PENGARUH EPINEFRIN DAN NOREPINEFRIN TERHADAP KENAIKAN GULA DARAH SELAMA OPERASI

EPINEFRIN DAN NOREPINEFRIN

PENDAHULUAN
  • Epinefrin dan Norepinefrin merupakan katekolamin natural yang beredar dalam sirkulasi darah. Kadar katekolamin dalam plasma adalah berfluktuasi dan dapat meningkatkan sebagai respon tubuh terhadap stimulus yang diterima. Epinefrin dan Norepinefrin juga disebut sebagai neurotransmiter yang merupakan meditor kimia yang dilepas ke dalam celah sinap akibat timbulnya potensial aksi pada ujung saraf. Keduanya terdapat dalam jumlah besar pada sistem aktivasi retikulas dan hipotamulus.
  • Operasi merupakan suatu bentuk stres dan trauma terhadap tubuh. Operasi dilaksanakan dengan menggunakan berbagai teknik anestesi. Meskipun anestesi bertujuan untuk melindungi penderita, tetapi pada kenyataannya tindakan operasi dan anestesi sendiri bukanlah tanpa komplikasi.
  • Kenaikan kadar gula darah merupakan salah satu proses yang tidak jarang terjadi akibat stres, trauma dan selama tindakan operasi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan kadar gula darah selama operasi. Tindakan operasi, teknik anestesi, obat-obatan, cairan yang dipergunakan perioperatif dan penyakit dasar yang diderita oleh pasien yang menjalani operasi akan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan kadar gula darah secara langsung atau tidak langsung. Dalam tulisan ini, akan dibicarakan sejauh mana Epinefrin dan Norepinefrin berpengaruh terhadap kenaikan kadar gula darah selama operasi.

Epinefrin dan Norepinefrin
  • Epinefrin terutama dihasilkan dan dilepas oleh kelenjar medula arenal. Selanjutnya Epinefrin akan masuk ke dalam sirkulasi darah untuk dibawa kepada sel dan jaringan.
  • Epinefrin merupakan katekolamin yang bekerja sebagai hormon dan neurotransmitter pada sistem saraf simpatis dan jarak batang otak. Epinefrin juga disintesa dan dilepas oleh saraf adrenergik sentral. Selanjutnya Epinefrin akan menstimulasi reseptor alfa dan beta adrenergik, dimana akan predominan terhadap reseptor beta pada dosis rendah dan predominan terhadap reseptor alfa pada dosis tinggi.
  • Norepinefrin merupakan mediator kimiawi pada ujung saraf post ganglion simpatis. Norepinefrin juga sebagai katekolamin yang menjadi cikal bakal untuk membentuk Epinefrin. Seperti disebut di awal, Norepinefrin adalah juga merupakan Neurotransmitter pada sistem saraf simpatis, sistem aktifasi retikular ascenden dan hipotalamus. Sebagai hormon dari kelenjar medula adrenal 20% dilepas ke dalam sirkulasi. Norepinefrin adalah terutama menstimulasi reseptor adrenergik alfa (non selektif). Asam amino fenil alanin dan tyrosin akan membentuk dopa dan dopamin, yang selanjutnya melalui hidroksilasi akan menghasilkan Norepinefrin. Akhirnya melalui metilase oleh N-metil transferase pada sel-sel kelenjar medula adrenal, Norepinefrin akan diubah menjadi Epinefrin.
  • Kadar Epinefrin, kecepatan sintesis dan dopamin beta hidroksilase (DBH) akan sangat meninggi, jika terjadi peningkatan sekresi glukotiroid yang distimulasi oleh adanya stres. Epinefrin disimpan terutama pada medula adrenal, yang mana pada tempat tersebut terdapat 80% Epinefrin dan sisanya adalah Norepinefrin.
  • Pelepasan Norepinefrin terjadi saat timbulnya stimulus saraf simpatis, sehingga tejadi eksotiosis dimana Norepinefrin dilepas dari vesikel ke dalam celah sinap.
  • Reseptor adrenergik terdiri dari reseptor alfa dan beta. Reseptor alfa terdiri dari dua bagian besar yaitu reseptor alfa 1 dan alfa 2, dimana alfa 2 memiliki aksi yang menginhibisi pelepasan Norepinefrin. Reseptor alfa 1 dapat menstimulasi terjadinya lipolisis. Sedangkan reseptor alfa 2 akan menyebabkan meningkatnya glikogenolisis otot.
  • Terminasi aksi katekolamin terjadi terutama melalui dua proses, yaitu : Uptake dan Pemecahan katekolamin. Proses metabolisme ini dilakukan oleh enzim-enzim yang disebut katekol Ometi transferase (COMT) dan Monoamin Oksidase (MAO). Sementara ekskresi katekolamin terutama terjadi melalui urin.

Metabolisme Karbohidrat (Glukosa)
  • Secara garis besar, metabolisme karbohidrat terdiri dari:
    • Produksi : 
      • Berasal dari pemecahan karbohidrat yang ada dalam makanan
      • Pemecahan cadangan glikogen dan molekul-molekul endogen lain seperti protein dan lemak. Kemudian melalui proses metabolisme glukosa seperti yang terjadi pada hepar dalam keadaan kelaparan, aktivitas dan lain sebagainya.
      • Glukosa G Fospat dikonversi oleh Glukosa G Fofpatase hepar untuk dapat dilepas ke dalam sirkulasi. Sementara pada otot, glukosa G fospat dikatabolisma langsung lewat jalur glikolisis.
    • Uptake : 
      • Diambil dari saluran cerna misalnya dengan sistem transport aktif dari ion sodium
      • Dari sirkulasi ke dalam sel oleh aksi insulin
    • Utilisasi untuk produksi energi melalui konversi glukosa G Fospat dan pemecahan (glikolisis)
    • Konversi melalui glukosa G Fospat dan glukosa 1 Fospat menjadi glikogen
    • Heksosa /Pentosa Mono Fospat Shunt” yaitu dengan menghasilkan energi dari glukosa G Fospat melalui reduksi nikotinamida adenin dinukleotida fospat (NADP)
    • Konversi menjadi lemak dan protein.
  • Hasil akhir pencernaan karbohidrat adalah glukosa fruktosa dan galaktosa yang selanjutnya akan dikonversi hepar menjadi glukosa. Sel akan mengadakan utulisasi glukosa melalui glikolisis (anaerobik) atau siklus “Citric Acid” (aerobikal).
  • Glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. Insulin akan meningkatkan sintesis glikogen. Sementara Epinefrin dan glukagon akan menaikkan glikogenolisis.

Trauma Operasi dan Respon Metabolik
  • Operasi merupakan salah satu jenis trauma jaringan yang akan dapat menimbulkan respon stres berupa terjadinya hipovolemi, nyeri, sekresi acth, endorfin, vasopresin, stimulasi peninggian katekolamin plasma melalui sistim saraf simpatis dan peningkatan katabolisma (Glikogenelisis, glukoneogenesis, Ketogenesis dan Lipolisis)
  • Apabila terjadi cedera pada tubuh, pada awalnya tubuh akan menurunkan metabolisme, aktivitas, temperatur tubuh dan inhibisi sekresi insulin. Tetapi kemudian akan terjadi peningkatan metabolik. Sementara untuk memenuhi kebutuhan metabolisma akan terjadi glukoneogenesis, sehingga terjadi peningkatan pemecahan protein dan produk nitrogen.
  • Respon metabolisma tubuh terhadap trauma terdiri dari 2 fase :
    • A. Fase EBB, 
      • fase yang terjadi segera setelah trauma timbul. Aksis hipotalamo pituitari adrenal akan berespon dan melepas stimulasi terhadap 5-HT, Gaba, Endorfin dan CRF dari hipotalamus. Stimulus akan diteruskan sehingga terjadi peningkatan ACTH dan pelepasan Vasopresin dari neurohipofise.
      • Respon Neuroendokrin akan mengaktifase sistim saraf simpatis. Perobahan hormonal dengan aktifase sistim saraf simpatis akan menyebabkan perobahan metabolik berupa peningkatan glikogenolisis dan Lipolisis sehingga terjadi Hiperglikemia.
    • B. Fase Flow, 
      • Pada fase ini dimana cenderung terjadi peningkatan metabolik dan suhu tubuh, serta juga peningkatan kadar katekolamin plasma pada akhirnya.

Gambar Aksis hipotalamo pituitari adrenal, diterjemahkan dari Regional Anesthesua 1st edith, 1996, chapter 7, fig 7-2, III

Kenaikan Gula Darah Selama Operasi
  • Gangguan metabolisma glukosa hanya merupakan salah satu diantara beberapa respon tubuh terhadap terjadinya stres akibat trauma operasi.
  • Epinefrin dan Norepinefrin akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya hormon stres seperti kortisol dan glukagon. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan cadangan glikogen dan peningkatan glukongogenesis.
  • Tujuan dari pengelolaan kadar gula darah intra operatif adalah untuk menghindari hipoglikemia. Tetapi peningkatan kadar gula darah lebih dari 250 MG/DL juga akan sangat beresiko. 
  • Hiperglikemia juga akan berkaitan dengan hiperosmolaritas, infeksi, gangguan penyembuhan luka, gangguan fungsi neurologi, dan peningkatan makroglobulin dari hepar yang dapat meninggikan vikositas darah. Utilisasi glukosa menurun, dapat terjadi karena resistensi jaringan terhadap insulin pada trauma dan juga operasi. Akibatnya walaupun kadar insulin meningkat, kadar gula darah akan tetap tinggi. Bahkan akibat kadar gula yang tinggi, maka mobilisasi lemak akan dihambat sehingga terjadi kekurangan energi. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada kelaparan (starvasi).

Anestesi dan Respon Metabolik
  • Efek zat anestesi terhadap metabolisma karbohidrat, lemak dan protein adalah belum dapat dijelaskan secara pasti. Hal ini disebut sebagai akibat peningkatan kadar katekolamin, glukagon dan kortisol, sehingga terjadi mobilisasi karbohidrat dan protein yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia.
  • Respon stres oleh endokrin disebut dapat ditekan dengan teknik regional anestesi, general anestesi yang dalam dan dengan menghambat selama operasi sebenarnya disebutkan bahwa banyak faktor yang akan dapat menaikkan kadar gula darah. Misalnya dengan pemberian cairan ringer laktat saja dikatakan akan terjadi pembentukan glukosa dari laktat oleh hepar.

Obat-obat Anestesi
  1. Halotan akan mengurangi pengalihan Norepinefrin dari sirkulasi paru ke dalam sel jaringan paru. Pengalihan ini sendiri tidak terjadi pada Epinefrin. Halotan akan menimbulkan inhibisi pelepasan insulin, sehingga cenderung terjadi pula kenaikan kadar gula darah. Tetapi juga disini dapat terjadi hipoglikemi progresif sedang apabila terjadi anestesi yang berkepanjangan. Dengan Halotan, cenderung terjadi penurunan aksi insulin dan glukagon sehingga utilisasi glukosa akan menurun.
  2. Morfin menstimulasi pusat otonomik supraspinal dan menimbulkan aksi simpato adrenal. Hal ini akan menyebabkan glikogenolisis hati meningkat sehingga terjadi kenaikan kadar gula darah.
  3. Sevoflurane akan menurunkan konsentrasi Epinefrin plasma tetapi sebaliknya menaikkan konsentrasi Norepinefrin.
  4. Secara umum zat inhalasi anestesi memiliki efek yang kecil terhadap respon stres.
  • General anestesi tidak memiliki efek yang signifikan terhadap sistem endokrin. Tetapi operasi akan menginduksi kenaikan level katekolamin (Epinefrin dan Norepinefrin ). Zat inhalasi dan dosis besar opiat akan menurunkan respon ini.
  • Stres operasi akan menimbulkan stimulasi aksis hipotalamik-pituitari-adrenal, sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol perioperatif. Kadar insulin adalah meningkat perioperatif, tetapi akibat peningkatan kadar kortisol, epinefrin, norepinefrin dan glukagon maka akan terjadi kenaikan kadar gula darah selama periode operasi. Jadi jelas anestesi umum tidak mengeliminasi respon tubuh terhadap stes.

Epinefrin, Norepinefrin dan Respon Stres Metabolik
  • Pelepasan Epinefrin akan menimbulkan glikogenolisis dan inhibsi sekresi insulin sehingga dapat terjadi hiperglikemia selama operasi.
  • Epinefrin akan menginhibisi “uptake” glukosa oleh jaringan perifer. Epinefrin juga akan menyebabkan glikogenolisis pada otot lurik yang menyebabkan juga terjadi kenaikan kadar asam laktat. Epinefrin eksogen oral akan tidak efektif karena dimetabolisma dengan cepat pada mukosa saluran cerna dan hepar. Sementara absorbsi sub kutan akan diperlambat oleh karena efek vasokontriksinya. Efek metabolik Epinefrin adalah paling signifikan diantara semua katekolamin. Stimulasi reseptor beta 1 akan menambah glikogenolisis hati dan lipolisis jaringan adiposa. Sedangkan melalui reseptor alfa 1 akan terjadi inhibisi pelepasan insulin.
  • Norepinefrin memiliki potensi stimulasi yang sama dengan Epinefrin pada reseptor beta 1. Sementara potensi stimulasi reseptor beta 2 Norepinefrin adalah sangat kecil. Potensi terbesar Norepinefrin adalah stimulasi reseptor alfa. Maka disebutkan bahwa Epinefrin dan Norepinefrin akan menstimulasi insulin lewat reseptor beta dan menginhibisinya lewat reseptor alfa.
  • Glikogenesis dapat terjadi akibat aktifase enzim posforilase hepatik oleh Epinefrin. Lipolisis terjadi akibat aktifase lipasetri gliderida yang diinduksi oleh Epinefrin sehingga terjadi pemecahan trigliserida dan membentuk asam lemak bebas dan gliserol.

PEMBAHASAN
  • Epinefrin merupakan prototip obat simpatomimetik. Sementara itu, salah satu fungsi alaminya dengan terjadinya pelepasan dari kelenjar medula adrenal adalah mengaktifasi proses metabolik berupa glikogenolisis dan lipolisis. Epinefrin merupakan aktivator potensial reseptor alfa dan beta adrenergik. Epinefrin memiliki efek yang paling signifikan terhadap metabolisme diantara semua katekolamin. 
  • Stimulasi reseptor beta 1 oleh epinefrin akan meningkatkan glikogenolisis hati dan lipolisis jaringan lemak. Sementara stimulasi reseptor alfa 1 akan menginhibisi pelepasan insulin. Glikogenolisis hati terjadi oleh karena aktivasi enzim fosforilase hepatik oleh epinefrin. Sedangkan lipolisis terjadi dengan aktivasi lipasetrigliserida yang induksi oleh epinefrin. Pemberian epinefrin intravena menambah konsentrasi kolesterol, fospolipid dan lipo protein plasma.
  • Pelepasan epinefrin yang menyebabkan glikogenolisis dan inhibisi sekresi insulin sepertinya merupakan penjelasan yang paling dapat diterima sebagai alasan kecenderungan terjadinya hiperglikemi perioperatif. Di samping itu juga terjadi hambatan “uptake” glukosa oleh jaringan akibat pelepasan epinefrin. Terjadinya kenaikan konsentrasi laktat plasma adalah menggambarkan telah terjadinya glikogenolisis oleh karena epinefrin. 
  • Kadar norepinefrin dalam darah adalah lebih tinggi dibanding epinefrin dalam keadaan istirahat. Seperti kita ketahui bahwa sekresi katekolamin akan meningkat saat terjadi fenomena “fight or flight”. Namun disebut pula bahwa norepinefrin kurang berespon dan tidak signifikan peningkatannya pada saat terjadinya stres dan emosi yang akut. Tetapi pada stres yang bersifat kronis peningkatan norepinefrin akan lebih signifikan dibanding epinefrin.
  • Efek metabolik norepinefrin terutama adalah terjadinya lipolisis melalui reseptor beta 1 dan terjadinya glikogenolisis melalui reseptor beta 2. Di samping itu juga terdapat aksi melalui reseptor beta 3 yang juga mengakibatkan terjadinya glikogenolisis.
  • Proses kelaparan berkaitan dengan terjadinya penyebaran dan pemakaian simpanan protein jaringan. Pada saat kadar gula darah mulai menurun sewaktu puasa, sekresi insulin akan menurun sementara sekresi glukagon akan meningkat. Glikogenolisis hati dan ginjal serta glukoneogenesis akan meningkat. Karena cadangan glikogen akan berkurang terus selama 24 jam, maka keperluan akan terjadinya glukoneogenesis akan terus meningkat. Hati akan menggunakan asam amino terdeaminasi (alanin dan glutamin) sebagai bahan dasar untuk sintesis glukosa. Hanya jaringan syaraf, sel-sel medula renal dan sel darah merah yang tetap melakukan utilisasi glukosa sebagai mengimbangi pemakaian cadangan protein jaringan. Lipolisis jaringan lemak akan meningkat, sehingga lemak menjadi sumber energi utama. Gliserol dari trigliserida akan menjalani proses glikolisis, sementara asam lemak akan dipecah untuk selanjutnya membentuk asetil-koA. Ekses pembentukan asetil-koA akan menghasilkan badan keton (ketosis). Sebagian lain asam lemak akan berperan dalam proses glukoneogenesis. Laktat dikonversi oleh hepar menjadi glukosa dan dimetabolisme untuk membentuk ion hidroksil yang dipergunakan untuk netralisasi asam. Jika kelaparan berlangsung lama, otak, ginjal, dan otot juga akan segera mengaktifkan utilisasi badan keton secara efisien. Pemberian gula pada kelaparan akan secara nyata mencegah terjadinya pemecahan protein dan terjadinya ketosis. Proses kelaparan biasanya dapat terjadi pada pasien yang dioperasi. Tetapi selama operasi penderita dengan penyakitan kritis atau tidak cenderung memiliki karakteristik seperti pada kelaparan, cedera, atau trauma jaringan dan respon stres neuroendokrin. Respon terhadap cedera akan meningkatkan sekresi katekolamin, kortisol, glukagon, tiroksin, angiotensin, aldosteron, “GH”, “ACTH”, ADH, dan TSH. Sementara pasien dengan sepsis cenderung akan terjadi penurun kadar sirkulasi hormon tiroid. Sekresi insulin biasanya akan menurun tetapi dapat juga meningkat akibat kenaikan level “GH”.
  • Katekolamin, glukagon, dan kemungkinan juga “GH” akan meningkatkan terjadinya glikogenolisis, sementara glukagon dan kortisol akan menginduksi glukoneogenesis. Hiperglikemi adalah menggambarkan terjadinya peningkatan produksi oleh hepar yang disertai juga penurunan utilisasi oleh jaringan perifer. Ditambah pula akan terjadi penurunan toleransi glukosa, yang memperlihatkan hasil dari telah terjadinya penurunan sekresi insulin dan resistensi jaringan perifer terhadap insulin. Kedua akibat di atas, disebut kemungkinan besar terjadi karena meningkatnya sekresi katekolamin yang juga menambah lipolisis. Sintesis protein dan juga pemecahannya akan meningkat, tetapi terdapat kecenderungan bahwa pemecahannya akan jauh lebih besar. Sehingga terjadi kehilangan protein jaringan. Pada sepsis terjadi ketidakmampuan otot untuk proses utilisasi lemak dan karbohidrat, sehingga terjadi penambahan pemecahan protein. Tidak seperti pada kasus kelaparan sederhana, pada penyakit kritis yang akut, pemberian gula akan gagal menekan pemecahan protein. Hanya masukan yang cukup dari kalori dan proteinlah yang dapat menekan katabolisme protein. Sementara di dalam operasi cenderung proses metabolisme yang terjadi absolut lebih komplek lagi.
  • Insulin memiliki peranan yang sangat besar dalam mempertahankan metabolisme normal dengan memfasilitasi utilisasi dan penyimpanan energi dari makanan yang dicerna. Insulin menghasilkan anabolik dan anti katabolik pada jaringan lemak, hati, dan otot lurik. Pada jaringan lemak insulin merangsang sintesis trigliserida dari gliserol dan asam lemak bebas serta mencegah terjadinya lipolisis. Di dalam hepar insulin akan menaikkan glikolisis dan sintesis glikogen serta asam lemak. Insulin akan menghambat glikogenolisis (pemecahan glikogen menjadi glukosa), glukoneogenesis (konversi bahan-bahan non karbohidrat menjadi glukosa), dan ketogenesis (pembentukan badan keton dari asam lemak). Pada jaringan otot insulin akan merangsang asam amino, pengambilan glukosa dan protein serta sintesa glikogen. Insulin juga akan menghambat glikogenolisis dan pemecahan protein.
  • Penyakit yang berat, trauma dan operasi adalah sering berkaitan dengan terjadinya gangguan pengendalian kadar gula darah baik pada penderita diabetes terkontrol maupun pada pasien yang sebelumnya tidak didiagnosa sebagai penderita diabetes, yang mana akan dapat juga terjadi kenaikan gula darah. Adanya fenomena stres hiperglikemi adalah berkaitan dengan hipersekresi hormon-hormon counter regulatory seperti katekolamin, glukagon, kortisol dan GH. Hormon-hormon ini menginduksi terjadinya katabolisme yang berlawanan dengan proses anabolik dan efek anti katabolik yang dihasilkan oleh insulin, menyebabkan timbulnya istilah counter regulatory. Cabang simpatis dari sistem syaraf otonom memainkan kunci pokok dalam terjadinya respon gula darah yang diakibatkan oleh stres. Katekolamin menyebabkan terjadinya inhibisi terhadap sekresi insulin melalui aktifasi reseptor adrenergik alfa 2 pada sel beta pankreas. Sementara aktifasi ringan terhadap reseptor adrenergik beta akan menambah konsentrasi insulin plasma.
  • Hasil dari terjadinya hipersekresi hormon-hormon counter regulatory adalah terjadinya kenaikan gula darah yang nyata melalui glikogenolisis, glukoneogenesis dan penurunan utilisasi glukosa perifer. Bahan untuk glukoneogenesis adalah gliserol, asam amino yang dihasilkan dari pemecahan lemak dan protein serta laktat yang dihasilkan dari metabolisme jaringan otot. Hiperglikemi itu sendiri akan menekan utilisasi glukosa perifer dan juga sekresi insulin. Individu yang kekurangan insulin, yang mendapat dosis tertentu insulin dan dengan sekresi insulin yang terbatas akan tidak mampu menaikkan sekresi insulin sebagai perlawanan terhadap efek katabolik. Bahkan ketoasidosis dapat terjadi pada penderita kekurangan insulin yang hebat, sehingga terjadi lipolisis dan ketogenesis yang sangat besar.
  • Jadi jelaslah betapa besar pengaruh dari katekolamin, terutama epinefrin dan norepinefrin terhadap kenaikan gula darah selama operasi, yang mana di samping terjadinya hiperglikemi maka katekolamin dengan memperbesar kenaikan gula darah yang timbul juga akan dapat menimbulkan berbagai penyulit lain seperti terjadinya ketogenesis, asidosis, hiperosmolaritas dan juga gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Dasar Penatalaksanaan Kenaikan Gula Darah selama Operasi
  • Tujuan terapi kenaikan gula darah adalah untuk meminimalisasi morbiditas dan mortalitas serta untuk mempercepat proses pemulihan. Menghindari terjadinya hiperglikemi yang berat akan mencegah terjadinya dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit sekunder yang menyertai terjadinya diuresis osmotik. 
  • Kontrol gula darah yang baik juga akan menurunkan derajat berat ringan dan kecenderungan proses infeksi, normalisasi penyembuhan luka serta dapat memperbaiki kondisi setelah terjadinya infark miokard dan “stroke”. 
  • Tujuan terapi ini adalah sebaiknya menjadi dasar monitoring, kontrol, dan penanggulangan kenaikan gula darah selama operasi baik pada penderita diabetes dengan atau tanpa komplikasi, maupun pada penderita non diabetes yang sedang menjalani operasi.
  • Mengingat besarnya manfaat kontrol gula darah yang adekuat, maka adalah perlu untuk mempertahankan kadar gula darah ddl batas normal yang berkisar 90-180 mg/dl. Kontrol gula darah dapat dilakukan dengan pemakaian insulin kontinyu (per infus intravena) atau dengan pemberian insulin sub kutan. Penentuan dosis insulin dan kecepatannya adalah sesuai dengan hasil monitoring.
  • Penderita dengan kadar gula darah yang meningkat secara nyata dapat diterapi dengan pemberian larutan glukosa yang mengandung insulin reguler. Apabila gula darah telah menurun hingga 250 mg/dl kontrol gula darah dapat diteruskan dengan pemakaian infus glukosa, insulin dan potasium. Disebutkan pula bahwa 0,25 - 0,35 unit insulin per gram glukosa adalah sangat baik dalam kontrol gula darah selama operasi dan anestesi. 
  • Di samping hal-hal di atas sebagaimana dalam diskusi bahasan disebut bahwa faktor stres operasi adalah berperan besar dalam kenaikan gula darah. Maka dari itu sudah selayaknya dilakukan pengelolaan untuk mengurangi stres operasi.

Tabel 1 Efek Epinefrin dan Norepinefrin Terhadap Metabolisma Gula Darah
Reseptor
Agnosis
Jaringan
Respon
a1
EPI lebih dari sama dengan NE
Hepar
Glikogenolisis
Glukoneogenesis
a2
EPI lebih dari sama dengan NE
Sel b Pankreas
Penurunan sekresi insulin
b2
EPI sangat  lebih dari NE
Otot Lurik
Glikogenolisis dan Uptake K+


Hepar
Glikogenolisis
Glukoneogenesis


Pankreas
Sekresi Insulin
b3
NE lebih dari EPI
Jaringan Lemak
Lipolisis

DAFTAR PUSTAKA

  1. Akata Takashi MD, Kodama Kenji MD PHD, Takahashi Shosuke MD PHD, Volatile Anesthetic Actions on Norepinephrine Induce Constraction of Small Splanachnic Resistance Arteries, Laboratory Investigation, Canadian Journal of Anesthesia, 1995, 42, 11, 1040-1050.
  2. Capeda M. Soledad MD, Can Daniel B MD, The Stres Respon and Regional Anesthesia, Regional Anesthesia and Analgesia, 1st Edith, WB Sounders Company, Phyladelphia, 1996, Chapter 7, 109-119
  3. Carl F, Perioperative Factors Influencing Surgical Mortality, What The Anesthesiologist Need To Know, Canadian Journal of Anesthesia, 1999, 46, 70-74
  4. Clowes GHA Heiderman M, Ludberg B, Randall HT, Hirsch EF, CHA C, Martin H, Effect of Parenteral Alimenation on Aminoacid Metabolism In Septic Patients, Surgery, 88:531, 1980
  5. Collin VJ, Autonomic Nervorus System, Physiologic and Pharmacologic Bases Of Anesthesia, 3rd Edith, Williams and Wilkins, Pennysylvania, USA, 1996, Chapter 17, 286-294
  6. Collin VJ, Opiat ang Narcotic Drugs, Physiologic and Pharmacologic Bases Of Anesthesia, 3rd Edith, Williams and Wilkins, Pennysylvania, USA, 1996, Chapter 31, 555
  7. Ebert Thomas J, Is Gaining Control Of The Autonomic Nervous System Important To Our Speciality?, Anesthesiology, 1999, 90, 651-653
  8. Kissin Igor, A Concept For Assesing Interaction of General Anesthetics, Anesthesia and Anelgesia, 1997, 84, 204-210
  9. Long CL, Energy Balance and Carbohydrate Metabolism in Infection and Sepsis, Journal of Clinical Pathology Nutrition, 30; 301, 1977
  10. Mark Boswall, Halothan, Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia, 3rd Edith, Williams and Wilkins, Pennsylvania, USA, 1996, Chapter 38, 674
  11. MC Menamy RH, Birkhan R, Oswald G, Reed R, Rumph C, Vaidyanath N, YUL, Cerra FB, Sorkness R, Border Jr, Multiple System Organ Failure, Journal orang Trauma, 21, 99, 1981
  12. Miller DR, Roizen MF, Anesthetic Implication of Concurrent Disease, Anesthesia, 5th Edith, Churchill Livingstone, Philadelphia, 2000, Volone 1, Chapter 25, 906-607
  13. Morgan G. Edward Jr MD, Mikhail MS MD, Hepatic Physiology and Anesthesia, Clinical Anesthesiology, 2rd Edith, Appleton AND Lange, London 1996, Chapter 34, 611-615
  14. Schricker Thomas MD, Berroth Almut, Preifer UTA MD, Schreiber Markus MD, Malik Eduardo MD, Schmidt Michael MD, Goertz Axel MD, Influence of Vaginal Versus Abdominal Hysterektmi On Perioperative Glukose Metabolism, Obstetric Anesthesia Analgesia, 1996, 83, 991-995
  15. Shoemaker Wiliam C, Waxmann Kenneth, Physiologic Response To Injuiry, Text Book Of Critical Care, 3rd Edith, WB Sounders Company, Phyladelphia, 1995, Chapter 151, 1395-1399