Pemantauan atau monitoring selama anesthesia

PEMANTAUAN ATAU MONITORING SELAMA ANESTESI

PENDAHULUAN
Pemantauan atau monitoring berasal dari kata kerja “to monitor” yang berarti to watch (memperhatikan), to observe (mengawasi) atau to check (memeriksa) dengan suatu tujuan tertentu. Tindakan pemantauan akan melibatkan beberapa hal yang penting, yaitu :
  1. Tugas dan tanggung jawab yang terlibat dalam proses ini.
  2. Pengumpulan data-data dan disertai data-data peringatan.
  3. Mempunyai tujuan tertentu.
Dalam anestesiologi, tindakan pemantauan sangat vital dalam menjaga keselamatan pasien, dan hal ini harus dilakukan secara terus-menerus. Pemantauan anestesi berarti memantau untuk mendapatkan informasi supaya ahli anestesi dapat bekerja dengan aman dan jika ada penyimpangan dapat segera dikembalikan ke keadaan sefisiologis mungkin. Pemantauan ini ditekankan khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Dasar dari semua pemantauan ini adalah pemantauan tanpa alat. Peralatan pemantauan hanyalah sarana bantuan, yang dapat saja terjadi malfungsi, terputus hubungannya, berkurang dayanya, sehingga informasi yang kita dapatkan tidak akurat.

Walaupun alat monitor dilengkapi dengan segala macam alat yang canggih dan tanda bahaya, tetapi ia tetap tidak dapat menggantikan fungsi atau kedudukan ahli anestesi. Pemantauan terutama ditujukan terhadap fungsi organ vital dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pasien tidak akan mati karena overdosis analgetika atau sedativa, tetapi akan mati karena overdosis anestetika di jantung, kekurangan perfusi di otak, kekurangan oksigen dalam darah, perdarahan hebat, depresi ventilasi atau salah transfusi.

PEMANTAUAN SISTEM SARAF PUSAT
Pada pasien sadar dengan orientasi tehadap personal, waktu dan tempat baik, maka oksigenasi otaknya dapat dikatakan adekuat. Pada pasien yang teranestesi, pemantauan sistem saraf pusat (SSP) dilakukan terhadap tingkat kedalaman anestesia, yang antara lain dapat dilihat pada perubahan tekanan darah, nadi, pernafasan, pupil, refleks-refleks, pergerakan bola mata dan kesadaran.

Dalam prakteknya, pasien diberikan anestesia pada stadium tertentu, kemudian kita dapat melihat respon terhadap rangsang operasi. Kalau tingkat anestesia terlalu ringan, nafas akan bertambah dalam dan cepat, tekanan darah meningkat dan nadi bertambah cepat atau sebagian anggota badan bergerak. Jika hal ini terjadi, maka konsentrasi obat anestesi inhalasi harus dinaikkan atau obat anestesi intravena ditambah.

Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) dapat pula menggambarkan tingkat kedalaman anestesia. Elektroensefalogram biasanya digunakan selama tindakan pembedahan serebrovaskuler, bypass kardiopulmoner dan teknik hipotensi kendali untuk mengetahui keadekuatan oksigenasi serebral. Setiap obat anestesi mempunyai pengaruh neuroelektrik tertentu yang dipengaruhi oleh struktur kimia obat tersebut.

Interpretasi EEG tidak mudah dan memerlukan pengalaman tersendiri. Keadaan hipoksia, hiperkarbia, hipotensi, hiperglikemia dapat memberikan perubahan gambaran EEG yang tidak jauh berbeda dengan gambaran obat anestesi yang digunakan. Keakuratan dari pemeriksaan EEG patut dipertanyakan jika digunakan pada penderita yang telah mengalami kerusakan pada otaknya, misalnya stroke. Hal-hal inilah yang membatasi penggunaan dari pemeriksaan EEG.

PEMANTAUAN SISTEM KARDIOVASKULER
Secara prinsip tujuan dari pemantauan kardiovaskuler selama anestesi adalah untuk memastikan bahwa pasien tidak mengalami gangguan penyediaan oksigen. Hal ini merupakan hasil daripada curah jantung, konsentrasi hemoglobin dan saturasi hemoglobin. Secara klinis, konsentrasi dan saturasi hemoglobin dari pasien dapat kita lihat atau kita perkirakan dengan melihat kulit, dan curah jantung dapat diperkirakan dari kehangatan anggota gerak tubuh. Sehingga, apabila denyut nadi pasien baik, kuat, kulit berwarna merah muda dan jari-jari hangat serta ditambah dengan produksi urin lebih dari 0,5 ml/kgBB/jam, hampir dapat dikatakan tidak ada gangguan dari sistem kardiovaskuler.

Pada pasien anak-anak, dimana penyakit vaskuler perifer jarang dijumpai, waktu pengisian kapiler merupakan petunjuk yang dapat dipakai untuk menilai curah jantung. Waktu pengisian adalah waktu yang dibutuhkan kapiler untuk pengisian kembali setelah dilakukan penekanan pada ujung jari. Dikatakan normal apabila setelah ujung jari ditekan selama 3 detik, waktu pengisian tidak lebih dari 1,5 detik. Apabila waktu pengisian lebih dari 5 detik, maka dapat dikatakan mengalami syok.

A. Pengukuran secara noninvasif
  • Inspeksi
    • Seperti telah diuraikan diatas, kita dapat mengetahui kecukupan penyediaan oksigen jaringan dengan melihat warna kulit atau keadaan perifer pembuluh darah di ujung jari apakah warnanya merah muda (oksigenasi baik), pucat (vasokonstriksi, anemia) atau kebiruan (sianosis).
  • Palpasi
    • Pemantauan frekuensi dan irama nadi dapat dilakukan dengan mudah misalnya dengan meraba arteri temporalis, arteri radialis, arteri femoralis atau arteri karotis. Dengan meraba nadi, kita mendapatkan informasi tentang kuat lemahnya denyut nadi, teratur tidaknya irama nadi, cepat lambatnya irama nadi. Selain itu kita dapat mengetahui curah jantung dengan meraba kulit atau anggota gerak pasien apakah terasa kering, lembab atau hangat.
  • Pengukuran tekanan darah
    • Tindakan anestesi umum atau regional adalah indikasi mutlak untuk dilakukan pengukuran tekanan darah. Teknik dan macam pengukuran tekanan darah tersebut sangat tergantung pada kondisi pasien dan jenis tindakan pembedahan. Pada banyak kasus, pengukuran setiap 3 sampai 5 menit dengan cara auskultasi dianggap sudah memenuhi syarat . Tetapi dalam kasus pasien dengan kegemukan, akan lebih baik menggunakan teknik Doppler atau teknik oskilometer. Pengukuran harus dihindari pada anggota gerak tubuh dengan abnormalitas (misalnya dialysis shunts) atau dengan jalur intravena.
    • Perlengkapan yang digunakan untuk mengukur tekanan darah secara non invasif yang sederhana antara lain adalah manset (kaf), manometer dan stetoskop (Gambar 1). Yang perlu diperhatikan adalah ukuran kaf tidak boleh terlalu kecil atau terlalu besar, karena akan mempengaruhi nilai pembacaan tekanan darah. Apabila kaf yang digunakan terlalu kecil, maka tekanan darah yang terbaca akan lebih tinggi dari seharusnya dan begitu pula sebaliknya (Gambar 2). Dianjurkan lebar manset adalah 2/3 panjang lengan atau 20% - 50% lebih besar dari diameter lengan (Gambar 3). Manometer standar yang baik digunakan adalah manometer air raksa. Namun dapat juga digunakan manometer aneroid, tetapi harus dikalibrasi dulu dengan manometer air raksa. Untuk saat ini, penggunaan manometer dan stetoskop telah banyak ditinggalkan, karena telah terdapat monitor elektronik yang secara teknis lebih praktis digunakan.
Gambar 1. Peralatan untuk mengukur tekanan darah sederhana 
    • Nilai tekanan darah dinyatakan dalam mmHg atau torr 2–5, 7. Tekanan tertinggi disebut sebagai tekanan darah sistole dan tekanan terendah disebut diastole. Tekanan arteri rerata (TAR) atau mean arterial pressure (MAP) dapat dihitung dengan rumus tekanan diastole + 1/3 (tekanan sistole – tekanan diastole) atau { (tekanan sistole + 2 tekanan diastole) : 3 }2.
Teknik pengukuran tekanan darah
  • Metode palpasi
    • Sebelum melakukan pengukuran, kita harus menentukan terlebih dahulu denyut arteri perifer yang dapat dirasakan. Setelah itu, kita kembangkan kaf sampai denyut nadi tidak teraba. Perlahan-lahan kaf kita kempeskan sampai teraba kembali denyut nadi. Tekanan sistolik terbaca saat arteri terasa berdenyut untuk pertama kali. Tetapi oleh karena ketidaksensitifan perabaan kita dan adana perbedaan waktu antara aliran dibawah kaf dan pulsasi pada sebelah distal, maka kita tidak dapat menentukan tekanan diastolik dan tekanan arteri rerata
Gambar  2.
  • Metode “flush”
    • Metode ini biasanya dilakukan pada bayi atau anak-anak. Lengan atas pasien ditinggikan agar darah turun, kemudian kaf dikembangkan sampai tidak teraba denyut nadi. Perlahan-lahan kaf dikempeskan sampai lengan berwarna merah kembali. Saat perubahan warna inilah menunjukkan tekanan sistolik.
  • Metode Korotkoff atau auskultasi
    • Teknik yang digunakan pada metode Korotkoff atau auskultasi hampir sama dengan metode palpasi, hanya ditambah stetoskop yang ditempatkan di sekitar arteri brakialis. Tekanan sistolik ditunjukkan saat pertama kali bunyi nadi terdengar dan tekanan diastolik adalah saat bunyi tersebut menghilang. Bunyi Korotkoff biasanya sulit didengarkan jika terjadi keadaan hipotensi atau vasokonstriksi pembuluh darah perifer
Gambar 3. Manset (kaf) sebaiknya
20% - 50% lebih lebar dari diameter anggota gerak pasien
 
  • Metode Doppler
    • Metode ini sangat baik digunakan pada pasien dengan kegemukan, pasien anak-anak atau pasien yang dalam keadaan syok. Prinsip dari alat ini adalah pulsasi dari dinding arteri atau pergerakan darah yang melalui suatu transduser memancarkan suatu gelombang ultrasonik. Mula-mula kaf dipompa sampai melewati batas tekanan sistolik. Perlahan-lahan kaf dikempeskan dan setelah melalui batas tekanan sistolik, dinding arteri akan berpulsasi dan akan diteruskan melalui transduser. Penempatan probe harus tepat diatas arteri (Gambar 4). Pada metode Doppler, tekanan yang dapat diukur hanyalah tekanan sistolik saja
Gambar 4. Probe Doppler
harus selalu tepat diatas arteri
agar pengukuran tekanan darah akurat
 
  • Oskilometer
    • Pulsasi arteri akan menyebabkan oskilasi pada tekanan kaf. Oskilasi ini kecil apabila kaf dikembangkan diatas tekanan sistolik. Saat tekanan kaf turun sampai tekanan sistolik, pulasai akan dihantarkan ke seluruh kaf dan oskilasi akan meningkat. Oskilasi maksimal terjadi saat mencapai tekanan arteri rerata, setelah itu akan turun kembali. Monitor tekanan darah elektronik akan secara otomatis mencatat perubahan gelombang oskilasi ini (Gambar5). Monitor oskilometer sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang menjalani pembedahan bypass kardiovaskuler. Sampai sekarang ini, peralatan oskilometer ini masih terus dikembangkan, dan di Amerika Serikat menjadi pilihan dalam pemantauan tekanan darah noninvasif
Gambar 5. Gambaran perubahan
gelombang pada oskilometer
 

  • Elektrokardiografi (EKG)
    • Semua pasien yang menjalani tindakan anestesi harus selalu dipantau gambaran elektrokardigramnya. Tidak ada kontraindikasi dalam pelaksanaan tindakan ini. Gambaran EKG menunjukkan aktivitas listrik dari jantung. Selama tindakan anestesi, EKG dipakai untuk pemantauan kejadian disritmia kordis, iskemia miokard, perubahan elektrolit, henti jantung dan aktivitas alat pacu jantung. Pada umumnya digunakan lead I atau lead II untuk memantau kejadian disritmia kordis. Standar yang digunakan untuk pemantauan EKG adalah penempatan three-limb lead (Gambar 6). Konfigurasi CM5 yaitu elektroda negatif pada ruang interkostal 1 atau 2 sebelah kanan manubrium sterni dan elektroda positip pada ruang interkostal 5 garis aksiler kiri ideal untuk mendeteksi iskemia subendokardial yang sering terjadi (Gambar 7).
    • Besarnya gambaran gelombang yang muncul, akan berkurang dengan peningkatan ketebalan dinding dada atau elektroda yang digunakan tidak baik. Gambaran ini juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas peralatan listrik (misalnya elektro kauter) yang digunakan selama tindakan pembedahan.
    • Dalam EKG, potensial listrik yang diukur adalah kecil, sehingga artefak merupakan masalah yang sering timbul. Pergerakan dari pasien atau kabel lead, penggunaan elektrokauter, 60-cycle interference dan elektroda yang kualitasnya tidak baik akan dapat memberikan gambaran seperti disritmia
Gambar 6. Konfigurasi
penempatan 3 lead EKG pada pasien
 
    • Meskipun EKG merupakan pemantauan yang harus dilakukan dalam tindakan anestesi, tapi tindakan ini hanya dapat memantau frekuensi dan irama nadi dari penderita. Aktivitas listrik masih dapat muncul tanpa adanya curah jantung, seperti contohnya pada tamponade jantung atau syok hipovolemik yang berat.
Gambar 7. Konfigurasi lead CM5
pada pemeriksaan EKG
 
B. Pengukuran secara invasif.
  • Kateterisasi arteri
    • Indikasi dari pemantauan tekanan darah dengan menggunakan kateterisasi arteri adalah tindakan anestesi dengan hipotensi buatan, antisipasi pada tindakan pembedahan dengan perubahan tekanan darah yang cepat, tindakan pembedahan yang memerlukan pemantauan tekanan darah dengan tepat secara cepat dan pemantauan analisa gas darah secara berkala selama tindakan pembedahan. Tindakan kateterisasi arteri ini dikontraindikasikan pada pembuluh darah yang tidak terdapat kolateral atau pada pasien yang sebelumnya dicurigai adanya insufisiensi pembuluh darah pada anggota gerak tubuh (misalnya Raynaud’s phenomenon).
    • Pada kondisi yang normal, tekanan darah intra arteri 2 – 8 mmHg lebih tinggi dibandingkan tekanan darah yang diukur secara tidak langsung (metode non invasif). Tetapi pada keadaan kritis, tekanan darah arteri dapat 10 – 30 mmHg lebih tinggi.
    • Arteri radialis merupakan arteri yang sering untuk pelaksanaan kanulasi. Selain letaknya yang superfisial juga karena memiliki banyak kolateral. Arteri lain yang dapat digunakan untuk kanulasi adalah arteri ulnaris, arteri brakialis, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior serta arteri aksilaris.
    • Teknik untuk melakukan kanulasi arteri radialis dapat diuraikan seperti berikut ini (Gambar 8) :
      • Posisikan pergelangan tangan terlebih dahulu dalam keadaan supinasi dan ekstensi untuk memudahkan meraba arteri radialis. Sebelumnya siapkan terlebih dahulu semprit yang berisi heparin 0,5 – 2 U/ml dalam larutan NaCl.
      •  Lakukan palpasi untuk menentukan letak arteri radialis, setelah itu lakukan desinfeksi. Infiltrasi daerah yang akan ditusuk dengan lidokain menggunakan semprit dengan jarum 25 G atau 27 G.
      • Kateter intra arteri ukuran 18 G, 20 G atau 22 G ditusukkan dengan kemiringan 45 derajat.
      • Setelah tampak darah mengalir melalui kateter, posisi kemudian diubah menjadi 30 derajat dan didorong masuk kira-kira 1 – 2 mm kedalam lumen arteri.
      • Dalam posisi tetap, kateter kemudian didorong masuk ke lumen arteri dengan jarum tetap diluar.
      • Tekan bagian proksimal arteri dengan dua jari, lepas jarum kateter, kemudian masukkan heparin yang telah disiapkan. Hubungkan dengan jalur infus yang telah dipersiapkan dengan hati-hati. Amankan kateter dengan menggunakan plester agar tetap ditempatnya.
    • Komplikasi yang dapat timbul dari tindakan kanulasi intra arteri adalah hematom, perdarahan, trombosis arteri, pembentukan pseudoaneurisma arteri, vasospasme, emboli udara atau trombus, nekrosis dari kulit, kerusakan saraf, infeksi, iskemia daerah distal dan masuknya obat ke intra arteri. Hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi adalah prolonged cannulation, hiperlipidemia, percobaan pemasangan berulang kali, sirkulasi ekstrakorporeal dan penggunaan obat-obatan vasopresor. Resiko terjadinya komplikasi dapat dikurangi dengan penggunaan kateter ukuran kecil, heparinisasi kontinyu (2 – 3 mL/jam), pembatasan pemakaian jalur intraarteri dan teknik aseptik harus selalu dilaksanakan
Gambar 8. Cara melakukan kanulasi arteri radialis
  • Kateterisasi vena sentral.
    • Indikasi dari kateterisasi vena sentral adalah untuk pemantauan tekanan vena sentral pada penatalaksanaan cairan pada keadaan hipovolemi dan syok, infus nutrisi parenteral dan obat-obatan, aspirasi emboli udara, insersi transcutaneous pacing leads, dan pada pasien dengan akses vena perifer yang tidak baik.
    • Kontraindikasi dari kateterisasi vena sentral termasuk didalamnya adalah penyebaran sel tumor ginjal yang masuk ke atrium kanan atau fungating tricuspid valve vegetations. Kontraindikasi lainnya adalah yang berhubungan dengan tempat kanulasi. Sebagai contoh kanulasi vena jugularis interna dikontraindikasikan (relatif) pada pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan atau yang pernah dilakukan ipsilateral carotid endarterectomy, oleh karena kemungkinan terjadinya penusukan arteri karotis yang tidak disengaja.
    • Pada pengukuran tekanan vena sentral, ujung kateter harus berada diatas atau tepat pada pertemuan vena kava superior dan atrium kanan. Oleh karena lokasi ini menggambarkan ujung kateter pada tekanan intratoraks, maka keadaan inspirasi akan meningkatkan atau menurunkan tekanan vena sentral, tergantung apakah pernafasan tersebut dikendalikan atau spontan. Pengukuran dinyatakan dalam water colomn (mmH2O) atau lebih baik dengan transduser elektronik (mmHg), dan sebaiknya diukur selama end-expiration. Nilai normal tekanan vena sentral adalah 5 – 12 mmH2O.
    • Tindakan kanulasi dapat dilakukan di beberapa tempat. Kateterisasi untuk waktu yang lama pada vena subklavia akan meningkatkan resiko pneumotoraks selama pemasangan dan resiko meningkatnya infeksi. Vena jugularis interna kanan akan menghasilkan kombinasi kemudahan dan keamanan dalam pemasangan  (Tabel 1). 
    • Kateterisasi yang dilakukan pada sebelah kiri akan meningkatkan resiko vascular erosion, efusi pleura dan chylothorax. 
    • Ada tiga teknik dalam melakukan kanulasi vena sentral, yaitu:
      1. Teknik seperti pada pemasangan vena perifer (jarum berada didalam kateter).
      2. Teknik kateter dimasukkan ke dalam jarum (membutuhkan large- bore needle stick).
      3. Kateter dimasukkan dengan menggunakan kawat pemandu (Teknik Seldinger). (Gambar 9).
        • Penderita berada dalam posisi Trendelenberg untuk meminimalkan emboli udara dan mengembangkan vena jugularis interna. Teknik ini memerlukan kondisi aseptik (sarung tangan steril, masker, desinfeksi kulit dan kasa steril).
        • Pada ujung segitiga yang dibentuk oleh otot sternokleido-mastoid dan klavikula dilakukan infiltrasi dengan obat lokal anestesi menggunakan jarum ukuran 25 G. Vena jugularis interna dapat ditemukan dengan cara menusukkan jarum ukuran 18 G pada sisi medial dari otot sternokleidomastoid lateral, menuju puting susu pada sisi yang sama dengan sudut 30 derajat, sambil dilakukan aspirasi. Alternatif lain adalah dengan menggunakan ultrasonografi.
        • Setelah terlihat darah mengalir lewat jarum, maka kawat berbentuk huruf J dimasukkan melalui jarum tersebut, kemudian jarum dilepaskan.
        • Sebuah pliable kateter (contoh Silastic), kemudian dimasukkan dengan panduan kawat-J tadi. Setelah diperkirakan cukup, maka kawat dilepaskan dan kemudian kateter dihubungkan dengan jalur intravena. Jangan sampai udara luar masuk melalui kateter. Dilakukan fiksasi kateter dengan kuat, dan ditutup menggunakan kasa steril. Apabila perlu, dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan foto toraks.
Gambar 9. Teknik pemasangan
 kanulasi vena jugularis interna
dengan teknik Seldinger
 
      • Komplikasi yang dapat terjadi selama tindakan kanulasi vena sentral termasuk didalamnya adalah infeksi, emboli udara atau trombus, disritmia (jika ujung kateter masuk ke atrium kanan atau ventrikel), hematom, pneumotoraks, hidrotoraks, chylothorax, perforasi jantung, tamponade jantung, trauma pembuluh darah atau nervus dan trombosis. Komplikasi ini dapat terjadi bila kita tidak menggunakan teknik yang benar.
    Tabel 1. Derajat kemudahan pemasangan kateter vena sentral


    BACA KELANJUTANNYA...

    PEMANTAUAN SELAMA ANESTESI