Penanganan eklamsia di ICU (intensive care unit)

PENATALAKSANAAN EKLAMSIA DI ICU

Preeklampsia berat (PEB) dan eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Mereka diklasifikasikan kedalam penyakit hypertensi yang disebabkan karena kehamilan. PEB ditandai oleh adanya hipertensi sedang-berat, edema, dan proteinuria yang masif. Sedangkan eklampsia ditandai oleh adanya koma dan/atau kejang di samping ketiga tanda khas PEB. Penyebab dari kelainan ini masih kurang dimengerti, namun suatu keadaan patologis yang dapat diterima adalah adanya iskemia uteroplacentol. Diagnosis dini dan penanganan adekuat dapat mencegah perkembangan buruk PER kearah PEB atau bahkan eklampsia. Semua kasus PEB dan eklampsia harus dirujuk ke rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas penanganan intensif maternal dan neonatal, untuk mendapatkan terapi definitif dan pengawasan terhadap timbulnya komplikasi- komplikasi.
                                                       gif maker
                                                                   EKLAMSIA

Eklampsia merupakan penyakit pada wanita hamil atau puerpurium ( masa pulihnya kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat - alat kandungan kembali seperti pra-hamil) yang timbul secara akut dengan gejala-gejala hipertensi, proteinuria dan edema disertai kejang. Insiden eklampsia dinegara maju adalah 0,3% dari persalinan, sedang di Inggeris 1 dari 2000 persalinan dan dinegara berkembang 1 dari 100 sampai 1700 persalinan, sedang di Indonesia berkisar antara 1-2,9% kehamilan. Eklampsia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas perinatal yang tinggi.

Walaupun sampai saat ini penyebab terjadinya pre-eklampsia / eklampsia belum diketahui secara pasti namun salah satu teori yang dianut selama ini adanya penolakan immunologis terhadap jaringan trophoblast sehingga menyebabkan terjadinya vaskulitis dan iskhemia plasenta . Kejadian ini menimbulkan anggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit teori yang penatalaksanaannya lebih banyak ditentukan oleh pengalaman.
Namun secara umum prinsip penatalaksanaan pasien pre-eklampsia adalah :
  • Memelihara jalan nafas
  • Mengendalikan kejang
  • Melahirkan janin dan placenta
  • Mengendalikan tekanan darah
  • Mengobati komlikasi oliguria, gagal ginjal, Edema serebri atau CVA, Edema paru atau pneumonia aspirasi, Gangguan pembekuan atau DIC
Dalam hal ini dokter anestesi harus membekali diri dengan pengetahuan dasar kelainan ini sebagai dasar penatalaksanaan anestesi pada eklampsia agar dapat membantu menurunkan mordibitas dan mortalitas perinatal penderita eklampsia, khususnya pada penanganan dikamar operasi.

TERMINOLOGI
Istilah “toxemia gravidarum” yang kurang tepat telah digunakan untuk semua penyakit dimana terdapat hipertensi, proteinuria edema pada kehamilan atau nifas maupun pada penyakit-penyakit lainnya. “The Committee of Terminology College of Obstetric and Jynaccologis” menganjurkan definisi dan klasifikasi hipertensi pada kehamilan atau nifas sebagai berikut :
  • HIPERTENSI adalah tekanan darah diastolik paling rendah 90 mmHg atau tekanan sistolik 140 mmHg atau kenaikan tekanan diastolik 15 mmHg atau lebih kenaikan tekanan diastolik 30 mmHg atau lebih. Pengukuran tekanan darah ini harus dilakukan minimal 2 kali dengan interval 6 jam atau lebih.
  • PER-EKLAMSIA adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria/ edema atau keduanya yang disebabkan oleh kehamilan setelah minggu ke 20 dan terkadang bisa terjadi lebih awal bila terdapat perubahan hydatiform yang ekstensif pada villichoriales.
  • EKLAMPSIA adalah penderita pre-eklampsia disertai kejang yang disebabkan bukan oleh kelainan neurologik yang kebetulan dideritanya seperti epilesi.
Terjadinya keadaan diatas masih belum diketahui penyebabnya adapun kriteria diaknosis Pre-eklampsia berat adalah :
  • Tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg
  • Tekanan darah diastolik  lebih dari   110 mmHg
  • Proteinuria  lebih dari  5 gram / 24 jam
  • Diuresis kurang dari 400 ml / 24 jam
  • Gangguan serebral atau visual 
  • Edema paru sianosis 
  • Nyeri epigastrik 

PATOFISIOLOGI 
Untuk bisa menangani penderita eklampsia dengan penyulitnya dengan baik, maka pemahaman patofisiologis penyakit ini dengan baik sangat diperlukan walaupun kita tahu sampai saat ini hal tersebut belum begitu jelas. Pusat kelainan ini berasal dari perubahan fungsi jaringan uteroplasenter, yang diduga disebabkan oleh faktor ginetik yaitu melalui gen resesive ototsomal tunggal. 


Dalam suatu penelitian immunohistologi didapatkan bahwa endotelium pembuluh darah uteroplacenta penderita eklampsia dirusak oleh trophoblast. Rusaknya lapisan endotelial ini akan menurunkan produksi prostasiklin yang merupakan vasodilator poten. Bersama dengan itu akan terjadi kenaikan produksi tromboksan A2 yang merupakan suatu vasokonstriktor, sehingga akan menyebabkan vasospasme. Selain itu vasokonstriktor poten lainnya yaitu endotelin-1 yang diproduksi oleh endotelium akan dilepaskan waktu terjadi kerusakan lapisan endotelial. Gangguan keseimbangan antara endotelin-1 dengan endotelium derived relaxing faktor akan menyebabkan terjadi vasokonstriksi. Mekanisme inilah yang menyebabkan vasokonstriksi hebat pada eklampsia. 
Walaupun belum jelas diduga pada ada gangguan endotelial ini disebabkan oleh migrasi thropoblas. 


Salah satu dampak dari iskemia plasenta adalah penurunan produksi vasodilator prostaglandin khususnya prostasiklin. Hormon ini merupakan mediator vasodilator dan penghambat agregasi trombosit yang penting. 


 Mengenai keseimbangan gangguan tromboksan dan prostasiklin pada penderita pre-eklampsia / eklampsia ada yang menemukan bahwa hal ini disebabkan oleh gangguan keseimbangan lipid peroxide dan vitamin E. lipid peroxide dapat merusak membran sel sehingga peningkatan kadarnya dalam darah akan meningkatkan kerusakan sel endotel dan menurunkan prostasiklin. Pada kehamilan normal rasio tromboksan prostasiklin 0,63 dan rasio lipid peroxide dan vitamin E 0,43. Prostasiklin akan menurun dengan jelas pada pre-eklampsia / eklampsia sehingga rasio tromboksan prostasiklin menjadi 0,77 bahkan pada pre-eklampsia berat menjadi 1,94. Lipid peroxide meningkat secara signifikan terutama pada pre-eklampsia berat / eklampsia, dimana rasio lipid peroxide vitamin E menjadi 1,09. Jadi keseimbangan gangguan tromboksan prostasiklin dipengaruhi oleh gangguan keseimbangan lipid peroxide vitamin E. 


Teori lain yang diajukan adalah penolakan immunologis terhadap jaringan tropoblast, sehingga menyebabkan terjadinya vaskulitis dan iskemia plasenta.  Adanya vaskulitis dan iskemia plasenta akan menyebabkan penurunan perfusi plasenta, sehingga terjadi hipoksia dan peningkatan pelepasan renin, agiotensin, aldosteron, tromboplastin dan serotonin. 


Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa gejala pada pre-eklampsia / eklampsia berupa vasokonstriksi sistemik dan agregasi trombosit, mungkin disebabkan ketidak seimbangan produksi prostasiklin dan tromboksan oleh plasenta. Pada kehamilan normal, plasenta memproduksi hormon-hormon, prostaglandin secara seimbanng, tetapi pada kehamilan pre-eklampsia / eklampsia tromboksan diproduksi 7 kali lebih banyak dibandingkan prostasiklin. 


Pada kehamilan pre-eklampsia terjadi peningkatan kepekaan terhadap Angiotensin II sehingga menyebabkan kenaikan tekanan darah. Kepekaan pembuluh darah terhadap bahan vasoaktif ini diduga akibat gangguan keseimbangan prostasiklin dan tromboksan (defisiensi prostasiklin). 


Selain itu Angiotensin II rupanya mempunyai pengaruh langsung pada sel-sel endotel yakni menyebabkan kontraksi. Keadan ini dapat menimbulkan kebocoran inter-endotelial, sehingga dapat dilalui oleh unsur-unsur darah termasuk trombosit dan fibrinogen yang tertimbun pada bagian subendotel. Perubahan vaskuler bersama-sama hipoksia lokal pada jaringan sekitarnya, dapat menyebabkan perdarahan nekrosis dan gangguan lainnya. 


Pada kehamilan normal terjadi peningkatan volume darah, akan tetapi tahanan vaskuler menurun sehingga tekanan darah tidak naik. Pada pre-eklampsia / eklampsia terjadi vasospasme menyeluruh dan meningkatkan tahanan vaskuler sehingga tekanan darah akan naik, sementara dipihak lain volume darah akan berkurang. 


Respon pressor juga dapat ditimbulkan karena perubahan posisi. Bila wanita hamil 28-32 minggu melakukan perubahan posisi miring ke posisi terlentang dan terjadi kenaikan tensi 20 mmHg maka dikemudian hari ia akan mengalami hipertensi. Sebab dari keadaan ini belum diketahui.



PENYEBAB PRE-EKLAMPSIA / EKLAMPSIA 

Belum ada teori yang memuaskan para ahli, namun ada beberapa kemungkinan yang diajukan : 
  • Adanya reaksi immunologis. 
  • Sebelumnya sudah menderita penyakit vaskuler. 
  • Adanya faktor predisposisi genetik. 
Adanya dugaan mekanisme-immunologik endokrinologik dan genetik pada timbulnya hipertensi kehamilan sebenarnya merupakan suatu tantangan yang sangat merangsang bagi para pakar untuk meneliti lebih lanjut. 


Teori lain seperti teori medan magnit bumi, musim semangka dan infeksi cacing dikatakan penting dalam terjadinya penyakit ini. Pre-eklampsia / eklampsia dulu dianggap hanya terjadi pada golongan menengah kebawah tapi saat ini ternyata pada semua golongan masyarakat. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 


Vasospasme difus pada pre-eklampsia / eklampsia menyebabkan gangguan fungsi pada hampir semua organ tubuh dan beberapa yang penting adalah : sistem saraf pusat, kardiovaskuler, hematologis, ginjal dan sirkulasi uteroplasenta. 
  • Sistim Saraf Pusat 
    •  Adanya peningkatan volume cairan intraseluler sel otak karena penurunan tekanan osmotik koloid akan menyebabkan edema serebri sehingga sistem saraf pusat menjadi sangat peka terhadap rangsangan. Adanya kejang dapat menimbulkan pendarahan perikapiler dan nekroses baik lokal maupun difus. 
    • Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala nyeri kepala, vertigo, buta kortikal, hiperrefleksi atau kejang. Perdarahan dan edema serebri merupakan 50% penyebab kematian pada pre-eklampsia / eklampsia. Pada pasien eklampsia 75% mempunyai EEG abnormal yaitu adanya gelombang Theta dan delta yang difus dan lambat. 
  • Sistim Kardiovaskuler 
    • Fungsi ventrikel kiri menunjukkan gambaran hiperdimanik, disertai adanya efteroad yang meninggi, maka akan menyebabkan terjadinya gagal jantung kiri dan edema paru. Penurunan volume plasma menyebabkan terjadinya hipovolemia intravaskuler dan hemokonsentrasi sehingga terjadi hipoperfusi pada organ-organ vital. Kondisi ini akan memudahkan penderita jatuh kedalam syok apabila terjadi perdarahan atau kehilangan cairan, jika dibandingkan dengan penderita hamil normal. 
    • Pemberian cairan kepada penderita ini harus dilakukan secara hati-hati karena mudah terjadi edema paru dan gagal ginjal. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan menampung volume sirkulasi yang cukup untuk mennghasilkan curah jantung normal. Payah jantung merupakan stadium akhir dari eklampsia yang ditandai dengan adanya edema paru, sianosis, takikardia disertai penurunan tensi. Salah satu sebabnya adalah karena vasokontriksi perifer dan naiknya fiskositas darah akibat hemokonsentrasi.
  • Sistim Respirasi 
    • Tekanan osmotik koloid lebih banyak mengalami penurunan pada pre-eklampsia / eklampsia dibandingkan dengan pada kehamilan normal. Tekanan vaskuler paru umumnya normal. Akibat rendahnya tekanan osmotik koloid ini akan berpengaruh terhadap timbulnya edema paru. 
    • Selain edema paru juga dapat terjadi hipoventilasi sampai apneu, dimana hal ini dapat juga disebabkan oleh overload sirkulasi MgSO4 yaitu kadar plasma lebih dari 12 meq / liter.
    • Hipoventilasi sampai gagal nafas dapat terjadi akibat aspirasi isi lambung pada saat terjadi kejang. Edema paru pada eklampsia disebabkan oleh adanya gagal jantung, overload sirkulasi atau aspirasi cairan lambunng waktu serangan kejang.
  • Sistim Hepar
    • Gangguan fungsi hepar terjadi sebagai akibat penurunan aliran darah ke hepar sehingga terjadi peningkatan enzim transaminase, fosfatase dan bilirubin dalam plasma. Adanya pembesaran hepar dan terganggunya capsula Glisson dirasakan sebagai nyeri perut kanan atas. Meningkatkan enzim transaminase ini disebabkan oleh adanya nekroses dan perdarahan periportal, dan selalu diikuti adanya trombositopenia. Perdarahan perioportal ini dapat meluas sampai kebawah kapsul hati dan membentuk hematom subkapsuler sehingga menimbulkan rasa nyeri apigastrum.
  • Sistim Renal
    • Pada pre-eklampsia / eklampsia karena terjadi penurunan aliran darah keginjal dan laju filtra glomeruler (GFR) akan menurunkan Clearance asam urat, urea N dan krcatinin sehingga kadarnya dalam plasma meningkat. 
    • Adanya oliguria dan proteinuria adalah khas pada pre-eklampsia berat dan eklampsia, namun jarang sampai terjadi gagal ginjal akut oleh nekrosis tubuler akut atau nekrosis kortikal akut sampai harus dilakukan dialisis. Perubahan fungsi ginjal ini bersifat reversibel dan akan kembali normal postpartum.
  • Sistim Koagulasi
    • Gejala hematologik yang biasanya timbul pada pre-eklampsia / eklampsia adalah hemokonsentrasi yang disebabkan oleh total volume darah yang menurun. Trombositopenia biasanya ringan dengan angka trombosit antara 100.000-150.000/mm3. 
    • Protrombin dan partial protrombine time memanjang merupakan indikasi dibutuhkanya prokoagulan. Pada pasien pre-eklampsia didapatkan waktu perdarahan yang memanjang pada kurang lebih 25% kasus walaupun angka trombosit normal. Adanya anemia hemolitik (gambaran Burr Sel). Halnet dan peningkatan enzim hati merupakan gejala sindroma HELPP. Kelainan ini merupakan suatu mekanisme immun, dan merupakan indikasi pengakhiran kehamilan, karena mempunyai mordibitas dan mortalitas yang tinggi.
  • Sirkulasi Uteroplasenter
    • Adanya penurunan aliran darah plasenta menyebabkan hipoksia dan malnutrisi khronis pada fetus sehingga dapat terjadi retardasi pertumbuhan intrauteri (IUGR), kelahiran prematur dan kematian perinatal pada pemeriksaan plasenta sering dijumpai adanya iskemia noduler dan infark, sehingga apabila terjadi nekrotik akan mengakibatkan rupturnya pembuluh darah kotiledon dan perdarahan. Jika perdarahannya luas maka akan menyebabkan reptur retroplasenter yang merupakan awal proses abrupsioplasenta. 

PENATALAKSANAAN

  • Mengendalikan Kejang
    • Pada eklampsia, kejang merupakan salah satu sebab kematian dimana dapat terjadi asfiksia, perdarahan serebral, edema intrakranial dan koma. Sampai saat ini MgSO4 masih merupakan salah satu andalan untuk mengatasi kejang pada eklampsia. Obat ini dapat diberikan terus sampai 24 jam post partum. 
    • Dosis yang dianjurkan adalah 4 gram dalam larutan 2% diberikan secara intravena dalam 5 menit, kemudian dilanjutkan dengan dosis 1-2 gram / jam. 
    • Cara lain yang dianjurkan pemberian MgSO4 sebagai berikut :
      • Dosis awal 4 mg MgSO4 20% iv kecepatan 1 gr / menit
      • Kemudian diikuti dengan pemberian intramuskuler dalam, masing-masing 5 gr MgSO4 50% pada bokong kiri dan kanan (total 10 gr). Bila kejang masing persisten setelah 15 menit dapat diberikan 2-4 gr MgSO4 20% iv.
      • Setiap 4 jam diberikan 5 gr MgSO4 im
      • Setiap akan memberikan MgSO4 sebelumnya harus dilakukan :
          • Refleks patela harus ada
          • Tidak ada depresi nafas
          • Urine output lebih dari 100 ml / 4 jam
        • Bila tidak didapatkan diatas pemberian MgSO4 harus dihentikan.
        • Bila terjadi depresi nafas dapat diberikan 1gr Ca glukonat (10ml larutan 10%)
    • Pemberian MgSO4 dihentikan 24 jam setelah persalinan. 
      • Walaupun sampai saat ini penggunaan MgSO4 untuk mengatasi kejang pada eklampsia dinyatakan cukup baik dan aman namun kemungkinan diingat bahwa MgSO4 mempunyai efek vasodilator perifer, sehingga dapat mempengaruhi hemodinamik penderita. 
      • Di samping itu MgSO4 mempunyai efek potensiasi terhadap intensitas obat pelumpuhan otot depolarisasi maupun nondepolarisasi. Hal ini terjadi karena adanya penekanan pelepasan ascetil kholin dari ujung saraf motorik, berkurangnya sensitifitas motor endplate terhadap asetil kholin dan penurunan eksitabilitas membran otot. 
      • Di samping itu MgSO4 melewati sawar placenta sehingga dapat menyebabkan hipermagnesia pada fetus. Yang paling fatal walaupun yang jarang dapat terjadi paralise pernafasan sampai henti jantung. 
      • Obat lain yang mempunyai sifat anti konvulsi cukup baik adalah golongan benzodiazepin dengan dosis 0,2-0,4 mg /kg. BB /jam bolus intravela, dianjurkan dengan pemeliharaan 0,1-0,2 mg /kg. BB /jam.
      • Saat ini di Inggris phenytoin merupakan obat pilihan utama untuk mengatasi kejang pada eklampsia. Adapun dosis dan cara pemerian yang diberikan adalah 10 gr / kg. BB bolus iv dan 2 jam kemudian diikuti 5 gr / kg. Sedangkan sebagai dosis pemeliharaan adalah 200 mg /8 jam dan dimulai 12 jam kemudian bisa diberikan iv atau peroral. Kadar terapi dalam plasma 10-20 gr / ml. Pada pemberian intravena bisa terjadi : iritasi vena, flushing, tinitus dan mual. Pada konsentrasi 20ngr/ml dapat terjadi nistagmus pada 30 ngr / ml bisa muncul ataksia dan inkoordinasi. Karena penggunaan phenyton intravena bersifat kardiotosis maka diperlukan alat monitoring EKG. 
      • Apabila ternyata terjadi kejang yang persisten maka dilakukan intubasi. Kemudian dilakukan penilaian neurologis lengkap dengan pemeriksaan EEG. CT Scan dan lainnya untuk mencari kemungkinan adanya penyakit yang menyertai eklampsia.
  • Mencegah Asfiksia
    • Pada eklampsia sering didapatkan penurunan kesadaran sehingga mudah terjadi asfiksia dimana kebelakang atau sumbatan sekret yang mengental sehingga perlu dilakukan pengendalian jalan nafas. Kejang yang hebat dan berlangsung lama atau berulang akan meningkatkan kebutuhan oksigen dan mengganggu proses respirasi, bahkan mungkin terjadi aspirasi cairan lambung karena regurgitasi, sehingga sangat diperlukan pengendalian kejang dan pengamanan jalan nafas. 
  • Memperbaiki perfusi Organ-organ
    • Untuk mencegah gangguan perfusi maupun kemungkinan terjadinya edema paru maka perlu dilakukan resusitasi cairan yang dititik beratkan kepada ekspansi volume intravaskuler tanpa memberatkan afterload. 
    • Di sini bisa digunakan cairan kristaloid dan atau koloid sampai tekanan vena sentral (CVP) 3-4 cm H2O atau tekanan baji kapiler paru (PCWP) 5-12 mmHg. Dengan kondisi tersebut Joyce dkk mendapatkan terjadi perbaikan urine output dan penurunan tensi dapat dicegah serta disarankan memasang Foley Katether sebelumnya. 
    • Ada lagi yang menganjurkan pemberian cairan dengan koloid sebanyak 20% (albumin 5%) dan sisanya kristaloid dengan terget nilai CVP 4-6 cmH20 dan nilai PCWP 5-10 mmhg. Untuk meningkatkan tekanan osmotik ada yang menggunakan kombinasi kristaloid hidroksi starch atau Dextran .
  • Mengendalikan Tekanan Darah
    • Pengendalian tekanan darah selai untuk mengurangi resiko perdarahan serebral juga untuk menjaga perfusi organ yang optimal termasuk melindungi sirkulasi uteroplasenta sehingga perfusi fetus terjamin. Hindari hipotensi pada ibu dimana tekanan diastolik yang diatas 110 mmHg harus dipertahankan menjadi 90-100 mmHg. Untuk mencapai tujuan diatas bisa dilakukan kombinasi ekspansi cairan intravaskuler dengan vasodilatasi. 
      • Hidralazin
        • Merupakan obat vasodilator selektif artterial yang digunakan di Eropa secara luas pada kasus pre-eklampsia / eklampsia. Obat ini sangat lambat 10-20 menit dan pada pemberian berulang dapat terjadi hipotensi berat dan fatal distress. 
        • Dosis yang dianjurkan : 10-20 mg bolus intravena atau 40 mg dalam 500 ml normal saline titrasi 10-30 tetes permenit.
      • Sodium Nitroprusid
        • Merupakan short acting vasodilator vena dan arteri, tidak mengganggu aliran darah uteroplacenta. 
        • Pemberian secara intravena dengan dosis 5-10 mg /kg/ menit dan dimulai dosis 0,25-1 mg /kg/ menit tirtasi. Hati-hati dengan efek tokdisk metabolit sianida dan tiosianat pada janin dan ibu.
      • Nitroglyserin
        • Merupakan vasodilator vena dan diberikan intravena dengan dosis tirtasi mulai dengan 10 mg / menit dan dosis dinaikkan tiap 3 menit sampai tercapai tekanan darah yang terkehendaki. Dosis maksimal adalah 200 mg / menit. Efek samping obat ini dapat timbul muntah dan menaikkan tekanan intracranial. 
        • Dapat juga dikombinasikan dengan Lidokain 1,5 mg / kg. BB iv untuk mencegah lonjakan hemodinamik pada saat intubasi. 
      • Trimethopan
        • Merupakan “ganglionic blocking agent” dimana obat ini tidak mempengaruhi tekanan intrakanial maupun aliran darah serebral. Dengan demikian obat ini bermanfaat terutama pada hipertensi intrakanial. Tetapi efek yang kurang menguntungkan adalah pembebasan histamin, penurunan curah jantung dan pemanjangan efek kelumpuhan setelah pemberian sukisnil kolin, terutama pada dosis besar. 
        • Dosis yang dianjurkan bolus intravena 0,5-10,0 mg dengan cara nilai dari 1mg kemudian setiap menit dosis digandakan sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan. Kalau diberikan kontinyu perinfus dosis yang dianjurkan adalah 0,5-0,6 mg / menit. 
      • Klonidin
        • Obat ini banyak digunakan di Indonesia dan merupakan 2 adrenergik agonis. Pemberian dilakukan secara intravena dengan dosis 75-150 mg intravena dan dapat diulang tiap 4 jam. Obat beta blocker maupun Ca antagonis jaringan digunakan.
  • Memperbaiki Sistim Koagulasi
    • Apabila pada pemeriksaan faal hemostatis didapatkan adanya koagulasi pada penderita pre-eklampsia maka harus dilakukan korelasi baik menggunakan darah ataupun komonen darah yaitu tranfusi darah segar (FWB), konsentrat trimbosit plasma beku segar (FFP) dan Cryprosipitate tranfusi trombosit diindikasi bila diulang karena pemakaian trombosit cepat dan efeknya tidak lama bila diberikan berulang akan memacu terjadinya DIC. 
    • Bila disertai anemia dan kemungkinan terjadi perdarahan banyak selama operasi, maka harus diberikan tranfusi darah segar pack red cell (PRC) dan plasma beku segar. 

Referensi
  • Panduan Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di Indonesia. POGI Edisi 1985, Satgas Gestosis. 
  • Cunningham MD, Mac.Donald PC, Gamt NF: Hypertensive Disorders in Pregnancy. 
  • William Obstetrics 18th ed. 653 - 69A, 1989. sibai BM: Management and Counseling atau Patients with Pre eclampsia remote dari term. Clinical and Gynecology Vol. 35 No. 2, 426 - 435, June 1992. 
  • sibai BM: Management of Pre eclampsia. Clinics in Perinatology Vol. 18, No. 793 - 808, December 1991. 
  • Smith JA, Davey DA, Davies N., Lindow SW: The effect sublingual nifedipine pada Utero placental bloodflow in hypertensive pregnancy. British Journal of Obs.Gyn, Vol.95, 1276 - 1281, December 1988. 
  • Tupper WRC, Martin Tr: the management of severe toxemia in patient at less16 weeks gestation. 
  • Obtetrics dan Gynecology Vol. 54, No.5, 602 - 605, November 1979. Walker JJ: Antihypertention therapy in pregnancy, pre eclampsia dan eclampsia. 
  • Clinics in Perinatology Vol. 18, No. 4: 845 - 873, December 1991.