TREMATODA HATI : Morfologi, Penyakit dan Daur Hidup Opistorchis, Clonorchis dan Fasciola hepatica

TREMATODA HATI

PENDAHULUAN

Dalam dunia kedokteran parasitologi, yang mempelajari parasit yang berupa cacing dikenal sebagai Helmintologi. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi :
  • Nemathelminthes (cacing gilik) (nama=benang)
  • Platyhelminthes (cacing pipih).
Stadium dewasa cacing-cacing yang termasuk Nemathelminthes (kelas Nematoda) berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak rongga badan dan alat-alat. Cacing ini mempunyai alat kelamin terpisah. Dalam parasitologi Kedokteran diadakan pembagian nematoda menjadi nematoda usus yang hidup di rongga usus dan nematoda jaringan yang hidup di jaringan berbagai alat tubuh.

Cacing dewasa yang termasuk Platyhelminthes mempunyai badan pipih, tidak mempunyai rongga badan dan biasanya bersifat hemafrodit. Platyhelminthes dibagi menjadi kelas Trematoda (cacing daun) dan kelas Cestoda (cacing pita). Cacing trematoda berbentuk daun, badannya tidak bersegmen, mempunyai alat pencernaan. Cacing Cestoda mempunyai badan yang berbentuk pita dan terdiri dari skoleks, leher dan badan (strobila) yang bersegmen (proglotid); makanan diserap melalui kulit (kutikulum) badan.


Apa itu Trematoda (cacing daun atau cacing hisap) ??
  • Trematoda (cacing daun) merupakan cacing yang termasuk kelas Trematoda filum Platyhelminthes dan hidup sebagai parasit. Pada umumnya cacing ini bersifat hemafrodit cacing Schistosoma, mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut (asetabulum). Spesies yang merupakan parasit pada manusia termasuk subkelas Digenea, yang hisup sebagai endoparasit.
  • Disebut cacing daun sebab Cacing trematoda berbentuk daun, badannya tidak bersegmen, mempunyai alat pencernaan. Disebut cacing hisap karena cacing ini memiliki alat pengisap. Alat pengisap (Sucker) terdapat pada mulut di bagian anterior untuk menempel pada tubuh inangnya makanya disebut pula cacing hisap. Pasa saat menempel cacing ini mengisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh inangnya, dengan demikian maka Trematoda merupakan hewan parasit karena merugikan dengan hidup di tubuh organisme hidup dan mendapatkan makanan tersedia di tubuh inangnya.

Epidemologi dan distribusi geografis Trematoda (cacing daun atau cacing hisap)
  • Pada umumnya cacing trematoda ditemukan di RRC, Korea, Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam, Taiwan, India, dan Afrika. Beberapa spesies ditemukan di Indonesia seperti fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan Sulawesi, HETEROPHYDAE di Jakarta dan Schistosoma javanicum di Sulawesi Tengah.
  • Kebiasaan memakan hospes perantara II yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik merupakan faktor penting demi transmisi penyakit; kecuali pada skistosomiasis yang infeksinya terjadi karena manusia mandi, mencuci atau masuk ke dalam air seperti kali atau parit yang mengandung serkaria.
  • Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah vertebrata .Ternak , Ikan , Manusia. Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula. Permukaan tubuhnya tidak memiliki silia.

Klasifikasi Trematoda
  • Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitif cacing trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi, tikus, burung, luak, harimau, dan manusia.
Menurut tempat hidup dewasa dalam tubuh hospes, maka trematoda dapat dibagi dalam :
  • Trematoda hati (liver flukes): Clonorchis sinensis, Opisthorchis felineus, Opisthorchis viverrini dan Fasciola.
  • Trematoda usus (intestinal flukes): fasciolopsis buski, ECHINOSTOMATIDAE dan HETEROPHYLIDEA.
  • Trematoda paru (lung flukes) : paragonimus westermani.
  • Trematoda darah (blood flukes): Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium.

Morfologi Trematoda
  • Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetris bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat beranekaragam dari 1 mm sampai kurang lebih 75 mm. Tanda khas lainnya adalah terdapatnya 2 buat butil isap genital. Saluran pencernaan menyerupai huruf Y terbalik yang dimulai dengan mulut dan berakhir buntu pada sekum. Pada umumnya Trematoda tidak mempunyai alat pernapasan khusus, karena hidupnya secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan saraf dimulai dengan ganglion di bagian ventral dan lateral badan. Cacing ini bersifat hermafrodit kecuali Schistosoma dengan alat reproduksi yang kompleks.
  • Mempunyai sistem pencernaan, tetapi tidak sempurna.Mulut (oral cavity) yang dikelilingi oral sucker terletak di ujung anterior, dilanjutkan dengan pharynx, esophagus bercabang di depan ventral sucker dan menjadi sepasang usus yangberakhir buntu (caeca)yang bentuknya bervariasi: -simple/sederhana : hanya bercabang dua dan berakhir buntu (Clonorchis sinensis) -setelah bercabang dua lalu bercabang-cabang lagi ke lateral (Fasciola hepatica) - setelah bercabang lalu menyatu lagi menjadi satu satu caecum yang disebut reunited- intestine(Schistosoma).  Mempunyai sistem excretory (flame cell). Berkembang biak dengan bertelur (oviparus). Telur mempunyai operculum (kecualiSchistosoma).  System reproduksi berkembang sempurna. Alat genital terletak di antara kedua percabangan intestine, Hidup sebagai parasit 

Daur Hidup
  • Cacing dewasa hidup di dalam tubuh definitif. Telur diletakkan di saluran hati, rongga usus, paru,pembuluh darah atau di jaringan tempat cacing hidup dan telur biasanya keluar besama tinja, dahak atau urin. 
  • Pada umumnya telur berisi sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium (M) yang mempunyai bulu getar. Di dalam air telur menetas bila sudah mengandung mirasidium (telur matang). Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur berisi sel telur, telur akan menjadi matang dalam waktu kurang lebih 2 – 3 minggu. 
  • Pada beberapa spesies Trematoda, telur matang menetas bila ditelan keong (hospes perantara) dan keluarlah mirasidium yang masuk ke dalam jaringan keong; atau telur dapat langsung menetas dan mirasidium berenang di air; dalam waktu 2 jam mirasidium harus sudah menemukan keong air agar dapat melanjutkan perkembangannya. Keong air disini berfungsi sebagai hospes perantara pertama (HP I). Dalam keong air tersebut mirasidium berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi embrio, disebut sporokista (S). Sporokista ini dapat mengandung sporokista lain atau redia (R); bentuknya berupa kantung yang sudah mempunyai mulut, faring dan sekum. Di dalam sporokista II atau redia (R), larva berkembang menjadi serkaria (SK).
Perkembangan larva dalam hospes perantara I mungkin terjadi sebagai berikut :

M → S → R → SK : misalnya Clonorchis sinensis

M → S1→ S2 → SK : misalnya Schistosoma

M → S →R1 → R2 → SK : misalnya trematoda lainnya

Serkaria kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II yang berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu dan keong air lainnya, atau dapat menginfeksi hospes definitif secara langsung seperti pada Schistosoma. Dalam hospes perantara II serkaria berubah menjadi metaserkaria perantara II serkaria berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Hospes definitif mendapat infeksi bila makan hospes perantara II yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik. Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes definitif, yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes.

Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokasi cacing di dalam tubuh hospes; selain itu juga ada pengaruh rangsangan setmpat dan zat toksin yang dikeluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorpsi zat toksin tersebut, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Cacing lain. Cacing daun yang hidup di rongga usus biasanya tidak memberi gejala atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Bila cacing hidup di jaringan paru seperti paragonimus, mungkin menimbulkan gejala batuk, sesak napas dan mungkin terjadi batuk darah (hemoptisis). Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis dan fasciola dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, dapat menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainnya adalah peradangan hati sehingga terjadi hematomegali. Bila ini terjadi berlarut-larut, dapat mengakibatkan sirosis hati. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, ternyata terutama telurnya menimbulkan kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya terjadi fibrosis jaringan alat yang diinfiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus, dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan alat lain.

MACAM-MACAM TREMATODA HATI CIRI SINGKATNYA

TREMATODA HATI

Trematoda dikenal juga sebagai cacing isap. Istilah Trematoda berasal dari bahasa yunani Trematodaes yang berarti punya lobang, bentuk tubuh pipih dorso ventral seperti daun. Menurut The Animal Diversity, anggota kelas trematoda diperkirakan berjumlah  9000 spesies, sedangkan menurut Zoolab University of Wisconsin, jumlah spesies kelas trematoda berjumlah 8000. Disebut trematoda hati karena cacing parasit  ini dewasanya hidup di hati hostnya atau inangnya.

Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan ikterus (penyakit kuning) dan akibat lainnya bisa berupa hepatomegali atau pembesaran hati .

Berikut ini ada tiga jenis Genus dari trematoda hati yang sering ditemukan
  • Opistorchis
  • Clonorchis 
  • Fasciola hepatica (Cacing hati)
Clonorchis sinensis (Chinese liver fluke)
  • Cacing ini pertama ditemukan di Kalkuta India pada seorang tukang kayu suku cina pada tahun 1875. Infeksi lain ditemukan di Hong-Kong dan Jepang. Dewasa ini diketahui bahwa “chinese liver fluke” tersebar secara luas di Jepang, Korea, Cina, Taiwan dan Vietnam. Diperkirakan sekitar 19 juta orang terinfeksi cacing di Asia Timur tahun 1947, yang mungkin akan menjadi lebih banyak lagi dewasa ini. Cacing berukuran panjang 8-25 mm dan lebar 1,5-5 mm.
Hospes dan Nama Penyakit
  • Manusia, kucing, anjing, beruang kutub dan babi merupakan hospes parasit ini. Penyakit yang disebabkannya disebut klonorkiasis.
Distribusi Geografik
  • Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea dan vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autokton.
Morfologi dan Daur Hidup
  • Cacing dewasa hidup di saluran empedu hati, kadang-kadang juga ditemukan di saluran pankreas dan memproduksi telur sampai 4000 butir/hari sampai 6 bulan. Ukuran cacing dewasa 10 – 25 mm x 3 – 5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira-kira 30 – 16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu. 
  • Telur yang telah masak berwarna kuning coklat dan akan menetas bila dimakan oleh siput Parafossarulus manchouricus yang merupakan hospes intermedier ke 1. Telur menetas keluar meracidium yang akan berubah menjadi sporocyst yang menempel pada dinding intestinum atau organ lain siput dalam waktu 4 jam setelah infeksi. Sporocyst memproduksi redia dalam wakti 17 hari, dan setiap redia memproduksi 5-50 cercaria. Cercaria mempunyai 2 titik mata dan ekor, kemudian keluar dari siput berenang dalam air menuju permukaan dan kemudian tenggelam kedasar air. Perkembangan larva dalam keong air adalah sebagai berikut : M → S → R → K
  • Bila menemukan ikan sebagai hospes intermedier ke 2, cercaria akan menempel pada epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian menanggalkan ekornya dan menempus kulit ikan dan membentuk cyste dibawah sisik ikan tersebut menjadi metacercaria. Banyak spesies ikan yang menjadi hospes intermedier ke 2 dari C. sinensis ini terutama yang termasuk dalam famili Cyprinidae. Metacercaria juga dapat menginfeksi jenis krustacea (udang) seperti: Carindina, Macrobrachium dan Palaemonetes. Hospes definitif (orang) akan terinfeksi oleh cacing ini bila makan ikan/udang secara mentah-mentah/dimasak kurang matang.
  • Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Hewan yang dapat terinfeksi C. sinensis ini adalah Manusia, babi, anjing, kucing, tikus dan unta. Hewan laboratorium seperti kelinci dan marmot sangat peka terhadap infeksi cacing ini. Metacercaria menjadi cacing muda pada dinding duodenum dan bermigrasi ke hati melalui saluran empedu. Cacing muda ditemukan didalam hati dalam waktu 10-40 jam setelah infeksi (pada hewan percobaan). Cacing tumbuh menjadi dewasa dan memproduksi telur dalam waktu sekitar 1 bulan, selanjutnya telur dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja. Sedangkan daur hidup secara komplit dalam waktu 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup selama 8 tahun pada tubuh orang.
 
Daur hidup Clonorchis sinensis
 
Daur hidup Clonorchis sinensis (Chinese liver fluke)

TREMATODA HATI

Opistorchis felineus

Sejarah
  • Opisthorchis felineus adalah trematoda parasit yang menginfeksi hati pada mamalia. Opisthorchis felineus pertama kali ditemukan pada tahun 1884 di liver kucing oleh Sebastiano Rivolta Italia. Pada tahun 1891, ilmuwan Rusia KN Vinogradov menemukan infeksi cacing ini pada manusia, dan diberinama parasit "Siberia cacing hati". Pada 1930, helminthologist Hans Vogel dari Hamburg menerbitkan sebuah artikel yang menjelaskan siklus hidup Opisthorchis felineus .
Hospes dan Nama Penyakit
  • Kucing, anjing dan manusia merupakan hospes penyakit ini. Penyakit yang disebabkan parasit ini disebut opistorkiasis. Penyakit opistorkiasis dapat memberikan gangguan pada hati , pankreas , dan kandung empedu . Jika tidak diobati pada tahap awal, Penyakit opistorkiasis dapat menyebabkan sirosis pada hati dan peningkatan risiko kanker hati , kadang penyakit ini asimtomatik pada anak-anak
Penyebaran Geografik
  • Parasit ini ditemukan di Eropa Tengah, Selatan dan Timur, Asia, Vietnam dan India.
Morfologi dan Daur Hidup
  • Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu dan saluran pankreas. Cacing dewasa berukuran 7 – 12 mm, mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral. Telur Opistorchis mirip telur C.sinensis, hanya bentuknya lebih langsing. 
  • Daur hidup Opisthorchis felineus melibatkan dua host intermediet. Yang pertama "host intermediate" parasit cacing ini adalah siput air tawar dari genus Bitinia yaitu Bitinia inflata (sinonim: Codiella inflata ), Bitinia troschelii dan Bitinia leachii .  Yang kedua "host intermediate" adalah ikan air tawar, dan yang terakhir host mamalia seperti Kucing, anjing dan manusia.
  • Telur cacing keluar bersama dengan tinja host akhir mencapai air dan jatuh ke bawah dan dimakan oleh siput genus Bitinia sebagai host intermediet yang pertama . Di dalam siput telur menetas keluar  miracidium, meracidium yang akan berubah menjadi sporocyst, sporocysts dan berkembang biak secara aseksual menjadi serkaria. Serkaria meninggalkan siput dan berenang di air kemudian dimakan oleh ikan yang cocok sebagai hospes intermedier ke 2,  serkaria akan menempel pada epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian menanggalkan ekornya dan menempus kulit ikan dan membentuk cyste dibawah sisik ikan tersebut menjadi metacercaria. Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Hewan yang dapat terinfeksi C. sinensis ini adalah Manusia, rubah, anjing, kucing. Selanjutnya metaserkaria ini masuk keperut host mamalia, di perut host, cacing muda bermigrasi melalui saluran empedu ( ductus choledocus ) menuju ke hati, menjadi dewasa dan bertelur, selanjutnya telur dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinjaPeriode prepaten pada host mamalia berlangsung 2 sampai 4 minggu. 
  • Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria dan dimasak kurang matang.
 
Daur hidup pistorchis felineus
 
Daur hidup pistorchis felineus

TREMATODA HATI

Opistorchis viverrini
  • Daerah endemi ditemukan di Muangthai. Karena tidak ada di Indonesia, maka cacing ini tidak akan dibahas secara terperinci
  • Morfologi dan daur hidup cacing ini mirip Opistorchis fenineus . Infeksi terjadi dengan makan ikan mentah yang mengandung metaserkaria.
  • Di daerah Muangthai timur laut ditemukan banyak penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis. Hal ini juga diduga karena ada peradangan kronik saluran empedu dan selain itu berhubungan juga dengan cara pengawetan ikan yang menjadi hospes perantara O.iverrini.

TREMATODA HATI

Fasciola hepatica

Hospes dan Nama Penyakit
  • Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi. Kadang-kadang parasit ini dapat ditemukan pada manusia. Penyakit yang ditimbulkan disebut fasioliasis.
  • Habitat utamanya di hati rnaka dikenal dengan nama cacing hati. Ada tiga cara larva infektif cacing hati setelah masuk ke dalam tubuh sampai ke organ hati hewan yang terinfeksi. Pertama ialah ikut bersama aliran darah, kemudian menembus kapiler darah, terus ke vena porta dan akhirya sampai ke hati. Kedua, dari lambung (abomen) menembus mucosa usus (duodenum), ke saluran empedu dan akhirnya sampai ke parenkhim hati. Ketiga, yang umum terjadi adalah setelah menembus usus menuju peritonium, lalu menembus kapsula hati yang akhimya sampai ke hati (Arifin, 2006). selain itu, habitat lain dari cacing hati ini adalah pada kaki siput, namun yang paling umum adalah terdapat pada hati hewan ruminansia seperti domba, sapi, kambing, dan juga dapat menginfeksi kedalam tubuh manusia.
Penyebaran Geografik
  • Di Amerika Latin, Perancis dan negara-negara sekitar Laut Tengah banyak ditemukan kasus fasioliasis pada manusia. Cacing ini banyak menyerang hewan yang biasanya memakan rumput yang tercemar metacercaria, tetapi dapat juga menyerang manusia. Cacing ini termasuk cacing daun atau trematoda hati yang besar dengan ukuran 30 mm panjang dan 13 mm lebar.
  • Menurut Suweta (1985) berpendapat bahwa faktor - faktor yang berperan di dalam  epidemiologi cacing tersebut adalah : Luasnya wilayah penyebaran telur cacing hati di lapangan oleh pencemaran ternak peliharaan dan binatang menyusui lainnya, Kondisi lingkungan tempat tersebarnya telur cacing, Penyebaran siput hospes intermedier di lapangan dan situasi/kondisi lapangan tempat tersebarnya siput, Tingkat perkembangan cacing di dalam tubuh siput dan jumlah serkaria yang  dapat berkembang sampai siap keluar tubuh siput, Jumlah serkaria dan kondisi lapangan tempat tersebarnya serkaria, Cara menggembalakan ternak
Morfologi dan Daur hidup
  • Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 – 13 mm. Pada bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang. Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu hospes definitif (terutama ruminansia kadang juga orang). Cacing bertelur dan keluar melalui saluran empedu dan keluar melalui feses.
  • Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9 – 15 hari dan berisi merasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar dan mencari mencari hospes intermedier yaitu keong air (siput Lymnea rubiginosa), dalam keong air terjadi perkembangan : M → S → R1 → R2 → SK
  • Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam lambung binatang yang memakan tumbuhan air tersebut dan larvanya masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa.
  • Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria. Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan, sehingga menimbulkan sirosis periportal.
 
Daur hidup Fasciola hepatica
 
Daur hidup Fasciola hepatica

DAFTAR PUSTAKA
  1. Gandahusada, Srisasi, dkk. 1996. Parasitologi Kedokteran. 2nd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
  2. Irianto Koes. 2009. Panduan Praktikum Parasitologi Dasar. Bandung : YramaWidya
  3. Parija SC. Textbook of Medical Parasitology. In: Protozoology and Helminthology. 4 ed. New Delhi: All India: Publishers and Distributers; 2013.
  4. Singh TS, Sugiyama H, Umehara A, Hiese S, Khalo K. Paragonimus heterotremus infection in Nagaland: A new focus of Paragonimiasis in India. Indian J Med Microbiol. Apr-Jun 2009;27(2):123-7.
  5. Lun ZR, Gasser RB, Lai DH, Li AX, Zhu XQ, Yu XB, et al. Clonorchiasis: a key foodborne zoonosis in China. Lancet Infect Dis. Jan 2005;5(1):31-41.