WASPADAI KANKER DARAH PADA ANAK (Leukimia Limfositik akut)

LEUKEMIA LIMFOSITIK AKUT




Pendahuluan


1.    Latar Belakang
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sum-sum tulang, ditandai oleh proliferasai sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Leukemia adalah proliferasi patologi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal.
Penyakit ini perlu mendapat perhatian karena leukemia merupakan keganasan yang terbanyak pada anak, diseluruh dunia mencapai 30-40% dari seluruh keganasan anak. Mencapai lebih kurang 33% dari keganasan pediatrik. Leukemia limfoblasik akut (LLA) berjumlah kira-kira 75% dari semua kasus. Dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun. Leukimia mieloid akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari leukimia. Dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun. Meningkat sedikit pada masa remaja. Leukimia sisanya adalah bentuk kronis: leukimia limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan pada anak. Insidensi tahunan keseluruhan dari leukimia adalah 42,1 tiap juta anak kulit putih dan 24,3 tiap juta anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh rendahnya kejadian LLA pada kulit hitam. Gambaran klinis umum dari leukimia adalah serupa karena semuanya melibatkan kerusakan hebat fungsi sumsum tulang. Tetapi, gambaran klinis dan laboratorium spesifik berbeda dan ada perbedaan dalam respon terhadap terapi dan perbedan dalam prognosis.

Setiap ditegakkan diagnosis leukemia baru pada seorang penderita, akan membawa banyak dampak permasalahan, diantaranya kesiapan mental/psikologi, dana, perawatan yang lama, kekhawatiran tidak bisa sembuh, dan komplikasi penyakit atau pengobatan. Dampak tersebut bukan hanya harus dihadapi orang tua/ keluarga penderita, tetapi juga oleh pihak petugas medis/ para medis, rumah sakit serta pihak-pihak lain yang terkait, sehingga perlu dilakukan berbagai usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut.

2.    Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui etiologi, epidemiologi, penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan dari penyakit leukimia limfositik akut.



       I.            Pemeriksaan
1.        Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain (Allo anamnese). 80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnesis.
Tujuan anamnesis yaitu untuk mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai kondisi pasien, membantu menegakkan diagnosa sementara. Ada beberapa kondisi yang sudah dapat ditegaskan dengan anamnesis saja, membantu menentukan penatalaksanaan selanjutnya.
Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis dimulai dengan mencari keterangan mengenai nama, alamat, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya. Keterangan yang didapat ini kadang sudah memberi petunjuk permulaan kepada kita.
Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut:
1)       Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan diagnosis)
2)     Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan pasien (diagnosis banding)
3)     Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor predisposisi dan faktor risiko)
4)     Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5)     Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6)     Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan diagnosisnya
Pertanyaan yang ditanyakan kepada pasien diantaranya adalah:
  • Keluhan Utama
Keluhan utama adalah alasan utama yang menyebabkan pasien memeriksakan diri atau dibawa keluarganya ke dokter atau rumah sakit. Keluhan utama merupakan titik tolak penelusuran informasi mengenai penyakit yang diderita pasien. 

  • Riwayat Penyakit Sekarang 
Perjalanan penyakit sangat penting diketahui. Ditentukan kapan dimulainya perjalanan penyakit yang dimulai dari kapan saat terakhir pasien merasa sehat. Pernyataan terakhir penting, karena sering kali yang disampaikan pasien dalam keluhan utamanya tidak menggambarkan dimulainya penyakitnya, tetapi lebih berhubungan dengan munculnya kondisi yang dirasakan mengganggunya. Demam, misalnya, akan dikeluhkan setelah dirasakan meninggi, karenanya untuk keluhan demam seorang dokter harus menggali informasi kapan saat pertama pasien merasa suhu tubuhnya meningkat, walaupun belum dirasakan cukup mengganggu. Khusus untuk demam kurang dari satu minggu, bahkan dokter harus mampu menentukan pernyataan yang meyakinkan dan tajam dengan menyebut “demam hari ke berapa” dan bukannya “demam sekian hari”.

  • Faktor Risiko dan Faktor Prognostik
            Faktor risiko adalah faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya suatu penyakit, sedangkan faktor prognostik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan suatu penyakit atau hasil pengobatan penyakit. Faktor risiko dan faktor prognostik dapat berasal dari pasien, keluarganya maupun lingkungan.
Faktor risiko pada pasien anak ditentukan dengan melakukan anamnesis riwayat pribadi seperti riwayat perinatal, riwayat nutrisi, riwayat pertumbuhan dan perkembangan serta riwayat penyakit yang pernah diderita. Riwayat imunisasi juga perlu dieksplorasi, untuk menduga imunitas pasien. Riwayat penyakit keluarga juga diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit yang diturunkan atau ditularkan.

2.        Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan KGB
Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya didaerah submandibular, ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat.
Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya.
Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher disease).
Dengan mengetahui lokasi pembesaran KGB maka kita dapat mengerahkan kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.
Saluran limfe 
Terdapat dua batang saluran limfe utama, ductus thoracicus dan batang saluran kanan. Ductus thoracicus bermula sebagai reseptakulum khili atau sisterna khili di depan vertebra lumbalis. Kemudian berjalan ke atas melalui abdomen dan thorax menyimpang ke sebelah kiri kolumna vertebralis, kemudian bersatu dengan vena-vena besar di sebelah bawah kiri leher dan menuangkan isinya ke dalam vena-vena itu. 
Ductus thoracicus mengumpulkan limfe dari semua bagian tubuh, kecuali dari bagian yang menyalurkan limfenya ke ductus limfe kanan (batang saluran kanan). 
Ductus limfe kanan ialah saluran yang jauh lebih kecil dan mengumpulkan limfe dari sebelah kanan kepala dan leher, lengan kanan dan dada sebelah kanan, dan menuangkan isinya ke dalam vena yang berada di sebelah bawah kanan leher.
Sewaktu suatu infeksi pembuluh limfe dan kelenjar dapat meradang, yang tampak pada pembengkakan kelenjar yang sakit atau lipat paha dalam hal sebuah jari tangan atau jari kaki terkena infeksi.
Fungsi
1. Mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi darah.
2. Mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah.
3. Untuk membawa lemak yang sudah dibuat emulsi dari usus ke sirkulasi darah. Saluran limfe yang melaksanakan fungsi ini ialah saluran lakteal.
4. Kelenjar limfe menyaring dan menghancurkan mikroorganisme untuk menghindarkan penyebaran organism itu dari tempat masuknya ke dalam jaringan, ke bagian lain tubuh.
5. Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat anti (antibodi) untuk melindungi tubuh terhadap kelanjutan infeksi.
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening:
KGB dan daerah sekitarnya harus diperhatikan. Kelenjar getah bening harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal.
Ukuran: normal bila diameter <1cm (pada epitroclear >0,5cm dan lipat paha >1,5cm dikatakan abnormal)
Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan
Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan, padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah terjadinya abses/pernanahan
Penempelan/bergerombol: beberapa KGB yang menempel dan bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis, keganasan.
Pemeriksaan system pemubuluh limfe
1.      Inspeksi
·         Leher, ruang supraklavikuler dan aksila
2.      Palpasi
·         Submandibula
·         Rantai kelenjar servikal anterior dan posterior
·         Kelenjar limfe inguinal dan lien
Perhatikan : fiksasi, tekstur, tanda-tanda tumor, perdarahan atau infeksi.
Pembuluh limfe dapat terserang penyakit di mana saja. Seluruh kulit mengandung pembuluh limfe. Jika meradang, terlihat sebagai garis merah terang, biasa berjalan memanjang. Jika tersumbat secara akut akan terasa nyeri. Bila kronis, tidak nyeri.
Infeksi, leukemia dan limfoma merangsang dan melibatkan system ini. Bila menemukan limfadenopati difus, carilah adanya splenomegali. Kemudian carilah tanda-tanda perdarahan atau rendahnya jumlah trombosit, petekia dan ekimosis.
Pemeriksaan Hepar
Palpasi Hepar:
Letakkan tangan kiri di belakang pinggang menyangga kosta ke 11 & 12 dengan posisi sejajar dengan kosta, ajurkan pasien untuk rileks, tangan kanan mendorong hepar ke atas dan kedalam dengan lembut.
Anjurkan pasien inspirasi dalam  & rasakan sentuhan hepar saat inspirasi, jika teraba sedikit kendorkan jari & raba permukaan anterior hepar
Normal hepar : lunak tegas, tidak berbenjol-benjol
Perkusi hepar
Digunakan patokan 2 garis, yaitu:
1) Garis yang menghubungkan pusar dengan titik potong garis mid calvicula kanan dengan arcus aorta
            2) Garis yang menghubungkan pusar dengan processus kifoideus
Pembesaran hati diproyeksikan pada kedua garis ini dinyatakan dengan beberapa bagian dari kedua garis tersebut. ( 1/3 – ½ ). Harus pula dicatat  :  Konsistensi, tepi, permukaan dan terdapatnya nyeri tekan

Pemeriksaan Limpa
Pada neonates, normal masih teraba sampai 1 – 2 cm. Dibedakan dengan hati yaitu dengan:
            1) Limpa seperti lidah menggantung ke bawah
            2) Ikut bergeerak pada pernapasan
Mempunyai insura lienalis, serta dapat didorong kearah medial, lateral dan atas. Besarnya limpa diukur menurut SCHUFFNER, yaitu : garis yang menghubungkan titik pada arkus kosta kiri dengan umbilikus (dibagi 4) dan garis ini diteruskan sampai SIAS kanan yang merupakan titik VIII. Garis ini digunakan untuk menyatakan pembesaran limpa. Garis ini diteruskan kebawah sehingga memotong lipat paha. Garis dari pusat kelipat paha pun dibagi 4 bagian yang sama. Limpa yang membesar sampai pusar dinyatakan sebagai S.IV sampai lipat paha S.VIII.

Pemeriksaan Tanda Vital
Nilai standar untuk mengetahui batas normal suhu tubuh manusia dibagi menjadi empat yaitu :
  • Hipotermi, bila suhu tubuh kurang dari 36°C
  • Normal, bila suhu tubuh berkisar antara 36 - 37,5°C
  • Febris / pireksia, bila suhu tubuh antara 37,5 - 40°C
  • Hipertermi, bila suhu tubuh lebih dari 40°C

Rata-rata pernapasan normal pada anak :
1.      <2 bulan : < 60/mnt
2.      2-12 bulan : < 50/mnt
3.      1-5 tahun : < 40/mnt
4.      6-8 tahun : < 30
Tekanan nadi normal pada anak :
1.      2-12 bulan: <160/mnt
2.      1-2 tahun : < 120/ mnt
3.      2-8 tahun : <110 / mnt

3.        Pemeriksaan penunjang
A.    Pemeriksaan laboratorium
              1.  Darah tepi
Gejala yang terlihat berdasarkan kelainan sum-sum tulang yaitu berupa pansitopenia, 
limfositosis yang kadang-kadanag menyebabkan gmabaran darah tepi monoton dan 
terdapatnya sel blast.
2.      gmabaran darah tepi monoton dan terdapatnya sel blast.
           Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton, yaitu hanya 
           terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan system lain terdesak.

Pemeriksaan lain:
a. Biopsi limfa
b. kimia darah
c. cairan serebrospinalis
d. sitogenetik




Working diagnose

Berdasarkan gejala – gejala yang timbul pada pasien dalam skenario, pasien tersebut menderita leukemia limfositik akut.

    II.            Differential diagnose

1.  1.    Leukemia Mielogenus Akut (LMA)
LMA mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid; monosit, granulosit (basofil, netrofil, eosinofil), eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena. Insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.

2.  2.    Leukemia Mielogenus Kronis (LMK)
LMK juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namu lebih banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. LMK jarang menyerang individu dibawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran LMA tetapi dengan tanda dan gejala yang lebih ringan. Pasien menunjukkan tanpa gejala selama bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.
3.  3.    Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
LLK merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 – 70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala. Penyakit baru terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit.


 III.            Epidemiologi
Leukemia limfositik akut banyak ditemukan pada anak dibawah usia 10 tahun dimana usia <1 tahun (3%), 1- 9 tahun (72%), >10 tahun (25&). Kasus LLA lebih banyak ditemukan pada kulit putih (89%) dibandingkan kulit hitam (11%). Insidensi LLA pada jenis kelamin laki-laki (59%) tidak terlalu berbeda dengan perempuan (41%).

 IV.            Patofisiologi
Karsinogenesis: Dasar Molekular Kanker
·         Kerusakan genetic nonletal merupakan hal sentral dalam karsinogenesis. Kerusakan(atau mutasi) genetic semacam ini mungkin didapat akibat pengaruh lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, atau virus, atau diwariskan dalam sel germinativum. Hipotesis genetic pada kanmker mengisyaratkan bahwa massa tumor terjadi akibat ekspansi klonal satu sel progenitor yang telah mengalami kerusakan genetic(yaitu tumor bersifat monoclonal). Pendapat ini telah terbukti pada sebagian besar tumor yang dianalisis. Klonalitas tumor mudah dinilai pada perempuan yang bersifat heterozigot untuk berbagai penanda terkait-X polimorfik, sperti enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase atau restriction fragment length polymorphism terkait-X.
·         Tiga kelas gen regulatorik normal-protoonkogen yang mendorong pertumubuhan gen penekan kanker (tumor suppressor gene) yang menghambat pertumbuhan; dan gen yang mengatur kematian sel terencana (programmed cell death) atau apoptosis—mutan protoonkogen disebut onkogen. Alel ini dianggap dominan karena menyebabkan trasnoformasi sel walaupun pasangan/padanan normalnya ada. Sebaliknya, kedua alel normal pada gen penekan tumor harus mengalami kerusakan sebelum transformasi dapat berlangsung sehingga kelompok gen ini kadang-kadang disebut sebagai onkogen resesif. Gen yang mengendalikan apoptosis mungkin dominan,seperti potoonlogen, atau berpreilaku sebagai gen penekan tumor.
·         Selain ketiga kelas gen yang disebutkan di atas, katehori gen keempat, yaitu gen yang mengatur perbaikan DNA yang rusak, berkaitan dengan karsinogenesis. Gen yang memperbaiki DNA memengaruhi proliferasi atau kelangsungan hidup sel secara tidak langsung dengan memengaruhi kemampuan organism memperbaiki kerusakan nonletal di gen lain, termasuk protoonkogen, gen penekan tumor, dan gen yang mengendalikan apoptosis. Kerusakan pada gen yang memperbaiki DNA dapat memudahkan terjadinya mutasi luas di genom dan transformasi neoplastik,.
·         Karsinogenesis adalah suatu proses banyak tahap, baik pada tingkat fenotipe maupun genotype. Suatu neoplasma ganas memiliki beberapa sifat fenotipik, misalnya pertumbahan berlebihan, sifat invasive local, dan kemampuan metastasis jauh, sifat ini diperoleh secara bertahap, suatu fenomena yang disebut tumor progression. Pada tingkat molecular progreso ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetic yang apda sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA. Perubahan genetic yang mempermudah tumor progression melibatkan tidak saja gen pengendali pertumbuhan, tetapi juga gen yang mengendalikan angiogenesis, invasi, dan metastasis. Sel kanker juga harus melewatkan proses penuaan normal yang membatasi pembelahan sel.

Teori umum tentang patofisiologi leukemia adalah bahwa satu sel induk mutan, mampu memperbaharui diri secara tidak terhingga, menimbulkan prekusor hematopoietic berdiferensiasi buruk maligna yang membelah diri pada kecepatan yang sama atau lebih lambat daripada pasangannya yang normal. Pada studi glukosa 6-fosfat dehidrogenase, perkembangan uniseluler dari neoplasma telah diperlihatkan dengan menumakan satu jenis G6PD dalam sel ganas dari pasien heterozigot yang memiliki pola enzim ganda dalam jaringan normal mereka. Penentuan pola metilasi dari polimorfisme panjang-fragmen-restriksi yang terkait-X  pada perempuan heterozigot merupakan metode sensitive lain dalam prinsip analisis yang sama. Akumulasi sel blas menghambat produksi normal granulosit, eritrosit, dan trombosit, sehingga mengakibatkan infeksi, anemia, dan perdarahan. Sel leukemia dapat menginfiltrasi setiap organ dan menyebabkan pembesaran dan gangguan fungsi organ tersebut.
Genetika molecular mengenal beberapa mekanisme genetic pada leukemogenesis, seperti:
1.      Disregulasi proto-onkogen seluler oleh jukstaposisinya terhadap elemen pengatur pada gen jaringan(missal, diseregulasi c-myc oleh gen Ig pada ALL sel-B dengan t[8;14], t[8;22], atau t[2;8].
2.      Fusi gen pada taut translokasi yang membangkitkan protein chimeric dengan mengubah isis(missal, fusi protein E2A-PBX1 pada kromosom Philadelphia-leukemia positif).
3.      Aktivasi gen yang mencegah kematian sel yang terprogram(apoptosis; ekspresi BCL-2).
4.      Hilangnya fungsi gen supresor pada tumor(missal, retinoblastoma dan gen p53)t6gy6g.
Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologik, imunologi, dan genetic sel induk leukemia. Diagnosis psati biasanya didasarkan atas pemeriksaan aspirasi sumsum tulang. Gambaran sitologik sel induk amat bervariasi walaupun dalam satu cuplikan tunggal, sehingga tidak ada klasifikasi morfologik yang memuaskan. Sistem FAB, membedakan tiga subtype morfologik L1, L2, dan L3. Pada lomfoblas L1 umum nya kecil dengan sedikit sitoplasma; pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan sitplasma lebih banyak, bentuk inti irregular, dan nucleoli nyata; dan sel L3 mempunyai kromatin inti homogeny dan berbintik halis, nucleoli jelas, dan sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi nyata. Karena perbedaan yang subjektif antara blas L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda imunologik dan genetic yang sedikit, hanya subtype L3 yang mempunyai arti klinis.
Klasifikasi LLA bergantung kepada kombinasigambaran sitologik, imunologik, dan kariotip. Dengan antibody monoclonal yang mengenali antigen permukaan sel yang terkait dengan galur sel dan antigen sitoplasma, maka imunotipe dapat ditntukan pada kebanyakan kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor-B; lebih kurang 15% berasal dari sel progenitor-T; dan 1% dari sel B yang relative matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostic maupun terapeutik.

    V.            Etiologi
Penyebab yang pasti dari leukemiabelum diketahui, tetapi terdapat factor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :
1.         Factor genetic
Penderita sindrom Down memiliki insidensi leukimia akut 20 kali lebih besar dari orang normal. Pada kembar identik bila salah satu menderita leukemia maka kembarannya beresiko menderita leukemia pula dalam 5 tahun, dan insiden leukemia pada saudara kandung meningkat 4 kali bila salah satu saudaranya menderita leukemia
2.         Radiasi
Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA dan LMA. Tidak ada laporan mengenai hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang mendukung :
·      Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukimia.
·      Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukimia.
·      Leukimia ditemui pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
3.         Obat-obat imunusupresif, obat-obat karsinogenik seperti : dietilstildestro
4.         Virus
Virus tertentu yang dapat menyebabakan terjadinya perubahan struktur gen (T cell luekimia lymphoma virus/HTLT)

 VI.            Tanda dan gejala

Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:
1.      Pilek tak sembuh-sembuh
2.      Pucat, lesu, mudah terstimulasi
3.      Demam, anoreksia, mual, muntah
4.      Berat badan menurun
5.      Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab
6.      Nyeri tulang dan persendian
7.      Nyeri abdomen
8.      Hepatosplenomegali, limfadenopati
9.      Abnormalitas WBC
10.  Nyeri kepala
Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:
  1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
    1. Ditemukan sel blast yang berlebihan
    2. Peningkatan protein
  2. Pemeriksaan darah tepi
    1. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
    2. Peningkatan asam urat serum
    3. Peningkatan tembaga (Cu) serum
    4. Penurunan kadar Zink (Zn)
    5. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif
  3. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut
  4. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
  5. Sitogenik:50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
    1. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
    2. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
    3. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil
VII.            Penatalaksanaan

1.      Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberi¬kan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda tanda DIC dapat dibe¬rikan heparin.
2.      Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir¬nya dihentikan.
3.      Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6 merkaptopurin atau 6 mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama sama dengan prednison. Pada pemberian obat obatan ini sering terdapat akibat samping beru¬pa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
4.      Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
5.      Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter¬capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti¬kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
6.      Cara pengobatan.Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalaman¬nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:

- Induksi Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berbagai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam¬pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
- Konsolidasi Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
- Rumat (maintenance) Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat dapatnya suatu masa remisi yang lama.Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
- Reinduksi Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3 6 bulan dengan pemberian obat obat seperti pada induksi selama 10 14 hari.
- Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat. Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400¬2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb¬ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f.       Pengobatan imunologik Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.

7.      3 fase Pelaksanaan Kemoterapi:
1.      Fase Induksi
Dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan di dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kuurang dari 5%.
2.      Fase profilaksis sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine, dan hydrocortison melalui intratekal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat.
3.      Konsolidasi
Pada fase ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.

VIII.            Komplikasi
Komplikasi metabolic pada anak dengan ALL dapat disebabkan oleh lisis sel leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat mengancam jiwa pasien yang memiliki beban sel leukemia yang besar. Terlepasnya komponen intraseluler dapat menyebabkan hiperurisemia sekunder. Beberapa pasien dapat menderita nefropati asam urat atau nefrokalsinosis. Jarang sekali timbul urolitiasis dengan obstruksi ureter setelah pasien diobati untuk leukemia. Hidrasi, pemberian alupurinol dan alumunium hidroksida, serta penggunaan alkalinisasi urin yang bijaksana dapat mencegah atau memperbaiki komplikasi ini. Infiltrasi leukemik yang difus pada ginjal juga dapat menimbulkan kegagalan ginjal. Terapi vinkristin atau siklofosfamid dapat mengakibatkan peningkatan hormone antidiuretik, dan pemberian antibiotika terteni yang mengandung natrium, seperti tikarsilin atau karbenisilin, dapat mengakibatkan hipokalemia. Hiperglikemia terjadi pada 10% pasien setelah pengobatan dengan prednisone dan asparaginasi dan memerlukan penggunaan insulin jangka pendek.
Karena efek mielosupresif dan imunosupresif penyakit itu dan juga kemoterapi, anak yang menderita leukemia loebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini bervariasi dengan pengobatan dan fase penyakit. Infeksi yang paling awal ada lah bakteri, yang dimanifestasikan oleh sepsis, pneumonia, selulitis, dan otitis media. Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klebsiella penumoniae, Staphylococcus epidermidis, Proteus mirabilis, dan Haemophilus influenza adalah organism yang biasanyta menyebabkan sepsis. Setiap pasien yang mengalami febris dengan granulositopenia yang berat harus dianggap septic dan dibotai dengan antibiotika spectrum luas. Transfuse granulosit diindikasikan untuk pasien dengan granulositopenia absolute dan septicemia akibat kuman gram begatif yang berespons buruk terhadap pengobatan.
Dengan pengobatan kemoterapi yang intensif dan pemajanan antibiotika atau hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh Candida atau Aspergillus lebih sering terjadi, meskipun oirganisme itu sulit dibiakkan dari bahan darah. Pemindaian CT scan bermanfaat untuk mengetahui keterlibatan organ viscera. Abses paru, hati, limpa, ginjal, sinus, atau kulit member kesan infeksi jamur. Diagn osisnya biasanya dapat ditegakkan dengan menemukan organism bersangkutan dalam sampe biopsy.; amfoterisin B adalah pengobatan pilihan, dengan 5-Fluorositosin dan rifampisin kadangkala ditambahkan iuntuk memperkuat efek obat tersebut.
Pneumonia Pneumocystis carinii yang timbul selama remisi merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada masa lalu, tetapi sekarang telah jarang karena adanya kemoprofilaksis rutin dengan trimetroprim-sulfametoksazol. Infeksi virus pada penderia leukemia terutama yang disebabkan oleh virus varisela, sitomegalovirus, virus herpes simpleks, dan virus campak, mungkin besar sekali. Asiklovir merupakan pengibatan pilihan untuk pasien yang menderita infeksi arisela atau virus herpes simpleks. Dewasa ini, terapi gabungan antara gansilovir dengan Imunoglobulin sitomegalovirus telah digunakan untuk mengobati infeksi sitomegalovirus. Immunoglobulin zoster yang diberikan dalam 96 jam pemakanan biasanya akan mencegah atau memodifikasimaifestasi klinis varisela. Vaksin yang mengandung virus carisela yang dilemahkan telah diberikan dengan aman pada anak yang menerima kemoterapi untuk leukemia dan menimbulkan imunitas terhadap cacar air yang bertahan selama lebih dari 3 tahun. Karena penderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi, vaksin yang mengandung virus hidup (polio, mumps, campak, rubella) tidak boleh diberikan.
Karena adanya trombositopenia yang disebabkan oleh leukemia atau pengobataannya, manifestasi perdarahan adalah umum tetapi biasanya terbatas pada kulit dan membrane mukosa. Manifestasi perdarahan pada system saraf pusat, paru, atau saluran cerna jarang terjadi tetapi dapat mengancam jiwa pasien. Transfuse dengan komponen trombosit diberikan untuk episode perdarahan. Koagulopati akibat koagulasi intravascular diseminata, gnagguan fungsi hati, atau kemoterapi pada ALL biasanya ringan. Dewasa ini, thrombosis vena perifer atau serebral, atau keduanya, telah dijumpai pada 1-3% anak setelah induksi pengobatan dengan prednisone, vinkristin, dan asparginase. Patogensis dari komplikasi ini belum diketahui tetapi disebabkan oleh status hiperkoagulasi akibat obat. Biasanya obat yang dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit seperti salisilat, harus dihindari pada penderita leukemia.
Dengan adanya keberhasilan dalam pengobatan ALL, perhatian sekarang lebih banyak ditujukan pada efek terapi yang lambat. Profilaksis sitem saraf pusat dan pengobatan sitemik yang diintensifkan telah mengakibatkan leukoensefalopati, mineralisasi mikroangiopati, kejang, dan gangguan intelektual pada beberapa pasien. Pasien juga memiliki risiko tinggi untuk menderita keganasan sekunder. Laporan baru tentang tumor otak dan AML sekunder yang terjadi pada anak-anak ini jelas menjadi perhatian. Efek lambat lainnya adalah gangguan pertumbuhan dan disfungsi gonad, tiroid, hati, dan jantung. Kerusakan jantung terutama terjadi secara tersembunyi, karena gangguanm fungsional dapat tidak terlihat sampai beberapa tahu kemudian. Terdapat juga beberapa pertanyaan mengenai arteri koroner serta insufisiensi miokard dini. Sedikit informasi yang didapat tentnang efek teratogenik dan mutagenic pada terapi antileukemik, meskipun demikian tidak ada bukti meningkatnya cacat lahir di antara anak yang dilahirkan oleh orang tua yang pernah mendapat pengobatan leukemia.

 IX.            Prognosis
`Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indicator prognosis, tetapi kehilangan arti karena keberhasilan terapi. Karena itu, terapi merupakan factor prognsostik tunggal yang paling penting. Hitung leukosit awal mempunya hubungan linier terbaliuk dengan kemungkinan sembuh. Uymur pada waktu diagnosis juga merupakan peramal yang dapat dipercaya. Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang kurang dari 12 bulan yang mepunyai penyusunan kembali kromosom yang menyangkut region 11q23, jauh lebih buruk disbanding anak dari kelompok umur pertengahan. Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi. Hiperploidi lebih dari 50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik dan member repons terhadap terapi bernasis antimetabolit. Dua translokasi koromosom-t[9;22], atau kromosom Philadelphia, dan t[4;11]- mempunyai prognosis buruk. Beberapa peneliti menganjurkan CST sela,a remisi inisial pada penderita degan translokasi tersebut,. LLA progenitor sel B dengan t[1;19] mempunyai prognosis kurang baik dibandingkan kasus lain dengan imunofenotip ini; hanya 60% dari penderita akan remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat terapi sangat intensif. 




Bab III
Kesimpulan

            Berdasarkan gejala – gejala yang timbul pada pasien dalam skenario, pasien tersebut menderita leukemia limfositik akut. Penanganan yang tepat dapat menyembuhkan dan menghindari resiko komplikasi pada pasien.