makalah TRANSFUSI DARAH PADA ANAK

TRANSFUSI DARAH PADA ANAK


PENDAHULUAN

    Transfusi darah adalah tindakan rnemasukkan darah atau komponennya ke dalam sistim pembuluh darah resipien. Hal ini merupakan suatu tindakan yang bertujuan menggantikan atau menambah komponen darah yang hilang atau terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi sehingga akan menyelamatkan kehidupan.1,2  Tentu saja transfusi darah hanya
merupakan tindakan simtomatik atau suportif karena darah atau komponen darah hanya dapat mengisi kebutuhan tubuh untuk jangka waktu tertentu tergantung pada umur fisiologis komponen yang ditransfusikan. Di samping itu darah juga merupakan komoditi yang langka, tidak dapat disirnpan lama, dan sumber penularan penyakit sehingga manfaat dan resiko yang akan terjadi harus dipertimbangkan dengan baik.
    Saat ini telah dapat dilakukan pemisahan komponen-komponen darah sehingga penggunaannya disesuaikan dengan komponen darah yang diperlukan. Hal ini merupakan tindakan yang rasional, efisien, dan tidak memberatkan penderita dengan komponen darah yang tidak perlu.1,3 Darah lengkap hanya digunakan pada kehilangan darah akut yang bertujuan memulihkan sirkulasi volume darah.
    Transfusi darah dapat dilaksanakan bila memenuhi beberapa persyaratan agar transfusi dapat berjalan baik. Persyaratan tersebut adalah persiapan darah dari donor dan persiapan resipien, yang meliputi pemeriksaan golongan darah dan cross match antara golongan darah donor dan resipien serta penapisan terhadap beberapa penyakit tertentu sebelum dilakukan transfusi darah 5
    Prinsip transfusi darah bagi anak dan remaja serupa dengan bagi dewasa, tetapi neonatus dan bayi mempunyai banyak pertimbangan khusus.1 Maka untuk dapat menentukan kapan seorang anak harus dilakukan transfusi dan berapa banyak jumlah darah atau komponen darah yang akan ditransfusikan maka pada kepustakaan ini akan dibahas mengenai persiapan, indikasi, prinsip tranfusi komponen darah dan darah lengkap sesuai umur anak dan komplikasi tranfusi darah.

PERSIAPAN TRANSFUSI DARAH

    Darah donor diambil dengan teknik antiseptik dan dimasukkan dalam kantong plastik khusus yang mengandung anti koagulan. Anti koagulan yang sering digunakan adalah citrat phosfat dextrose (CPD) dan adenin citrat phosfat dextrose (ACPD) yang dapat memperpanjang umur penyimpanan darah.3,4 Saat ini semua darah dari donor baik yang akan dilakukan transfusi langsung maupun yang akan disimpan di bank darah dilakukan pemeriksaan golongan darah menurut sistem ABO dan Rhesus, tes pemeriksaan silang (cross match) dan pemeriksaan penyaring untuk menyingkirkan sifilis, AIDS, dan Hepatitis B. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dasar dari mekanisme penggolongan darah dan pemeriksaan silang. 1,2

Sistem ABO

    Dikenal dua antigen tipe A dan tipe B yang terdapat pada permukaan sel darah merah pada sebagian besar populasi. Antigen-antigen inilah yang disebut aglutinogen yang menyebabkan aglutinasi sel darah. Karena antigen-antigen ini diturunkan, maka seseorang dapat mempunyai kedua, hanya satu atau tidak ada antigen tersebut di dalam sel darah merahnya.
    Darah dari donor dan resipien diklasifikasikan dalam 4 tipe O-A-B utama tergantung pada ada tidaknya kedua aglutinogen seperti tercantum pada tabel 1. Bila tidak terdapat aglutinogen A ataupun B, golongan darahnya adalah O. Bila hanya terdapat aglutinogen A saja, maka golongan darahnya A. Bila hanya terdapat aglutinogen B saja maka golongan darahnya B. Dan bila terdapat kedua aglutinogen A dan B, golongan darahnya AB.
        Dua gen manusia yang diturunkan dari kromosom yang berpasangan, akan menentukan golongan darah ABO. Kedua gen ini bersifat alelomorfik yang dapat menjadi salah satu dari golongan darah yang dihasilkan dan hanya mempunyai salah satu saja pada setiap kromosom yaitu tipe O, tipe A, atau tipe B. Gen tipe O tidak berfungsi dalam sel sehingga menghasilkan aglutinogen yang tidak khas dalam sel. Enam kemungkinan kombinasi gen ini yaitu OO, OA, OB, AA, OB, BB, dan AB yang berfungsi sebagai genotip dan setiap orang merupakan salah satu dari keenam genotip tersebut Dan tabel 1 dapat dilihat bahwa orang dengan genotip OOtidak menghasilkan aglutinogen dan karena itu mempunyai golongan darahnya O. Orang dengan genotip OA atau AA menghasilkan aglutinogen tipe A sehingga disebut golongan darahnya A. Demikian juga yang mempunyai genotip OB dan BB menghasilkan golongan darah B, dan genotip AB menghasilkan golongan darah AB.
    Bila tidak terdapat aglutinogen tipe A dalam sel darah merah seseorang maka dalam plasmanya akan terbentuk antibodi yang dikenal aglutinin anti A. Demikian pula bila tidak terdapat aglutinogen tipe B didalam sel darah merah maka di dalam plasmanya terdapat aglutinin anti B. Pada tabel 1 tampak bahwa orang dengan golongan darah O yang tidak mempunyai aglutinogen mempunyai aglutinin anti A dan anti B. Golongan darah A mengandung aglutinogen tipe A dan aglutinin tipe anti B. Golongan darah B mengandung aglutinogen tipe B dan aglutinin anti A. Dan golongan darah AB yang mengandung kedua aglutinogen tipe A dan B tetapi tidak mempunyai aglutinin sama sekali.
    Bila darah dengan aglutinin plasma anti A dan anti B dicampur dengan set darah merah yang mengandung aglutinogen Aatau.B, terjadilah aglutinasi sel darah merah. Mekanismenya adalah aglutinin melekatkan diri pada sel darah merah pada dua tempat pengikatan untuk tipe IgM dan 10 tempat pengikatan untuk tipe IgM. Satu aglutinin dapat melekat pada dua atau lebih sel darah merah yang berbeda pada waktu yang sama sehingga sel saling melekat satu sama lainnya. Keadaan ini menyebabkan set menggumpal bersama-sama akibat proses aglutinasi.


Tabel 1. Golongan Darah dengan Genotipnya dan Unsur-Unsur Pokok Aglutinogen dan Aglutinin



Sistem Rhesus

    Terdapat enam tipe antigen Rh yang telah dikenal, salah satunya disebut faktor Rh. Tipe¬-tipe ini ditandai dengan C, D, E, c, d,.e. Orang yang memiliki antigen C tidak mempunyai antigen c, tetapi setiap orang yang kehilangan antigen C selalu mempunyai antigen c. Demikian juga terhadap antigen D-d, E-e. Setiap orang hanya mempunyai satu dari ketiga pasang antigen tersebut. Antigen D dikatakan Rh positif.
    Bila seorang dengan Rh negatif sebelumnya tidak pernah terpajan dengan darah Rh positif, maka transfusi darah Rh positif ke tubuh orang tersebut tidak meyebabkan reaksi segera. Namun pada beberapa orang terbentuk anti bodi anti Rh dalam jumlah yang cukup selama 2-4 minggu berikutnya yang menimbulkan aglutinasi. Sel-sel ini kemudian mengalami hemolisis oleh sistem makrofag jaringan. Jadi timbul reaksi transfusi lambat walaupun biasanya ringan. Pada transfusi darah Rh positif selanjutnya pada orang yang sama, dimana ia telah mengalami imunisasi terhadap faktor Rh, maka reaksi transfusi menjadi sangat kuat dan dapat menjadi berat seperti reaksi transfusi sistem ABO.

Tes pemeriksaan silang (cross-matching) sebelum transfusi

    Sebelum transfusi golongan darah pasien ditentukan, serum diperiksa untuk antibodi atipik, dan sel darah merah dari setiap donor dites dengan serum pasien. Darah golongan :BO dan rhesus D yang sama diseleksi. Sel darah donor yang dites dengan serum resipien dan aglutinasi dideteksi secara visual atau mikroskopik setelah pencampuran dan inkubasi.
    Pemeriksaan silang biasanya membutuhkan waktu selama satu jam. Bila darah dibutuhkan mendesak, tes dapat dilakukan cepat dengan membatasi tes yang dilakukan dan memodifikasi teknik tanpa mengurangi kepekaan tes tetapi akan mendeteksi semua ketidakcocokan utama (gross incompatibilities). Transfusi darah yang tidak diperiksa silang pada keadaan darurat membawa resiko besar dan harus dihindari. Bila situasi klinis sangat mendesak dan tidak mempunyai waktu untuk penggolongan pasien maka golongan darah O Rhesus negatif dapat segera ditransfusikan.
    Sebagai bagian dari prosedur pemeriksan silang dilakukan pemeriksaan Coombs (Coombs Test). Pemeriksaan yang dilakukan adalah yang tidak langsung. Pemeriksaan Coombs tidak langsung ada 2 tahap. Tahap pertama menyangkut inkubasi sel darah merah yang dites dengan serum. Pada tahap kedua sel darah merah dicuci bersih dengan air garam untuk mengeluarkan globulin babas. Reagen anti human globulin (AHG) ditambahkan ke sel darah merah yang telah dicuci dan bila ada aglutinasi menunjukkan tes positif. Aglutinasi dalam tes berarti di dalam serum telah terbentuk anti bodi yang telah membungkus sel darah merah. Berbeda dengan test Coombs langsung adalah pada test Coombs langsung reagen AHG langsung ditambahkan pada sel darah yang sudah dicuci dan aglutinasi menunjukkan hasil positif. Test Coombs langsung biasanya digunakan untuk penentuan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.

INDIKASI TRANSFUSI DARAH

    Ada 3 macam keadaan klinis yang memerlukan transfusi darah yaitu:

1.    Keadaan yang memerlukan pemeliharaan atau pemulihan sirkulasi volume darah untuk mencegah timbulnya syok, seperti pemberian whole blood pada pendarahan akut akibat trauma, perforasi pada typhoid fever, perdarahan akut pada ITP.
2.    Keadaan klinis yang memerlukan penggantian komponen darah spesifik seperti plasma protein atau elemen darah seperti eritrosit, leukosit atau trombosit akibat dari defisiensi komponen-komponennya.
3.    Keadaan klinis yang memerlukan pengeluaran substansi yang berbahaya bagi tubuh dengan cara transfusi ganti, misalnya pengeluaran bilirubin pada bayi hiperbilirubinemia yang berat.

TRANSFUSI ERITROSIT

    Eritrosit adalah komponen darah yang paling sering ditransfusikan dibandingkan komponen darah yang lain. Eritrosit ini diberikan untuk meningkatkan kapasitas angkut oksigen darah dan untuk mempertahankan oksigen jaringan yang cukup. Keuntungan transfusi sel darah merah adalah tidak membebani sirkulasi, tidak memperberat fungsi ginjal, dan sedikit mengurangi reaksi alergi karena tidak disertai pemberian plasma yang tinggi protein. Sediaan transfusi eritrosit yang disediakan adalah packed red cell (eritrosit pekat) yang diperoleh dan pemisahan plasma secara tertutup dengan hematokrit 70-80 %. Dari PRC dapat dibuat red cell suspension dengan cara mencampur eritrosit pekat dengan cairan pelarut NaCl fisiologis dalam jumlah yang sama, dan washed red cell (WRC) yang diperoleh dengan mencuci eritrosit pekat 2-3 kali dengan NaCl fisiologis dalam jumlah yang sama. Sediaan ini aman bagi resipien yang alergi terhadap plasma manusia, anemia hemolitik yang didapat, transfusi ganti, dan transfusi pada transplantasi ginjal. Keuntungan yang lain dari transfusi eritrosit adalah hematokrit dapat diatur, memerlukan volume yang kecil. Sedangkan kerugiannya adalah timbulnya infeksi sekunder pada saat proses pembuatan dan masa simpan yang pendek yaitu 4-6 jam.

    Pedoman untuk transfusi eritrosit pada anak dan remaja dapat dilihat pada tabel 2.

Transfusi harus diberikan lebih ketat pada anak karena kadar hemoglobin normal pada anak lebih rendah dibanding dewasa, kecuali pada beberapa keadaan tertentu berhubungan dengan penyakit kardiopulmonal yang mendasarinya akan mengganggu tubuh mengkompensasi kehilangan eritrosit. Pada masa pre operatif misalnya, tidak perlu bagi anak untuk mempertahankan hemoglobin (Hb)  8 g/dL yaitu suatu tingkat yang diinginkan pada orang dewasa. Demikian juga pemberian eritrosit pasca operasi harus mempunyai alasan yang kuat karena anak mampu memulihkan massa eritrositnya bila diberi terapi besi. Untuk anemia yang timbul perlahan-lahan, pemberian transfusi eritrosit tidak selalu didasarkan atas pemeriksaan Hb karena anak dengan anemia kronis mungkin tidak menampakkan gejala dengan Hb sangat rendah. Faktor lain yang harus diperhatikan selain kadar Hb adalah gejala atau tanda dan kapasitas fungsional tubuh penderita, dijumpai atau tidak penyakit kardiovaskuler dan susunan saraf pusat, penanganan anemia, dan kemungkinan untuk diterapi dengan recombinant human eryhtropoietin (EPO) pada anak dengan insufisiensi ginjal.

Tabel 2. Pedoman Transfusi Eritrosit pada Anak




Dikutip dari Strause, 2000

    Untuk neonatus, indikasi transfusi eritrosit dapat dilihat pada tabel 2. Namun harus diperhatikan bahwa pada neonatus akan mengalami penurunan massa eritrosit akibat faktor frsiologis.1 Penurunan massa eritrosit < 25 ml/kg berat badan juga menggambarkan kadar Hb yang rendah. Hal ini akan dikompensasi oleh jantung dengan jalan memperbesar curah jantung, namun bila dilakukan transfusi akan mendapatkan manfaat yang bermakna yaitu akan mengurangi curah jantung. Seperti halnya pada bayi terdapat perbedaan nilai Hb yang dijadikan patokan untuk transfusi berdasarkan kelainan kardiopulmonal dan tindakan operatif serta umur janin.

    Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar yang dipisahkan dari darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan dalam anti koagulan pada nilai hematokrit kira-kira 60 %. Dosis biasanya adalah 10-15 ml/ kg berat badan. Untuk neonatus produk pilihan adalah konsentrat PRC ( hematokrit 70-90 %) yang ditransfusikan perlahan-lahan (2-4 jam) dengan dosis 15 ml/kg berat badan. Sedangkan menurut hasil penelitian Rascher,1991 bahwa pemberian transfusi PRC dengan kecepatan 3 m1/kg/jam tidak menyebabkan beban volume akut.10 Satu unit PRC dapat menaikkan PCV ± 3-4 % atau Hb  1 g/dL.

Sedangkan Miller menetapkan formula: 3
A= Hb tubuh : Blood Volume (70 ml/kgBB) x Hb(g/dL)
B= Hb post transfusion : Blood volume (70 ml/kgBB)x desired (g/dL)
C= Defisit Hb (gram) = B-A
D= Volume darah transfusi (misalnya PRC) dalam ml : (B-A) g / 23
Asumsi bahwa 1 ml PRC mempunyai hematokrit 70 % yang berisi 0,23 g HB dan 100 ml (1 dL) berisi 23 g Hb.

    Karena transfusi diberikan pada nilai hematokrit tinggi maka kecepatan transfusi harus rendah, dan jenis antikoagulan yang dipakai adalah yang diyakini paling aman.1.11.12.13 Darah dari donor yang ditambahkan anti koagulan AS-3 tidak menunjukkan reaksi transfusi yang nyata dan pada pemeriksaan post tranfusi didapatkan nilai hematokrit, pH, natrium, kalium, kalsium, laktat dan glukosa menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan pemakaian antikoagulan ACPD.

TRANSFUSI TROMBOSIT

    Pemberian transfusi trombosit diindikasikan untuk mencegah resiko pendarahan akibat trombositopenia. Pedoman untuk dukungan trombosit pada anak, remaja dan bayi dapat dilihat pada tabel 3. Transfusi trombosit harus diberikan pada penderita dengan trombosit di bawah 50. 000 /ml, jika ada perdarahan atau direncanakan untuk mengalami prosedur invasif. Penelitian pada penderita trombositopenia dengan gagal sumsum tulang menunjukkan bahwa perdarahan spontan meningkat tajam bila trombosit turun menjadt < 20.000 /ml. Atas dasar ini banyak dokter anak menganjurkan transfusi profilaksis untuk mempertahankan trombosit > 20.000 /ml. Pada kelainan-kelainan kualitatif trombosit misalnya pada penyakit hati lanjut, insufisiensi ginjal dan setelah operasi pintas kardiopulmonal transfusi trombosit dibenarkan hanya jika perdarahan nyata terjadi. Pada kasus ini waktu perdarahan lebih dari 2 kali dari nilai normal mungkin diambil sebagai bukti diagnostik bahwa telah ada disfungsi trombosit.

Tabel 3. Pedoman Transfusi Trombosit pada Anak



Dikutip dari Strause, 2000


    Homeostasis pada neonatus berbeda dengan pada anak yang Iebih besar dan potensi terjadinya perdarahan serius lebih besar. Insidensi perdarahan intra kranial lebih besar pada penderita trombositopenia dan akan lebih meningkat pada berat badan lahir rendah.1,2
    Tujuan ideal transfusi trombosit adalah menaikkan angka trombosit menjadi > 50.000 /mm3 dan untuk neonatus menjadi 100.000 / mm3. Ini dapat dicapai dengan transfusi konsentrat standar trombosit, yang dibuat dari beberapa unit darah lengkap segar atau tromboferetis otomatis. Satu unit konsentrat mengandung 10.000 trombosit / mm3. Sedangkan PMI menetapkan satu unit konsentrat mengandung 15.000 trombosit / mm3. Jumlah kebutuhan trombosit = Kadar yang diharapkan-kadar awal / kenaikan perunit. Sedian trombosit adalah, platelet rich plasma (PRP) yang dibuat dengan memisahkan plasma dan trombosit dari darah segar yang dibuat dengan melakukan sentrifugasi. Masa simpan trombosit 48-72 jam.

TRANSFUSI GRANULOSIT (NETROFIL)

    Transfusi granulosit harus dipertimbangkan pada institusi-institusi dimana penderita neutropenia selalu meninggal karena infeksi bakteri dan jamur yang progresif, meskipun obat antimikroba telah digunakan secara optimal.
Pedoman untuk transfusi granulosit dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Pedoman Terapi Granulosit pada Anak



    Peran transfusi granulosit yang ditambahkan bersama antibiotika pada penderita neutropenia berat (0.5 X 109 /L) yang disebabkan gagal sumsum tulang lama pada anak dengan dewasa. Pada anak yang mengalami infeksi dengan kegagalan sumsum tulang yang berlangsung lama misalnya pada neoplasma maligna yang resisten terhadap terapi, anemia aplastik, dan resipien pencangkokan sumsum tulang akan memperoleh manfaat yang Iebih baik bila diberikan transfusi granulosit bersama antibiotika. Transfusi granulosit juga digunakan pada sepsis dengan netropenia berat yang tidak responsif terhadap antimikroba.12 Neonatus biasanya Iebih peka terhadap infeksi bakteri berat namun pada sepsis yang fulminan dimana dijumpai neutropenia relatif < 0.3 X 109 /L selama minggu pertama dan < 0,1 X 109 /L sesudahnya mempunyai resiko besar meninggal bila hanya diterapi antibiotika. Dosis transfusi granulosit pada neonatus adalah 1-2 x 109 /kg berat badan tiap transfusi granulosit. Bayi dan anak yang Iebih besar harus mendapat dosis total 1 x 1010 /kg berat badan tiap transfusi granulosit. Dosis yang dipilih untuk remaja adalah 2-3 x 1010 /kg berat badan tiap transfusi granulosit. Transfusi granulosit harus diberikan setiap hari sampai infeksi menyurut atau netrofil darah sampai 0,5 x109 /L.

TRANSFUSI PLASMA

    Tujuan dari pemberian transfusi plasma ialah mempertahankan keseimbangan sistem hemostatik dan yang juga penting ialah mengetahui kadar minimal faktor tersebut yang dapat mencapai kadar hemostatik. Misalnya untuk mengontrol perdarahan sendi pada hemofilia A diperlukan kadar F VIII plasma 30-40 U per dL. Kadar hemostatik minimal faktor Koagulasi dalam plasma dapat dilihat pada tabel 5.3








(*) Khusus Fibrinogen, 10-20 ml dapat menaikkan kadar fibrinogen plasma 50-11 mg/dL
Dikutip dari Cable, 1981.

Fresh frozen plasma FFP atau (Plasma beku segar)
    Komponen plasma yang dipisahkan dari komponen darah. Plasma beku segar ditransfusikan untuk menggantikan kekurangan protein plasma yang nyata secara klinis, yang untuk itu tidak terdapat konsentrat yang lebih murni. Transfusi plasma beku segar digunakan untuk mengatasi perdarahan aktif karena defisiensi faktor II, V,VII, X, dan XI. Sedangkan defisiensi faktor VIII dan fibrinogen diterapi dengan kriopresipitat. Dosis atau kebutuhan akan plasma beku segar bervariasi menurut faktor spesifik yang akan diganti seperti terlihat pada tabel 5. Transfusi plasma segar tidak lagi dianjurkan untuk terapi penderita dengan hemofilia A dan B yang berat, karena tersedia konsentrat faktor VIII dan IX yang lebih aman.1,2,5

Fresh Freeze-Dried Plasma (Plasma Kering Segar)
    Berisi faktor VIII yang dikeringkan. Dipakai untuk mengobati hemofilia A. Volume kecil sangat ideal digunakan untuk anak-anak, kasus bedah, pasien dengan resiko kelebihan beban sirkulasi, dan pengobatan dirumah.2.5 Untuk menentukan dosis transfusi dapat dilihat pada tabel 5.3

Kriopresipitat
    Diperoleh dengan mencairkan plasma beku segar pada 40 C dan mengandung faktor VlII dan fibrinogen pekat. Disimpan pada suhu -30 OC atau jika dicairkan (lyophylised) pada suhu 4-6 OC, dan digunakan sebagai terapi pengganti pada hemofili A dan Von Willebrand.12,8 Untuk menentukan dosis transfusi dapat dilihat pada tabel 5.3

Albumin 25%
    Sediaan yang dimurnikan dan harganya mahal sehingga tidak dianjurkan sebagai penambah volume plasma walaupun manfaatnya tidak diragukan. Ini dapat digunakan pada hipoalbuminemia berat dengan pembatasan kadar elektrolit. Indikasi terpenting pemakaian albumin adalah pada pasien sindroma nefrotik dan kegagalan fungsi hati.1,2 Albumin ini selain diproduksi oleh bank darah juga telah diproduksi secara komersial.

TRANSFUSI DARAH LENGKAP (WHOLE BLOOD)
    Saat ini pemakaian darah lengkap sudah kurang dianjurkan. Namun masih digunakan untuk kehilangan darah akut misalnya karena ruda paksa atau perdarahan gastrointestinal dan uterus yang berat. Pada transfusi darah setelah kehilangan darah akut lebih dianjurkan penggunaan pack red cells (PRC) yang ditambah elektrolit sebagai pengganti darah lengkap. Hal ini bertujuan untuk menghemat plasma demi penggunaan klinis yang Iain.1,3
    Darah lengkap terdiri dari 2 macam yaitu darah segar dan darah simpan lama: Darah segar (fresh whole blood) mempunyai kelebihan yaitu clotting factor (faktor pembekuan) masih lengkap terutama faktor V dan VIII serta secara relatif viabilitas sel darah merah masih baik. Tetapi mempunyai kerugian yaitu sulit diperoleh pada waktu yang cepat. Darah simpan (preserved blood) mempunyai keuntungan yaitu pengadaannya mudah karena telah disiapkan di bank darah. Kelemahannya adalah telah berkurangnya clotting factor terutama faktor V dan VIII. Darah simpan yang menggunakan antikoagulan acid citrat dextrose (ACD) yang disimpan dengan suhu penyimpanan -2° – 4°C dapat bertahan sampai umur 21 hari, sedangkan bila dalam citrat phosphate-dexstrose (CPD) dapat bertahan sampai umur 32 hari.2,8,11

KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

Reaksi hemolitik

    Reaksi akibat bercampurnya darah yang mempunyai agglutinin plasma anti A dan anti B dengan darah yang mengandung aglutinogen A atau B dan darah yang mempunyai Rh berbeda sehingga menyebabkan sel menggumpal akibat proses aglutinasi. Diikuti penyimpangan fisik sel dan serangan sel fagosit sehingga akan menghancurkan sel-sel darah merah yang teraglutinasi 4 Akibat penghancuran sel darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam plasma dan bila hemoglobin bebas > 25 mg% dapat terjadi hemoglobinuria. Reaksi hemolitik ini terdiri dari reaksi hemolitik akut dan reaksi hemolitik lambat.

    Reaksi hemolitik akut terjadi segera pada waktu transfusi baru berlangsung. Lima puluh mililiter darah dari golongan yang tidak cocok sudah dapat menimbulkan reaksi. Pada umumnya disebabkan oleh ketidakcocokan sistem ABO, pemberian darah rhesus positif pada penderita rhesus negatif yang mengandung anti D akibat transfusi sebelumnya. Gejala berupa rasa panas sepanjang vena dimana infus dipasang, nyeri tertekan di dada, sakit kepala, muka merah, pireksia, mual, muntah, dan ikterus.

    Reaksi hemolitik lambat terjadi pada penderita yang sering mendapat transfusi. Reaksi timbul beberapa jam atau beberapa hari sesudah transfusi dan biasanya pada labu ke 2 atau lebih. Biasanya terjadi pada golongan darah O dengan titer anti A dan anti B yang tinggi kepada golongan lain. Gejalanya sama dengan reaksi hemolitik akut.
    Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat pemberian transfusi darah yang lisis akibat diberikan bersama larutan hipotonis misalnya dextrose 5%, transfusi darah yang, sudah lisis akibat pemanasan mendadak dengan air panas melebihi temperatur tubuh atau tetesan terlalu cepat serta dipompa dan atau terkontaminasi bakteri, transfusi darah yang sudah bengkak dan hancur akibat disimpan pada suhu dibawah -4°C, dan transfusi darah pada penderita paroksismal nokturnal hematuria (PNH) yang mengandung komponen aktif dalam plasma donor yang dapat menyebabkan hemolisis.
    Tindakan yang segera dilakukan adalah penghentian transfusi, atasi syok dengan posisi, oksigenasi, vasopresor, dan infus bila ada tanda-tanda hipovolemia. Memaksa timbulnya diuresis dengan infus manitol 20 % dan furosemid serta pemberian steroid. Lapor ke bank darah untuk pengulangan pemeriksaan ulang golongan darah ABO, rhesus, dan cross match dari sisa darah.
Reaksi transfusi lainnya:

Reaksi alergi.
    Disebabkan hipersensitivitas terhadap protein plasma donor. Gambaran klinis ada!ah urtikaria, dan pada kasus berat dapat terjadi dispnea. udema fasial dan kaku. Pengobatan segera dengan memberikan anti histamin dan hidrokortison. Pilihan terakhir adalah adrenalin. Bila yang dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi dapat dilanjutkan dengan WRC.

Reaksi febris
    Terjadi karena set infus atau labu darah yang tidak bebas bahan pirogen sehingga menimbulkan reaksi anti bodi terhadap leukosit dan trombosit. Gejala febris dapat disertai menggigil, sakit kepala, nyeri seluruh tubuh, dan gelisah. Transfusi dihentikan dan dapat diberi antipiretik. Bila yang dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi dapat dilanjutkan dengan WRC.

Kontaminasi Bakteri
    Kontaminasi bakteri dapat terjadi waktu pengambilan darah donor, karena darah terlalu lama dalam suhu kamar atau tusukan kedalam labu darah. Gejala berupa panas tinggi, nyeri kepala, menggigil, muntah, sakit perut, diare sampai syok yang terjadi pada waktu transfusi atau beberapa saat setelahnya. Tindakan-tindakan yang segera harus dilakukan adalah menghentikan transfusi darah, atasi syok, kompres es, dan pemberian antibiotika dosis tinggi.

Kelebihan beban sirkulasi.
    Dapat terjadi udem paru dan gejala rasa penuh dalam kepala dan batuk kering. Bila tidak ditangani segera dapat terjadi payah jantung. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian transfusi lambat komponen darah yang dibutuhkan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah menghentikan transfusi darah, memberikan oksigen, tidur dengan posisi setengah duduk, pemberian obat-abatan misalnya diuretik, digitalis dan aminofilin. Untuk pencegahan timbulnya peningkatan beban sirkulasi dapat dilakukan penetesan yang lambat yaitu 6-8 tetes permenit, dan atau penggunaan kcmponen darah.

Hepatitis pasca transfusi dan infeksi lainnya
    Ini dapat disebabkan oleh setiap virus hepatitis, yaitu tipe darah A, B, non A, non B dan kadang–kadang cyto megalo virus (CMV) dan Ebstein barr (EB). Hepatitis pasca transfusi sekarang sudah jarang ditemukan karena pemeriksaan rutin HbsAg bagi setiap donor. Infeksi lain yang mungkin terjadi yaitu mononukleus infeksiosa, toksoplasmosis, malaria, dan sifilis.



Acquired Immune deficiency syndrome (AIDS).
    Pada penyakit ini terdapat defisiensi limfosit T helper dengan kebalikan ratio supresor : helper normal (T8 :T4) dalam darah tepi yang mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh.

Kelebihan beban besi pasca transfusi.
    Transfusi sel darah merah berulang selama bertahun-tahun, tanpa ada kehilangan darah akan menyebabkan penimbunan besi dalam hepar, lien dan kulit. Ini merupakan problem utama pada talasemia mayor dan anemia refrakter kronis berat lainnya. Tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah pemberian eritrosit muda sehingga dapat menurunkan kebutuhan transfusi karena waktu hidupnya lebih lama. Penggunaan desferoxamine sebagai iron chelating agent dilaporkan dapat mengurangi penumpukan besi dalam tubuh.





RINGKASAN

    Transfusi darah merupakan tindakan yang bertujuan menggantikan atau menambah komponen darah yang hilang atau terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi sehingga akan menyelamatkan kehidupan.

    Pemberian komponen darah merupakan tindakan yang sangat rasional mengingat melalukan transfusi darah lengkap berarti pemborosan karena komponen darah pada darah lengkap yang tidak diperlukan dapat diberikan pada orang lain yang lebih membutuhkan. Pemberian komponen darah juga dapat mengurangi atau mencegah meningkatnya beban volume sirkulasi.

    Persiapan pra transfusi mutlak dilakukan untuk mencegah bahaya tranfusi yang timbul akibat ketidak cocokan golongan darah donor dan resipien dan bahaya tertularnya penyakit.

    Ada beberapa kepentingan khusus yang harus menjadi perhatian pada transfusi darah pada anak, meliputi: anemia fisiologis, kemampuan jantung paru yang masih terbatas dan derajat penyakit jantung parunya. Berat badan dan umur merupakan karakteristik tersendiri pada transfusi darah pada anak.

    Reaksi transfusi saat ini sudah jarang dijumpai mengingat kemampuan bank darah (PMI) untuk melakukan skrening pratransfusi sudah baik. Namun kewaspadaan harus tetap ditingkatkan terhadap kemungkinan terjadi hal-hal yang fatal akibat reaksi hemolitik, timbulnya infeksi dan perubahan volume sistemik.