Nasib obat (Farmakokinetik) atau proses kerja obat di dalam tubuh wanita hamil

Perubahan Farmakokinetik Obat  (Nasib Obat) pada Wanita Hamil dan Implikasinya secara Klinik

PENDAHULUAN

Perubahan fisiologis yang dinamis terjadi pada tubuh seorang wanita hamil karena terbentuknya unit fetal-plasentalmaternal. Keadaan ini mempengaruhi farmakokinetika obat baik dari segi absorbsi, distribusi, maupun eliminasinya. Perubahan-perubahan itu antara lain terjadi pada fungsi saluran cerna, yang akan berpengaruh pada kecepatan absorbsi obat; perubahan fungsi saluran napas akan mempengaruhi absorbsi obat inhalan di paru, sedangkan pada ginjal wanita hamil akan terjadi peningkatan laju filtrasi glomerulus yang akan mengakibatkan eliminasi obat melalui ginjal meningkat. Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya

Harus dipahami bahwa penggunaan obat-obatan pada tiap-tiap orang harus dibedakan berdasakan kondisi yang dialaminya. Meskipun penyakitnya sama, namun pemakaian obatnya tak bisa disamaratakan. Pada seorang wanita yang hamil akan terjadi peningkatan jumlah volume cairan tubuh yang berakibat penurunan kadar puncak obat dalam serum. Kondisi hipoalbuminemia (albumin dalam darah berkurang) yang terjadi selama kehamilan menyebabkan terjadinya penurunan jumlah protein pengikat (protein binding), sehingga kadar obat bebas yang terdapat dalam darah akan meningkat. Seperti diketahui, obat yang beredar bebas dalam darah adalah yang menimbulkan efek terapetik, oleh karena itu pemberian obat pada wanita hamil mengandung risiko efek terapetik yang berlebihan, yang kadangkala justru menimbulkan efek toksik baik pada ibu maupun janinnya.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas pemberian obat pada wanita hamil harus sungguh-sungguh memperhitungkan dosis yang tepat yang didasari oleh pengetahuan tentang kadar obat bebas dalam darah. Berikut ini akan diuraikan tentang dasar-dasar perubahan farmakokinetika obat yang terjadi pada wanita hamil, dan implikasinya terhadap pengawasan dan penyesuaian dosis dari beberapa jenis obat yang penting dalam kehamilan

PERUBAHAN FARMAKOKINETIK UNIT FETAL-MATERNAL

Farmakokinetik merupakan istilah yang menggambarkan bagaimana tubuh mengolah obat, kecepatan obat itu diserap (arbsopsi), jumlah obat yang diserap tubuh (biavailability), jumlah obat yang beredar dalah darah (distribusi), dimetabolisme oleh tubu dan akhirnya dibuang dari tubuh (eksresi).

Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama.

Setelah melalui fase absorbsi dan fase distribusi obat akan mengalami fase metabolisme. Metabolisme sendiri merupakan reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologi yang dikatilisis oleh enzim menjadi suatu metabolit. Ketika obat masuk ke aliran darah, fase metabolisme dan fase ekskresi adalah fase yang bertanggung jawab untuk membuang obat keluar dari tubuh. Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.

Setelah melalui fase metabolisme, selanjutnya obat akan masuk pada tahap eksresi atau pembuangan. Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, danrambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

Pada wanita hamil, sebisa mungkin untuk menghindari pemakaian obat jenis apapun terutama pada trimester pertamanya. Penggunaan obat pada wanita hamil sangat beresiko menimbukan kecacatan pada bayi terutama ketika obat yang dikonsumsi tersebut kemudian tembus sampai ke plasenta. Pemberian obat pada wanita hamil bisa dipertimbangkan apabila pemakaian obat tersebut memiliki manfaat yang lebih besar bagi wanita tersebut dan tanpa atau hanya beresiko kecil bagi janinnya.

Hasil survai epidemiologis menunjukkan bahwa antara sepertiga hingga duapertiga dari seluruh wanita hamil akan mengkonsumsi setidaknya 1 macam obat selama kehamilan. Obat-obat yang sering digunakan antara lain antimikroba, antiemetik, obat penenang dan analgesik. Masa kehamilan dibagi dalam 3 tahap. Tahap pertama disebut trisemester pertama kehamilan (tiga bulan pertama masa kehamilan). Tahap ini merupakan tahap paling kritis karena pada tahap ini berlangsung proses pembentukan organ-organ penting bayi. Dalam tahap ini janin sangat peka terhadap kemungkinan kerusakan yang disebabkan obat, radiasi dan/ atau infeksi yang menyerang. Penyebab kerusakan terhadap calon bayi tersebut disebut teratogen. Pemberian obat-obat tertentu boleh jadi akan memberikan kecacatan lahir.

Pada tahap ini hindarilah pemakaian obat yang tidak perlu dan tidak diketahui keamanannya.Tahap selanjutnya adalah trimester kedua kehamilan (bulan keempat sampai dengan bulan keenam masa kehamilan). Organ bayi sudah terbentuk. Denyut jantung sudah dapat didengar dan tulang belakang sudah dapat terlihat dengan peralatan radiologi. Beberapa obat boleh jadi akan mempengaruhi perkembangan si janin, yang dimanesfetasikan dengan rendahnya berat badan bayi ketika dilahirkan.Tahap terakhir adalah trisemester ketiga kehamilan (bulan ketujuh hingga bayi dilahirkan). Pada tahap ini resiko terbesar adalah kesulitan bernafas pada bayi baru lahir. Beberapa obat dapat mempengaruhi persalinan yang dimanesfetasikan bayi lahir prematur maupun calon bayi lebih lama dalam kandungan. Untuk memetakan obat mana yang aman bagi wanita hamil saat ini mengacu kepada percobaan-percobaan terhadap binatang, dan pengamatan terhadap penggunaan obat ketika diedarkan. Percobaan yang sangat luas terhadap wanita hamil bagi obat baru yang akan diedarkan memang tidak ada dan tidak akan pernah ada mengingat tidak etis menggunakan wanita hamil sebagai obyek penelitian.

Sesuai dengan perkembangan kehamilan akan terjadi perubahan-perubahan fisiologis yang dinamis terhadap farmakokinetik obat yang meliputi proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat. Pemberian obat pada masa kehamilan yang terutama ditujukan pada ibu, seringkali tanpa memperhitungkan efeknya pada plasenta dan janin yang merupakan suatu unit yang saling berinteraksi selama kehamilan. Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan obat dapat melewati sawar plasenta dengan mudah, sehingga membuat janin sebagai penerima obat yang tidak berkepentingan. Sebaliknya, dengan ditemukannya teknik diagnosis antenatal yang semakin canggih, muncul upaya untuk memberi terapi pada janin intrauterin melalui pemberian obat pada ibunya.

Respon ibu dan janin terhadap obat selama kehamilan dipengaruhi oleh dua faktor utama: 1) Perubahan absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat dalam tubuh wanita hamil. 2) unit plasental-fetal yang mempengaruhi jumlah obat yang melewati sawar plasenta, persentase obat yang dimetabolisme oleh plasenta, distribusi dan eliminasi obat oleh janin.

1) Perubahan Farmakokinetik Obat Akibat Perubahan Maternal
  • 1.1.a. Absorbsi saluran cerna
    • Faktor-faktor tersebut di bawah ini mempengaruhi absorbsi obat di saluran cerna:
      • Formula obat.
      • Komposisi makanan.
      • Komposisi kimia.
      • pH cairan usus.
      • Waktu pengosongan lambung.
      • Motilitas usus.
      • Aliran darah.
    • Peningkatan kadar progesteron dalam darah dianggap bertanggungjawab terhadap penurunan motilitas usus, yang memperpanjang waktu pengosongan lambung dan usus hingga 30-50%. Hal ini menjadi bahan pertimbangan yang penting bila dibutuhkan kerja obat yang cepat. Pada wanita hamil terjadi penurunan sekresi asam lambung (40% dibandingkan wanita tidak hamil), disertai peningkatan sekresi mukus, kombinasi kedua hal tersebut akan menyebabkan peningkatan pH lambung dan kapasitas buffer. Secara klinik hal ini akan mempengaruhi ionisasi asam-basa yang berakibat pada absorbsinya. Mual dan muntah yang sering terjadi pada trimester pertama kehamilan dapat pula menyebabkan rendahnya konsentrasi obat dalam plasma. Pada pasien-pasien ini dianjurkan untuk minum obatnya pada saat mual dan muntah minimal, biasanya pada sore hari. Dengan mengubah formula obat menurut perubahan sekresi usus dan mengatur kecepatan dan tempat pelepasan obat, diharapkan absorbsi obat akan menjadi lebih baik.
  • 1.1.b. Absorbsi paru
    • Pada kehamilan terjadi peningkatan curah jantung, tidal volume, ventilasi, dan aliran darah paru. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan peningkatan absorbsi alveolar, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat inhalan. Hal ini tidak berarti bahwa obat-obat anestesi inhalan akan lebih cepat kerjanya, karena hal itu tergantung pada keseimbangan paru dan distribusi pada jaringan.
  • 1.2. Distribusi
    • Volume distribusi obat akan mengalami perubahan selama kehamilan akibat peningkatan jumlah volume plasma hingga 50%. Peningkatan curah jantung akan berakibat peningkatan aliran darah ginjal sampai 50% pada akhir trimester I, dan peningkatan aliran darah uterus yang mencapai puncaknya pada aterm (36-42 L/jam); 80% akan menuju ke plasenta dan 20% akan mendarahi myometrium. Peningkatan total jumlah cairan tubuh adalah 8 L, terdiri dari 60% pada plasenta, janin dan cairan amnion, sementara 40% berasal dari ibu. Akibat peningkatan jumlah volume ini, terjadi penurunan kadar puncak obat (Cmax) dalam serum. Oleh karena itu obat-obatan yang terutama didistribusikan ke cairan tubuh akan mengalami penurunan Cmax dalam serum.
  • 1.3. Pengikatan protein
    • Sesuai dengan perjalanan kehamilan, volume plasma akan bertambah, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi albumin, sehingga menimbulkan hipoalbuminemia fisiologis. Hormon-hormon steroid dan plasenta akan menempati lokasi pengikatan protein sehingga pengikatan protein oleh obat akan menurun, dan kadar obat bebas akan meningkat. Obat-obat yang tidak terikat pada protein pengikat secara farmakologis adalah obat yang aktif, maka pada wanita hamil diperkirakan akan terjadi peningkatan efek obat. Tetapi obat yang bebas akan mengalami biotransformasi sehingga sesungguhnya tidak terjadi perubahan konsentrasi obat bebas. Konsentrasi glikoprotein pada wanita hamil tidak berbeda dari wanita yang tidak hamil, tetapi terjadi penurunan glikoprotein yang menyolok pada janin.
  • 1.4.a. Eliminasi oleh hati
    • Fungsi hati dalam kehamilan banyak dipengaruhi oleh kadar estrogen dan progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti phenytoin, metabolisme hati bertambah, cepat mungkin akibat rangsangan pada aktivitas enzim mikrosom hati yang disebabkan oleh hormon progesteron; sebaliknya pada obat-obatan seperti teofilin dan kafein, eliminasi hati berkurang sebagai akibat sekunder inhibisi komfetitif dari enzim oksidase mikrosom oleh estrogen dan progesteron. Estrogen juga mempunyai efek kolestatik yang mempengaruhi ekskresi obat-obatan seperti rifampisin ke sistem empedu.
  • 1.4.b. Eliminasi ginjal
    • Pada kehamilan terjadi peningkatan aliran plasma renal 25-50%. Obat-obat yang dikeluarkan dalam bentuk utuh dalam urin seperti penisilin, digoksin, dan lithium menunjukkan peningkatan eliminasi dan konsentrasi serum steady state yang lebih rendah.
  • 1.5. Ketersediaan obat
    • Perusahaan farmasi sering memberi peringatan kepada masyarakat untuk mengurangi bahkan menghindari penggunaan obat selama kehamilan. Seringkali terdapat informasi yang salah tentang efek teratogenik dari obat yang sebetulnya dapat ditoleransi dengan baik oleh wanita hamil. Hal-hal tersebut berakibat terapi pada wanita hamil sering kali tidak optimal. Dengan mengetahui bahwa konsentrasi obat dalam serum rendah selama kehamilan, akan dihindari pemberian obat yang tidak optimal akibat perubahan farmakokinetik pada wanita hamil.
2) Efek kompartemen fetal-plasental

Tergantung pada jenis obat dan hasil penelitian eksperimental, tubuh dapat dibagi menjadi satu atau lebih kompartemen. Jika pemberian obat menghasilkan satu kesatuan dosis maupun perbandingan antara kadar obat janin: ibu maka dipakai model kompartemen tunggal. Tetapi jika obat lebih sukar mencapai janin maka dipakai model dua kompartemen di mana rasio konsentrasi janin: ibu akan menjadi lebih rendah pada waktu pemberian obat dibandingkan setelah terjadi distribusi. Contohnya adalah salisilat atau diazepam yang kadarnya dalam plasma janin lebih tinggi dibandingkan kadar dalam plasma ibu. Hal ini penting untuk memperhitungkan efek obat pada janin berdasarkan konsentrasi obat dalam plasma ibu. Perbedaan aliran darah plasenta, protein plasma pengikat, keseimbangan asam basa antara ibu dan janin mempengaruhi rasio konsentrasi obat janin: ibu.
  • 2.1. Efek protein pengikat
    • Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Tetapi ada pula obat-obatan yang lebih banyak terikat pada protein pengikat janin seperti salisilat. Albumin plasma ibu akan menurun selama kehamilan sementara albumin janin akan meningkat. Proses yang dinamis ini akan menghasilkan perbedaan rasio albumin janin: ibu pada usia kehamilan yang berbeda. Obat-obat yang tidak terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta, seperti dikloksasilin yang mencapai kadar dalam darah ibu lebih tinggi daripada pada janin
  • 2.2. Keseimbangan asam-basa
    • Molekul yang larut dalam lemak dan tidak terionisasi menembus membran biologis lebih cepat dibandingkan molekul yang kurang larut dalam lemak dan terionisasi. Jadi pH dan janin merupakan penentu transfer plasenta yang penting khususnya untuk obat-obatan asam atau basa lemah dimana pKa mendekati pH plasma. PH plasma janin sedikit lebih asam dibandingkan ibu. Dengan demikian basa lemah akan lebih mudah melewati sawar plasenta. Tetapi setelah melewati plasenta dan mengadakan kontak dengan darah janin yang relatif lebih asam, molekul-molekul akan lebih terionisasi. Hal ini akan berakibat penurunan konsentrasi obat pada janin dan menghasilkan gradien konsentrasi. Fenomena ini dikenal sebagai ion trapping.
  • 2.3. Eliminasi obat secara feto-placental drug eliminaton
    • Terdapat bukti-bukti bahwa plasenta manusia dan fetus mampu memetabolisme obat. Semua proses enzimatik, termasuk fase I (oksidasi, dehidrogenasi, reduksi, hidrolisis, dan lain-lain) dan fase II (glukoronidase, metilasi dan asetilasi) telah ditemukan pada hati bayi sejak 7 sampai 8 minggu pasca pembuahan. Tetapi kebanyakan proses enzimatik tidak matang, dan aktivitasnya sangat rendah. Kemampuan eliminasi yang berkurang dapat menimbulkan efek obat yang lebih pan-jang dan lebih menyolok pada janin. Kenyataan bahwa lebih dari setengah aliran darah janin menuju ke jantung dan otak tanpa melalui hati menambah alasan terjadinya efek ini. Sebagian besar eliminasi obat pada janin adalah dengan cara difusi obat kembali ke kompartemen ibu. Tetapi kebanyakan metabolit lebih polar dibandingkan dengan asal-usulnya sehingga kecil kemungkinan mereka akan melewati sawar plasenta, dan berakibat penimbunan metabolit pada jaringan janin. Dengan pertambahan usia kehamilan, makin banyak obat yang diekskresikan ke dalam cairan amnion, hal ini menunjukkan maturasi ginjal janin.
  • 2.4. Keseimbangan Obat Maternal-fetal
    • Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana. Obat-obat yang bersifat lipofilik lebih mudah menembus plasenta daripada zat nonlipofilik. Obat yang tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi melalui plasenta dibandingkan obat-obat yang bersifat asam atau basa. Perubahan-perubahan pada aliran darah plasenta akibat keadaan patofisiologis sekunder (hipertensi dalam kehamilan, solusio plasenta) atau karena efek farmakologis obat oksitosik atau nikotin dapat mempengaruhi transfer obat melalui plasenta. Kecepatan tercapainya keseimbangan obat antara ibu dan janin mempunyai arti yang penting pada keadaan konsentrasi obat pada janin harus dicapai secepat mungkin, seperti pada kasus-kasus aritmia atau infeksi janin intrauterin, karena obat diberikan melalui ibunya.
3) Mekanisme Transfer Obat melalui Plasenta

Obat-obatan yang diberikan kepada ibu hamil dapat menembus sawar plasenta sebagaimana halnya dengan nutrisi yang dibutuhkan janin, dengan demikian obat mempunyai potensi untuk menimbulkan efek pada janin. Perbandingan konsentrasi obat dalam plasma ibu dan janin dapat memberi gambaran pemaparan janin terhadap obat-obatan yang diberikan kepada ibunya.

Waddell dan Marlowe (1981) menetapkan bahwa terdapat 3 tipe transfer obat-obatan melalui plasenta sebagai berikut:
1) Tipe I
  • Obat-obatan yang segera mencapai keseimbangan dalam kompartemen ibu dan janin, atau terjadi transfer lengkap dari obat tersebut. Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah tercapainya konsentrasi terapetik yang sama secara simultan pada kompartemen ibu dan janin.
2) Tipe II
  • Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih tinggi daripada konsentrasi dalam plasma ibu atau terjadi transfer yang berlebihan. Hal ini mungkin terjadi karena transfer pengeluaran obat dari janin berlangsung lebih lambat.
3) Tipe III
  • Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih rendah daripada konsentrasi dalam plasma ibu atau mterjadi transfer yang tidak lengkap. Faktor-faktor yang mempengaruhi transfer obat melalui plasenta antara lain adalah:
    • Berat molekul obat. Pada obat dengan berat molekul lebih dari 500D akan terjadi transfer tak lengkap melewati plasenta.
    • PKa (pH saat 50% obat terionisasi).
    • Ikatan antara obat dengan protein plasma.
Mekanisme transfer obat melalui plasenta dapat dengan cara difusi, baik aktif maupun pasif, transport aktif, fagositosis, pinositosis, diskontinuitas membran dan gradien elektrokimiawi.
  • 3.1. Difusi pasif
    • Difusi tidak memerlukan energi, hal ini digambarkan menurut Fick’s sebagai berikut:
    • D/KA adalah resisitensi membran; adalah perbedaan konsentrasi yang dibutuhkan oleh sejumlah zat agar dapat berdifusi melewati plasenta.
    • Pada manusia sawar plasenta terdiri atas 3 lapisan, yaitu: epitel trofoblas yang melapisi vili, jaringan ikat korion dan endothel kapiler. Terdapat hubungan langsung antara permukaan vili, yang merupakan permukaan tempat pertukaran zat, dengan kebutuhan nutrisi janin (yaitu berat badan janin). Perbandingan antara berat plasenta/berat janin sesuai usia kehamilan mengikuti kurva eksponensial dan rasio ini menurun sesuai pertambahan usia kehamilan. Tetapi pada keadaan patologis kemampuan plasenta untuk mengadakan transfer zat akan mengalami gangguan, sehingga hubungan antara berat plasenta dengan luas permukaan pertukaran tidak berlaku lagi.
  • 3.2. Transport fasilitatif dan transport aktif
    • Pada transport fasilitatif tidak diperlukan energi, tetapi memerlukan keberadaan zat pembawa (carrier) untuk mengangkut zat-zat melalui plasenta. Hal ini terjadi pada transport glukosa. Transport aktif membutuhkan energi. Perpindahan zat-zat terjadi karena adanya gradien (perbedaan) konsentrasi, transport ini dapat dihambat atau menjadi jenuh oleh kerja racun metabolik.
    • Fagositosis dan pinositosis adalah mekanisme transport lambat seperti yang terjadi pada mukosa usus dan dapat terjadi pada trofoblas. Proses ini berlangsung sangat lambat dan tidak mempunyai makna dalam transfer obat melalui plasenta. Eritrosit dapat melewati plasenta karena adanya celah-celah pada permukaan plasenta, tetapi belum jelas apakah mekanisme ini juga berlaku untuk obat-obatan. Terdapat suatu gradien elektrokimiawi pada plasenta akibat perbedaan pH darah ibu dan janin. Obat yang bersifat basa lemah cenderung lebih mudah terurai dalam darah janin dibandingkan di dalam darah ibu. Jadi gradien elektrokimiawi lebih bermakna pada obatobat yang terionisasi yang mempunyai pK mendekati pH darah.
  • 3.3. Aspek-aspek mutakhir transfer obat melalui plasenta
    • Kemajuan pesat telah dicapai dalam hal teknik pemeriksaan darah dari arteri dan vena tali pusat sewaktu janin di dalam kandungan. Keuntungan metode ini adalah bahwa darah dapat diambil sewaktu-waktu dari pertengahan usia kehamilan hingga genap bulan, untuk mempelajari farmakokinetika obat. Tetapi terdapat 2 masalah yaitu: 1. Memilih jenis obat yang akan diteliti dan 2. Desain protokol penelitian. Variabel tentang transfer obat melalui plasenta sangat luas dan masih harus diawasi terutama untuk obat-obat yang membahayakan janin dan obat-obat yang proses transfernya buruk tetapi harus mencapai konsentrasi yang dibutuhkan oleh janin.
    • Obat-obat yang diberikan pada pasien selama persalinan, konsentrasinya dalam darah talipusat bukan merupakan petunjuk jumlah obat yang ditransfer ke janin. Apabila obat melewati plasenta, terjadi distribusi dalam janin dan konsentrasi obat di darah perifer menurun bersamaan dengan kemampuan jaringan untuk mengeluarkan obat tersebut. Pada akhir proses distribusi jumlah obat yang ditransfer harus sama dengan jumlah obat yang diekskresikan dari janin dengan anggapan bahwa konsentrasi obat tetap konstan dalam darah ibu dan tercapai keseimbangan antara kompartemen ibu dan janin. Pemberian obat secara langsung ke dalam cairan amnion akan mengatasi masalah yang berkaitan dengan sawar plasenta. Metode pemberian obat ini sangat berguna khususnya pada obat-obatan yang transfernya buruk

KESIMPULAN

Kehamilan berkaitan dengan berbagai macam perubahan fisiologis yang mempengaruhi perlakuan tubuh terhadap obatobatan. Tetapi pada kebanyakan obat hasil akhir perubahanperubahan ini tidak menimbulkan perubahan kadar obat bebas dalam darah, yang berarti tidak terjadi perubahan efek obat.

Pada obat-obatan yang mengalami peningkatan ekskresi, dosis perlu ditingkatkan, sedangkan pada obat-obatan yang terikat pada protein plasma, kondisi hipoalbuminemia yang terjadi berakibat konsentrasi obat bebas menjadi lebih tinggi. Maka pengaturan dosis pada obat-obatan tersebut harus mengacu pada pengukuran kadar obat bebas. Aspek lain yang penting mengenai pemberian obat pada wanita hamil adalah efek obat itu pada janin. Hampir semua obat dapat melewati sawar plasenta dan mencapai konsentrasi yang terdeteksi di dalam janin.

Pemberian obat selama kehamilan dapat bertujuan pengobatan pada ibu maupun janin intrauterin. Pemberian obat harus mengacu pada tujuan pengobatan dan kedaruratan pemberian; pola terapi yang bersifat
rasional, efektif, aman dan ekonomis, dapat dijangkau jika dalam pengobatan dipakai prinsip “Panca Tepat”:
  1. Diagnosis penyakit yang tepat.
  2. Pemilihan jenis obat yang tepat.
  3. Dosis, lama pemberian, dan interval pemberian yang tepat.
  4. Memperhatikan patologi dan perlangsungan penyakit secara tepat.
  5. Pengawasan dan penanganan efek dan efek samping obat secara tepat.
Oleh karena itu seorang dokter haruslah bijaksana dalam menentukan terapi yang terbaik untuk kepentingan ibu dan janin.

KEPUSTAKAAN

1. Loebste R, Lalkin A, Koren G. Pharmacokinetic changes during pregnancy and their clinical relevance. Clin Pharmacokinet, 1997; 33: 328-43.
2. Pacifici GM, Nottoli R. Placental transfer of drugs administered to the mother. Clin Pharmacokinet, 1995; 28: 235-69.
3. Stile IL, Hegyi T, Hiatt IM. Drugs used with neonates and during pregnancy. 2nd ed. New Jersey: Medical Economics Co Inc, 1984.
4. Ganiswara SG. Farmakologi dan terapi. Edisi ke 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI. 1995; 728-59.
5. Benet LZ, Kroetz DL, Sheiner LB. Pharmacokinetics: The dynamics of drug absorption, distribution, and elimination. In: Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics. 9th ed. USA: McGraw-Hill, 1996; 1317-65.
6. Jacobs RA. Anti-infective chemotherapeutic and antibiotic agents. In: Current Medical and Treatment. 35th ed. USA: Lange Med Publ. 1996; 1317-65.
7. Fraser VJ, Dunagan WC. Prinsip-prinsip terapi antimikrobial. Dalam:m Woodley M, Whelan A, eds. Pedoman pengobatan. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. 1992; 357-79.
8. Moningka BH. Ringkasan farmakologi umum. Manado: Sam Ratulangi University Press. 1999; 12-29, 47-50.
9. Graham- Smith.DG, Aronson JK. The four processes of drug therapy. In: Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and Drug Therapy, 2nd ed.1993; 3-8.
10. Rubin PC. Drugs in special patient group: Pregnancy and nursing. In:Clinical Pharmacology Basic Principles in Therapeutics,3rd ed. 1992; 805-25.