Halofantrin tidak diberikan pada anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, ibu hamil dan menyusui. 
  • Mekanisme kerja obat ini masih belum jelas, dan diduga seperti kina dan klorokuin. Obat ini membentuk kompleks dengan ferriprotoporfirin IX yang terbentuk pada waktu plasmodium mencerna hemoglobin. Kompleks yang terbentuk bersifat toksik, yang dapat menghancurkan dan mematikan skizont. 
  • Halofantrin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup halofantrin hidroklorida untuk pemberian per oral. Satu tablet mengandung 250 mg halofantrin hidroklorida yang setara dengan 233 mg basa halofantrin, sedangkan 5 ml sirup mengandung 100 mg halofantrin hidroklorida yang setara 93,2 mg basa halofantrin atau 20 mg garam halofantrin/ml. Konsentrasi puncak halofantrin di plasma dicapai dalam waktu 6 jam, dengan waktu paruh adalah 4-5 hari. Absorbsi obat ini sangat tergantung dari pola diet yaitu dapat lebih tinggi 6 kali pada diet lemak tinggi.
  • Dosis standar untuk dewasa dan anak-anak adalah 8 mg basa halofantrin/kg BB/dosis, tiga kali tiap 6 jam, sehingga dosis total adalah 24 mg basa /kg BB (dewasa 1500 mg basa). Untuk mendapatkan kesembuhan radikal, terutama untuk penderita non-imun, pengobatan diulang setelah satu minggu pemberian pertama. Selain itu dilaporkan bahwa efikasi halofantrin dapat diperbaiki dengan meningkatkan dosis dan hanya diberikan dua kali yaitu 10 mg basa/kg BB/dosis tiap 6 jam, atau diberikan dalam bentuk micronized.
  • Dari hasil uji pengobatan halofantrin 1500 mg/12 jam (500 mg/6 jam, 3 kali), menunjukkan efikasi yang baik dan aman untuk malaria falsiparum tanpa komplikasi yang in-vitro sensitif maupun yang resisten klorokuin, malaria vivaks, dan malaria campuran. Walaupun demikian, 2 dari 3 propinsi (Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara) yang telah diteliti melaporkan P. falciparum dan P. vivax in-vivo resisten.
  • Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan (mual, sakit perut dan diare), pruritus, bercak merah pada kulit, disritmia ventrikular (perpanjangan interval QTc), kejang-kejang, hemolisis intravaskular.
DERIVAT ARTEMISININ ( artemisinin derivatives atau qinghaosu)
  • Artemisinin merupakan obat antimalaria kelompok seskuiterpen lakton yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax. Obat ini berkembang dari obat tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan Artemesia annua L (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan tahun yang lalu. Artemisinin digunakan terbatas untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi yang resisten multidrug, dan untuk malaria berat, dimana kina sudah tidak efektif lagi. 
  • Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil, karena pada tikus dapat menyebabkan penyerapan janin. Mekanisme kerja artemisinin adalah dengan cara berinteraksi antara obat ini dengan zat besi dan heme di dalam hemozoin malaria. 
  • Derivat obat ini ada beberapa jenis yaitu: artesunat, artemeter, dihidroartemisinin, artemisinin, arteeter, dan artelinik asid.
    • Artesunat (artesunate atau artesunic acid)
      • Obat ini tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian per oral, dan bentuk serbuk kering dalam ampul dengan pelarut 5 % NaHCO3 untuk pemberian parentral (intravena atau intramuskular). Satu tablet mengandung 50 mg artesunat, dan 1 ampul mengandung 60 mg artesunat yang dilengkapi dengan ampul 0,6 ml larutan 5 % NaHCO3. Larutan artesunat tersebut harus diencerkan dengan 5,4 ml dekstrosa 5 % , dan diberikan perlahan-lahan intravena. 
      • Konsentrasi puncak artesunat oral di dalam plasma dicapai dalam 1 jam, sedangkan waktu paruhnya adalah 4-8 jam7. Waktu paruh artesunat parentral adalah sangat cepat yaitu diperkirakan hanya 48 menit.
      • Dosis untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten multidrug, per oral adalah 2 mg/kg BB/dosis, 2 X sehari pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 2 mg/kg BB, dosis tunggal pada 4 hari selanjutnya. Dosis untuk pengobatan malaria berat atau dengan komplikasi, parentral adalah 1,2 mg/kg bb/dosis, diberikan pada 0, 4, 24, dan 48 jam (3 hari), sehingga dosis total mencapai 240-300 mg.
      • Dari hasil uji pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten multidrug (Kalimantan Timur), dengan dosis 600 mg/5 hari, menunjukkan efikasi yang baik pada 2 minggu pertama, dan pada minggu selanjutnya ditemukan kasus rekrudesen. Dalam uji coba ini tidak ada efek samping yang dilaporkan.
      • Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan (mual, muntah), bercak merah di kulit, gatal-gatal, rambut rontok dan demam obat.
    • Artemeter (artemether)
      • Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul untuk pemberian per oral, dan larutan minyak dalam ampul untuk pemberian intramuskular. Satu kapsul mengandung 50 mg artemeter (dahulu 40 mg), dan satu ampul mengandung 1 ml larutan minyak artemeter yang setara dengan 80 mg artemeter. Konsentrasi puncak artemeter oral di dalam plasma dicapai dalam 3 jam, sedangkan waktu paruhnya adalah 6 jam. Konsentrasi puncak artemeter intramuskular di dalam plasma dicapai dalam 6 jam, sedangkan waktu paruhnya sangat cepat yaitu 12 jam.
      • Dosis untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten multidrug, per oral adalah 2 mg/kg BB/ dosis, 2 X sehari pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 2 mg/kg BB, dosis tunggal pada 4 hari berikutya. Dosis untuk pengobatan malaria berat atau dengan komplikasi, intramuskular adalah 1,6 mg/kg BB/dosis, 2 X sehari pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 1,6 mg/kg BB, dosis tunggal pada 4 hari berikutnya, sehingga dosis total mencapai 480 mg untuk 5 hari.
      • Dari hasil uji pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten klorokuin (Irian Jaya), artemeter 480 mg/5 hari, peroral, menunjukkan efikasi yang baik dan aman. Demikian pula hasil uji coba pengobatan malaria berat atau dengan komplikasi di daerah resisten multidrug (Kalimantan Timur) menunjukkan hasil yang cukup baik dan aman.
      • Efek samping yang pernah dilaporkan adalah hanya gangguan saluran pencernaan (sakit perut dan diare)29, demam obat, dan retikulositemia.
    • Dihidroartemisinin (dihydroartemisinin)
      • Dihidroartemisinin adalah juga merupakan bentuk metabolit yang terbesar dari kelompok obat derivat artemisinin. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberial per oral. Satu tablet mengandung 20 mg dihidroartemisinin. Konsentrasi puncak di dalam plasma dicapai dalam 3,1 jam, sedangkan waktu paruhnya adalah 10,6 jam.
      • Dosis untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten multidrug, per oral adalah 2 mg/kg BB/ dosis, 2 X sehari pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 2 mg/kg BB dosis tunggal pada 4 hari berikutya.
      • Obat ini belum pernah diuji coba di Indonesia. Di Cina, uji pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan dosis 240 mg/3 hari, atau 360 mg/5 hari atau 480 mg/7 hari, memberikan efikasi yang baik pada kelompok yang diobati dengan dosis 360 mg/5 hari dan 480 mg/7 hari.
      • Efek samping yang pernah dilaporkan adalah bercak merah di kulit, dan retikulositemia.
    • Artemisinin
      • Obat ini tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul untuk pemberian per oral, dan bentuk supositoria untuk pemberian supositoria rektal. Satu tablet atau kapsul mengandung 250 mg artemisinin, dan satu supositoria mengandung 100 mg artemisinin7,47. Konsentrasi puncak di dalam plasma dari artemisinin supositoria dicapai dalam 11,3 jam.
      • Dosis untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten multidrug, per oral adalah 10 mg/kg BB/dosis, 2 X sehari pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 10 mg/kg BB, dosis tunggal pada 4 hari berikutya. Dosis total supositoria rektal adalah 2800 mg untuk 3 hari yaitu 600 mg pada hari pertama, 4 jam kemudian pada hari pertama, dan dilanjutkan 2 X 400 mg pada hari ke 2 dan 3.
      • Obat ini juga belum pernah diuji coba di Indonesia. Di Cina, uji pengobatan malaria dengan artemisinin supositoria 2800 mg/ 3 hari, menunjukkan efikasi yang kurang baik yaitu angka kesembuhan hanya 54 %.
      • Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan (sakit perut dan diare), dan tenesmus.
    • Arteeter (arteether)
      • Obat ini tersedia dalam bentuk larutan minyak (beta-etil eter dihidroartemisinin) untuk pemberian intramuskular. Satu ampul mengandung 150 mg/ml arteeter. Aktivitasnya seperti artemeter. Waktu paruhnya adalah 25 - 72 jam. Obat ini masih dalam penelitian untuk pengobatan malaria berat dengan komplikasi.
    • Asam artelinat (artelinic acid)
      • Obat ini tersedia dalam bentuk larutan yang lebih stabil dari artesunat, untuk pemberian parentral (intravena). Asam artelinat digunakan untuk pengobatan malaria berat dan dengan komplikasi. Obat ini juga masih dalam penelitian.
YINGHAOSU
  • Yinghaosu merupakan obat antimalaria kelompok seskuiterpen peroksid yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum terutama yang resisten klorokuin. Obat ini juga dikembangkan dari tanaman obat tradisional Cina, yang dapat diberikan per oral atau parentral. Yinghaosu masih dalam penelitian, dan dilaporkan tidak ditemukan resisten silang dengan klorokuin, meflokuin dan qinghaosu.
ATOVAKON (atovaquone)
  • Atovakon merupakan obat antimalaria kelompok hidroksi-naftokuinon yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum. Obat ini dapat digunakan untuk profilaksis dan pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin atau multidrug. Mekanisme kerja obat ini berbeda dengan obat antimalaria skizontosida darah lainnya, sehingga diperkirakan tidak terjadi resisten silang dengan obat-obat tersebut. Atovakon bekerja dengan mengganggu pembentukan asam nukleat parasit. Pada penelitian in-vitro ditemukan ada interaksi antagonis dengan obat antimalaria kelompok kuinolin (klorokuin, kina, dan meflokuin), halofantrin, dan artesunik asid; sedangkan dengan tetrasiklin, dan proguanil berinteraksi sinergistik. Apabila obat ini digunakan tanpa kombinasi, ternyata kurang efektif karena lebih dari 30 % akan berkembang menjadi kasus rekrudesen.
  • Obat ini tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian per oral. Satu tablet mengandung 250 mg atovakon. Disamping itu juga tersedia bentuk tablet yang mengandung 250 mg atovakon dan 100 mg proguanil /tablet (MalaroneR)58. Waktu paruh atovakon diperkirakan 70 jam.
  • Dosis atovakon untuk pencegahan malaria yang efektif adalah dengan 250 mg/hari yang dikombinasikan dengan proguanil 100 mg/hari. Dosis untuk pengobatan malaria pada orang dewasa yang efektif adalah atovakon 1000 mg/hari dan proguanil 400 mg/hari (4 tablet Malarone), dosis tunggal, selama 3 hari.
  • Di beberapa negara, uji pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan regimen kombinasi atovakon dan proguanil atau tetrasiklin, menunjukkan efikasi yang baik dan aman.  Demikian pula uji profilaksis di Afrika menunjukkan hasil yang efektif dan aman.
  • Efek samping yang dilaporkan terutama adalah gangguan saluran pencernaan yaitu mual, muntah, diare, dan sakit perut.
PIRONARIDIN (pyronaridine)
  • Pironaridin merupakan obat antimalaria derivat hidroksi-anilino benso-naftridin yang mempunyai struktur sama dengan amodiakuin dan mepakrin. Obat ini bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax resisten multidrug dan sudah digunakan di Cina sejak tahun tujuh puluhan. Pironaridin tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul untuk pemberian per oral, dan bentuk larutan untuk pemberian parentral. Waktu paruh obat ini diperkirakan 63 jam.
  • Dosis untuk pengobatan malaria per oral adalah 2 X (300 - 400 mg)/hari pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 1 atau 2 X / hari , sehingga dosis total 1200 mg. Dosis parentral adalah 300 mg, intravena atau intramuskular, 2 X / hari. Hasil uji pengobatan malaria di Thailand dan Cina menunjukkan efikasi yang cukup baik dan aman. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan yaitu muntah-muntah, sakit perut dan diare.
PIPERAKUIN (piperaquine)
  • Piperakuin merupakan obat antimalaria yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum, dan sudah digunakan luas di Cina lebih dari 10 tahun yang lalu. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian per oral. Dosis total piperakuin untuk pengobatan malaria adalah 1500 mg, yaitu dosis awal 600 mg, dilanjutkan dengan 300 mg pada 6 jam berikutnya, dan 600 mg pada jam ke 2.
  • Di Cina, hasil uji pengobatan menunjukkan efikasi yang beragam69-70. Efek samping yang tercatat adalah muntah-muntah. Untuk meningkatkan efikasi obat, biasanya dikombinasikan dengan obat antimalaria lain yaitu sulfadoksin -primetamin.
BENFLUMETOL
  • Benflumetol merupakan obat antimalaria fluoromethanol, yang bersifat skizontosida darah. Obat ini telah digunakan untuk pengobatan malaria falsiparum sejak tahun 1987 di Cina. Dilaporkan bahwa obat ini menunjukkan interaksi sinergistik dengan artemeter. Oleh sebab itu dibuat formulasi kombinasi yang mengandung benflumetol dan artemeter, untuk pemberian per oral. Benflumetol tersedia dalam bentuk kapsul, dan masih dalam penelitian.
ETAKUIN (etaquine)
  • Etakuin merupakan obat antimalaria kelompok 8-amino kuinolin yang bersifat skizontosida jaringan P. vivax dan P. ovale. Efektivitas obat ini terhadap stadium pre-eritrositik P. cynomologi adalah 10,5 kali dari primakuin. Mekanisme kerja obat ini seperti primakuin. Konsentrasi puncak etakuin di darah dicapai dalam 12 jam, sedangkan waktu paruhnya jauh lebih lama dibandingkan dengan primakuin yaitu 10 - 14 hari.
  • Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul untuk pemberian per oral. Satu kapsul mengandung 50, 100 dan 200 mg basa etakuin yang setara dengan 62,5 mg, 125 mg, dan 250 mg WR 238,605 garam suksinat. Etakuin masih dalam penelitian. Uji coba profilaksis dengan dosis 600 mg basa/minggu, dosis tunggal, menunjukkan hasil yang cukup baik.
  • Efek samping yang ditemukan lebih ringan dari primakuin yaitu antara lain: sakit kepala, gangguan saluran pencernaan (mual, muntah, dan diare), dan gangguan fugsi hati.

OBAT ANTIBIOTIKA YANG BERSIFAT ANTIMALARIA
  • Beberapa obat antibiotika ternyata juga dapat bersifat sebagai antimalaria. Obat-obat tersebut tidak digunakan dalam pemberantasan malaria, karena hanya digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Khusus di rumah sakit, obat tersebut dapat digunakan dengan kombinasi obat antimalaria lain, untuk mengobati penderita resisten multidrug. 
  • Obat antibiotika yang sudah diuji coba untuk profilaksis dan pengobatan malaria adalah sebagai berikut:
DERIVAT TETRASIKLIN (tetracycline derivatives)
  • Terasiklin, doksisiklin dan minosiklin adalah obat antibiotika kelompok tetrasiklin. Walaupun derivat tetrasiklin bekerja lambat dan kurang efektif, tetapi bersifat skizontosida jaringan P. falciparum dan skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia. Oleh sebab itu, obat tersebut digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina. 
  • Derivat tetrasiklin tidak diberikan pada anak-anak yang berumur kurang dari 8 tahun dan pada ibu hamil, karena dapat menyebabkan perubahan warna gigi dan gangguan pertumbuhan gigi dan tulang.
TETRASIKLIN (tetracycline)
  • Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul untuk pemberian per oral. Satu kapsul mengandung 250 mg tetrasiklin hidroklorida yang setara dengan 231 mg basa tetrasiklin. Konsentrasi puncak di plasma dicapai dalam 4 jam, sedangkan waktu paruhnya adalah 8 jam.
  • Tetrasiklin tidak digunakan untuk profilaksis. Kombinasi kina dengan tetrasiklin adalah sangat efektif untuk pengobatan malaria di daerah resisten multidrug. Dosis tetrasiklin untuk pengobatan tersebut adalah 4 X 250 mg tetrasiklin hidroklorida, selama 7 hari. Efek samping yang dilaporkan terutama adalah gangguan saluran pencernaan ( sakit ulu hati, perut tidak enak, mual, muntah dan diare).
DOKSISIKLIN (doxycycline)
  • Doksisiklin dan minosiklin tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul untuk pemberian per oral. Satu tablet atau kapsul mengandung 100 mg doksisiklin hiklat atau doksisiklin hidroklorida. Konsentrasi puncak di plasma dicapai dalam 2 jam, sedangkan waktu paruhnya adalah 15 - 25 jam. Doksisiklin selain digunakan untuk pengobatan malaria di daerah resisten multidrug dalam kombinasi dengan kina, atau meflokuin, atau artesunat; juga digunakan untuk profilaksis malaria di daerah yang resisten meflokuin, atau di daerah dimana meflokuin sulit didapat.
  • Dosis doksisiklin untuk profilaksis malaria 1,5 mg/kg BB/hari, dosis tunggal. Hasil uji profilaksis terhadap transmigran dan tentara di daerah resisten multidrug (Irian Jaya), menunjukkan efikasi yang baik dan aman. Dosis orang dewasa untuk pengobatan adalah 100 mg/hari, dosis tunggal, selama 7 hari. Efek samping yang dilaporkan terutama adalah gangguan saluran pencernaan, dan reaksi fototoksik.
KLINDAMISIN (clindamycin)
  • Klindamisin merupakan antibiotika derivat linkomisin yang juga bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum, dan yang resisten klorokuin. Obat ini bekerja lambat. Oleh sebab itu penggunannya dikombinasikan dengan obat antimalaria lain, antara lain kina untuk pengobatan malaria falsiparum di daerah efektivitas kina menurun. Obat ini tidak digunakan untuk profilaksis. Klindamisin dapat diberikan selama masa kehamilan.
  • Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul untuk pemberian per oral, yang mengandung 75 mg, 150 mg dan 300 mg basa klindamisin hidroklorida. Konsentrasi puncak di plasma dicapai dalam 1 jam, sedangkan waktu paruhnya adalah 2 - 3 jam.
  • Dosis dewasa untuk pengobatan malaria falsiparum dengan kombinasi kina adalah 4 X 300 mg/hari, selama 5 hari. Hasil uji pengobatan malaria falsiparum yang in-vitro resisten klorokuin di Timor Timur, hanya dengan klindamisisn dosis 300 mg/12 jam, selama 5 hari, menunjukkan efikasi yang baik. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan (mual, muntah, sakit perut dan kejang perut), bercak merah pada kulit, gatal-gatal, neutropenia, dan trombositopenia.
ASITROMISIN (azitromycin)
  • Asitromisin adalah antibiotika makrolid (asalid), derivat eritromisin. Obat ini diduga bersifat skizontosida jaringan dan skizontosida darah P. falciparu. Asitromisin dapat diberikan pada anak-anak dan ibu hamil. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian per oral. Satu tablet mengandung 250 mg asitromisin dihidrat. Konsentrasi puncak di serum dicapai dalam 3,2 jam, sedangkan waktu paruhnya adalah 68 jam.
  • Dosis untuk profilaksis malaria adalah 250 mg/hari, dosis tunggal, dengan dosis awal 750 mg. Hasil uji profilaksis dengan dosis tersebut terhadap transmigran dan tentara di daerah resisten multidrug (Irian Jaya), menunjukkan efikasi yang baik untuk infeksi P. vivax, dan kurang baik untuk infeksi P. falciparum. Efek samping yang dilaporkan adalah bercak kemerahan pada kulit, gangguan saluran pencernaan (a.l: sakit ulu hati), dan lemas.
LAIN-LAIN
  • Kloramfenikol, eritromisin, sulfametoksasol-trimetoprim, dan siprofloksasin (kuinolon) merupakan obat antibiotika lain yang juga bersifat antimalaria dan bekerja lambat. Obat-obat tersebut pernah diuji coba di luar negeri untuk pengobatan malaria falsiparum resisten terhadap klorokuin, dengan menggunakan kombinasi obat antimalaria lain yang bekerja cepat yaitu kina atau amodiakuin.

OBAT LAIN SEBAGAI ANTIMALARIA
  • Walaupun telah diberikan pengobatan kausal dengan obat antimalaria yang efektif dan pengobatan suportif yang baik, tetapi angka kematian malaria berat masih cukup tinggi. Dengan berkembangnya ilmu biologi molekuler yang menghasilkan hipotesa-hipotesa patogenesis malaria berat, maka dilakukan uji pengobatan dengan pendekatan moleculer-based therapy yaitu antara lain dengan :
DESFERRIOKSAMIN (desferrioxamine)
  • Desferrioksamin adalah suatu iron chelator yang dapat menghambat perkembangan P. falciparum di dalam eritrosit, terutama pada stadium trofozoit lanjut dan skizon muda. Pada uji pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan desferrioksamin 100 mg/hari, per infus, selama 3 jam, menunjukkan efikasi yang cukup baik dengan angka rekrudesen yang tinggi di Afrika dan Thailand. Uji pengobatan desferrioksamin yang dikombinasikan dengan obat antimalaria kina atau sulfadoksin-pirimetamin pada penderita malaria otak anak, menunjukkan efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan yang tanpa desferrioksamin. Desferrioksamin sebagai obat antimalaria atau sebagai obat tambahan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
HEPARIN
  • Pada patogenesis malaria berat dikenal hipotesa mekanik cytoadherence yaitu terbentuknya roset. Roset adalah perlekatan antara eritrosit normal dengan satu atau lebih eritrosit yang terinfeksi parasit. Perlekatan tersebut mengakibatkan aliran darah ke pembuluh darah kapiler akhir terhambat, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipoksia. Heparin adalah suatu antikoagulan yang dapat menghambat dan mengganggu terbentuknya roset dan menghambat masuknya merozoit ke dalam eritrosit. Penggunaan heparin pada penderita malaria otak sudah sejak lama dilakukan. Mengingat risiko dapat terjadi perdarahan, maka WHO tidak menganjurkan penggunaan heparin.
PENTOKSIFILIN (pentoxifylline)
  • Pada patogenesis malaria berat, selain hipotesa mekanik juga dikenal hipotesa humoral yaitu reaksi berlebihan dari sistim kekebalan. Reaksi berlebihan ini berbentuk produk toksik dari makrofag yaitu sitokin, antara lain Tumor Necrosing Factor (TNF). TNF dilaporkan berhubungan dengan manifestasi malaria berat, hiperparasitemia, dan kematian. Pentoksifilin adalah methylxanthine yang dapat menghambat pembentukan TNF. Pada uji pengobatan malaria otak dengan pentoksifilin dikombinasi dengan obat antimalaria menunjukkan hasil yang baik.
INTERFERON - GAMMA (IFN-gamma)
  • IFN dikenal sebagai obat antivirus yang menghambat perkembangan virus dan non virus (riketsia, klamidia, jamur, bakteri, dan protozoa). Pada malaria, IFN-gamma menghambat perkembangan parasit pada stadium eksoeritrositer. IFN-gamma juga merupakan salah satu produk sitokin pada infeksi malaria. Pada penderita malaria berat yang berhasil diobati dengan obat antimalaria (kina) dan pengobatan suportif yang baik, IFN-gamma tetap tinggi selama pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa IFN-gamma mungkin mempunyai peranan dalam menyembuhkan penderita malaria


    KEPUSTAKAAN
    1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Pengobatan no 3, 1991.
    2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria: Tes resistensi untuk P. falciparum no 9, 1991.
    3. World Health Organization. Assessment of therapeutic efficacy of antimalarial drugs for uncomplicated falciparum malaria in areas with low or moderate transmission. World Health Organization, Division of Control of Tropical Diseases. Draft 19.12.96.
    4. Rombo L, Bjoerkman A, Sego E and Ericsson O. Whole blood concentrations of chloroquine and desethylchloroquine during and after treatment of adult patients infected with Plasmodium vivax, Plasmodium ovale or Plasmodium malariae. Trans R Soc Trop Med Hyg 1986; 80: 763-6.
    5. Frisk-Holmberg M, Bergqvist Y, Termond E dkk. The single dose kinetics of chloroquine and its major metabolite desethylchloroquine in healthy subjects. Eur J Clin Pharmacol 1984; 26: 521-30.
    6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria: Pedoman Pelita VI no 15, 1995.
    7. World Health Organization. Management of uncomplicated malaria and the use of antimalarial drugs for the protection of travellers. Report of an informal consultation, Geneva, 18-21 September 1995. World Health Organization, Division of Control of Tropical Diseases.
    8. Tjitra E, Gunawan S, Laihad F dkk. Evaluation of antimalarial drugs in Indonesia, 1981-1995. Buletin Penelitian Kesehatan 1997 ; 25(1): 27-58.
    9. World Health Organization. Division of Control of Tropical Diseases. Severe and complicated malaria. Trans Roy Soc Trop Med Hyg. 2nd ed 1990; 84 (suppl 2): 1-65.
    10. Lestiadi J, Purnomo, Soemedhi dkk. Perbandingan efektivitas antara chloroquine dan Fansidar terhadap malaria di daerah Timor Timur. Medika 1983; 11: 927-32.
    11. Karbwang J, White NJ. Clinical importance of antimalarial pharmacokinetics. Asia Pasific J Pharmacol 1988; 3: 181-9.
    12. World Health Organization. The clinical management of acute malaria. WHO Regional Publications, South - East Asia Series no 9, 3rd ed. WHO Regional Office for South - East Asia, New Delhi, 1990
    13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Penatalaksanaan malaria berat di rumah sakit dan Puskesmas no 16, 1991.
    14. Gilles HM. Management of severe and complicated malaria. A practical handbook. World Health Organization, Geneva, 1991.
    15. White N, Warrell DA, Chantavanich P dkk. Severe hypoglycaemia and hyperinsulinaemia in falciparum malaria. N Eng J Med 1983; 309: 61-6.
    16. Tjitra E, Oemijati S, Oey TS dkk. Comparative study of artemether and quinine treatment in severe and complicated falciparum malaria at Balikpapan General Hospital. Med J Indones 1996; 5 (4): 218-27.
    17. Fletcher KA, Price Evans DA, Gilles HM dkk. Studies on the pharmacokinetics of primaquine. Bull WHO 1981; 59: 407-12.
    18. Mihaly GW, Ward SA, Edwards G dkk. Pharmacokinetics of primaquine in man. Studies of the absolute bioavailability and effects of dose size. Br J Clin Pharmacol 1985; 19: 745-50.
    19. Baird JK, Fryauff DJ, Basri H dkk. Primaquine for prophylaxis against malaria among nonimmune transmigrants in Irian Jaya, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 1995; 52 (6): 479-84.
    20. Fryauff DJ, Baird JK, Basri H dkk. Randomised plasebo-controlled trial of primaquine for prophylaxis of falciparum and vivax malaria. The Lancet 1995; 346: 1190-3.
    21. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Randomized comparative study of chloroquine and halofantrine in vivax malaria patients. Med J Indones 1995; 4 (1): 30-6.
    22. Olliaro PL, Nevil C, Le Bras J dkk. Amodiakuin treatment in uncomplicated malaria: a systematic review of published and unpublished data. Lancet (in press).
    23. Jamaludin A, Mohamad M, Navaratnam V dkk. Multiple-dose pharmacokinetic study of proguanil and cycloguanil following 12-hourly administration of 100 mg proguanil hydrochloride. Trop Med Parasitology 1990; 41: 268-72.
    24. Looareesuwan S, Viravan C, Webster HK dkk. Clinical studies of atovaquone, alone or in combination with other drugs, for treatment of acute uncomplicated malaria in Thailand. Am J Trop Med Hyg 1996; 54: 62-6.
    25. World Health Organization. Practical chemotherapy of malaria. Report of a WHO Scientific Group. Technical Report Series no 805, Geneva, 1990.
    26. Bunnag D, Harinasuta T, Looreesuwan S dkk. A combination of quinine, quinidine and cinchonine (LA 40221) in the treatment of chloroquine-resistant falciparum malaria in Thailand: two double blind trials. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1989; 83: 66.
    27. Karbwang J dan White NJ. Clinical pharmacokinetics of mefloquine. Clinical Pharmacokinetics 1990; 19: 264-79.
    28. Brockelman CR, Thanomsub B dan Bhisutthibhand. Mefloquine Sulfadoxine Pyrimethamine (MSP) combination delays in vitro emergence of mefloquine resistance in multiple drug resistant Plasmodium falciparum. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1989; 20 (3): 371-8.
    29. Tjitra E. Uji coba pengobatan dan pencegahan malaria di beberapa tempat Indonesia, pada tahun 1986-1995. Buletin Penelitian Kesehatan 1997 ; 25(3 and4): 1-25.
    30. Phillips-Howard PA dan ter Kuile FO. CNS adverse events associated with antimalarial agents: fact or fiction ? Drug Safety 1995; 12: 370-83.
    31. Ekue JMK, Ulrich AM, Rwabwogo J dkk. A double blind comparative clinical trial of mefloquine and chloroquine in symptomatic falciparum malaria. Bulletin of The World Health Organization 1983; 61: 713-8.
    32. SmithKline and French. Halofantrine in the treatment of multidrug resistant malaria. Parasitology Today 1989, suppl.
    33. SmithKline Beecham Pharmaceuticals. Halfan: Product information. The Resource Group, Bancroft House, 34 Bancroft, Hitchin, Herts, UK, SG5 ILA.
    34. Milton KA, Edwards G, Ward SA dkk. Pharmacokinetics of halofantrine in man: effects of food and dose size. British J Clin Pharmacol 1989; 28: 71-7.
    35. Karbwang J dan Bangchang KN. Clinical pharmacokinetics of halofantrine. Clinical Pharmacokinetics 1994; 27: 104-19.
    36. Watkins WM, Oloo JA, Lury JD dkk. Efficacy of multiple-dose halofantrine in treatment of chloroquine-resistant falciparum malaria in children in Kenya. Lancet 1988: 247-50.
    37. Kremsner PG, Wilding E, Jenne L dkk. Comparison of micronized halofantrine with chloroquine-antibiotic combinations for treating Plasmodium falciparum malaria in adults from Gabon. Am J Trop Med Hyg 1994; 790-5.
    38. Nosten F, ter Kuile FO, Luxemburger C dkk. Cardiac effects of antimalarial treatment with halofantrine. Lancet 1993; 341: 1054-6.
    39. Mojon M, Wallon M, Gravey A dkk. Intravascular haemolysis following halofantrine intake. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1994; 88: 91.
    40. Qinghaosu Antimalarial Coordinating Committee. Antimalarial studies on qinghaosu. China Med J 1979; 92: 811-6.
    41. Meshnick SR. Mode of action of artemisinin and its derivatives. Artemisinin Meeting, 25th - 27 th April 1993, London,The Wellcome Trust.
    42. Guilin Pharmaceutical Factory. Brochure : New Antimalarial Drug: Artesunate. China.
    43. Na Bangchang K, Karbwang J, Thomas CG dkk. Pharmacokinetics of artemether after oral administration to healthy Thai males and patients with acute uncomplicated falciparum malaria. British J Clin Pharmacol 1994; 37: 249-53.
    44. Li GQ. Clinical trials on artemisinin and its derivatives in treatment of malaria in China. Abstracts volume 1. XIIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, November 29 - December 4, 1992, Jomtien, Pattaya, Thailand.
    45. Karbwang J dan White NJ. Clinical importance of antimalarial pharmacokinetics. Asia Pasific J Pharmacol 1988; 3: 181-9.
    46. Kunming Pharmaceutical Factory. Brochure : Artemether. Yunnan, China.
    47. World Health Organization. The role of artemisinin and related compounds in current treatment of malaria. Report of a WHO Informal Consultation. 29 October 1993. Malaria Unit, Division of Control of Tropical Diseases, Division of Drug Management and Policies, UNDP/World Bank/WHO Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases, Geneva.
    48. Rhone-Poulenc Rorer. Paluther (artemether) 8 % solution for i.m. injection. Preliminary brochure, November 1992.
    49. Shen JX (editor). Antimalarial drug development in China, Beijing: National Institute of Pharmaceutical Research and Development 1989: 31-95.
    50. Kager PA, Schultz MJ, Zijlstra EE dkk. Arteether administration in humans: preliminary studies of pharmacokinetics, safety and tolerance. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1994; 88 (suppl 1): 53-4.
    51. Olliaro PL dan Trigg PI. Status of antimalarial drugs under development. Bull WHO 1995; 73 (5): 565-71.
    52. Stohler HR, Jaquet C, Peter W. Biological characterization of novel bicyclic peroxides as potential antmalarials agents. Abstract vol 1. XIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18-23 September, 1988.
    53. Hofheinz W, Jaquet C, Masciadri R dkk. Structure activity relationship of novel bicyclic peroxide antimalarias related to Yinghaosu. Abstract vol 1. XIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18-23 September, 1988.
    54. Gutteridge WE. Side and mode of action of atovaquone. Abstract vol 1. XIIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 - December 4, 1992.
    55. Gutteridge WE. International Congress for Tropical Medicine and Malaria : The role of Malarone in antimalarial chemotherapy. 20th November 1996, Nagasaki, Japan.
    56. Canfield CJ, Pudney M dan Gutteridge WE. Interactions of atovaquone with other antimalarial drugs against Plasmodium falciparum in vitro. Experimental Parasitology 1995; 80: 373-81.
    57. Looareesuwan S, Hutchinson DBA, Viravan C dkk. Evaluation of atovaquone in the treatment of uncomplicated P. falciparum malaria in Thailand. XIIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 - December 4, 1992.
    58. Looareesuwan S, Kyle DE, Wailairatana P dkk. Comparative clinical trial of a combination of atovaquone and proguanil with mefloquine in the treatment of acute P. falciparum malaria in adults in Thailand. XIVth International Congress for Tropical Medicine and Malaria : The role of Malarone in antimalarial chemotherapy. 20th November 1996, Nagasaki, Japan.
    59. Shanks D, Andersen S, Oloo A dkk. The first field trial to determine the efficacy and safety of MalaroneTM , (atovaquone/ proguanil) as a suppressive prophylactic agent against Plasmodium falciparum malaria. International Congress for Tropical Medicine and Malaria : The role of Malarone in antimalarial chemotherapy. 20th November 1996, Nagasaki, Japan.
    60. Anabwani G dan Esamal F. Comparative clinical trial of a combination of atovaquone and proguanil versus halofantrine in the treatment of malaria in children in Kenya. International Congress for Tropical Medicine and Malaria : The role of Malarone in antimalarial chemotherapy. 20th November 1996, Nagasaki, Japan.
    61. De Alencar FEC, Cerutti CJ, Durlacher RR dkk. Treatment of uncomplicated falciparum malaria with a combination of atovaquone plus proguanil in Brazillian adults. International Congress for Tropical Medicine and Malaria : The role of Malarone in antimalarial chemotherapy. 20th November 1996, Nagasaki, Japan.
    62. Radloff PD, Philipps J, Nkeyi M dkk. Atovaquone and proguanil for Plasmodium falciparum malaria. Lancet 1996; 347 (9014): 1511-4.
    63. Fu S, Bjarkman A, Wahlin B dkk. In-vitro activity of chloroquine, the two enantiomers of chloroquine, desethyl chloroquine and pyronaridine against Plasmodium falciparum. Br J Clin Pharmacol 1986; 22: 93-6.
    64. Childs GE, Hensler B, Milhous W dkk. In vitro activity of pyronaridine against field isolates and reference clones of Plasmodium falciparum. Am J Trop Med Hyg 1988; 38: 24-9.
    65. Fu S dan Xiao SH. Pyronaridine: a new antimalarial drug. Parasitology Today 1991: 7: 310-3.
    66. Qiu CD, Ren DX, Liu DQ dkk. Sensitivity of P. falciparum to pyronaridine and sodium artesunate in Hainan island, China. XIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18-23 September, 1988.
    67. Chang C. Studies on a new antimalarial compound by pyronaridine. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1992; 86: 7-10.
    68. Cai XH dan Tang X. A dozen years research in strategy for treatment of chloroquine-resistant falciparum malaria after ceasing of chloroquine use in malaria endemic areas of Hainan island, PR China. XIIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 - December 4, 1992.
    69. Guo XB, Fu LC, Fu YX dkk. Randomised comparison in the treatment of falciparum malaria with dihydroartemisinin tablet and piperaquine.. XIIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 - December 4, 1992
    70. Fu YJ dan Jia J. A study of curative effect on several antimalarial drugs - 302 cases of falciparum malaria. XIIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 - December 4, 1992.
    71. World Health Organization. Practical chemotherapy of malaria. Report of a WHO Scientific Group. Geneva, 1990 (WHO Technical Report Series, No. 805).
    72.  Schuster BG. Personal communication 1997.
    73. Looareesuwan S, Viravan C, Vanijanonta S dkk. Randomized trial of mefloquine-doxycycline and artesunate-doxycycline for treatment of acute uncomplicated falciparum malaria. Am J Trop Med Hyg 1994; 50: 784-9.
    74. Ohrt C, Richie TL, Widjaja H dkk. Mefloquine compared with doxycycline for the prophylaxis of malaria in Indonesian soldiers. Annals of Internal Medicine 1997; 126 (12): 963-72.
    75. Geary TG dan Jensen JB. Effects of antibiotics on P. falciparum in vitro. Am J Trop Med Hyg 1983; 32(2): 221-5.
    76. Seaberg LS. Parquette AR, Gluzman IY dkk. Clindamycine activity against chloroquine resistant P. falciparum. J Infec Dis 1984; 150 (6): 904-11.
    77. Oemijati S, Pribadi W, Suprijanto S dkk. Pengobatan infeksi P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin dengan klindamisin. Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V, Pandaan, Jawa Timur, 23 - 25 Juni 1990.
    78. Anderson SL, Berman J, Kuschner R dkk. Prophylaxis of Plasmodium falciparum malaria with azithromycin administered to volunteers. Brief communications. Annals of Internal Medicine 1995; 123 (10): 771-773.
    79. Anonim. Physicians Desk Reference. Azitromycin. 1994: 1789-91.
    80. Taylor WRJ, Richie TL, Frayuff DJ dkk. Daily azithromycin for malaria prophylaxis: a randomized double blind clinical trial in Irian Jaya, Indonesia. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene 46th Annual Meeting, December 7 - 11, 1997, Orlando, Florida.
    81. Taylor WRJ, Richie TL, Frayuff DJ dkk. The tolerance to daily azithromycin malaria prophylaxis in Irian Jaya, Indonesia. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene 46th Annual Meeting, December 7 - 11, 1997, Orlando, Florida.
    82. Looreesuwan S, White NJ, Benjasurat Y dkk. Intravenous amodiaquine and oral amodiaquine/erythromycin in the treament of chloroquine-resistant falciparum malaria. Lancet 1985; ii: 805-8.
    83. Colwell EJ, Hickman Rl. Quinine-tetracycline and quinine-bactrim treatment of acute falciparum malaria in Thailand. Ann Trop Med Parasitol 1973; 67: 125-32.
    84. Watt G, Shank D, Edstein MD dkk. Ciprofloxacin treatment of drug-resistant falciparum malaria. J Infect Dis 1991; 164: 602-4.
    85. Scott MD, Ranz A, Kuypers FA dkk. Parasite uptake of desferroxamine : a prequisite for antimalarial activity. British J Haematol 1990; 75: 598-602.
    86. Whitehead S dan Peto TEA. Stage-dependent effect of desferrooxamine on growth of Plasmodium falciparum in vitro. Blood 1990; 76 (6): 1250-5.
    87. Atkinson CA, Bayne MT, Gordeuk VR dkk. Stage-specific ultrastructural effects of desferrioxamine on Plasmodium falciparum in vitro. Am J Trop Med Hyg 1991; 45 (5): 593-601.
    88. Gordeuk VR, Thuma PE, Brittenham GM dkk. Iron chelation with desferrioxamine B in adult with asymptomatic Plasmodium falciparum parasitemia. Blood 1992; 79 (2): 308-12.
    89. Bunnag D, Poltera AA, Viravan C dkk. Plasmocidal effect of desferrioxamine B in human vivax malaria or falciparum malaria from Thailand. Acta Tropica 1992; 52: 59-67.
    90. Gordeuk V, Thuma P, Brittenham G dkk. Effect of iron chelation therapy on recovery from deep coma in children with cerebral malaria. New Engl J Med 1992; 327: 1473-7.
    91. David P, Handunnetti SM, Leech JH dkk. Rosetting: a new cytoadherence property of malaria infected erythrocytes. Am J Trop Med Hyg 1988; 38 (2): 289-97.
    92. Udomsangpetch R, Wahlin B, Carlson J dkk. Plasmodium falciparum-infected erythrocytes from spontaneous erythrocyte rosettes. J Exp Med 1989; 169: 1835-40.
    93. Kulane A, Ekre HP, Perlmann P dkk. Effect of different fractions of heparin on Plasmodium falciparum merozoite invasion of red blood cells in vitro. Am J Trop Med Hyg 1992;46: 589-94.
    94. Carlson J, Ekre HP, Helmby H dkk. Disruption of Plasmodium falciparum erythrocyte rosettes by standard heparin and heparin devoid of anticoagulant activity. Am J Trop Med Hyg 1992; 46 (5): 595-602.
    95. Sheehy TW dan Reba RC. Complications of falciparum malaria and their treatment. Ann Intern Med 1967; 66: 807-9.
    96. Smithskamp H dan Woithuis FH. New concepts in treatment of malignant tertian malaria with cerebral involvement. British Med J 1971; 714-6.
    97. Munir M, Tjandra H, Rampengan RH dkk. Heparin in treatment of cerebral malaria. Paediatrica Indonesiana 1980; 20: 47-50.
    98. Bate CAW, Taverne J dan Playfair JHL. Malaria parasites induce TNF production by macrophages. Immunology 1988; 64: 227-31.
    99. Mahana RN, Boulandi J, Mshana NM dkk. Cytokines in the patogenesis of malaria: level of IL-1betha, IL-4, IL-6, TNF-alpha, and IFN-gamma in plasma of healthy individuals and malaria patients in a holoendemic area. J Clin Lab Immunol 1991; 34: 131-9.
    100. Grau GE, Taylor TE, Molyneux ME dkk. Tumor necrosis factor and disease severity in children with falciparum malaria. N Engl J Med 1989; 320: 1586-91.
    101. Kwiatkowski D, Hill AVS, Sambou I dkk. TNF concentration in fatal cerebral, neonatal cerebral, and uncomplicated Plasmodium falciparum malaria. Lancet 1990; 336: 1201-4.\
    102. Shaffer N, Grau GE, Hedberg K dkk. Tumor necrosis factor and severe malaria. J Infect Dis 1991; 163: 96-101.
    103. Tjitra E dan Richie TL. Laporan penelitian imunologi pada penderita malaria serebral di RS Manado dan Tomohon, 1993-1994. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta. 1994.
    104. Kremsner PG, Grundmann H, Neifer S dkk. Pentoxifylline prevents murine cerebral malaria. J Infect Dis 1991; 164: 605-8.
    105. Graninger W, Thalhammer F dan Locker G. Pentoxifylline in cerebral malaria. J Infect Dis 1991; 17: 137.
    106. Landau Z dan Attali M. Use of pentoxifylline in the treatment of cerebral malaria. Clin Infect Dis 1993; 17: 137.
    107. Maheshwari RK. The role of cytokines in malaria infection. Bull WHO 1990; 68 (suppl): 138-44.
    108. Deloron P, Chougnet C, Lepers JP dkk. Protective value of elevated levels of gamma interferon in serum against exoerythrocytic stages of Plasmodium falciparum. J Clin Microbiology 1991; 29 (9): 1757-