Penatalaksanan prostat hiperplasia

PENATALAKSANAAN BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA DAN KOMPLIKASINYA SERTA TEKNIK ANASTESI PADA OPERASI PROSTAT


Medikamentosa
  • Hormonal ( LHRH agonis : Buserilin ) dan antiandrogen steroid cyproterone acetat / CPA. Terapi 3 bulan ukuran prostat mengecil 19% tetapi bila dihentikan ukuran membesar kembali seperti semula dalam 24 minggu.
  • Anti androgen non steroid hormon ( Flutamide ), pemberian terus-menerus akan mengecilkan prostat, komplikasi ginekomasti 54%, penghentian obat ini akan memperbesar kembali.
  • Inhibitor 5 alfa reduktase. ( finasteride ) menaikkan kadar testoteron sedikit dan menurunkan kadar DHT 30 – 40%, volume prostat menurun 20 – 25% dalam 12 bulan, impotensi terjadi 3,7% irreversibel. Obat dihentikaan akan membesar kembali.
  • Obat antihipertensi Prazosin, terrazosin dan doxazzosin menurunkan tahanan uretra pars prostatika, urinary flow rate membesar, kencing lebih lancar.
  • Fito farmaka ( eviprostat dan lanaprost ) berasal dari tumbuhan secara empirik dikatakan dapat memperlancar air kencing.

Terapi mekanik
Terapi ini merupakam tipe terapi non operatif non medikamentosa bersifat minimal invasif.
Dikenal beberapa jenis antara lain :
  1. Baloon dilatation dikembangkan balon diuretra pars prostatika sehingga lebih lebar dan bisa kencing kembali, resiko perdarahan, mudah kambuh kembali.
  2. Prostatic stent prinsipnya seperti tabung dari kawat spiral yang ditaruh di uretra pars prostatika sehingga kencing dapat lancar kembali. Kawat dilapisi emas supaya tidak mudah berkarat ( urospiral, prosta kath ). Mahal dan mudah perdarahan.
  3. Cryosurgery mendinginkan prostat – 160 0C selama 4 – 6 menit. Timbul jaringan nekrosis. Komplikasi perdarahan 15%, striktur uretra dan batu buli.
  4. Hypertermia Melalui trans uretral kelenjar prostat dipanaskan 43 0C – 45 0C, terjadi kerusakan reseptor alfa adrenergik, nekrose uretra dan kelenjar prostat, diharapkan kencing lebih lancar, tanpa megecilkan prostat.
  5. Lasers dikerjakan TULIP ( Trans uretra lasers induced prostatektomy ) terjadi nekorse uretra pars prostatika sehingga terjadi lubang yang lebih besar untuk lewat urin.
  6. FEP ( focused extracorporeal pyroterapy ) Seperti pada ESWL menggunakan gelombang elastik sangat pendek yang dihasilkan oleh getaran keramik piezoelectric dan difokuskan pad obyek. Terjadi nekrose pada jaringan yang ditembak .

Terapi Operativ 
  1. Operasi terbuka : Transvesikal, Terence millin, trans perineal.
  2. Operasi tertutup : TURP / Transuretral resection of the prostate merupakan cara terbaik.
Premedikasi dan persiapan operasi prostatektomi.
  • Pada umumnya usia lanjut dan disertai penyakit lain. Perlu pemeriksaan fungsi kardiovaskuler, paru, ginjal, status neotologis, riwayat minum obat, laboratorium, status cairan tubuh, pemeriksaan elektrolit preoperasi. Penderita dengan terapi digitalis harus dalam keadaan normovolemik oleh karena resiko dilusi hipovolemik dan akut digitalis toksisitas. Obat anti hipertensi diberikan pagi hari sebelum operasi, obat gagal jantung beta bloker digitalis, nitrogliserin harus diperhatikan. Penderita dengan peningkatan kadar gula darah perlu pemberian insulin dan monitoring kadar gula
  • Pada umumnya penderita datang kerumah sakit secara mendadak, sehingga pemeriksaan sebelum operasi harus lengkap. 23% umumnya tidak disertai keluhan lain, 14,5% disertai penyakit paru, 13,2% keluhan gastrointestinal, 12,5% keluhan miokar infark, 12,4% disertai aritmia jantung, 9,8% disertai renal insuffisiensi. Prostat sebaiknya benar- benar diukur untuk menentukan apakah dapat dilakukan transuretra cara palpasi. Secara rutin sering dilakukan reseksi prostat diatas 100 gram. Insiden komplikasi meningkat bila diatas 75 gram. Diputuskan untuk melakukan open prostatektomi.
  • Penting pemantauan ECG, tekanan darah, suhu, hindari dosis sedasi yang dalam untuk menjaga komunikasi dengan penderita dan evaluasi status mental selama regional anestesi.
  • Penderita dengan penyakit paru-jantung sebaiknya dipantau monitor invasif untuk mengikuti pemeriksaan kadar gas darah, cardiac filling pressures.

Rumatan dan pemantauan selama Operasi Prostatektomi
  • Konsentrasi sodium plasma, hematokrit penting untuk deteksi kelebihan hemodilusi akibat absorbsi cairan irigasi. Kenaikan CVP dan tekanan darah tanda dari hipervolemi. Gejala hiponatremia timbul bila konsentrasi natrium plasma kurang dari 120 meq/l. Penanganan terapi manitol, furosemide, natrium hipertonis. 
    • Hiponatremia akut ( Na serum kurang dari 130 meq / l dalam waktu kurang lebih 12jam ) angka mortalitas 50%. Gejala mulai anoreksi sampai status epileptikus. Osmolalitas sering terukur rendah. Gejala hebat terdapat muntah, konvulsi, stupor, koma pada Natrium serum kurang dari 110 meq / l.  
      • Terapi larutan garam 3% 0,5 mM/ Kg/Jam, harus segera dimulai bila tidak akan terjadi gagal jantung kongestif, perdarahan subdural, perdarahan intraserebral. Pengukuran Na serum, Kalium serum tiap jam, Kecepatan infus dikurangi / dinaikkan dengan tepat tanpa melebihi 1 mM /Kg/ jam bila Na serum meningkat lebih dari 2,5 meq / l / jam kurang dari 1,5 meq / l / jam.
    • Pada hipervolemi. Rumus volume yang akan diekskresi mencapai Na serum 125 meq / l = setara ( 125 – Nas ) / 125.... x 0,6 x BB @liter. 
      • Dosis serial furosemide 200 – 500 ml / jam dalam 12 - 24 jam. 
      • Bila terdapat CCT rendah berikan metalazone 30 mnt sebelumnya.
    • Water intoksikasi . Beri cairan hipertonik saline deuresis furosemide untuk ekskresi cairan.
    • Manifestasi gejala akut hiponatremia :
      • Na serum 120 meq / l pada EKG : possible widening of QRS. Gejala SSP : gelisah dan confusion.
      • Na serum 115 meq / l pada EKG : widened QRS, elevasi segmen ST. Gejala SSP : mual, somnolen.
      • Na serum 110 meq / l pada EKG : ventricular tachicardia, ventricular fibrillation. Gejala SSP : kejang, koma.
    • Gejala hiponatremia tidak ada bila konsentrasi Na serum diatas 120 meq / l, Akut intravaskuler hemolisis terjadi akibat hipotonis plasma natrium kurang 100 meq /l.
    • Penilaian kehilangan darah selama TURP sangat sulit oleh karena dilusi / campuran darah dengan cairan irigasi dan hemodinamik respon akibat kehilangan darah ( takikardi, hipotensi ) tidak nyata. Perdarahan diperkirakan kurang lebih 15 ml / gram reseksi jaringan. 
    • Pengelolaan hipervolemik hiponatremi dengan furosemide sebelum diinfus natrium hipertonis. Gejala akut hipervolemi : kenaikkan CVP dan tekanan darah. Plasma natrium konsentrasi kurang dari 120 meq / l boleh diberikan manitol atau furosemide dengan indikasi.
    • TUR sindrom akibat metabolisme glycine dalam hepar menjadi amoniak penyebab amoniak toksisitas ( lebih dari 500 mmol / l ) ( normal 5 - 50 mmol / l. Hiperglisinemia ( lebih dari 1000 mg / l ) toksisitas akibat metabolisme glycine, berakibat sirkulasi depresi, toksis terhadap susunan syaraf , menghambat neuro transmiter susunan syaraf pusat dan menimbulkan gejala mata kabur. Harga normal 13 - 17 mg / l.  Hiperglikemia akibat sorbitol dan dextrose. Absorbsi manitol menyebabkan naiknya volume intravaskuler. 
    • Hemolisis sering terjadi akibat penggunaan cairan air steril dan glysine untuk irigasi buli-buli.  
    • Deuresis dengan manitol dan furosemide untuk mencegah tubulus renal dari hemoglobin bebas. 
    gambar prostektomy
    • Persistence bleeding oleh karena fibrinolisis ( prostat akitifasi plasminogen merupakan faktor jaringan released ) DIC, Preexisting coagulopaty ( aspirin ).
    • Nyeri abdomen, kaku pada abdomen, pembengkaan scrotum merupakan tanda perforasi vesika, harus operasi ulang.
    • Sepsis dengan gejala takikardi, hipotensi akibat alat operasi yang kurang steril. Septikemia akibat manipulasi operasi, terbukanya sinus venosus dapat menjadi sarana tempat masuknya organisme kedalam darah. Sebaiknya diberi profilaksis antibiotika ,umumnya gentamisin.
    • Persistent penile erection sulit diatasi dan cenderung traumatis.
    • Stimulasi elektrik menyebabkan adduksi syaraf obturator dengan akibat adduksi kaki ipsilateral. Terapi kurangi aliran listrik.
    • Monitoring selama dan setelah operasi meliputi pengukuran laju jantung, tekanan darah, respirasi, suhu, ECG, monitoring obat pelumpuh otot. CVP bila ada kelainan ejection fraction dan kelainan katup jantung. 
    • Perlu diperhatikan pada TURP penderita usia lanjut sering disertai penyakit degeneratif sistem pernafasan, kardio vaskuler, posisi litotomi, menggunakan cairan irigasi dalam jumlah banyak, dan alat  yang dimasukkan lewat uretra. Mortalitas tinggi karena gangguan hemodinamik komplikasi kardio vaskuler, perubahan elektrolit akibat hilangnya darah, cairan infus, cairan irigasi yang terabsorbsi. Cairan irigasi membuat lapangan pandang vesika lebar, bersih dari darah dan potongan jaringan. 
    • Air sebagai cairan irigasi bila diabsorbsi sistem vaskuler berakibat hemolisis, kontaminasi bakteri, dilusi hiponatremi ( water intoksication ). Pencegahan hemolisis menggunakan sorbitol 3%.
    • Cairan irigasi harus steril, tersedia dalam jumlah banyak, mirip suhu tubuh. Cairan elektrolit tidak boleh digunakan untuk irigasi selama TURP karena akan mendispersi electrocautery current hingga tidak dapat melakukan pemotongan dan koagulasi.  Pada TURP digunakan cairan isotonik non elektrolit, seperti : glicine 1,5% ( 230 mosm/l ), campuran sorbitol 2,7% manitol 0,54% ( 195 mosm/l ). Cairan hipotonik yang jarang digunakan manitol 3%, sorbitol 3,3%, dextrose 2,5 - 4%, urea 1%.  
    • Absorsi melalui vena. Semakin besar ukuran prostat semakin banyak cairan irigasi diserap kesistem vena melalui sinus venosus yang terbuka. Tekanan irigasi cairan dalam vesika lebih dari  tekanan vena. Terdapat 3 problem : 
        • Peningkatan volume sirkulasi karena absorbsi cairan irigasi. 
          • Berat bertambah 2 – 4 kg, cairan yang diserap beberapa ratus mililiter. Tanda dini peningkatan sirkulasi volume: Tekanan sistolik meningkat, bradikardi, perdarahan, gagal ventrikel jantung, udema paru (: Asma, wheezing, rhonchi, sputum kental ), udema serebri, disorientasi, gangguan mental, kejang, koma. 
          • Pengelolaan : Intubasi endotrakea, terapi oksigen dengan tekanan positip, menaruh tourniket pada ekstrimitas, hentikan irigasi vesika, merubah posisi tubuh lebih elevasi, terapi deuretik digitalis.
        • Hemolisis. 
          • Gejala : hipotensi, perdarahan, takikardi, vasokonstriksi perifer, sianosis. Diagnosa : Hemoglobin pada plasma darah. 
          • Terapi memperbaiki aliran ginjal transfusi darah dan elektrolit.
        • Hiponatremia kurang dari 120 meq/l. 
          • Pada regional anestesia gejala : gelisah, mual, muntah, lethargy, kejang, koma. Pada anestesia umum gejala : Perubahan tekanan darah dan kejang. 
          • Terapi Intravena hipertonik sodium kloride 3% - 5% kecepatan 100 mL / jam mencegah terjadinya kelebihan cairan sirkulasi.
          • Pencegahan: Selama TURP hindari penggunaan air, D5% water, diganti Sorbitol 3%, Glicine 1% .( 8 ) Terapi kejang midazolam 2 - 4 mg, diazepam 3 - 5 mg atau thiopental 50 - 100 mg, phenytoin 10 - 20 mg / kg intra vena kecepatan pemberian 50 mg / min. Pada penderita yang tidak sadar dilakukan intubasi endotrakea.
      • Absorbsi cairan irigasi dipengaruhi lamanya reseksi, tingginya tekanan cairan irigasi, umumnya reseksi diakhiri dalam 45-60 menit, diperkirakan jumlah cairan irigasi yang diabsorbsi 20 ml / min. Cairan hipotonis menyebabkan hiponatremi dan hipoosmolalitas.
    • Hiperfibrinolisis, Perdarahan abnormal karena hilangnya fibrinolisin. Perdarahan yang banyak biasanya oleh karena gangguan hemostasis. Cek pembekuan darah normal membeku dalam 10 menit. Terapi injeksi epsilonamino caproic acid.
    • Disseminated intravascular coagulopathy ( DIC ): Ditandai perdarahan memanjang selama operasi akibat masuknya tromboplastin yang menginduksi faktor pembekuan darah dan agregasi platelet ke sirkulasi darah dalam jumlah yang banyak. Komplikasi ini meliputi trombosis, perdarahan, dan akitivasi fibrinolisis sekunder. Terapi heparinisasi, epsilon aminocaproic acid /amicar 5gr diteruska 1gr /hari secara intravena, konsultasi ke hematologist.
    • Perforasi kapsul prostat dan vesika. Terjadi ekstravasasi cairan irigasi dan urin. Komplikasi kematian. Selama dilakukan anestesia harus dimonitoring.
        • Regional anestesia Ditandai : Tiba-tiba mendadak nyeri perut bagian bawah, perut tegang, keras pada palpasi, nyeri merambat terus kearah prekordia hingga bahu. Pada ekstravasasi cairan irigasi sedikit : Hipertensi, bradikardi. Pada ekstravasasi banyak : Hipotensi, syok.
        • Anestesia Umum. Perforasi dan ekstravasasi sulit didiagnosa. Tanda : Hipotensi, perubahan respirasi. Harus segera dilakukan cystoskopi atau urethrography. Pengelolaan ekstrvasasi tergantung ada tidaknya infeksi saaluran kencing. Pasang kateter, beri antibiotika, hentikan reseksi, lakukan suprapubic cystostomy untuk drainage.
    • Perhatian pada hemodinamika ginjal dengan preoperatif hidrasi, hindari anestesia yang terlalu dalam. 
    • Penting monitoring : evaluasi status mental dan perforasi vesika pada pasien sadar deteksi dini gejala TURP sindrom , evaluasi dini fluid overload penurunan saturasi oksigen. Evaluasi hipotermia akibat cairan irigasi pada suhu kamar dapat menyebabkan hilangnya suhu tubuh, monitoring temperatur selama reseksi yang lama dan pemberian cairan irigasi yang hangat sesuai suhu tubuh, hilangnya darah sulit dievaluasi karena adanya cairan irigasi dan monitoring gejala hipovolemi yang tidak jelas. Darah yang hilang dapat diperkirakan 3 mL / min dari reseksi ( umumnya total 200-300 ml ), evaluasi hemodilusi penurunan hematokrit, osmolaritas, konsentrasi natrium plasma. postoperatif akibat absorbsi cairan irigasi. Manifestasi gejala TURP sindrom pada kardiovaskuler : Hipertensi, tekanan CVP meningkat, bradikardi, iskemik miokard, syok. Pada susunan syaraf pusat : gelisah, confusion, mual, mata kabur, kejang, koma

    Komplikasi setelah operasi Prostatektomi

    Komplikasi pada TVP adalah perdarahan yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

    • Tidak tepatnya penjahitan pada leher buli untuk menghentikan perdarahan. Arteria prostatika memang letaknya bervariasi, jahitnya kurang dalam dan kurang mengena. Lebarnya leher buli setelah enukleasi kelenjar prostat, timbul bekuan darah yang dapat menyumbat kateter. Pada penelitian dr Rifki muslim ( 1981 - 1996 ) dikatakan pasca bedah Kadar Hb darah metode modifikasi turun 0,2 – 1,8 gr%, Metode baku turun kadar Hb 0,4 – 2,6 gr%. Paling banyak 1gr% sehingga tranfusi darah dapat dihindarkan, mengingat didaerah sulit mencari donor dan komplikasi anafilaktik, penularan hepatitis, aids. Lama oprerasi lebih pendek yaitu 37 – 48 menit. Pasca bedah kadar Hb masih diatas 10 gr%, tidak perlu dilakukan transfusi darah, bila Hb kurang dar 10 gr% perlu dipertimbangkan pemberian transfusi darah. Perdarahan setelah operasi 3,9%, 74% memerlukan 2 unit darah.
    • Prostat reseksi menggunakan resektoskop dan irigasi glisin terus - menerus diabsorbsi melalui sinus venosus yang terbuka menyebabkan kelebihan cairan, TURP sindrom, akut dilusi hiponatremi, intoksikasi air. Gejala susunan syaraf pusat : disorientasi, gelisah, mual, sakit kepala, mata kabur, kejang, koma. Gejala kardio vaskuler : disritmia, hipertensi, udema paru, bradikardi, miokar iskemik, syok, CVP meningkat. Pada koreksi sodium yang terlalu cepat dapat menyebabkan neorological injury. Perforasi vesika karena penggunaan rektoskop ditandai : nyeri perut, cegukan, nyeri menjalar ke bahu karena iritasi diafragma oleh cairan pada rongga perut. Insiden perdarahan selama TURP 1%.
    • Komplikasi yang sering terjadi :
      • Volume intravaskuler meningkat. Terapi furosemide, airway management
      • Hipotermia.
      • Kehilangan darah : Ukur HCT, transfusi darah bila perlu
      • TUR sindrom : Dilusional hiponatremia : terapi furosemide, saline 3 - 5% intra vena. Toksisitas amoniak. Penanganan TURP sindrom sangat tergantung pada ditemukannya gejala dini dan banyaknya gejala yang timbul. Absorsi cairan harus dihilangkan, hipoxemia dan hipoperfusi harus dihindari. Pemberian deuretik dan restriksi cairan.
      • Komplikasi yang sering menyertai TURP : perdarahan, TURP sindrom, perforasi vesika, hipotermia, septikemia, DIC.  Banyaknya perdarahan sangat tergantung pada ukuran kelenjar, ketrampilan operator, lamanya operasi. Setelah kateter dimasukkan, cairan irigasi saat akhir operasi harus berwarna merah muda. Warna tetap merah bila curiga perdarahan berasal dari arteri. Segera operasi kembali. Warna merah gelap perdarahan curiga berasal dari vena. Irigasi konstan kira- kira 500 ml/jam untuk mempertahankan drainage tetap merah muda. Kateter segera dilepas apabila urin telah bebas dari darah dalam 42-48 jam setelah operasi. Perdarahan selama operasi yang memerlukan transfusi dicatat 2,5%. Perdarahan setelah operasi yang memerlukan transfusi dicatat 3,7%. 85% perlu 2 unit darah kira- kira  perdarahan 250 - 400 ml. Operasi  lebih dari  90 menit insiden perdarahan 7,3%. Operasi kurang dari  90 menit insiden perdarahan 0,9%. Berat kelenjar prostat lebih dari 45 gram insiden perdarahan 10%. Berat  kurang dari  45 gram insiden perdarahan 1,7%.
    • Gejala TURP sindrom : Hiponatremia, hipoosmolalitas, kelebihan cairan meliputi gagal jantung, hipotensi, udema paru. 
      • Hemolisis, solut toksisitas meliputi hiperglicinemia (glicine), hiperamonemia (glicine), hiperglikemia (sorbitol), kelebihan volume intravaskuler (manitol).  80% operator menolak air sebagai cairan irigasi karena resiko intravascular haemolysis (hemolitic solution). Biasanya dipakai 1,5% glicine (osmolarity 200) dan cytol (sorbitol dan manitol) termasuk cairan non hemolitik. Osmolariti serum normal kira- kira  290.  
      • menurut Hagstorm ( 1955 ) kira kira  20 ml / mnt cairan diserap oleh pasien. menurut 
      • Oester dan madsen ( 1969 ) kira kira 1000 ml jumlah yang diserap, 1/3 diserap melalui intra vena saat venosus sinus terbuka.  
      • menurut Madsen dan naber (1973) mencatat tekanan fossa prostatika dan jumlah cairan yang diabsorbsi tergantung dari ketinggian cairan dari penderita. Bila ketinggian dirubah dari 60 menjadi 70 Cm, jumlah yang diabsorbsi bertambah 2 kali. kira- kira 300 ml / mnt dibutuhkan untuk menjernihkan lapangan operasi, ini akan tercapai bila ketinggian kurang dari 60 Cm. Glycin dimetabolisme menjadi glycolik acid dan amonia. Amonia intoksikasi menyebabkan TUR syndrom, Glycil secara langsung toksik neorotransmitter sehingga terjadi cortikal udema. Konsentrasi serum Na 125 meq / l tidak menimbulkan gejala. Resiko tinggi bila berat kelenjar lebih dari 45 gram dan lama operasi lebih dari 90 menit. Koreksi 200 ml 3% saline diberikan secara perlahan dibagi dalam 2 dosis dengan monitoring ketat serum sodium, pemberian deuretik untuk hindari udema paru. 
    • Komplikasi yang tidak umum :
      • Dilusional hipokalemia. 
        • Koreksi KCl
      • Hemolisis. 
        • Koreksi manitol, furosemide, stop irigasi.
        • Koagulopati Kejadian clot retention 3,3%.
      • Perforasi vesika. 
        • Operasi kembali.
      • Sepsis. 
        • Koreksi antibiotika, suportif terapi. menurut Chilton  kejadian infeksi setelah operasi 20%, Murfy ( 1984 ) menemukan 30%, Melchior ( 1974 ) menemukan 23%. Antibiotika sistemik profilaktik sebaiknya diberikan sebelum operasi, diteruskan selama 2 - 3 hari setelah kateter dicabut.
      • Persistent penile erection. 
        • Penanganan dengan ketamin 0,5 - 0,7 mg / Kg BB. Injeksi epineprin atau efedrine kedalam korpora kavernosa 0,1 ml ( 1 : 1000 epineprin ).
      • Stimulasi syaraf obturator. 
        • Kegagalan mengeluarkan urin 6,5% karena hipotonik buli-buli

    Pemilihan tehnik anestesia Pada Operasi Prostatektomi

    Pemilihan tehnik anestesia meliputi anestesia umum, dan regional anestesia dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh.
    • Anestesia umum dapat menyembunyikan semua gejala kelebihan absorbsi intravaskuler, akibat cairan irigasi tetapi baik untuk pasien yang kurang kooperatif.
    • Anestesia Umum terpilih untuk penderita yang tidak dapat menggunakan regional anastesia, mempunyai gangguan neoromuskuler, neorologic extensive lumbar surgery. 
    • Pasien dengan anestesia umum tidak dapat memperhatikan gejala, hanya hipotensi dan disritmia.
    • Anestesia umum terutama pada kegemukan, bronkhitis, episematus, bull necked, dilakukan intubasi dan kontrol ventilasi. 
    • Spinal anestesia sebagai pilihan untuk tindakan TURP. Karena gejala susunan syaraf pusat akibat absorbsi cairan irigasi dapat dideteksi pada pasien yang sadar. Perforasi vesika yang mendadak dapat segera diketahui adanya refered pain nyeri pundak dan iritasi subdiapragma oleh karena irigasi peritoneal activity. T10 adalah level sensori untuk TURP. Morfin dengan dosis 0,1 – 0,2 mg pada lokal anestetic solution injection subarachnoid space memperlama analgesia setelah operasi. 
    • Subarahnoid blok T10 sensori level merupakan pilihan tehnik anestesi oleh karena pada penderita yang sadar dapat dideteksi adanya perubahan sensorium, ( dilutional hiponatremi, ammonia intoxicasi, abdominal pain, bladder perforasi ).
    • Regional anestesi berdampak pada fungsi ginjal, hindari hipotensi. Spinal hipotensi dapat dihindari dengan obat vasokonstriksi lebih baik dari pada pemberian cairan intravena dengan volume yang besar.
    • Pilihan adalah spinal anestesi dengan beberapa keuntungan : 
      • Spinal, epidural, kaudal anastesia dianjurkan oleh karena dapat cepat mendeteksi komplikasi dengan mudah pada penderita yang sadar.
      • Batas sensori kurang dari segmen T10 baik untuk tindakan TURP karena serat sensori vesika dan prostat ditingkat batas spinal kurang dari T10. Campuran morfine 0,1 - 0,2 mg dan lokalo anestetik ke ruang subarahnoid dapat memperpanjang efek analgesia setelah operasi.
      • Gejala kelebihan cairan karena absorbsi dapat dilihat pada penderita dari cepatnya respon gelisah.
      • Gejala perforasi ditandai dengan eksperimen nyeri yang menjalar ke bahu, refleksi nyeri iritasi subdiapragma karena cairan irigasi di rongga perut. Dibanding anestesia umum dapat menurunkan kehilangan darah selama operasi dan menurunkan postoperatif trombosis vena. 
      • Kesudahan spinal tidak menimbulkan emesis, batuk, gelisah, sehingga resiko perdarahan diharapkan berkurang.
      • Epidural sama keuntunganya dengan spinal, tetapi efek kerjanya lebih lama.
      • Spinal dianjurkan pada TURP karena pada penderita yang sadar dapat memperlihatkan gejala kelainan susunan syaraf pusat akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi.
    • Menurut Nielsen dan Co workers ( 1987 ) mencatat tidak ada perbedaan hilangnya jumlah darah pada epidural dan general anestesi. menurut Mic Gowan dan smith (1980) mencatat tidak ada beda jumlah perdarahan dan mortalitas setelah operasi antara spinal dan anestesi umum. Operasi baik dapat digunakan untuk semua jenis tehnik anestesia sesuai kasus penderita. Selama operasi harus tetap dimonitor saturasi oksigen jaringan , EKG, Na serum , dan parameter lainnya.

    Ringkasan

    Prostatektomi pada umur sangat tua sudah makin banyak dikerjakan. Terdapatnya penyakit penyulit dengan bertambahnya umur waktu prostatektomi. Komplikasi pasca bedah dan lama perawatan pada prostatektomi pada umur diatas 80 thn lebih banyak dari orang yang lebih muda.

    Pada umumnya penderita datang kerumah sakit secara mendadak, sehingga pemeriksaan sebelum operasi harus lengkap. 23% umumnya tidak disertai keluhan lain, 14,5% disertai penyakit paru, 13,2% keluhan gastrointestinal, 12,5% keluhan miokar infark, 12,4% disertai aritmia jantung, 9,8% disertai renal insuffisiensi.

    Prostat sebaiknya benar- benar diukur untuk menentukan apakah dapat dilakukan transuretra cara palpasi. Secara rutin sering dilakukan reseksi prostat diatas 100 gram. Insiden komplikasi meningkat bila diatas 75 gram. Diputuskan untuk melakukan open prostatektomi. Konsentrasi sodium plasma, hematokrit penting untuk deteksi kelebihan hemodilusi akibat absorbsi cairan irigasi. Kenaikan CVP dan tekanan darah tanda dari hipervolemi. Gejala hiponatremia timbul bila konsentrasi natrium plasma kurang dari 120 meq/l. Penanganan terapi manitol, furosemide, natrium hipertonis.

    Pada hipervolemi. Rumus volume yang akan diekskresi mencapai Nas 125 meq / l  =  á » ( 125 – Nas ) / 125 ¼ x 0,6 x BB â . Dosis serial furosemide 200 – 500 ml / jam dalam 12 - 24 jam. Bila terdapat CCT rendah berikan metalazone 30 mnt sebelumnya.

    Water intoksikasi , Beri cairan hipertonik saline deuresis furosemide untuk ekskresi cairan.
    Gejala hiponatremia tidak ada bila konsentrasi Na serum diatas 120 meq / l, Akut intravaskuler hemolisis terjadi akibat hipotonis plasma natrium kurang dari 100 meq / l.

    • Penilaian kehilangan darah selama TURP sangat sulit oleh karena dilusi / campuran darah dengan cairan irigasi dan hemodinamik respon akibat kehilangan darah ( takikardi, hipotensi ) tidak nyata. Perdarahan diperkirakan kurang lebih 15 ml / gram reseksi jaringan.
    • Pengelolaan hipervolemik hiponatremi dengan furosemide sebelum diinfus natrium hipertonis.  Gejala akut hipervolemi : kenaikkan CVP dan tekanan darah. Plasma natrium konsentrasi kurang dari 120 meq / l boleh diberikan manitol atau furosemide dengan indikasi. 
    • TUR sindrom akibat metabolisme glycine dalam hepar menjadi amoniak penyebab amoniak toksisitas ( lebih dari 500 mmol  / l ) ( normal 5 - 50 mmol / l. Hiperglisinemia ( lebih dari 1000 mg / l ) toksisitas akibat metabolisme glycine, berakibat sirkulasi depresi, toksis terhadap susunan syaraf , menghambat neuro transmiter susunan syaraf pusat dan menimbulkan gejala mata kabur. Harga normal 13 - 17 mg / l.  Hiperglikemia akibat sorbitol dan dextrose. Absorbsi manitol menyebabkan naiknya volume intravaskuler. 
    • Hemolisis sering terjadi akibat penggunaan cairan air steril dan glysine untuk irigasi buli-buli. 
    • Deuresis dengan manitol dan furosemide untuk mencegah tubulus renal dari hemoglobin bebas. 
    • Persistence bleeding oleh karena fibrinolisis ( prostat akitifasi plasminogen merupakan faktor jaringan released ) DIC, Preexisting coagulopaty (aspirin).
    • Nyeri abdomen, kaku pada abdomen, pembengkaan scrotum merupakan tanda perforasi vesika, harus operasi ulang.
    • Sepsis dengan gejala takikardi, hipotensi akibat alat operasi yang kurang steril. Septikemia akibat manipulasi operasi, terbukanya sinus venosus dapat menjadi sarana tempat masuknya organisme kedalam darah. Sebaiknya diberi profilaksis antibiotika ,umumnya gentamisin.
    • Persistent penile erection sulit diatasi dan cenderung traumatis.
    • Stimulasi elektrik menyebabkan adduksi syaraf obturator dengan akibat adduksi kaki ipsilateral. Terapi kurangi aliran listrik.
    • Monitoring selama dan setelah operasi meliputi pengukuran laju jantung, tekanan darah, respirasi, suhu, ECG, monitoring obat pelumpuh otot. CVP bila ada kelainan ejection fraction dan kelainan katup jantung.
    • Perlu diperhatikan pada TURP penderita usia lanjut sering disertai penyakit degeneratif sistem pernafasan, kardio vaskuler, posisi litotomi, menggunakan cairan irigasi dalam jumlah banyak, dan alat2 yang dimasukkan lewat uretra.  Mortalitas tinggi karena gangguan hemodinamik komplikasi kardio vaskuler, perubahan elektrolit akibat hilangnya darah, cairan infus, cairan irigasi yang terabsorbsi. Cairan irigasi membuat lapangan pandang vesika lebar, bersih dari darah dan potongan jaringan.
    • Air sebagai cairan irigasi bila diabsorbsi sistem vaskuler berakibat hemolisis, kontaminasi bakteri, dilusi hiponatremi ( water intoksication ). Pencegahan hemolisis menggunakan sorbitol 3%.
    • Cairan irigasi harus steril, tersedia dalam jumlah banyak, mirip suhu tubuh. Cairan elektrolit tidak boleh digunakan untuk irigasi selama TURP karena akan mendispersi electrocautery current hingga tidak dapat melakukan pemotongan dan koagulasi. Pada TURP digunakan cairan isotonik non elektrolit, seperti : glicine 1,5% ( 230 mosm/l ), campuran sorbitol 2,7% manitol 0,54% ( 195 mosm/l ). Cairan hipotonik yang jarang digunakan manitol 3%, sorbitol 3,3%, dextrose 2,5 - 4%, urea 1%. 
    • Absorsi melalui vena. Semakin besar ukuran prostat semakin banyak cairan irigasi diserap kesistem vena melalui sinus venosus yang terbuka. Tekanan irigasi cairan dalam vesika  tekanan vena. Terdapat 3 problem :
      • Peningkatan volume sirkulasi karena absorbsi cairan irigasi. Berat bertambah 2 – 4 kg, cairan yang diserap beberapa ratus mililiter.  Tanda dini peningkatan sirkulasi volume: Tekanan sistolik meningkat, bradikardi, perdarahan, gagal ventrikel jantung, udema paru (: Asma, wheezing, rhonchi, sputum kental ), udema serebri, disorientasi, gangguan mental, kejang, koma. Pengelolaan : Intubasi endotrakea, terapi oksigen dengan tekanan positip, menaruh tourniket pada ekstrimitas, hentikan irigasi vesika, merubah posisi tubuh lebih elevasi, terapi deuretik digitalis. 
      • Hemolisis. Gejala : hipotensi, perdarahan, takikardi, vasokonstriksi perifer, sianosis. Diagnosa : Hemoglobin pada plasma darah. Terapi memperbaiki aliran ginjal transfusi darah dan elektrolit. 
      • Hiponatremia kurang dari 120 meq / l. Pada regional anestesia gejala : gelisah, mual, muntah, lethargy, kejang, koma. Pada anestesia umum gejala : Perubahan tekanan darah dan kejang. Terapi Intravena hipertonik sodium kloride 3% - 5% kecepatan 100 mL / jam mencegah terjadinya kelebihan cairan sirkulasi. Pencegahan: Selama TURP hindari penggunaan air, D5% water, diganti Sorbitol 3%, Glicine 1%. Terapi kejang midazolam 2 - 4 mg, diazepam 3 - 5 mg atau thiopental 50 - 100 mg, phenytoin 10 - 20 mg / kg intra vena kecepatan pemberian 50 mg / min. Pada penderita yang tidak sadar dilakukan intubasi endotrakea.

    Absorbsi cairan irigasi dipengaruhi lamanya reseksi, tingginya tekanan cairan rigasi, umumnya reseksi diakhiri dalam 45 - 60 menit, diperkirakan jumlah cairan irigasi yang diabsorbsi 20 ml / min. Cairan hipotonis menyebabkan hiponatremi dan hipoosmolalitas.

    Angka kematian tidak terlalu menakutkan karena bekisar 5 – 7,4 % bahkan menurut penelitian dr Rifky muslim ( 1981 - 1996 ) tidak ada kematian pada orang yang usianya diatas 80 th. Pada penderita perdarahan setelah operasi, diabetes melitus, hipertensi lama dirawat operasi TVP dan TURP lebih lama dari penderita yang sehat. Tetapi tidak ada kecenderungan makin tua umur penderita makin lama perlu dirawat. Pada TVP sebaiknya digunakan operasi metode modifikasi dipandang dari segi penderitanya dan bahaya pembiusan, efektifitas kamar bedah dan untuk ahli bedahnya sendiri tentu sangat menguntungkan dan sangat bermanfaat. Semua jenis tehnik operasi baik dapat digunakan tergantung kasus penderita.

    Penderita dengan tindakan TURP preoperatif harus diperiksa secara baik, sering disertai penyakit paru – jantung – ginjal relatif tinggi 30 - 60% sehingga harus hati – hati mortalitasnya 0,5 – 6% umumnya karena infark miokard, pulmo udema, gagal ginjal.  Kematian tertinggi karena komplikasi kardiovaskuler. Angka kematian menurun pada usia diatas  60 thn karena tindakan TURP.

    Maka perlu persiapan prabedah membuat kondisi senormal mungkin, tindakan durante operasi dan perawatan pasca bedah, supaya keadaan umum penderita tetap optimal.