Laringomalasi : Gejala dan pengobatan stridor kronik anak

LARINGOMALASIA KELAINAN KONGENITAL LARING

Apa itu Laringomalasi atau Laryngomalacia??
  • Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas. Stuktur supraglotik atau Daerah supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan gabungan dari permukaan epiglotis, plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan vestibulum terdiri dari pangkal epiglotis, plika vestibularis, dan ventrikel. Jadi jika terjadi kelemahan pada daerah supraglotik diatas, maka akan menyebabkan laringomalasia. 
  • Laringomalasia atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering dari kelainan laring kongenital, berupa stridor inspiratoris kronik pada anak. Keadaan ini merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam pemberian makanan.
  • Laryngomalacia (juga disebut stridor laring kongenital) merupakan kelainan yang di dapatkan sejak lahir, dimana kelainan ini pada laring (kotak suara) berupa kelemahan struktur didalam laring, dapat menyebabkan stridor. Stridor merupakan suara bernada tinggi yang terdengar jelas ketika napas anak dalam (inspirasi).

Apa penyebab Laryngomalacia??
  • Penyebab pastinya belum diketahui, namun di duga kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan akibat dari kelainan genetik atau kelainan embriologik. 
    • Selama perkembangan janin, struktur di laring mungkin tidak sepenuhnya berkembang. Akibatnya, ada kelemahan dalam struktur saat lahir, menyebabkan stuktur tersebut colaps atau runtuh saat bernafas.
    • Selain itu terdapat juga hipotesis yang dibuat berdasarkan embriologi yaitu epiglotis yang biasanya dibentuk oleh lengkung brankial ketiga dan keempat, pada laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibanding yang keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam.
    • Meskipun laryngomalacia tidak terkait langsung dengan gen tertentu, ada bukti bahwa beberapa kasus dapat diwariskan dan sering di jumpai pada penderita Down Syndrome.
  • Selain itu ada juga dua teori besar yang diduga mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua mengajukan teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni. Sindrom ini banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi rendah, sehingga kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor etiologinya.
  • Peneliti lain berpendapat bahwa penyakit refluks gastroesofageal (naiknya asam lambung keesofagus dan laring) yang ditemukan pada 63% bayi dengan laringomalasia, mungkin berperan, karena menyebabkan edema supraglotis dan mengubah resistensi aliran udara, sehingga menimbulkan obstruksi nafas.

Apa saja gejala klinis dari Laringomalasi??
  • Walaupun dapat terlihat pada saat kelahiran, beberapa kelainan baru nampak secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun.
  • Gejala utama dari gangguan ini adalah stridor yang didengar sebagai bayi menghirup (inspirasi), tetapi juga dapat didengar ketika ekspirasi pada bayi. 
    • Karakteristik dari stridor ini dapat meliputi:
      • Stridor  karena perubahan dengan aktivitas yaitu meningkatkan ketika menangis keras
      • Stridor biasanya kurang bising ketika anak berbaring telungkup.
      • Stridor semakin memburuk jika bayi mengalami infeksi saluran pernapasan atas
    • Stridor inspiratoris biasanya baru tampak beberapa hari atau minggu dan awalnya ringan, tapi semakin lama menjadi lebih jelas dan mencapai puncaknya pada usia 6 – 9 bulan. Perbaikan spontan kemudian terjadi dan gejala-gejala biasanya hilang sepenuhnya pada usia 18 bulan atau dua tahun, walaupun dilaporkan adanya kasus yang persisten di atas lima tahun. Stridor tidak terus-menerus ada; namun lebih bersifat intermiten dan memiliki intensitas yang bervariasi.
    • Umumnya, gejala menjadi lebih berat pada saat tidur dan beberapa variasi posisi dapat terjadi; stridor lebih keras pada saat pasien dalam posisi supinasi dan berkurang pada saat dalam posisi pronasi (tengkurap). Baik proses menelan maupun aktivitas fisik dapat memperkeras stridor.
  • Selain stidor inspirasi dapat juga di sertai keluhan lain berupa adana obstruksi jalan nafas dan juga   tangis abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara (muffle). Bayi dengan laringomalasia biasanya tidak memiliki kelainan pernapasan pada saat baru dilahirkan.
  • Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat. Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi.
  • Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia.

Bagaimana Epidemologi laringomalacia??
  • Frekuensi tidak diketahui secara pasti, namun laringomalasia merupakan penyebab tersering timbulnya stridor inspiratoris pada bayi. Insidens laringomalasia sebagai penyebab dari stridor inspiratoris berkisar antara 50%-75%. Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis kelamin.
  • Meskipun laryngomalacia tidak terkait dengan gen tertentu, ada bukti bahwa beberapa kasus dapat diwariskan
  • Meskipun ini adalah lesi kongenital, saluran napas terdengar biasanya dimulai pada usia 4-6 minggu. Sampai usia itu, laju aliran inspirasi mungkin tidak cukup tinggi untuk menghasilkan suara. Biasanya puncak pada usia 6-9 bulan.

Bagaimana proses perjalanan penyakitnya??
  • Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi. Kelainan ini ditandai dengan adanya kolaps struktur epiglotis pada saat inspirasi akibat memendeknya plika ariepiglotika, prolaps mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih, atau melekuknya epiglotis ke arah posterior.
Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia yaitu teori anatomi dan teori neuromuskuler.
  • Teori Anatomi
    • Menurut teori anatomi terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Supraglotis adalah daerah yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi pada penderita laringomalasi. 
    • Teori anatomi pertamakali disampaikan oleh Sutherland dan Lack 1897, setelah mempelajari 18 kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini merupakan kelainan kongenital disertai imaturitas jaringan pada bayi yang baru lahir. Pada kepustakaan lain disebutkan bahwa hal ini merupakan kelainan kongenital yang bersifat otosomal dominan.
    • Pada stadium awal di temukan epiglotis melemah sehingga waktu inspirasi, epiglotis tertarik kebawah dan menutup rima glotis. Dengan demikian ketika bernapas, maka napasnya akan berbunyi (stridor). Stridor ini merupakan gejala awal yang dapat menetap ataupun mungkin hilang. ini karena lemahnya rangka laring.
    • Selain terjadi pada epiglotis laringomalasia dapat  juga terjadi di  kartilago aritenoid, maupun pada keduanya.  Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi.
  • Teori neuromuskuler
    • Pada teori neuromuskuler dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah terlambatnya perkembangan kontrol neuromuskuler pada struktur supraglotis. Lebih banyak peneliti yang lebih setuju dengan teori neuromuskuler dibanding dengan teori anatomi.
    • Thompson dan Turner melaporkan terjadinya prolaps struktur supraglotis setelah dilakukan pemotongan saraf laring pada percobaan binatang. Penelitian ini didukung dengan beberapa laporan tentang pasien yang menderita laringomalasia setelah mengalami luka neurologi. Peron dkk melaporkan 7 pasien mengalami flasiditas plika ariepiglotika setelah mengalami kerusakan otak berat. Keadaan ini digolongkan sebagai “laringomalasia didapat”. Dua dari 7 pasien ini mengalami perbaikan keadaan neurologi yang diikuti dengan kembali normalnya fungsi laring. Dilaporkan pula terjadinya laringomalasia pada pada pasien yang mengalami cerebral palsy, overdosis obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi 21.
  • Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) juga dicurigai sebagai penyebab laringomalasia. Pada kepustakaan disebutkan PGRE ditemukan pada 35-68% bayi dengan laringomalasia dan dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotis sehingga terjadi peningkatan hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PGRE akibat perubahan gradien tekanan intraabdominal/intratorakal.
    • Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih negatif yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian, anak-anak dengan masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis yang sama dengan laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan dari kartilago aritenoid.
  • Terdapat suatu keadaan yang disebut laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalasia/EIL), yang dapat terjadi baik pada anakanak atau dewasa. EIL biasanya terjadi pada pada atlit

Klasifikasi laringomalasi
  • Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. 
    • Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. 
    • Tipe kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri 
    • Tipe ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.
  • Selain itu laringomalasi juga dapat di bedakan berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu
    • Mild Laryngomalacia, 
      • Pada tipe ini merupakan non-rumit laryngomalacia dengan pernapasan bising khas saat bernapas dalam tanpa peristiwa obstruktif saluran napas yang signifikan, masalah makan atau gejala lain yang terkait dengan laryngomalacia. 
      • Pasien ini biasanya akan mengatasi stridor dengan 12-18 bulan. Meskipun tipe ini dianggap laryngomalacia ringan, tetap penting untuk memperhatikan tanda-tanda atau gejala-gejala yang memburuk
    • Moderate Laryngomalacia
      • Bayi dalam kategori ini memiliki gejala berikut yaitu bising pernapasan saat inspirasi, muntah atau meludah, obstruksi jalan napas (dari jaringan kotak suara floppy), kesulitan makan tanpa penambahan berat badan yang buruk, adanya refluks isi lambung atau GERD
      • Pasien-pasien ini juga biasanya akan mengatasi stridor dengan 12-18 bulan tetapi mungkin memerlukan pengobatan untuk GERD.
    • Severe Laryngomalacia
      • Pasien dalam kategori ini sering membutuhkan operasi untuk pengobatan dan untuk mengurangi tingkat gejala. 
      • Dokter anda dapat merekomendasikan operasi jika anak Anda memiliki salah satu dari gejala berikut:  apnea yang mengancam jiwa, adanya sianosis akibat sumbatan jalan nafas, gagal tumbuh dengan kesulitan makan, terjadi retraksi dinding torak pada saat pernapasan, membutuhkan oksigen untuk bernapas, adanya masalah pada Jantung atau paru-paru sebagai akibat dari pencabutan oksigen kronis

Bagaimana cara diagnosa Laringomalasi??
  • Stridor adalah suara kasar, monofonik, high-pitched, dengan berbagai vibrasi yang dihasilkan oleh aliran udara yang mengalami turbulensi akibat melewati segmen saluran nafas yang menyempit (obstruksi parsial), terutama di saluran nafas besar (obstruksiekstratorakal).
  • Stridor biasanya muncul pada fase inspirasi, tetapi juga dapat pada fase ekspirasi, terutama pada obstruksi saluran nafas atas yang berat. Secara umum, stridor inspirasi menunjukkan obstruksi saluran nafas di atas glotis, dan stridor ekspirasi merupakan indikasi adanya obstruksi di saluran nafas bawah. Stridor bifasik dapat muncul pada lesi di glottik atau sub glottic
  • Stridor merupakan gejala, bukan suatu diagnosis penyakit. Pada anak,laringomalasia merupakan penyebab terbanyak dari stridor kronik. Stridor biasanya berhubungan dengan proses yang tidak membahayakan, tetapi stridor juga dapat menjadi petunjuk pertama adanya suatu ancaman serius yang mengancam kehidupan. Stridor merupakan gejala yang meresahkan bagi orang tua, dan menjadi tantangan diagnostik bagi dokter.
Diagnosa laringomalasia dapat dilakukan beberapa tahap, mulai dari anamnesis (wawancara), pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.
  • Anamnesis
    • Karena penyakit ini merupakan penyakit kongetital dan biasanya terdapat pada anak-anak di bawah umur 2 tahun, maka anamnesis di lakukan secara alloanamnesis, yaitu dengan meminta keterangan dari ibu anak tersebut.
    • Dari anamnesis dapat kita temukan :
      • Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara biasa muncul pada minggu 4-6 awal. Stidor ini bersifat kronik dan kontinyu
      • Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang biasanya membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak terdapat sekret nasal.
      • Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan. Selain itu juga stidor ini juga dapat di cetuskan saat berteriak atau menangis.
      • Tangisan bayi biasanya normal
      • Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi.
  • Pemeriksaan fisik
    • Pada pemeriksaan fisis ditemukan
      • Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar.
      • Dapat terlihat takipneu ringan
      • Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal
      • Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang dan berkurang jika bayi dalam posisi terkelungkup.
      • Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama pemeriksaan
      • Stridor murni berupa inspiratoris atau dapat juga pada saat ekspirasi. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis
  • Pemeriksaan penunjang
    • Flexible Laryngoscopy
      • Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan terbaik untuk konfirmasi diagnosis
      • Tes ini melibatkan penempatan tabung berlampu melalui hidung atau mulut untuk melihat kotak suara. Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi tegak melalui kedua hidung. 
      • Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring dan supraglotis. Dengan cara ini bentuk kelainan yang menjadi penyebab dapat terlihat dari atas. Pada pemerikdaan ini akan nampak visualisasi langsung jalan napas menunjukkan bentuk omega epiglotis yang prolaps menutupi laring saat inspirasi. Selain itu juga  di temukan ada pembesaran kartilago aritenoid yang prolaps menutupi laring selama inspirasi juga bisa ditemukan pada pasien laringomalasi
      • Laringoskopi fleksibel dapat membantu menyingkirkan diagnosis anomali laring lainnya seperti kista laring, paralisis pita suara, malformasi pembuluh darah, neoplasma, hemangioma subglotis, gerakan pita suara paradoks, stenosis glotis dan web glotis.
      • Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan kurang akurat dalam menilai keadaan subglotis dan trakea
    • Microlaryngoscopy dan Bronkoskopi
      • Tes ini dilakukan di ruang operasi di bawah anestesi umum oleh dokter bedah THT. Dokter melihat kotak suara dan tenggorokan dengan teleskop. Dokter mungkin merekomendasikan tes ini jika tes X-ray menunjukkan sesuatu yang abnormal atau jika dokter Anda memiliki kecurigaan masalah saluran napas tambahan.
    • Radiologi 
      • Peran radiologi konvensional posisi anteroposterior dan lateral pada laringomalasia tidak terlalu banyak membantu karena kelainan ini merupakan suatu proses dinamik, namun dapat membantu menyingkirkan penyebab lain. 
        • Pemeriksaan radiologi leher posisi anteroposterior dan lateral bermanfaat untuk menentukan ukuran adenoidal dan tonsillar, ukuran dan ketajaman epiglotik, profil retropharyngeal dan subglottic dan anatomi. 
        • Foto lateral leher paling baik diambil dengan posisi ekstensi leher dan saat inspirasi, sehingga jaringan lunak faring tidak disalahartikan sebagai massa retrofaring. Bila foto diambil saat inspirasi, maka bergeraknya aritenoid, plika ariepiglotika dan epiglotis ke inferior dan medial dapat terlihat sebagai pengembungan dari ventrikel laring dan hipofaring.
        • Foto AP dan lateral dada diperlukan untuk mendeteksi adanya benda asing radioopak atau penyakit paru lain yang menyertai. Keadaan ini dapat memperlihatkan adanya gambaran air trapping
      • Pemeriksaan esofagogram dengan barium, dapat bermanfaat untuk menentukan adanya kompresi vascular atau  untuk melihat anomali vaskular seperti arkus aorta dobel serta dapat menilai bila ada perubahan pada dimensi anteroposterior trakea.
      • Video fuoroskopi bermanfaat untuk diagnosis trakeomalasia, aspirasi benda asing dan disfungsi pita suara. Fluoroskopi akan lebih baik menggambarkan proses dinamik dan letak kolaps dapat terlihat pada saat inspirasi disertai dilatasi pada hipofaring akibat obstruksi di daerah laring
      • CT scan dan MRI bermanfaat untuk melihat saluran nafas dan struktur jaringan lunak di sekitarnya, termasuk bukti adanya kompresi vaskuler
    • Pemeriksaan tambahan lain berupa pH Probe dan Esophagogastroduodenoscopy (EGD)
      • Kedua pemeriksaan ini lebih menitik beratkan pada keterlibatan asam lambung. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) juga dicurigai sebagai penyebab laringomalasia, namun dapat pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan GERD akibat perubahan gradien tekanan intraabdominal/intratorakal.
      • Probe pH adalah tes di mana sebuah tabung kecil ditempatkan melalui hidung bayi dan masuk ke kerongkongan. Tes ini akan mengukur asam yang dapat timbul akibat refluks isi lambung ke osefagus ataupun bahkan sampai pada tenggorokan. Dokter mungkin merekomendasikan tes ini jika pasien ada derajat regurgitasi asam (muntah atau gumoh).
      • EGD adalah sebuah tes diagnostik yang dilakukan di ruang operasi di bawah anestesi umum. Selama EGD, dokter akan mencari tanda-tanda peradangan kronis dari iritasi asam yang dapat terjadi di perut atau kerongkongan. Dokter mungkin merekomendasikan ini jika probe pH secara signifikan abnormal atau ada kecurigaan kuat GERD signifikan berdasarkan sejarah dan pemeriksaan klinis.
Gambar laring normal
Gambar laring normal
Laringomalasi

Laringomalasi
Laringomalasi, tampak epiglotis berbentuk omega
    Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan menggunakan serat fiber fleksibel selama periode pernapasan spontan. Penemuan endoskopik yang paling sering adalah kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi langsung merupakan cara yang terbaik untuk memastikan diagnosis. Bilah laringoskop dimasukkan ke valekula dengan tekanan yang minimal pada epiglotis untuk menegakkan diagnosis. Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama plika ariepiglotik, epiglotis, dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran nafas, disertai stridor yang sinkron. Visualisasi langsung memperlihatkan epiglotis berbentuk omega selama inspirasi.

    Apa diagnosis banding laringomalasia??
    • Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain pada anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.

    Bagaimana penatalaksanaan laringomalasi??
    • Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur 12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga membutuhkan penanganan bedah. 
    • Kira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak memerlukan intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan pada orang tua pasien tentang prognosis dan tidak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang (stridor rata-rata hilang setelah dua tahun) dan pertumbuhan yang normal dicapai.
    • Pada keadaan ringan, bayi diposisikan tidur telungkup, tetapi hindari tempat tidur yang terlalu lunak, bantal dan selimut. Jika secara klinis terjadi hipoksemia (saturasi oksigen kurang dari 90%), harus diberikan oksigenasi.
    • Pada laringomalasia yang berat, akan tampak gejala obstruksi nafas yang disertai retraksi retraksi sternal dan interkosta, baik saat tidur atau terbangun, sulit makan, refluks berat dan gagal tumbuh. Anak-anak yang mengalami hal ini berisiko mengalami serangan apnea. Keadaan hipoksia akibat obstruksi nafas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan terjadi korpulmonal
      • Pada keadaan yang berat ini maka intervensi bedah tidak dapat dihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat jalan pintas berupa trakeostomi sampai masalah teratasi. Namun pada anak-anak, resiko morbiditas dan mortalitas trakeostomi berisiko tinggi. 
      • Pada tahun 1922, Iglauer mempelopori tindakan operasi pada laringomalasia dengan cara membuang ujung epiglotis. Di tahun 1944, Schwartz membuang sebagian epiglotis dengan irisan berbentuk V. Zalza dkk, 1987 melaporkan pada akhir-akhir ini peran bedah endoskopi pada struktur supra glotis telah menjadi alternatif dibanding trakeostomi, dan memberikan harapan yang lebih baik.
      • Peran bedah laring mikro dengan menggunakan laser CO2 telah mulai digunakan sejak tahun 1970-an. Vaugh merupakan orang pertama yang melakukan epiglotidektomi dengan laser CO2 dengan pendekatan endoskopi pada tahun 1978.
    • Jenis operasi yang dilakukan pada laringomalasia adalah supraglotoplasti yang memiliki sinonim epiglotoplasti dan ariepiglotoplasti.
      • Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya
      • Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih, dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. 
      • Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. 
      • Laringomalasia tipe 3 ditangani dengan cara eksisi melewati ligamen glosoepiglotika untuk menarik epiglotis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglotis ke dasar lidah.

    Bagaimana prognosis laringomalasi??
    • Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa.
    SEBELUMNYA
    SELANJUTNYA
    ANATOMI, FISIOLOGI LARING
    SUARA SERAK
    PAPILOMA LARING



      DAFTAR PUSTAKA


      1. Brown MA, Muhus E, Morgan WJ. Clinical Assesment and Diagnotic Approach to Common Problem.Taussing Landau, ed.: Pediatric Respiratory Medicine. Mosby Elsevier 2008; 10–113
      2. Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D. The prevalence of gastroesophageal reflux in children with tracheomalacia and laryngomalacia. Chest. 2001;119: 409-13
      3. Huntley C, Carr MM. Evaluation of effectiveness of airway fluoroscopy in diagnosing patients with laryngomalacia. Laryngoscope. 2010; 120: 1430-3.
      4. Dickson JM, Richter GT, Meinzen-Derr J, Rutter MJ, Thompson DM. Secondary airway lesions in infants with laryngomalacia. Ann Otol Rhinol Laryngol. Jan 2009;118(1):37-43.
      5. [Guideline] Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Preventive services for children and adolescents. Oct 2008
      6. Unal E, Oran B, Baysal T, et al. Pulmonary arterial pressure in infants with laryngomalacia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Dec 2006;70(12):2067-71.
      7. Edmondson NE, Bent JP 3rd, Chan C. Laryngomalacia: the role of gender and ethnicity. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Dec 2011;75(12):1562-4
      8. Richter GT, Thompson DM. The surgical management of laryngomalacia. Otolaryngol Clin North Am. Oct 2008;41(5):837-64, vii.
      9. Stern RC. Congenital anomalies. In: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors. Nelson textbook of pediatric. 16th ed, Philadelphia: WB Saunders, 2000:p. 1271-2.
      10. Jamal N, Bent JP, Vicencio AG. A neurologic etiology for tracheomalacia. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 2009; 73: 885-7
      11. Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5
      12. Rawring BA, Derkay CS, Chu MW. Surgical treatment of laryngomalacia. Operative Tech in Otolaryngol. 2009; 20: 222-8
      13. Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA editor. Buku ilmu kesehatn telinga tenggorok kepala dan leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007: p. 231-236
      14. Chan DK, Truong MT, Koltai PJ. Supraglottoplasty for occult laryngomalacia to improve obstructive sleep apnea syndrome. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. Jan 2012;138(1):50-4.