TERAPI DM : obat untuk pengobatan diabetes melitus

TERAPI PENGENDALIAN GLIKEMIA PADA DM

PENDAHULUAN

Kegagalan pengendalian glikemia pada diabetes melitus setelah melakukan perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit dapat menghambatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut sangat diperlukan peran serta para pengelola kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primer. Pedoman pengelolaan diabetes sudah ada dan disepakati bersama oleh para pakar diabetes di Indonesia dan dituangkan dalam suatu Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia yang mulai disebarluaskan sejak tahun 1994 dan beberapa kali mengalami revisi dan yang terakhir pada tahun 2006.

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidak sanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus.

Dengan dasar pengetahuan ini maka dapatlah diperkirakan bahwa dalam mengelola diabetes tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung pada fase mana diagnosis diabetes ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan dasar yang terjadi pada saat tersebut seperti (Gambar 1) :
  • Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
  • Kenaikan produksi giukosa oleh hati.
  • Kekurangan sekesi insulin oleh pankeas.

Gambar 1. Sebab hiperglikemia pada DM

Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan/ terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obes. Bila dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian (diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia sesuai dengan gambar 2. Pada kegawatan tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stres), pengelolaan farmakologis dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah sakit.

MACAM - MACAM OBAT ANTI HIPERGLIKEMIK ORAL

Golongan lnsulin Sensitizing Biguanid.
  • Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin bisanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan AI C sebesar l-2%. Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (keatinin lebih dari 1,3 mg/dl- pada perempuan dan lebih dari 1,5 mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada orang lanjut usia.
Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa darah
  • Mekanisme kerja. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.
  • Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek metformin diatas diduga terjadi melalui peningkatan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP acticated protein kinase (AMPK), yang merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan glukosa. Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas Acetyl Co-A karboksilase (ACC) dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekpresi ensim lipogenik.
  • Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihipergtkemik. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh sulfonilureanya. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian sulfonilurea.
  • Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan glukbsa darah yang lebih banyak. Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Pro spective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis maksimal. 
  • Kombinasi metfomrin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.
  • Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogen activator inhibitor (PAL-I).
  • Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone. Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukose darah puasa (60-70 mg/dl) dan A1C (1-2%) dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Efektivitas metformin menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
Glitazone
  • Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan AIC 1,4-2,6 persen dibandingkan dengan plasebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan metformin dan seketagok insulin.
  • Mekanisme Kerja. Glitazon (Tiazolindion), merupakan agonist peroxisome proliferativated receptor gamma (PP AR.) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin.
  • Glitazon dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT-I, GLUT 4, p85alphaPl-3K dan uncoupling protein-2 (UCP). Selain daripada itu juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin dll. Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon.
  • Penggunaan dalam klinik. Rosiglitazon dan pioglitazon saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan seketagok insulin. Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan AIC sampai 1,5 persen dibandingkan dengan plasebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dL dosis tunggal.
Golongan Sekretagok lnsulin
  • Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid.
  • Sulfonilurea.
    • Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi inzulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relatif murah. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya.
    • Mekanisme Kerja. Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes melitus tipe 1.
    • Beberapa obat golongan ini yang ada di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1. Semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi dan aktivitas metabolitnya. Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemia yang mungkin berakibat fatal. Untuk mengurangi kanungkinan hipoglikemia, apalagi pada orang tua dipilih obat yang masa kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemia juga lebih sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, ganguan fungsi hati berat dan pasien dengan masukan makan yang kurang dan jika dipakai bersama obat sulfa. Obat yang mempunyai metabolit aktif tentu akan lebih mungkin menyebabkan hipoglikemia yang berkepanjangan jika diberikan pada pasien dengan gagal ginjal atau gagal hati.
    • Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama lerbih dari 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. bahkan sampai lebih dari 20 jam pada pemakaian kronikdengan dosis maksimal). Karena itu dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali. Glibenklamid menurunkan kadar glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sesudah makan, masing-masing sampai 36% dan 2l%. Bila diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah.  Pada pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat berkurang. 
    • Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam I minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna. Segeralah periksa kadar glukosa darah dan sesuaikan dosisnya. 
    • Dosis permulaan sunfonilurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa kurang dari 200 mg/dl, SU atau sulfonilurea sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila glukosa darah puasa lebih dsari 200 m/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
    • Kombinasi sulfonilurea dengan insulin. Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja sedang atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonilurea seperti biasanya. Kombinasi sulfonilurea dan insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis insulin yang diperlukanpun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multipel
  • Glinid.
    • Sekretogik insulin yang baru, bukan merupakan sulfonifurea dan merupakan glinid. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada komplek SLIR sehingga dapat manurunkan ekuivalen AlC pada SU. Sedang Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sehinga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa puasa maka kekuatannya untuk menurunkan AlC tidak begitu kuat.
Penghambat Alfa Glukosidase
  • Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
  • Mekanisme kerja. Acarbose merupakan penghambat kuat ensim alpha glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpanjang peningkatan glukosa darah post- prandial, dan mempengaruhi respons insulin plasma. Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin dan tidak dapat menyebabkan hipoglikemia.
  • Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti; meteorismus, flatulence dan diare. Flatulence merupakan efek yang tersering terjadi pada hampir 50% pengguna obat ini- Penghambat Alfa glukosidase dapat menghambat bioavailabilitas metformin jika diberikan bersamaan pada orang normal
  • Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme didalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas ensim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.
  • Penggunaan dalam klinik. Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya l5 menit sebelum atau sesudahnya makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial. Monoterapi dengan acarbose dapat menurunkan rata-rata glukosa postprandial sebesar 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dl dan AIC 0.5-1%. Dengan terapi kombinasi bersama sulfonilurea, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak terhadap Al C sebesar 0,3 -0,5 o/o dan rata-rataglukosa postprandial sebesar 20-30 mgl dL dari keadaan sebelumnya.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemik Oral
  • Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap.
  • Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut. (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam)
  • Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
  • Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal, baru beralih kepada insulin.
  • Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.


Sasaran pengelolaan diabetes melitus bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga termasuk faktor-faktor lain yaitu berat badan, tekanan darah, dan profil lipid, seperti tampak pada sasaran pengendalian diabetes melitus yang dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di lndonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Dengan berbagai macam usaha tersebut, diharapkan sasaran pengendalian glikemia pada diabetes melitus seperti yang dianjurkan oleh pakar diabetes di Indonesia dapat dicapai, sehingga pada gilirannya nanti komplikasi kronik diabetes melitus juga dapat dicegah dan pasien diabetes melitus dapat hidup berbahagia bersama diabetes yang disandangnya.