WASPADAI BATU EMPEDU

BAB I

Pendahuluan 

BATU SALURAN EMPEDU


1.    Latar Belakang
 Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara Barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi realtif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.
Di negara Barat 10-15% dengan batu empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat.
Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimtomatik.

2.    Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi kriteria penilaian di dalam Blok 17 – Sistem Hepatobilier,  menambah pengetahuan mengenai kelainan yang dapat timbul pada sistem hepatobilier, yang salh satunya merupakan terdapatnya batu empedu, serta komplikasi lain yang dapat menyertainya, faktor risiko dan cara mengatasinya. Tak terlepas dari penambahan pengetahuan, dengan membuat makalah ini kita akan dapat belajar mengenai banyak istilah-istilah kedokteran yang baru serta pengetahuan umum mengenai fisiologi maupun patologi manusia.

BAB II
Pembahasan

2.1    Batu Empedu
Kolelitiasis simtomatik adalah masalah kesehatan umum, yang membuat kolesistektomi salah satu prosedur bedah yang paling sering dilakukan di dunia. Koledokolitiasis merumitkan hasil pemeriksaan dan penanganan kolelitiasis, memerlukan prosedur diagnostik dan terapi tambahan, dan menambah angka kesakitan dan kematian penyakit batu empedu. Manajemen koledokolitiasis telah menjadi bahan perdebatan selama beberapa tahun terakhir, terutama dengan munculnya teknik laparaskopi baru dan pengalaman yang lebih besar dengan prosedur endoskopik.

2.2    Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu upaya untuk mendukung diagnosis dengan cara menyimpulkan riwayat kesehatan serta keluhan pasien. Pada kasus tersebut, pasien mengeluh:
-    Nyeri pada perut bagian kanan atas
-    Merasa kesakitan sejak 30 menit sebelum berkunjung ke dokter
-    Sudah sebulan berat badannya terus menurun



2.3    Pemeriksaan
2.3.1    Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada keadaan pasien seperti skenario B, berguna untuk mendukung terhadap disgnosa tertentu. Dari segi inspeksi, dapat dilihat keadaan umum pasien tenpa adanya kontak fisik antara pasien dan dokter. Tahap palpasi, dapat memastikan jika terdapatnya nyeri tekan atau meraba jika terdapat suatu pembesaran organ atau benjolan pada tubuh pasien.

Pada skenario ditemukan:
-    Keadaan umum pasien tersebut tampak kesakitan. Hal tersebut menunjukkan terdapatnya nyeri yang hebat pada pasien tersebut.
-    Kulit ikterik
-    Suhu tubuh 38C menandakan terdapatnya suatu infeksi atau peradangan yang menyertai nyeri tersebut.
-    Denyut nadi: 98x/menit dapat merupakan kompensasi tubuh dalam mengatasi rasa nyeri yang hebat.
-    Frekuensi pernafasan 24x/menit menunjukkan bahwa frekuensinya sedikit meningkat.
Hal tersebut juga dapat mendukung rasa nyeri yang hebat yang dirasakn pasien.

2.3.2    Pemeriksaan Penunjang


-    Pemeriksaan Laboratorium


Hasil studi laboratorium normal pada pasien tanpa gejala dan pasien dengan kolik bilier yang tidak disertai komplikasi. Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak diperlukan dalam keadaan terdapatnya batu empedu kecuali diduga terdapatnya kolesistitis.

Pasien dengan kolangitis dan pankreatitis memiliki nilai tes laboratorium yang abnormal. Satu nilai laboratorium abnormal tidak memastikan diagnosis pada koledokolitiasis, kolangitis, atau pankreatitis, melainkan, satu set hasil studi laboratorium mengarah ke diagnosis yang benar.
1.    Peningkatan hitung sel darah putih menimbulkan kecurigaan terhadap adannya peradangan atau
       infeksi, tetapi temuan tersebut tidak merupakan hasil yang spesifik.
2.    Peningkatan serum bilirubin menunjukkan terdapatnya gangguan pada duktus koledokus;
       semakin tinggi kadar bilirubin, semakin mendukung prediksi. Batu pada duktus koledokus hadir
       di sekitar 60% dari pasien dengan kadar bilirubin serum lebih dari 3 mg / dL.
3.    Peningkatan kadar lipase dan amilase serum mengarah kepada terdapatnya pankreatitis akut
       sebagai komplikasi dari koledokolitiasis.
4.    Enzim transaminase (serum glutamic-piruvat transaminase dan serum glutamic transaminase-
       oksaloasetat) meningkat pada pasien yang terdapat koledokolitiasis disertai komplikasi
       kolangitis, pankreatitis, atau keduanya.
5.    Alkali fosfatase dan gamma-glutamil transpeptidase meningkat pada pasien dengan
       koledokolitiasis obstruktif. Hasil kedua tes tersebut memiliki nilai prediksi yang baik terhadap
       kehadirannya batu pada duktud koledokus.

-    Pemeriksaan Radiologi


             -   Cholescintigraphy (HIDA scan): Ini adalah tes di mana sebuah solusi disuntikkan ke
                 infus di lengan pasien. Cairan diserap oleh hati, kemudian diteruskan dan disimpan
                 dalam kandung empedu (seperti empedu). Solusi ini berisi penanda radioaktif yang tidak
                 berbahaya, yang terlihat oleh kamera khusus. Jika kandung empedu meradang atau
                 diblokir oleh batu empedu, penanda tersebut tidak terlihat dalam kantong empedu.

             -  CT scan: Tes ini mirip dengan sinar-X, namun lebih rinci. Ini menunjukkan kandung
                 empedu dan saluran empedu dan dapat mendeteksi batu empedu, penyumbatan, dan
                 komplikasi lain.

             - Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP): Sebuah endoskopi yang
               tipis dan fleksibel digunakan untuk melihat bagian-bagian dari sistem empedu pasien.
               Pasien dibius, dan tabung masuk melalui mulut, melewati perut dan ke usus kecil. Alat
               tersebut kemudian menyuntikkan pewarna sementara ke dalam saluran empedu. Pewarna
               tersebut memudahkan untuk melihat batu dalam saluran ketika foto sinar-X diambil.
               Pada keadaan tertentu batu dapat dihilangkan selama prosedur ini.

           -    USG      Ultrasonografi (USG) merupakan uji terbaik dalam mendeteksi adanya batu
                empedu. Ultrasonography adalah teknik radiologi yang menggunakan gelombang suara
                frekuensi tinggi untuk menghasilkan gambar organ dan struktur tubuh. Gelombang suara
                yang dipancarkan dari sebuah alat yang disebut transducer dan dikirim melalui jaringan
                tubuh. Gelombang suara yang dipantulkan oleh permukaan dan bagian interior organ
                internal dan struktur tubuh sebagai "gema." Gema tersebut menggemakan kembali ke
                transducer dan ditransmisikan secara elektrik ke tampilan monitor. Dari monitor, sosok
                organ dan struktur dapat ditentukan serta konsistensi organ, misalnya, cair atau padat.
               Ada dua jenis ultrasonografi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis batu empedu,
                                  1) ultrasonografi transabdominal dan
                                  2) ultrasonografi endoskopik.

            - Transabdominal ultrasonografi
              Untuk ultrasonografi transabdominal transduser ditempatkan langsung pada kulit perut
              yang telah diolesi gel. Gelombang suara menjalar melalui kulit dan kemudian ke organ
              perut.. Ultrasonografi transabdominal tidak menimbulkan rasa sakit, murah, dan tidak
              disertai risiko bagi pasien. Selain mengidentifikasi 97% batu empedu di kandung empedu
             , ultrasonografi abdomen dapat mengidentifikasi kelainan lainnya yang berhubungan
              dengan batu empedu.

                Hal ini dapat mengidentifikasi:
           1) penebalan dinding dari kandung empedu bila ada kolesistitis,
           2) pembesaran kandung dan saluran empedu karena gangguan pada saluran oleh batu
               empedu,
           3) pankreatitis, dan
           4) lumpur.

           - Endoskopi ultrasonografi
            Untuk endoskopik ultrasonografi, tabung fleksibel dan panjang (endoskopi) ditelan oleh
            pasien setelah dia telah dibius dengan obat intravena. Ujung endoskopi dilengkapi dengan
            transduser USG. Transduser ini maju ke dalam duodenum tempat gambar ultrasonografi
            diperoleh.
            Endoskopi ultrasonografi dapat mengidentifikasi batu empedu dan kelainan sama seperti
            ultrasonografi transabdominal, namun, karena transduser jauh lebih dekat ke struktur yang
            perlu dilihat (empedu, saluran empedu, dan pankreas), gambar yang diperoleh lebih baik
            hasilnya dibandingkan dengan ultrasonografi transabdominal. Jadi, endoskopi ultrasonografi
            memungkinkan untuk memvisualisasikan batu empedu yang lebih kecil dibandingkan
            dengan menggunakan endoskopi transabdominal. Endoskopi ultrasonografi juga lebih baik
            untuk mengidentifikasi batu empedu dalam saluran empedu umum (duktus koledokus).
            Meskipun endoskopik ultrasonografi lebih baik dalam banyak hal dibandingkan dengan
            ultrasonografi transabdominal, cara tersebut mahal, tidak tersedia di semua tempat, dan
            membawa risiko kecil sedasi intravena dan perforasi usus oleh endoskopi. Untungnya,
            ultrasonografi transabdominal biasanya memberikan semua informasi yang diperlukan, dan
            endoskopik ultrasonografi jarang diperlukan. Endoskopi ultrasonografi juga merupakan cara
            yang lebih baik daripada USG transabdominal untuk mengevaluasi pankreas.

2.4    Etiologi


Batu empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan faktor resikonya adalah : usia lanjut, kegemukan (obesitas), diet tinggi lemak dan faktor keturunan. Komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sebagian kecil lainnya terbentuk dari garam kalsium. Cairan empedu mengandung sejumlah besar kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan diluar empedu.
Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu dan sebagian besar batu di dalam saluran empedu berasal dari kandung empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran atau setelah dilakukan pengangkatan kandung empedu.
Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis), infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.


2.5    Epidemiologi


Di masyarakat Barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol, sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien.
Prevalensi kolelitiasis dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk etnis, jenis kelamin, komorbiditas, dan genetika. Di Amerika Serikat, sekitar 20 juta orang (10-20% dari orang dewasa) memiliki batu empedu. Setiap tahun 1-3% dari orang menghasilkan batu empedu dan sekitar 1-3% orang menunjukkan gejala. Dalam sebuah studi di Italia, 20% wanita memiliki batu, dan 14% laki-laki memiliki batu. Dalam studi di Denmark, prevalensi batu empedu orang berusia 30 tahun adalah 1,8% untuk pria dan 4,8% untuk perempuan; prevalensi batu empedu pada orang usia 60 tahun adalah 12,9% untuk pria dan 22,4% untuk perempuan.

2.6    Patofisiologi


Batu empedu adalah kumpulan material yang seperti batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu saluran empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu:

1) batu kolesterol yang paling umum (75-80% di Amerika Serikat) di mana komposisi kolesterol
    melebihi 70%,
2) batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate yang mengandung Ca-bilirubinate sebagai
    komponen utama, dan
3) batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terekstraksi dan
4) batu campuran. 

Batu-batu tersebut terbentuk bila ada ketidakseimbangan atau perubahan dalam komposisi empedu.

Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenensis batu kolesterol;

 1) hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu, 
 2) percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol dan
 3) gangguan motilitas kandung empedu dan usus.

Adanya pigmen di dalam inti batu kolesterol berhubungan dengan lumpur kandung empedu pada stadium awal pembentukan batu. Biasanya, asam empedu, lesitin, dan fosfolipid membantu menjaga kelarutan kolesterol dalam empedu.

Jika rasio kolesterol dan asam empedu atau fosfolipid meningkat, empedu menjadi sangat jenuh (supersaturated) dengan kolesterol; mengkristal dan membentuk sarang untuk pembentukan batu.

 Kalsium dan pigmen dapat terintegrasi ke dalam batu. Gangguan motilitas kandung empedu, stasis empedu, dan isi empedu menjadi predisposisi bagi orang untuk terjadinya pembentukan batu empedu.

Patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktifitas ensim β-glucuronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara timur. Hidrolisis bilirubin oleh ensim tersebut akan membentuk bilirubin pada tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. Ensim β-glucuronidase bakteri berasal dari kuman E.coli dan kuman lainnya yang konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak.
Lumpur kandung empedu adalah kristalisasi dalam empedu tanpa pembentukan batu empedu. Lumpur dapat menjadi salah satu tahap dalam pembentukan batu, atau dapat juga terjadi secara independen. Lima sampai lima belas persen pasien dengan kolesistitis akut tidak disertai batu (kolesistitis acalculous). Ini umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit yang berkepanjangan, seperti mereka yang mengalami trauma berat atau dengan perawatan ICU yang berkepanjangan.

Pigmen batu, yang meliputi 15% dari batu empedu, dibentuk oleh kristalisasi kalsium bilirubinat. Penyakit yang menyebabkan peningkatan kerusakan sel darah merah (hemolisis), metabolisme abnormal hemoglobin (sirosis), atau infeksi (termasuk parasit) meningkatkan resiko orang untuk terkena batu pigmen.
Terdapat dua jenis batu, yaitu batu hitam dan batu coklat. Batu hitam ditemukan pada orang dengan gangguan hemolitik. Batu coklat ditemukan di saluran intrahepatik atau ekstrahepatik.
Batu tersebut terkait dengan infeksi pada kandung empedu dan sering ditemukan pada orang-orang keturunan Asia.

Koledokolitiasis terjadi sebagai akibat baik dari pembentukan utama batu di saluran empedu umum (CBD) atau bagian dari batu empedu dari kandung empedu melalui ductus cysticus ke ductus choledocus (CBD).
Stasis empedu, bactibilia, ketidakseimbangan kimia, ketidakseimbangan pH, peningkatan ekskresi bilirubin, dan pembentukan lumpur adalah salah satu faktor utama yang diperkirakan menyebabkan pembentukan batu ini.
Penyumbatan CBD dengan batu empedu menyebabkan gejala dan komplikasi yang termasuk rasa sakit, penyakit kuning, kolangitis, pankreatitis dan sepsis.


Diferensiasi batu empedu merupakan suatu pertimbangan penting dalam penatalaksanaan pasien; batu kolesterol lebih mungkin untuk respon terhadap tindakan non-bedah daripada pigmen atau batu campuran.


2.7    Gejala Klinis

Pasien dengan koledokolitiasis dapat sepenuhnya tidak disertai gejala (asimtomatik); sekitar 7% kasus, batu-batu empedu tersebut ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan kolesistekomi. Batu terlihat pada 1% dari autopsi yang dilakukan pada individu yang lebih tua dari 60 tahun yang meninggal karena sebab-sebab yang tidak terkait. Sekitar 25-50% batu CBD pada akhirnya menyebabkan gejala asimtomatik dan memerlukan perawatan.

 Gejala terjadi ketika batu menyumbat (obstruksi) CBD.

Gejala klinis yang timbul bervariasi tergantung pada derajat dan tingkat obstruksi dan pada adanya atau tidak adanya infeksi empedu.
          -    Batu dapat asimtomatik.
          -    Nyeri merupakan gejala yang paling sering. Rasa sakit pada dasarnya menyerupai rasa
              kolik, terletak di kuadran kanan atas perut. Rasa sakit adalah intermiten, sementara, dan
              berulang dan dapat berhubungan dengan mual dan muntah.
          -   Ikterus terjadi ketika CBD menjadi terhambat dan konjugasi bilirubin memasuki aliran
              darah.
          -   Demam merupakan indikasi kolangitis, dan klasik triad Charcot demam, penyakit kuning,
              dan nyeri kuadran kanan atas sangat mendukung diagnosis.
          -   Batu empedu bertanggung jawab atas 50% dari semua kasus pankreatitis. Sebaliknya, 4
              8% dari pasien dengan batu empedu mengembangkan pankreatitis. Pankreatitis dapat
               diendapkan jika CBD obstruksi terjadi pada tingkat ampula Vater.
               Nyeri pankreas berbeda dari rasa sakit empedu. Rasa sakit ini terletak di daerah
               epigastrium dan midabdominal dan tajam, parah, terus menerus, dan memancarkan ke
               belakang. Mual dan muntah sering hadir, dan episode sebelumnya yang serupa dilaporkan
               oleh pasien sekitar 15%.
         -    Sejarah striktur CBD jinak, kolangitis sklerosis, disfungsi sfingter Oddi, dan dilatasi
              cysticus dari CBD sangat penting dalam diagnosis batu empedu sekunder.
         -     Kehadiran infestasi parasit A. lumbricoides atau C. sinensis dapat mengakibatkan
              pengembangan batu CBD utama, yang diamati pada populasi yang disebut
             “Cholangiohepatitis Oriental”.

Temuan khusus pada pemeriksaan fisik sedikit dan yang utama merupakan nyeri abdomen dan penyakit kuning.
    -     Kelunakan ditemukan di kuadran kanan atas perut. Kelunakan yang parah, termasuk
          tanda Murphy, mengarah pada adanya kolesistitis akut, baik secara bersamaan atau sendiri.
    -     Berlanjutnya ikterus tergantung pada tingkat keparahan dan lamanya obstruksi CBD.
    -     Tanda-tanda sistemik seperti demam, hipotensi, dan flushing dapat hadir dan sering
          menunjukkan infeksi, sepsis, atau keduanya.

2.8    Working Diagnosis


Berdasarkan gejala-gejala yang terdapat pada pasien tersebut, dapat dikemukakan working diagnosis adalah koledokolitiasis yang disertai komplikasi kolangitis.

Working diagnosis terbut adalah berdasarkan hal berikut:

1.    Nyeri pada perut bagian kanan atas (keadaan umum kesakitan)
2.    Ikterus
3.    Suhu tubuh 38C
4.    Nadi 98x/menit

2.9    Differential Diognosis


2.9.1    Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah keadaan dimana terbentuknya batu empedu di dalam kandung empedu. Kolelitiasis ada yang simtomatik dan asimtomatik. Kolelitiasis yang disertai gejala  dapat berupa rasa nyeri yang hebat (kolik) yang tidak terlokalisir dan takikardia yang timbul karena nyeri yang hebat. Jika nyeri terus menerus lebih dari 6 jam, dikhawatirkan terdapat komplikasi lain. Kolelitiasis tidak disertai demam, kecuali terjadi peradangan pada kandung empedu (kolesistitis). Pada pemeriksaan fisik, pada kuadran kanan atas tidak teraba lunak, sedangkan pada koledokolitiasis teraba lunak.

2.9.2    Kolesistitis
Kolesistitis adalah peradangan pada kandung empedu. Kolesistitis dapat disertai demam karena merupakan proses peradangan. Akan tetapi, terdapatnya ikterus pada kulit pasien pada skenario B, menandakan peningkatan bilirubin dalam tubuh. Hal tersebut mengarah kepada terjadinya gangguan pada saluran empedu dibandingkan pada kandung empedu.

2.9.3    Pankreatitis
Peradangan pankreas menimbulkan nyeri yang terus menerus dan menyebar dari kuadran kanan atas abdomen menjalar ke punggung. Pankreatitis juga menunjukkan peningkatan kadar enzim transaminase, lipase dan amilase dalam tubuh.

2.9.4    Sirosis Bilier
Sirosis bilier merupakan penyakit kolestasis hati kronik dan progresif. Etiologi penyakit tersebut belum diketahui secara pasti. Gejala yang dapat timbul pada kelainan tersebut adalah rasa lelah (sekitar 65%), gatal (sekitar 55% penderita), nyeri pada kuadra kanan atas (pada sekitar 8-17% penderita), hepatomegali, hiperpigmentasi dan ikterus pada sebagian kecil dari jumlah penderita.

2.9.5    Abses Hepar
Abses hepar karena infeksi bakteri tidak sering terjadi. Walaupun demikian, terdapat tiga jenis abses hepar yang umumnya terjadi, yaitu 1) abses piogenik yang dapat disebabkan oleh infeksi polimikrobial, 2) abses amebik yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica dan 3) abses fungal yang disebabkan oleh Candida. Gejala abses hepar yang menonjol adalah terdapatnya demam, menggigil, nyeri kuadran kanan atas, anoreksia dan malaise. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa yang teraba pada saat palpasi, hepatomegali yang teraba sebagai suatu massa yang lunak, bagian epigastrium yang terasa lunak dan ikterus.

2.9.6    Kista Saluran Empedu
Kista saluran empedu adalah anomali saluran empedu kongenital. Kelainan tersebut serin terdeteksi sebelum rang berumur 10 tahun. Walaupun demikian, terdapatnya kelainan tersebut pada orang dewasa dapat menimbulkan gejala seperti, demam, nyeri kuadran kanan atas yang tidak terlalu jelas, ikterus, dan massa yang teraba pada kuadran kanan atas abdomen.

2.10    Komplikasi

2.10.1    Kolangitis
Kolangitis akut adalah infeksi bakteri yang muncul pada obstruksi saluran-saluran bilier yang paling sering disebabkan oleh batu empedu, tetapi mungkin berhubungan dengan neoplasma atau striktur.
Infeksi pada Ductus Choledocus (kolangitis).

Infeksi pada saluran empedu umum dari obstruksi adalah umum dan serius. Jika antibiotik diberikan segera, infeksi hilang pada 75% dari pasien. Jika kolangitis tidak membaik, infeksi bisa menyebar dan mengancam hidup pasien. Baik pembedahan atau prosedur yang dikenal sebagai sfingterotomi endoskopik diperlukan untuk membuka dan mengeringkan saluran. Mereka dengan resiko tertinggi untuk hasil yang buruk juga memiliki satu atau lebih kondisi berikut: gagal ginjal, abses hati, sirosis, usia lebih dari 50 tahun.

Faktor utama dalam patogenesis kolangitis akut adalah obstruksi saluran empedu, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi empedu. Sebuah sistem empedu yang dikolonisasi oleh bakteri tetapi tidak mengalami obstruksi, umumnya tidak mengakibatkan kolangitis. Hal ini diyakini bahwa gangguan atau obstruksi pada sistem empedu mengurangi pertahanan antibakteri tubuh, menyebabkan disfungsi kekebalan tubuh, dan kemudian meningkatkan kolonisasi bakteri usus kecil.

Meskipun mekanismenya belum jelas, diyakini bahwa bakteri memperoleh akses ke saluran-saluran empedu oleh gerakan retrograd ke atas dari duodenum atau dari darah vena portal. Akibatnya, infeksi naik ke saluran hepatik, menyebabkan infeksi yang serius. Peningkatan tekanan empedu mendorong infeksi empedu ke dalam kanalikuli empedu, vena hati, dan limfatik perihepatic, menyebabkan bakteremia (25-40%). Infeksi dapat supuratif dalam saluran empedu.
Empedu ini umumnya steril. Dengan adanya batu empedu atau saluran umum, Namun, insiden meningkat bactibilia.

Yang paling umum organisme terisolasi di empedu adalah Escherichia coli (27%), Klebsiella spesies (16%), spesies Enterococcus (15%), Streptococcus spesies (8%), Enterobacter spesies (7%), dan Pseudomonas aeruginosa (7%) . Organisme terisolasi dari budaya darah mirip dengan yang ditemukan dalam cairan empedu. Patogen yang paling umum terisolasi di biakan darah adalah E coli (59%), Klebsiella spesies (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%), dan spesies Enterococcus (4%). Selain itu, infeksi polymicrobial ini umumnya ditemukan biakan empedu (30-87%) dan kadang di biakan darah (6-16%).

2.10.2    Ikterus
Ikterus yang timbul pada pasien tersebut adalah karena meningkatnya bilirubin pada tubuh pasien. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipfikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic. Peningkatan bilirubin direk terjadi karena adanya gangguan dalam transport bilirubin.

 Secara klinis, hiperbilirunemia terlihat sebagai pigmentasi pada sklera dan kulit (kulit berwarna kekuningan/ikterik) jika kadar bilirubin serum melebihi 2-2,5 mg/dl. Gejala ikterus sering sulit dilihat pada orang yang memiliki kulit berwarna gelap.

Gejala ikteus sering muncul pertama pada mata karena pada sklera kaya akan jaringan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang sensitif untuk menunjukan hiperbilirunemia yang menyeluruh.

Gejala ikterus dapat disebabkan oleh gejala yang berasal dari prehepatik, intrahepatik dan post hepatik. Beberapa faktor yang mempengaruhi metabolisme bilirubin yaitu adanya gangguan proses produksi yang berlebihan, uptake dan konjugasi hepar, transportasi dan ekresi.
Proses produksi bilirubin terjadi dalam retikuloendotaleal system (RES) yang berasal dari proses degradasi hemoglobin. Hemoglobin yang lisis membentuk biliverdin yang dengan bantuan enzim biliverdin reduktase dirubah menjadi bilirubin indirek. Bilirubin indirek dalam darah berikatan dengan albumin untuk di metabolisme di hepar (masuk siklus enterohepatik), di dalam hepar terjadi proses uptake yang akan diikat oleh protein Y dan Z yang terdapat dalam sel hepar dengan bantuan enzim glukoronil tranferase bilirubin berikatan dengan asam glukoronat yang pada akhirnya menjadi bilirubin direk yang akan dikeluarkan melalui saluran empedu ke usus.
Jika terjadi gangguan pada proses diatas maka akan menyebkan gangguan dalam proses metabolisme tubuh.

2.10.3    Pankreatitis
Pada kelainan batu empedu sering terdapat pankreatitis, akan tetapi, skenario tersebut tidak mengarah kepada terdapatnya pankreatitis pada pasien tersebut.
Batu saluran empedu umum bertanggung jawab untuk kebanyakan kasus pankreatitis (radang pankreas), suatu kondisi yang dapat mengancam kehidupan. Duktus pankreas, yang membawa enzim pencernaan, bergabung dengan saluran umum yang tepat sebelum saluran empedu memasuki usus (pada papilla Vateri). Oleh karena itu tidak asing bagi batu yang melalui atau berhenti di bagian bawah dari saluran empedu umum dan menyumbat saluran pankreas.

2.11    Penatalaksanaan


2.11.1    Suportif
               -    Perbaiki keadaan umum
               -    Cukupi kebutuhan cairan dan kalori

2.11.2    Antibiotik
              -    Gentamisin IV : Antibiotik aminoglikosida untuk cakupan gram-negatif.
                   Infeksi srius dan fungsi ginjal normal: 3 mg / kg / d  IV
                   Dosis loading: 1-2,5 mg / kg IV
                   Dosis Maintenance: 1-1,5 mg / kg IV
                   Perpanjangan regimen dosis untuk infeksi yang mengancam jiwa: 5 mg / kg / d IV 
              -    Seftriakson : Generasi ketiga sefalosporin dengan aktivitas gram-negatif spektrum luas;
                   efektivitas lebih rendah terhadap organisme gram-positif; efektivitas lebih tinggi
                   terhadap organisme resisten.
                   Infeksi tidak terkomplikasi: 250 mg IM sekali; tidak melampaui 4 g
                   Infeksi berat: 1-2 g IV atau dibagi –bagi; tidak melebihi 4 g / d
              -    Ampisilin dan Sulbaktam : Obat kombinasi inhibitor beta-laktamase dengan ampisilin.
                   Meliputi kulit, flora usus, dan anaerob. Tidak ideal untuk patogen nosokomial.
                   Dosis dewasa: 1.5 (1 ampisilin g + 0,5 sulbaktam g)  sampai 3 g (2 ampisilin g + 1
                   sulbaktam g) IV / IM; tidak melebihi 4 g / d sulbaktam atau 8 g / d ampisilin

2.11.3    Simtomatik
              -    Meperidin (Demerol) : Obat ini adalah analgesik narkotika yang digunakan untuk
                   meredakan nyeri sedang sampai berat.
              -    Ketorolac (Taradol) : Ketorolac adalah anggota kelas obat yang disebut obat
                   antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang digunakan untuk mengobati peradangan dan
                   nyeri. Obat lain di kelas ini termasuk ibuprofen (Motrin) dan naproxen (Naprosyn,
                   Aleve), tetapi ketorolac lebih efektif daripada NSAID lain dalam mengurangi rasa sakit
                   dari kedua inflamasi dan non-inflamasi penyebab.
              -    Asam ursodeoksikolat: Obat tersebut untuk menurunkan sekresi kolessterol hepar.

2.11.4    Batu Saluran Empedu 
             Beberapa modalitas yang berbeda tersedia untuk pengobatan non-operatif dari
             koledokolitiasis.
             Pilihan termasuk ERCP, ekstraksi perkutan, dan pertimbangan litotripsi.
            Tujuan pengobatan adalah untuk ekstrak batu empedu, namun jika hal ini tidak mungkin,
             tujuannya adalah untuk memberikan drainase untuk empedu yang terhambat dalam rangka
             meningkatkan kondisi pasien sambil menunggu intervensi bedah definitif. Prosedur ini juga
            dapat dilakukan pasca operasi untuk menghilangkan batu tertinggal.

-    Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)


ERCP awalnya digunakan sebagai prosedur diagnostik. Setelah kehadiran koledokolithiasis dikonfirmasi (baik yang primer atau yang tertinggal), pilihan terapi tergantung pada ukuran dan lokasi batu. Batu kecil dapat diambil dengan keranjang Dormia atau kateter Fogarty dengan papilla utuh. Dalam kebanyakan situasi, dibutuhkan suatu sfingterotomi sebelum batu bisa lewat secara spontan atau diekstrak.
ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi pertama kali dilakukan tahun 1974. Sejak ini teknik ini telah berkembang pesat dan menjadi standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.1
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon-ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya. Batu lebih kecil dari 1 cm lewat secara spontan dalam waktu 48 jam. Batu yang berdiameter 1-2 cm memerlukan ekstraksi dengan basket atau kateter Fogarty selain sfingterotomi tersebut. Batu yang lebih besar dari 2 cm diameter biasanya membutuhkan perawatan lebih lanjut; litotripsi atau disolusi kimia (batu kolesterol) dengan asam monooctanoin melalui nasobiliary tube telah dipertimbangkan. Jika ekstraksi batu tidak berhasil, prosedur drainase empedu, baik internal maupun eksternal, dilakukan.2
Pada awalnya sfingterotomi endoskopik hanya diperuntungkan pada pasien usia lanjut yang mempunyai batu saluran empedu residif atau tertinggal pasca kolesistekomi atau mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami komplikasi operasi saluran empedu. Tingkat keberhasilan ekstraksi batu oleh ERCP dalam kasus choledocholithiasis adalah 85-90% di tangan dokter yang berpengalaman. Komplikasi sphincterotomy dan ekstraksi batu terjadi pada 10% kasus. Komplikasi tersebut termasuk perdarahan (2%), perforasi duodenum (1%), kolangitis (2%), pankreatitis (2%), duktus empedu cedera (<1%), dan komplikasi biasanya terkait dengan endoskopi GI bagian atas (2%).
-    Ekstraksi Perkutaneus
-    Extracorporeal shock wave lithotripsy

Perawatan Operatif : Koledokotomi, Trancystic exploration,  prosedur drainase

2.11.5    Kolangitis Akut 
Spektrum dari kolangitis akut mulai dari yang ringan, yang akan membaik sendiri, sampai dengan keadaan yang membahayakan jiwa di mana dibutuhkan drainase darurat.

Penatalaksanaan kolangitis akut ditujukan untuk:
          1) memperbaiki keadaan umum pasien dengan pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi
              gangguan elektrolit,
           2) terapi antibiotik parenteral, dan
           3) drainase empedu yang tersumbat.


2.12    Preventif


Diet dapat berperan dalam kasus batu empedu.
Faktor makanan spesifik dapat meliputi:
     -    Lemak.
          Meskipun lemak (khususnya lemak jenuh ditemukan dalam daging, mentega, dan produk
          binatang lainnya) telah dikaitkan dengan serangan batu empedu, beberapa studi telah
          menemukan resiko yang lebih rendah untuk batu empedu pada orang yang mengkonsumsi
          makanan yang mengandung lemak tak jenuh tunggal (ditemukan dalam minyak zaitun dan
          minyak canola) atau asam lemak omega-3 (ditemukan di kanola, biji rami, dan minyak ikan).
          Minyak ikan dapat bermanfaat terutama pada pasien dengan kadar trigliserida tinggi, karena
          meningkatkan tindakan pengosongan kantong empedu.

     -    Serat.
          Asupan serat tinggi telah dikaitkan dengan resiko lebih rendah untuk terjadinya batu empedu.

     -    Kacang.
          Studi menunjukkan bahwa orang mungkin dapat mengurangi risiko batu empedu dengan
          makan kacang lebih (kacang tanah dan kacang pohon, seperti walnut dan almond).

     -    Buah dan Sayuran.
          Orang-orang yang makan banyak buah-buahan dan sayuran mungkin memiliki risiko lebih
          rendah terkena batu empedu simtomatik yang membutuhkan pengangkatan kandung
          empedu.

      -    Gula.
           Asupan gula tinggi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk batu empedu. Diet yang
           tinggi karbohidrat (seperti pasta dan roti) juga dapat meningkatkan risiko, karena karbohidrat
           diubah menjadi gula dalam tubuh.

       -    Alkohol.
            Beberapa penelitian telah melaporkan resiko yang lebih rendah untuk batu empedu dengan
            konsumsi alkohol. Bahkan jumlah kecil (1 ons per hari) telah ditemukan untuk mengurangi
            risiko batu empedu pada wanita sebesar 20%. Asupan sedang (didefinisikan sebagai 1-2
            gelas sehari) juga muncul untuk melindungi jantung. Perlu dicatat, bahwa bahkan asupan
            alkohol meningkatkan risiko untuk kanker payudara pada wanita. Wanita hamil, orang-
            orang yang tidak dapat minum di moderasi, dan orang-orang dengan penyakit hati tidak
            boleh minum sama sekali.

         -    Kopi.
              Penelitian menunjukkan bahwa minum kopi setiap hari dapat menurunkan resiko batu
              empedu. Kafein dalam kopi diperkirakan untuk merangsang kontraksi kandung empedu
              dan kadar kolesterol dalam empedu. Namun minuma berkafein lainnya seperti soda dan
              teh, tampaknya tidak memiliki manfaat yang sama.

2.13    Prognosis


Prognosis pasien tersebut adalah dubia ad bonam, karena dengan penatalksanaan yang baik dan pola makat yang teratur, pasien dapat sembuh.




BAB III
Kesimpulan
   
Batu saluran empedu sudah menjadi salah satu penyakit yang sering ditemukan dalam duania medis. Berdasarkan kasus yang di dapat, serta gejala-gejala klinis yang timbul pada pasien, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien mengarah kepada koledokolitiasis, yaitu batu empedu yang terdapat pada duktus koledokus, diserta komplikasi ikterus dan kolangitis. Diagnosis kerja koledokolitiasis, dapat didukung oleh terdapatnya kulit yang ikterus pada pasie, serta komplikasi kolangitis dapat dilihat dari meningkatnya suhu tubuh. Diagnosis tersebut tidak dapat dipastikan sampai melakukan pemeriksaan lebih lanjut, sepertu pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lainnya. 
       














Daftar Pustaka

1.    Lesmana LA. Penyakit batu empedu. In:Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed, 1st vol. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI;2006.p.479-81.
2.    Dandan IS. Choledocolithiasis. December 15th, 2009 [cited June 25th, 2010] Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/172216-overview
3.    Anonim. Gallstones. December 2008 [cited June 26th, 2010] Available from URL: http://www.medicinenet.com/gallstones/page6.htm
4.    Chiang WK. Cholelithiasis, June 7th, 2010 [cited June 26th, 2010[ Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/774352-overview
5.    Dray X, Joy F, Reijasse D, et al. Incidence, risk factors, and complications of cholelithiasis in patients with home parenteral nutrition. J Am Coll Surg; 2007.p.13-21.
6.    Afdhal NH. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Goldman L, Ausiello D. (eds.). Cecil textbook of medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007.
7.    Mansjoer A. Kolelitiasis. In: Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et all editors. Kapita selekta kedokteran. 3rd ed, 1st vol. Media Aesculapius FK UI. 2009.p.510.