penyebab, gejala, patofisiologi, diagnosa dan pengobatan bell's palsy

BELLS  PALSY 





PENDAHULUAN

BELLS PALSY adalah suatu penyakit yang salah satu gejalanya berupa kelumpuhan satu sisi otot wajah sehingga menyebabkan wajah penderita menjadi tidak simetris, kaku dan tampak melorot pada satu sisi wajah. Kelumpuhan otot wajah ini terjadi karena kelemahan pada saraf facialis atau saraf no 7 yaitu suatu saraf dari 12 macam saraf kranial yang merupakan bagian dari saraf tepi manusia dan salah satu fungsinya adalah mengendalikan otot otot ekspresi wajah.

Mekanisme terjadinya kelemahan pada saraf fasialis ini di duga karena adanya peradangan pada saraf tersebut yang kemudian menyebabkan sarat tersebut menjadi terhimpit sebagian atau seluruhnya, sehingga otot yang tersambung dengan saraf juga berhenti bekerja. Kondisi inilah yang membuat otot wajah lumpuh. Penyakit ini bersifat idiopatik yaitu dapat muncul secara tiba-tiba, tidak diketahui pasti penyebabnya namun biasanya tidak bersifat permanen..

Bell’s palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang dokter bedah bernama Sir Charles Bell berkebangsaan skotlandia.

Permasalahan yang di timbulkan Bell’s Palsy cukup kompleks, diantaranya masalah kosmetika dan psikologis. Adanya kelumpuhan pada otot wajah menyebabkan wajah tampak mencong dan ekspresi abnormal, sehingga menjadikan penderitanya merasa minder dan kurang percaya diri. Banyak orang menganggap Bell’s palsy sebagai stroke karena gejalanya serupa, yaitu kelumpuhan. Padahal, kedua penyakit tersebut sebenarnya berbeda. Kalau stroke kerusakannya terjadi pada saraf pusat sedangkan kalau bellpalsy kerusakan terjadi di saraf tepi disaraf ke 7 saraf kranial. Gejala Bell’s palsy hanya terbatas pada otot wajah. Seorang penderita bellpalsy akan mengalami mulut miring dan mata yang tidak bisa menutup sempurna sedangkan pada stroke akan mengalami mulut muring dan mata bisa menutup sempurna, selain itu stoke biasanya di ikuti gejala penyerta seperti kemahan pada sisi tubuh, bicara cadel dan lainnya.



EPIDEMIOLOGI

Bell’s palsy merupakan penyakit pada saraf fasialis yang paling sering terjadi, Di Amerika Kejadian sindrom Bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya, 63 persen mengenai wajah sebelah kanan.

Di indonesia dari data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia diperoleh frekuensi BP sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. BP mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat . Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, dan tidak didapatkan perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin. Meskipun begitu pada beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara dingin



ANATOMY SARAF FASIALIS

Sebelum membahas tentang penyebab, mekanisme dan gejala klinis bell palsi, maka perlu kita memahami dahulu mengenai anatomi dan fisiologi dari saraf fasialis yang merupakan satu satunya saraf yang mengalami kelumpuhan pada penyakit bell palsi.

gambar pembagian sistim saraf pusat dan saraf tepi
klasifikasi sistim saraf


Sistem saraf merupakan suatu sistim yang kompleks dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang atau medula spinalis. Otak sendiri dibagi lagi menjadi : otak besar (serebrum), otak kecil (serebelum) dan batang otak.. Batang otak terdiri dari tiga struktur utama, yakni otak tengah, pons, dan medulla oblongata.
Bagian dari sisitim saraf pusat
Sistem sarat tepi adalah sistem saraf yang berada pada paling ujung sistem saraf. Sistem saraf tepi langsung berhubungan reseptor saraf. Sistem saraf tepi biasa juga disebut dengan sistem saraf perifer.


Sistim saraf tepi dibagi atas 12 macam saraf kranial dan 31 macam saraf spinal. 12 macam saraf kranial ini dibedakan lagi

  • Berdasarkan asal saraf, maka dibagi menjadi 
    • saraf yang keluar dari encephalon atau keluar dari otak dan saraf yang keluar dari batang otak. saraf yang keluar dari encepalon adalah nervus nomor 1 (Nervus Olfaktorius) dan nervus nomor 2 (Nervus Optikus). 
    • Sedangkan saraf yang keluar dari batang otak adalah nervus 3 sampai nervus 12 yaitu Saraf III (Nervus Occulomotorius), Saraf IV (Nervus Trochlearis), Saraf V (Nervus Trigeminus), Saraf VI (Nervus Abdusen), Saraf VII (Nervus Fasialis), saraf VIII (Nervus Vestibulocochlearis), Saraf IX (Nervus Glosofaringeal), Saraf X (Nervus Vagus), Saraf XI (Nervus Asesorius), Saraf XII (Nervus Hipoglosus).
  • Berdasarkan modalitasnya :
    • saraf yang bersifat sensoris : saraf nomor 1, nomor 2 dan nomor 8 itu bersifat sensorik
    • saraf yang bersifat motorik : saraf nomor 3, 4,6,11,12 bersifat motorik
    • saraf yang bersifat motorik dan sensorik :saraf no 5,7,9 dan 10 bersifat campuran bik sensorik maupun motorik
Sel-sel sistem saraf sensorik mengirimkan informasi ke Sistem saraf pusat dari organ-organ internal atau dari rangsangan eksternal sedangkan Sel-sel sistem saraf motorik membawa informasi dari SSP ke organ, otot, dan kelenjar.
pembagian sistim saraf pada manusia

Saraf motorik terbagi atas dua jenis, yaitu saraf motorik bagian atas (upper motor neuron/UMN) dan bawah (lower motor neuron/LMN). UMN berasal dari otak dan bertugas untuk mengirimkan signal dari otak ke batang otak atau ke saraf tulang belakang. Sementara LMN berasal dari batang otak dan saraf tulang belakang, serta berfungsi untuk melanjutkan signal ke seluruh otot.

Penyakit Bel's palsy merupakan penyakit akibat kelemahan sementara dari saraf fasialis yang merupakan bagian dari sistem saraf tepi yang bersifat LMN. Saraf tepi meliputi 12 saraf kranial yang salah satunya adalah saraf fasialis yang kelumpuhannya dapat menyebabkan penyakit bells palsy.
Saraf fasialis pada bell's palsy


Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen mayor yaitu motorik dan komponen minor yaitu n. Intermedius. Komponen saraf motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut-serabut motorik ke otot-otot ekspresi wajah.
Komponen Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut-serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna.

Nukleus fasialis terletak di vebtrolateral tegmentum pontis, serabutnya memutar nukleus abdusen membentuk genu internum nervus fasialis, adanya genu internum ini membentuk penonjolan kecil di dasar ventrikel ke 4 ( kolikulus fasialis), selanjutnya serabut ini berjalan kearah ventrolateral menuju ujung kaudal pons. Keluar dari kaudal pons menembus lapisan subaraknoid di cerebropontine angle, serabutnya kemudian masuk ke meatus akustikus internus, bersama dengan nervus vestibular koklearis (n. 8) dan cabang n. Intermedius n fasialis, setelah masuk ke meatus akustikus internus, serabut nervus fasialis berpisah dengan nervus vestibular coclearis, serabut ini berjalan kearah lateral di kanalis fasialis menuju ke ganglion genikulatum, setinggi ganglion genikulatum, serabut nervus fasialis menurun curam membentuk genu externum nervus fasialis. Serabut fasialis selanjutnya turun dan keluar dari foramen stilomastoideus, keluar dari dari foramen stilomastoideus, nervus fasialis membentuk 5 cabang utama yang mempersyarafi otot expresi wajah. Yaitu cabang temporal, saya zigomatikus, bucal, mandibular dan cervikal.





Otot otot yang dipersarafi oleh nervus fasialis :
o M. Frontalis
o M. Oksipitalis
o M. Orbikularis okuli
o M. Businator
o M. Stapedeus
o M. Platisma
o M. Stilohioideus
o M. Ventor posterior digastrikus



ETIOLOGI


Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motorik neuron (LMN) yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Bp terjadi karena saraf yang mengendalikan otot expresi wajah yaitu saraf fasialis mengalami peradangan. Adanya peradangan ini menyebabkan peningkatan diameter saraf fasialis
Peningkatan diameter ini akan menyebabkan saraf menjadi terhimpit sebagian atau seluruhnya, otot yang tersambung dengan saraf juga berhenti bekerja. Kondisi inilah yang membuat otot otot expresi wajah menjadi lumpuh sehingga bentuk wajah menjadi berbeda atau asimetris.

Penyebab peradangan pada saraf fasialis ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti.diduga disebabkan oleh virus seperti herpes simpleks virus, epsteinbar virus, varisela zozter. atau disebabkan oleh bakteri yaitu boleria burgdoferi
Lokasi peradangan sangat menentukan untuk diagnosis gejala klinis dan juga keberhasilan pengobatan.


GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis pada pasien bell’s palsy biasanya timbul secara mendadak dan pasien menyadari adanya kelumpuhan pada otot wajah pada saat melihat kaca atau diberitahukan oleh orang lain.


Lokasi peradangan nervus fasialis

gejala bell palsy


Gambaran klinis tergantung lokasi yang terkena :

  • Lesi di luar foramen stilomastoideus
    • Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah.. Garis dahi menghilang, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputarke ataS (Bell phenomen). Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus, karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat sehingga tanpak mencong terutama saat meringis. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi ( disisi yang lumpuh )akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. Penderita juga mengeluh ada rasa tebal atau mati rasa dan terkadang mengeluh nyeri di wajah.
  • Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)yaitu tepatnya (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah stapedeus)
    • Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) berupa rasa asin dan manis dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
  • Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
    • Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b) ditambah dengan adanya hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). 
  • Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
    • Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Berkurangnya produksi air mata dan saliva
  • Lesi di daerah meatus akustikus interna
    • Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d). Lesi didaerah ini juga dapat melibatkan saraf ke 8 yaitu vestibulokolearis yang menyebabkan tuli, tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).
  • Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
    • Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus vestibulokoklearis dan kadang- kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus


DIAGNOSIS

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan nervus fasialis perifer

Anamnesis
 pada anamnesis ditanyakan mengenai perkembangan gejala berupa perjalanan penyakit dan gejala penyerta yang dirasakan dan juga riwayat penyakit.

  • Progresif paralisis lebih dari tiga minggu harus dievaluasi untuk neoplasma, adanya riwayat trauma atau kelumpuhan anggota gerak juga perlu ditanyakan untuk menyingkirkan diagnosa lain.
  • Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat disertai paralisis wajah dapat disebabkan oleh Ramsay Hunt Syndrome.


PEMERIKSAAN FISIK

  1. Fungsi motorik
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut. Bila asimetri muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral, muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai

  • Mengangkat alis (m. Frontalis) dan mengerutkan dahi (m. Corigator supercili)
    • Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau tidak. Kemudian minta pasien untuk mengerutkan dahi, nilai apakah musculus oksipitofrontalis, musculus corrgurator supercilli, musculus procerus simetris atau tidak. Pada kelumpuhan jenis supranuklear sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahinya, sebab musculus oksipitofrontalis, musculus corrgurator supercilli, musculus procerus mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis perifer terlihat adanya asimetri.
  • Memejamkan mata (m. Orbicularis occulli)
    • Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat pasien tidak dapat memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata kurang kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan. Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh. Disini dinilai apakah musculus orbicularis okuli dapat berkontraksi dengan baik atau tidak, simetris atau tidak.
  • Menyeringai (menunjukan gigi geligi) (M. zigomatikus mayor)
    • Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien tidak dapat melakukannya maka terdapat gannguan persarafan pada musculus zigomatikus mayor. Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila diberikan ransangan nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (musculus masseter).
  • Mencucurkan bibir ( M. orbicularis oris)
    • Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan apakah simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan asimetris maka dicurigai ada gangguan pada persarafan musculus orbicularis oris.
  • Menggembungkan pipi. (M.bucinator)
    • Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah simetris. Apabila pasien tidak dapat melakukan dengan baik maka dapat dikatakan terjadi gangguan pada persarafan musculus bucinator.
  • Mengembang kempiskan cuping hidung (M.nasalis)
    • Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris atau tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada musculus nasalis.
2. Fungsi Pengecapan

  • Kerusakan N. VII, sebelum percabangan khorda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya pasien disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita berikan pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut bubuk akan tersebar melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien diminta untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya degan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau diatas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi saliva.


DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral

Banyak orang menganggap Bell’s palsy sebagai stroke karena gejalanya serupa, yaitu kelumpuhan. Padahal, kedua penyakit tersebut sebenarnya berbeda.

  • Kalau stroke kerusakannya terjadi pada saraf pusat sedangkan kalau bellpalsy kerusakan terjadi di saraf tepi disaraf ke 7 saraf kranial.
  • Gejala Bell’s palsy hanya terbatas pada otot wajah dimana dari dahi sampai dagu lumpuh semua. Seorang penderita bellpalsy akan mengalami mulut miring dan mata yang tidak bisa menutup sempurna, dahi yang tidak bisa berkerut sedangkan pada stroke akan mengalami mulut miring dan mata bisa menutup sempurna, dahi bisa berkerut. selain itu stoke biasanya di ikuti gejala penyerta seperti kemahan pada sisi tubuh, bicara cadel dan lainnya sedangkan pada bell palsi hanyab terbatas pada otot ekspresi wajah, pada stroke terjadi kelainan refleks sedangkan pada bell palsi tidak
  • Pada kelumpuhan stroke terdapat kelumpuhan yang spastik (kaku), sedangkan pada kelumpuhan bells palsy terdapat kelumpuhan yang flaksid (lemas)
Kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan Trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.

Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral;tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia
TATA LAKSANA

American Medical Association (AMA) mengungkapkan bahwa pengobatan akan lebih efektif bila diberikan lebih awal. Karena itu, pengidap dianjurkan untuk mengunjungi dokter segera setelah mengalami gejala.

Penderita yang mengalami gejala ringan biasanya tidak membutuhkan pengobatan. Namun penderita dengan gejala lebih parah membutuhkan penanganan guna mempercepat proses kesembuhan dan mencegah komplikasi jangka panjang. Penyembuhan juga tergantung letak lesi dan gejala komorbid yang menyertainya. Semakin tinggi letak lesi kerusakannya maka semakin sulit dan lama penyembuhannya.

Tata laksana untuk mempercepat masa penyembuhan dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi yaitu rehabilitasi medik

1. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien bells palsy yaitu pemberian obat cortikosteroid, anti-viral dan anti nyeri

  • Kortikosteroid
    • Dasar untuk pemberian obat kortikosteroid pada bell’s palsy karena inflamasi dan edema pada nervus fasialis merupakan salah satu penyebab dari Bell’s palsy dan kortikosteroid berpotensi sebagai anti inflamasi dimana dapat meminimalisasi kerusakan pada saraf dan sehingga hasil meningkat.
    • pemberian sebaiknya selekas – lekasnya terutama pada kasus BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi.
  • Anti-viral
    • ]Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.
  • Anti Nyeri
    • Biasanya diberikan untuk meredakan nyeriyang kadangkala timbul pada bells palsy


2.terapi Non farmakologi

  • Home exercise program
    • Terapi ini dapat dilakukan sendiri dirumah
    • Pertama kompres hangat di otot yang mengalami lesi, Selanjutnya pijat serkuler dari bawah keatas melawan gravitasi selama 3 menit pada posisi tidur atau setengah duduk ( karena BP menyebabkan otot lemah, maka ototmatis ototnya mengikuti gravitasi jadi kita bantu melawan gravitasi) selain itu pijit juga menyebabkan sirkulasi darah untuk otot menjadi lancar. Penderita didepan cermin, cobalah untuk tersenyum, lalu otot yang lemah dipaksaa ikut tersenyum dengan bantuan tangan menggerakannya keatas sambil lihat depan cermin.
  • Infrared untuk mengurangi kekakuan dan ketegangan otot.
  • Pemanasan pada foramen stilomastoideus karena daerah ini paling sering terkena
  • Elektric stimulasi untuk stimulasi otototot yang lemah


KOMPLIKASI BELLS PALSY

  • Kerusakan saraf wajah permanen
  • Gerakan otot yang muncul tidak disengaja atau tanpa perintah
  • Luka pada kornea mata (ulkus kornea)
  • Kehilangan kemampuan mengecap rasa.


PROGNOSIS

Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Pada literatur lain penderita BP bisa sembuh sempurna dalam waktu 2 bulan dan sembuh sempurna antara 1-3 bulan 80% .

Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.


Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah :

  1. Usia di atas 60 tahun
  2. Paralisis komplit
  3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
  4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan Berkurangnya air mata.
  5. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM.
Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis (Ropper, 2003)