Epilepsi pada usia lanjut : Penyebab dan Pengobatannya

EPILEPSI PADA USIA LANJUT

PENDAHULUAN

Perubahan piramida umur penduduk dalam data statistik berubah secara bermakna. Piramida ini menunjukkan bahwa, jumlah penduduk usia lanjut bertambah, sehingga terjadi penambahan jumlah penderita epilepsi usia lanjut (lansia). Peningkatan insiden epilepsi pada lansia terjadi, akibat pasien epilepsi usia muda atau dewasa yang saat ini berada dalam golongan usia lanjut; dan akibat penyebab tertentu timbul bangkitan pertama pada umur 65 tahun atau lebih. Sebanyak 24% onset bangkitan yang baru, terjadi pada umur diatas 60 tahun. Orang tua adalah segmen yang tumbuh paling cepat dari populasi dan timbulnya epilepsi lebih tinggi pada usia lanjut daripada kelompok usia lainnya.

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh gangguan fungsi otak yang bersifat sementara dan paroksismal, yang memberi manifestasi berupa gangguan, atau kehilangan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta bersifat episodik. Defisit memori adalah masalah kognitif yang paling sering terjadi pada pederita epilepsy.

Penambahan penduduk usia lanjut tersebut juga akan meningkatkan prevalensi epilepsi pada lansia. Epilepsi merupakan kelompok tiga besar penyakit yang sering dijumpai pada usia lanjut selain stroke dan demensia. Insiden, prevalen, etiologi, manifestasi klinik dan diagnosis epilepsi pada usia lanjut berbeda dengan usia dewasa muda; dan juga respons pasien lansia terhadap obat anti epilepsi perlu mendapat perhatian khusus dalam penanggulangan epilepsi pada usia lanjut.

INSIDEN 

Di negara maju, insiden epilepsi bersifat bimodal dengan puncak pertama pada umur tahun-tahun pertama dan puncak ke 2 yang lebih tinggi pada umur lebih dari 65 tahun. Dilaporkan insiden epilepsi lebih dari 130/100,000/tahun pada umur lebih dari 65tahun, dan 160/ 100.000/tahun pada umur lebih dari 80 tahun;di UK insiden epilepsi meningkat dari 90/100,000 populasi umur 65 – 69 tahun, menjadi 150/100,000 pada umur lebih dari 80 tahun. Insiden epilepsi sesuai umur :
Sumber: Hauser, WA, Annegers, JF, Kurland, LT. The incidence of epilepsi and unprovoked seizures in Rochester, Minnesota, 1935-1984. Epilepsia 1993; 34:453.

Di Negara sedang berkembang, diperkirakan insiden epilepsi lebih tinggi (sekitar 100-190/100,000/tahun) dibandingkan negara maju (40-70/100,000/tahun). Distribusi bimodal tidak ditemukan pada negara sedang berkembang. Di beberapa negara sedang berkembang dilaporkan, bahwa puncak insiden epilepsi pada usia anak-anak, tanpa adanya peninggian pada lansia. Di India, insiden epilepsi lebih tinggi dari anak 0-14 tahun (61/100,000/tahun) dan menurun pada umur lebih dari 60tahun (23.2/100,000/tahun). Risiko bangkitan berulang (sesudah bangkitan pertama) juga lebih tinggi pada lansia (sampai 80%) dibandingkan usia muda.

PREVALENSI

Di Negara maju, prevalensi epilepsi meningkat 1,5 sampai 2 kali pada umur 70 tahun dibandingkan dengan anak-anak dan dewasa muda. Sebaliknya di negara sedang berkembang, prevalensi epilepsi lansia menurun dibandingkan umur 2 dekade pertama; kemungkinan karena insiden rendah dan kematian tinggi akibat bangkitan pada lansia.

Penelitian di daerah urban di China, menunjukkan prevalensi epilepsi 0.34% pada umur 50-59 tahun, 0.39% pada umur 60-69 tahun dan 0.29% untuk umur lebih dari 70 tahun. Pada penelitian yang sama, prevalensi tertinggi 0.58% pada umur 30-39 tahun, 0.53% pada umur 49-49 tahun.
Di India prevalensi dan insiden juga lebih tinggi pada dekade 3 dan menurun pada lansia. Dari meta-analisis menunjukkan prevalensi tertinggi pada10-19 tahun (0.89%), dan menurun dengan bertambahnya umur, mencapai 0.21% pada umur lebih dari 50 tahun.
Di Pakistan, prevalensi tertinggi 1.25% pada umur 20-29 tahun, dan menurun sampai terendah 0.49% pada umur 50-59 tahun, dan meningkat lagi 1.1% pada umur lebih dari 60 tahun. Di Hongkong, prevalensi epilepsi mencapai puncak 25-30 tahun, dan secara bertahap turun sampai terendah pada umur lebih dari 65 tahun.

ETIOLOGI ATAU PENYEBAB

Sekitar 25–50% kasus epilepsi pada lansia adalah idiopatik atau kriptogenik, dan mempunyai hubungan dengan proses neurodegeneratif atau neoplasma. Penyakit serebrovaskuler merupakan penyakit terbanyak yang menjadi penyebab epilepsi pada lansia (40%),4,5 atau 30-70%. Penyebab lain yang sering adalah demensia atau penyakit degeneratif (10 – 15% ), tumor otak primer atau metastase sebanyak (5%), trauma (3%) dan infeksi susunan saraf pusat. Mihancea et al 2008 dalam penelitiannya menemukan penyebab vaskuler 36%, infeksi 22%, trauma 17%, dementia 10%, toksik metabolik 3%.6 Penulis lain mengemukakan, penyebab vaskuler sebanyak 49%, tumor 11%, toksik metabolic 4%, trauma 4%, inflamasi 1%, dementia 4%.

Bagan penyebab epilepsi pada usia lanjut

Faktor resiko utama untuk terjadinya epilepsi pasca stroke karena adanya kelainan di daerah kortikal, hematom lobar dan dalam 2 minggu setelah stroke. Kebanyakan kasus epilepsi terjadi dalam 3 bulan sampai 1 tahun setelah stroke; dan lebih sering terjadi pada stroke perdarahan intraserebral primer (25%) dibandingkan dengan stroke infark otak (9,5%). Di negara maju, penyebab tersering bangkitan yang berupa “provoked seizure” pada lansia adalah 2 minggu pasca stroke perdarahan (8%), dibandingkan dengan 5% pada stroke iskemik. Infark otak yang asimtomatik dapat menimbulkan serangan epilepsi, sebaliknya bangkitan dapat merupakan tanda-tanda resiko untuk mendapat serangan stroke yang berikutnya.

Meningioma, astrositoma, oligodendroglioma, glioblastoma, glioma maligna dan metastase ke otak cendrung menyebabkan bangkitan. Bangkitan juga dipresipitasi oleh gangguan metabolik akut ( misal: uremia, gagal hati, hipotiroid, hiperglikemia, hipoglikemia dan hiponatremia, hipokalsemia, pneumonia ), infeksi susunan saraf pusat, hematoma subdural, obat-obatan (misal: antipsikosis, antidepresan, antibiotik, teofilin, levodopa, diuretik golongan thiazid, herbal gingko biloba, bupropion, clomipiramine, “selective serotonin re-uptake inhibitor” (fluoxetine dan fenotiazin), “alcohol withdrawal” dan penyebab lain termasuk cidera kepala dengan atau tanpa perdarahan intrakranial. Bangkitan sekunder yang timbul akibat infeksi susunan saraf pusat akut lebih sering terjadi pada negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Penyakit Alzheimers dan demensia lain, meningkatkan resiko epilepsi sebanyak 5-10 kali, dan biasanya pada stadium lanjut. Kadang-kadang ditemukan beberapa penyebab secara bersamaan.

Di negara maju, penyebab epilepsi tergantung pada umur. Pada anak-anak, sebanyak 20% penyebabnya simtomatik, 50% kriptogenik, dan 30% idiopatik; sedangkan pada lansia, sekitar 55% simtomatik, dan 45% idiopatik/kriptogenik.

FARMAKOKINETIK

Terapi farmakologi merupakan pengobatan utama dalam usaha untuk mengontrol bangkitan dengan efek samping seminimal mungkin. Pasien lansia membutuhkan perlu perhatian khusus dalam polifarmakoterapi, interaksi obat dan masalah penyakit lain yang bersamaan ( kardiovaskuler, neurologik, metabolik, serebrovaskuler, neurodegeneratif atau neoplastik ).

Farmakokinetik pada lansia dapat terganggu karena beberapa faktor:
  • Penyerapan obat terganggu karena berkurangnya lipatan mukosa traktus gastro-intestinal, derajat keasaman lambung dan motilitas lambung menurun.
  • Penurunan kadar albumin serum
  • Ekskresi obat melalui glomerulus dan tubuler ginjal berkurang; klerens kreatinin pada lansia secara fisiologis menurun 10% per dekade pada usia lebih dari 40 tahun.
  • Metabolisme menurun akibat gangguan substansi hati, berkurangnya aktivitas dan aktivasi ensim.
Selain itu, banyak perubahan-perubahan lain akibat bertambahnya umur yang belum diketahui benar, misal gangguan neurotransmiter, fungsi reseptor, farmakologik otonomik dan mekanisme homeostatik.

DIAGNOSIS

Pasien lansia yang mengalami bangkitan pertama lebih sering mengalami serangan ulang dibandingkan usia muda. Diagnosa epilepsi biasanya ditegakkan setelah serangan “unprovoked” kedua atau lebih.
Berbeda dengan epilepsi pada usia muda, gambaran epilepsi pada pasien lansia sering tidak spesifik, misalnya: pusing, bingung, gangguan berbicara, penurunan kesadaran, rasa gelap/pitam, otomatisme ringan, sinkop dan gangguan memori. Hal ini sering menyebabkan underdiagnosis dan misdiagnosis.

Beberapa perbedaan gambaran klinik pada usia muda dan lansia.
Manifestasi bangkitan
Usia muda
Usia lanjut
Jumlah Tipe bangkitan
Banyak
satu
Tipe bangkitan yg sering
umum tonik-klonik
parsial kompleks
Aura dan otomatisme
Sering
jarang
Frekwensi bangkitan
Tinggi
rendah
Keadaan post iktal
Singkat
lama
Potensi cidera
Rendah
tinggi

Frekwensi bangkitan, aura dan otomatisme lebih jarang pada lansia, dibandingkan usia muda, sehingga sering terjadi kekeliruan diagnosis. Diagnosa epilepsi pada lansia sering terlambat karena, hilangnya memori dan pekerjaan, isolasi sosial, anamnesa dan saksi mata yang tidak adekuat, penyakit medik dan psikiatrik yang menyertai, diagnosis banding yang banyak dan mirip bangkitan dan kesulitan menyakinkan pasien tentang penyakit dan pengobatannya.

Sampai 70% adalah onset fokal, dengan atau tanpa umum sekunder. Epilepsi parsial kompleks berupa gejala atipikal misal : perubahan memori, episodik “confuse”, gangguan perhatian dan sinkop. Bangkitan tonik-klonik kadang-kadang merupakan bagian dari sindrom epilepsi idiopatik yang “late onset”.

Pada usia muda (kurang dari 40 tahun) perbandingan onset bangkitan parsial dan umum hampir sama, sedangkan pada lansia (75 tahun) bangkitan parsial mendekati 75%. Bangkitan lobus temporal/parsial kompleks paling sering ditemukan (48%). Manifestasi non motorik misal: hilangnya memori, bingung, dizziness, pitam, gangguan atensi dan sinkop, penurunan mental dan “unresponsive”. Bangkitan parsial kompleks pada lansia lebih mengarah ke ekstratemporal daripada temporal. Status epileptikus, baik konvulsi maupun non konvulsi sering pada pasien lebih dari 60 tahun, cendrung lebih lama dan angka kematian tinggi (sampai 40%).

Diagnosa epilepsi pada lansia sama seperti epilepsi umumnya, mulai dengan anamnesa, pemeriksaan fisik , pemeriksaan penunjang dan lain sebagainya. Pemeriksaan yang terperinci sistim neurologik dan kardiovaskuler merupakan langkah berikutnya. Pemeriksaan laboratorium:darah lengkap, gula darah,intoksikasi obat, elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hati. Pemeriksaan EKG, foto toraks, CT scan kepala dan MRI pada onset kasus baru bangkitan “unprovoked” lansia. Kelainan yang ditemukan (biasanya berhubungan dengan usia) misal: difus atrofi, hiperintensitas periventrikuler dan infark lakunar sering ditemukan. Pemeriksaan EEG rutin tidak sensitif dan tidak spesifik untuk diagnosa epilepsi pada lansia, karena tidak adanya gambaran abnormal yang epileptiform pada EEG tidak menyingkirkan epilepsi.

Diagnosa banding bangkitan pada lansia :


Neurologi:
-          Transient ischemic attact
-          Transient global amnesia
-          Migren
-          Narkolepsi
-          Restless leg syndrome
Endokrin/metabolik :
-          Hipoglikemia
-          Hiponatremia
-          Hipokalemia

Kardiovaskuler :
-          Sinkop vasovagal   
-          Hipotensi ortostatik
-          Aritmia kardial
-          Penyakit jantung struktural
-          Sindrom sinus karotis
Gangguan tidur:
-          Obstructive sleep apnea
-          Hypnic jerks
-          REM sleep disorders
Psikologik :
-          Non-epileptic psychogenic seizure

PENGOBATAN

Tujuan pengobatan epilepsi adalah membebaskan bangkitan tanpa adanya efek samping atau dengan efek samping minimal. Epilepsi pada lansia umumnya menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan, sampai 80% pasien dengan onset pada usia lanjut dapat terkontrol, bahkan diharapkan bebas kejang dapat dicapai dalam pengobatan 2-3 tahun.

Kunci manajemen epilepsi pada pasien lansia adalah mengobati bangkitan pertama daripada menunggu bangkitan berulang. Pada penelitian akhir-akhir ini menunjukkan angka kekambuhan 2 kali lebih tinggi ( lebih dari 60 % dalam tahun I ) pada lansia dibandingkan usia muda. Risiko untuk bangkitan ulang dengan konsekwensi fisik dan psikologis yang akan meningkatkan angka morbiditas harus dipertimbangkan, di pihak lain kemungkinan timbulnya efek buruk pengobatan misal: efek samping obat, interaksi dengan obat lain dan biaya yang tinggi. Oleh karena itu perlu didiskusikan secara cermat dengan pasien serta keluarganya dan mempertimbangkan pengobatan obat anti epilepsi sejak bangkitan pertama.

Pengobatan pada bangkitan pertama dapat menunda adanya keadaan lain yang dapat timbul, misal: gangguan tidur, penyakit lain yang bersamaan, stres fisik dan mental.
Epilepsi yang “intractable” biasanya berhubungan dengan neoplasma, bangkitan parsial kompleks atau ketidakpatuhan berobat. Mungkin pertanyaan yang sukar dijawab, bahwa kapan obat anti epilepsi dihentikan atau dikurangi membutuhkan 2-5 tahun.

Pemilihan obat anti epilepsi :
  • Pedoman untuk pilihan pengobatan pasien epilepsi lansia sama seperti populasi epilepsi umumnya. Walaupun demikian, penanganan spesifik harus diperhitungkan karena lansia sering sensitif terhadap obat anti epilepsi. Obat yang ideal untuk pasien lansia belum ada. Yang ideal adalah obat yang efektif, toleran, metabolisme sederhana dan tanpa interaksi obat. Pilihan jenis obat anti epilepsi sukar karena hanya sedikit data “evidence base” penggunaan obat terhadap pasien lansia, terutama yang sangat tua dan lansia yang mempunyai penyakit penyerta lain. Karena farmakodinamik dan farmakokinetik lansia yang sangat bervariasi, maka dosis obat tidak spesifik dan harus disesuaikan secara individual. Prinsipnya: “start low and go slow” dan sedapat mungkin monoterapi.
  • Obat anti epilepsi yang relatif lama : ( karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan natrium valproat ) meskipun merupakan obat yang utama, tetapi diikuatirkan akan timbul suatu interaksi obat, toleransi berkurang dan efek samping berat. Semua obat anti epilepsi lama kecuali etoksuksimid efektif untuk bangkitan parsial dengan atau tanpa bangkitan umum sekunder merupakan hal yang tipikal pada epilepsi lansia.
Beberapa keadaan reaksi obat yang harus diperhatikan adalah :
  • Farmakokinetik kompleks yaitu obat fenitoin
  • Efek samping terhadap kognitif yaitu obat fenobarbital
  • Efek osteoporotik yaitu obat fenobarbital dan fenitoin
  • Induksi hati yaitu obat karbamazepin, fenobarbital, fenitoin
  • Hiponatremia yaitu obat karbamazepin
Fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin dapat menimbulkan reaksi idiosinkrasi, terutama kelainan kulit dan interaksi dengan obat-obat, zat-zat yang menginduksi ensim monooksigenase di hati dan obat-obat yang larut dalam lemak, misal warfarin, obat aritmia jantung, teofilin, kortikosteroid, antidepresan, sitotoksik dan antibiotik makrolid.

Penggunaan karbamazepin dapat menurunkan kadar obat dalam serum (digitoxin, parasetamol, neuroleptik), sebaliknya kadar karbamazepin dalam serum dapat meningkat bila obat digunakan bersama eritromisin, isoniazid, ketokonazol, vilaxazine dan calcium antagonist. Pemberian supplemen kalsium dan vitamin D dapat dipertimbangkan untuk mengatasi kelainan tulang yang akan terjadi.

Natrium valproat merupakan obat pilihan untuk sindrom epilepsi umum idiopatik pada lansia. Obat ini sedikit lebih baik dalam pengaruhinya terhadap kognitif dan tingkah laku dibanding obat lain. Selain itu valproat tidak menginduksi ensim hati, dapat mengurangi densitas mineral tulang, serta mempengaruhi osteoblastik tulang. Valproat dapat dosis tertentu menimbulkan tremor dan Parkinson yang reversibel. Dianjurkan penggunaan valproat bila diperlukan titrasi cepat atau intravena.

Obat-obat anti epilepsi baru:
  • Obat-obat yang relatif baru ( felbamate, gabapentin, lamotrigine, levetiracetam, oxcarbazepine, tiagabine, topiramate dan zonisamide ) lebih efektif dan menyenangkan dalam pemberiannya, monitor, interaksi obat dan efek sampingnya. Keraguan sebagian klinikus menggunakan obat anti epilepsi baru karena belum familier, biaya tinggi,dan tidak ada data-data penggunaan jangka panjang.
  • Brodie et al 1999 dalam penelitian multisenter “double blind” pada pasien lansia, mengemukakan, efikasi lamotrigine serupa dengan karbamazepin. Groselj et al 2005 mengemukakan pemberian topiramate sebagai monoterapi cukup efektif dan ditoleransi dengan baik pada pasien lansia. Topiramate merupakan pilihan arternatif lain. Chadwick et al 1998 mengemukakan gabapentin lebih toleran daripada karbamazepin pada pasien lansia. Ferrendelli et al 2003 mengemukakan levetiracetam menunjukkan efikasi yang baik. Morrel dkk 2003 dalam Keeper study, menyimpulkan bahwa levetiracetam efektif dan ditoleransi dengan baik sebagai “add-on therapy” pada epilepsi lansia.

Beberapa obat anti epilepsi yang baik digunakan pada pasien lansia adalah karbamazepin, oxcarbazepin, valproat, gabapentin, lamotrigine, tiagabine dan zonisamide.

Status Epileptikus:
  • Dibandingkan usia muda, lansia lebih sering dan lama mengalami bangkitan status epileptikus, misal: lebih dari 24 jam; dan angka kematian lebih tinggi. Pasien lansia lebih sensitif terhadap benzodiazepine dan fenitoin. Monitor yang ketat terhadap pernapasan, oksigenasi dan tekanan darah.
Obat anti epilepsi pilihan untuk lansia :

Obat pilihan Epilepsi untuk lansia

KESIMPULAN
  • Epilepsi pada lansia lebih sering ditemukan dibandingkan usia muda.
  • Penyakit serebrovaskuler dan neurodegeneratif merupakan penyebab terbanyak epilepsi pada lansia. Gambaran klinik sering tidak spesifik dan berbeda-beda serta banyak keadaan lain yang mirip dengan bangkitan epilepsi, sehingga dapat terjadi misdiagnosis atau mismanajemen. Bangkitan parsial (sederhana atau kompleks) paling sering ditemu-kan. Diagnosa dini dan akurat penting untuk menentukan pengobatan yang cepat dan tepat.
  • Dalam memilih obat anti epilepsi pada lansia, perhatian utama terhadap efek samping dan potensi interaksi obat. Gangguan ikatan protein, distribusi, eliminasi dan peningkatan sensitivitas terhadap efek farmakodinamik obat anti epilepsi sering terjadi. Interaksi obat merupakan hal yang penting pada lansia karena politerapi dan komorbid yang multipel.
  • Prognosa terkontol lebih baik dibandingkan populasi usia muda. Sebanyak 80% kasus dapat bebas bangkitan, bila pengobatan farmakologik tepat.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Stefan H. Epilepsy in the elderly. Teaching course 4, in 9th Congress of the EFNS, Athens, Sep 17-20,2005.
  2. Sander JW, Hart YM, Johnson AL, Shorvon SD. National general practice study of epilepsy: newly diagnosed epileptic seizures in a general population. Lancet 1990,336: 1267-1271
  3. Shih-Hui Lim. Epidemiology and etiology of seizures and epilepsy in the elderly in Asia. Neurolgy Asia 2004;9(supp 1):31-32
  4. Brodie MJ, Kwan P. Epilepsy in elderly people. BMJ 2005;331:1317-1322.
  5. Sanchetee P, Sanchetee S. Epilepsy in Elderly. J.of the Indian Academy of Geriatrics 2007;3:20-29
  6. Mihancea P, Matcau D, Matcau L, Havasi N, Brisc CM, Brisc C. The epileptogenic factors in elderly adults. European Journal of neurology 2008,15,(Suppl.3),91
  7. Ossemann M et al. Guidelines for the management of epilepsy in the elderly. Acta neurol.belg.,2006,106,111-11
  8. Legros B, Bottin P, De Borchgrave V, Delcourt C, De Tourtchaninoff M, Dubru JM et al. Therapeutic issues in women with epilepsy. Acta neurol.belg., 2003,103,135-139.