makalah Koagulasi Intravaskular Diseminata

Koagulasi Intravaskular Diseminata


Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) ditandai dengan proses aktivasi dari sistem koagulasi yang menyeluruh yang menyebabkan pembentukan fibrin di dalam pembuluh darah sehingga terjadi oklusi trombotik di dalam pembuluh darah berukuran sedang dan kecil. Proses tersebut menjadikan aliran darah terganggu sehingga terjadi kerusakan pada banyak organ tubuh. Pada saat yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga terjadi perdarahan.
DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.

Koagulasi intravaskular diseminata atau lebih populer dengan istilah aslinya, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan diagnosis kompleks yang melibatkan komponen pembekuan darah akibat penyakit lain yang mendahuluinya. Keadaan ini menyebabkan perdarahan secara menyeluruh dengan koagulopati konsumtif yang parah. Banyak penyakit dengan beraneka penyebab dapat menyebabkan DIC, namun bisa dipastikan penyakit yang berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis malam. Meski DIC merupakan keadaan yang harus dihindari, pengenalan tanda dan gejala berikut penatalaksanaannya menjadi hal mutlak yang tak hanya harus dikuasai oleh hematolog, namun hampir semua dokter dari berbagai disiplin.

DIC merupakan kelainan perdarahan yang mengancam nyawa, terutama disebabkan oleh kelainan obstetrik, keganasan metastasis, trauma masif, serta sepsis bakterial. Terjadinya DIC dipicu oleh trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah. Endotoksin dari bakteri gram negatif akan mengaktivasi beberapa langkah pembekuan darah. Endotoksin ini pula yang akan memicu pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi menimbulkan trombi dan emboli pada mikrovaskular. Fase awal DIC ini akan diikuti fase consumptive coagulopathy dan secondary fibrinolysis. Pembentukan fibrin yang terus menerus disertai jumlah trombosit yang terus menurun menyebabkan perdarahan dan terjadi efek antihemostatik dari produk degradasi fibrin. Pasien akan mudah berdarah di mukosa, tempat masuk jarum suntik/infus, tempat masuk kateter, atau insisi bedah. Akan terjadi akrosianosis, trombosis, dan perubahan pregangren pada jari, genital, dan hidung akibat turunnya pasokan darah karena vasospasme atau mikrotrombi. Pada pemeriksaan lab akan ditemui trombositopenia, PT dan aPTT yang memanjang, penurunan fibrinogen bebas dibarengi peningkatan produk degradasi fibrin, seperti D-dimer.

Sebelum dikenal istilah KID, dahulu dikenal istilah-istilah lain yang diberikan sesuai dengan patofisiologinya:
1.Coagulation consumption
2.Hyperfibrinosis
3.Defibrinasi
4.Thrombohaemoraghic Syndrome

KID merupakan keadaan yang termasuk dalam kategori kedaruratan medik, sehingga memerlukan tindakan medis dan penanganan segera. Tindakan dan penanganan yang diberikan tergantung dari patofisiologi penyakit yang mendasarinya, apakah terjadi secara akut atau memang sudah ada penyakit yang sudah lama diderita. Namun yang utama dalam memberikan penanganan tersebut adalah mengetahui proses patologi KID itu sendiri, sepeti telah disebutkan sebelumnya, yakni terjadinya proses trombosis mikrovaskular dan kemungkinan terjadi perdarahan (diatesa hemoragik) secara bersamaan.


Patofisiologi :

1. Consumptive Coagulopath

Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.

Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus. Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Nah, sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC relatif suportif dan relatif mirip dengan model konvensional, maka tulisan ini akan membahas lebih dalam tentang patofisiologi DIC.

Patofisiologi :
2. Depresi Prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya. Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah.

Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel polimorfonuklear.

Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.

Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.

Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan.

Patofisiologi:

3. Defek Fibrinolisis

Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.


Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita KID yang disertai dengan perdarahan misalnya: petekie, ekimosis, hematuria, melena, epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi, penurunan kesadaran hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak.
Sementara tanda-tanda yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada kegagalan fungsi organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut, iskemia fokal, gangren pada kulit.

Perdarahan sistemik

Tidak ada metode khusus untuk mendiagnosis DIC selain menilai gejala klinis berupa perdarahan terus-menerus dengan gejala sianosis perifer serta melihat hasil lab dengan trombositopenia, masa perdarahan global yang memanjang signifikan (PT dan aPTT), serta Fibrin Degradation Produc (FDP), atau spesifiknya D-dimer akan meningkat (walaupun keduanya juga meningkat pada trauma berat).

DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan. Keadaan ini terjadi akibat sepsis atau infeksi berat trauma, destruksi organ, keganasan (tumor padat atau myelo/limfoproliferatif), penyakit obstetrik (emboli cairan amnion dan abrupsi plasenta), abnormalitas vaskular (sindrom Kasabach-Meritt dan aneurisma pembuluh darah besar), penyakit hepar yang berat, reaksi toksik-imunologik dari bisa ular, obat-obatan, reaksi transfusi, dan penolakan transplantasi.

Pada pemeriksaan fisik DIC akan sangat tergantung etiologi penyakit tersebut. DIC akut akan memperlihatkan petekia pada palatum mole dan tungkai dan ekimosis pada bekas punksi vena, keduanya akibat trombositeopenia. Pasien seperti ini juga akan terdapat ekimosis pada area-area yang traumatik. Sedangkan pasien DIC kronik atau subakut hanya akan memperlihatkan tanda dan gejala akibat trombosis dan tromboemboli pada organ tertentu.

Keadaan ini terjadi akibat kelainan berbagai penyakit. Secara umum seperti yang tersebut di atas, terdapat dua jalur yang menjadi penyebab terjadinya DIC, pertama, respon inflamasi sistemik yang umumnya akibat sepsis atau trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor pembekuan darah. Kedua, pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah (mis. Pasien kanker atau obstetrik). Pada situasi tertentu, dua jalur penyebab DIC ini bisa muncul secara bersamaan (mis. Trauma mayor atau pankreatitis nekrotik berat).

Sangatlah buram untuk mendiagnosis jika kita hanya mengandalkan klinis dan lab tersebut di atas. Cara terbaik untuk mengenali DIC selain pemeriksaan fisis dan penunjang ialah dengan mengetahui penyakit-penyakit apa saja yang biasanya potensial menyebabkan DIC.

Penyakit penyebab DIC


Infeksi bakteri, terutama septikemia, memegang peranan penting dalam terjadinya DIC, baik itu infeksi gram positif atau gram negatif. Selain itu infeksi virus dan parasit juga dapat memicu terjadinya DIC. Faktor-faktor yang berhubungan dengan DIC pada pasien dengan infeksi biasanya berkaitan spesifik dengan komponen membran sel mikroorganisme tersebut. Sebagaimana kita tahu, bakteri memiliki endotoksin dan eksotoksin yang menyebabkan inflamasi, jika inflamasinya sudah sangat berat dan sistemik, akan mengaktivasi sitokin-sitokin proinflamatori.

Trauma berat juga merupakan kondisi klinis lain yang sering menyebabkan DIC. Pada trauma berat akan terjadi pelepasan materi jaringan dalam jumlah besar ke aliran pembuluh darah. Pelepasan ini berbarengan dengan hemolisis dan kerusakan endotel sehingga akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah dalam jumlah besar kemudian mengakivasi pembekuan darah secara sistemik.

DIC juga merupakan komplikasi tumor-tumor padat dan keganasan hematologi. Patofisologinya belum terlalu jelas, namun massa tumor yang berproliferasi dengan cepat ini juga memproduksi faktor-faktor pembekuan darah, mokelul prokoagulan, serta komponen prokoagulasi kanker, protease sistein yang mengaktivasi faktor X. Komponen prokoagulasi kanker merupakan senyawa yang ditemukan pada plasma pasien dengan massa padat. Beberapa tumor juga menyebabkan hiperfibrinolisis saat puncak aktivasi koagulasi. Misalnya pada leukemia promielositik akut (AML M-3) dan beberapa bentuk kanker prostat. Meskipun gejala klinis mayor berupa perdarahan, namun sebenarnya terdapat pula trombosis di mana-mana.

Komplikasi obstetrik kadang-kadang menyebabkan DIC, terutama pada keadaan abrupsi plasenta dan emboli cairan amnion. Cairan amnion itu sendiri dapat mengaktivasi koagulasi, sehingga jika terdapat sumbatan seperti pada preeklamsia dan sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver function, low platelet), juga akan terjadi koagulasi sistemik. DIC biasanya menjadi komplikasi sekunder penyakit-penyakit tersebut.

Penyebab-penyebab lainnya adalah kelainan pembuluh darah berupa giant hemangioma(sindrom Kasabach-Meritt), dapat menyebabkan koagulasi setempat. Karena terjadi terus-menerus, faktor koagulasi tersebut akan terbawa ke seluruh aliran darah, akibatnya akan terjadi deplesi faktor pembekuan darah dan platelet sehingga menyebabkan DIC. Reaksi imunologis seperti pada transfusi serta reaksi inflamasi seperti pada pankreatitis akut juga dapat menyebabkan DIC.

Berikut ini adalah kondisi klinik yang dapat menyebabkan terjadinya KID:
 Sepsis
 Trauma
o Cidera jaringan berat
o Cidera kepala
o Emboli lemak
 Kanker
o Myeloproliferative disorder
o Tumor padat
 Komplikasi Obstetrik
o Emboli cairan amnion
o Abruptio Placentae
 Kelainan pembuluh darah
o Giant hemangioma
o Aneurysma Aorta
 Reaksi terhadap toksin
 Kelainan Imunologik
o Reaksi alergi yang berat
o Reaksi hemolitik pada transfusi
o Rejeksi pada transplant

PATOGENESIS

Pada pasien dengan KID, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin yang diaktivasi oleh faktor jaringan. Faktor jaringan, berupa sel mononuklir dan sel endotel yang teraktivasi, mengaktivasi faktor VII. Kompleks antara faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi bersama dengan faktor V akan mengubah protrombin menjadi trombin. Di saat yang bersamaan terjadi konsumsi faktor antikoagulan seperti antitrombin III, protein C dan jalur penghambat-faktor jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut. Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan penghancuran fibrin yang adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh penghambat-aktivasi plasminogen tipe 1 yang kadarnya tinggi di dalam plasma menghambat pembentukan plasmin dari plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya pembentukan fibrin dan tidak adekuatnya penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular yang menyeluruh.

DIAGNOSIS

Diagnosis KID tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes laboratorium, karena itu biasanya digunakan beberapa hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berdasarkan kondisi klinik pasien.
Dalam praktik klinik diagnosis KID dapat ditentukan atas dasar temuan sebagai berikut:
1. adanya penyakit yang mendasari terjadinya KID.
2. Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm³.
3. Pemanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT).

4. Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan peningkatan D-dimer).
5. Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)
Rendahnya trombosit pada KID menandakan adanya aktivasi trombin yang terinduksi dan penggunaan trombosit. Memanjangnya waktu pembekuan menandakan menurunnya jumlah faktor pembekuan yang tersedia seperti vitamin K.
Pemeriksaan kadar penghambat pembekuan (AT III atau protein C) berguna untuk memberikan informasi prognostik. Pemeriksaan hasil degradasi fibrin seperti D-dimer, akan membantu untuk membedakan KID dengan kondisi lain yang memiliki gejala serupa, pemanjangan waktu pembekuan dan turunnya trombosit, seperti pada penyakit hati kronik.
Rekomendasi KonNas Tatalaksana DIC pada Sepsis tahun 2001
Kriteria minimal untuk diagnosis DIC adalah didapatkan keadaan atau gambaran klinik yang dapat menyebabkan DIC dengan manifestasi perdarahan, tromboemboli atau keduanya, disertai dengan pemeriksaan laboratorium trombositopenia dan gambaran eritrosit sel Burr atau D-dimer positif.

Bilamana fasilitas laboratorium memungkinkan dapat digunakan kriteria menurut Bick atau berdasarkan skor DIC dari ISTH 2001.

 Kriteria Laboratorium DIC menurut KonNas Tata laksana DIC pada sepsis 2001

1. Hitung trombosit: trombositopeni pada 98% DIC
2. PT : memanjang pada 50-70% DIC
3. aPTT : memanjang pada 50-60% DIC
4. Masa Trombin : memanjang
5. Fibrinogen
6. sFM (soluble fibrin monomer)
7. D-dimer : meningkat
8. FDP : meningkat
9. Antitrombin : menurun

 Kriteria Laboratorium DIC menurut Bick

1. Aktivasi prokoagualan: PF1+2, TAT, D-dimer, fibrinopeptide
2. Aktivasi fibrinolitik: D-dimer, FDP, plasmin, PAP
3. Konsumsi inhibitor: AT III, TAT, PAP, Protein C & S
4. Kerusakan/kegagalan organ: LDH, kreatinin, pH, pO2


Sistem Skor DIC (ISTH 2001)
1. Penilaian risiko: apakah terdapat penyebab DIC?
(jika tidak ada, penilaian tidak dilanjutkan)
2. Uji Koagulasi (trombosit, PT, D-dimer, fibrinogen)
3. Skor:
 Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000 = 1 <50000 = 2  D-dimer: < 500 = 0 500-1000 = 1 >10000=2
 PT memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2
 Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0
4. Jumlah skor:
≥ 5 : sesuai DIC : skor diulang setiap hari
< 5 : sugestif DIC : skor diulang dalam 1-2 hari PENATALAKSAAAN

Penatalakasanaan KID yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya KID. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.

1. Antikogulan

Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian heparin juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian klinik pada pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300 – 500 u/jam dalam infus kontinu.
Indikasi:
1. Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
2. Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
3. Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafas
Dosis:
100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol
Low molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.

2. Plasma dan trombosit

Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan hanya kepada pasien KID dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di dalam palasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien KID terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.

3. Penghambat pembekuan (AT III)

Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup mahal.
Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70% Dosis:  Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu selama 3 – 5 hari.  rumus: 1. 1 iu x BB (kg) x ∆ AT III, dengan target AT III > 120%
2. ∆ AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%
4. Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien KID pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya KID yang terjadi akan semakin berat.