PENYAKIT LUPUS ERITREMATOSUS SISTEMIK PADA BAYI


LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Definisi
            Lupus Eritematosus Sistemik (Lupus Eritematosus Disseminata, Lupus) adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.
Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit, ginjal, otak, hati dan lesi dasar pada organ tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan kompleks antigen – antibodi.
            LES ditandai dengan pembentukan bermacam-macam antibodi yang ditujukan terhadap komponen inti sel yaitu DNA, RNA dan nucleoprotein. Apabila organ yang terkena ginjal disebut nefritis lupus. Nefritis lupus biasanya mengikuti LES yang telah muncul sebelumnya, tetapi kadang-kadang mendahului gejala-gejala lupus yang lain, sehingga pada saat diagnosis LES ditegakkan kelainan ginjalnya sudah akut.
            Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena.

Angka kejadian
            Nefritis lupus maupun SLE pada umumnya terutama ditemukan pada anak perempuan. Umumnya ditemukan setelah umur 10 tahun, sangat jarang pada anak kurang dari 5 tahun meskipun ada laporan kepustakaan pada anak umur 2 tahun.
Di AS: Karena variabel pelaporan, keseluruhan prevalensi berkisar dari 14,6/100000 untuk 50,8/100000. Insiden bervariasi dari 1,8-7,6/100.000 per tahun.
Dari laporan internasional, insiden bervariasi diseluruh dunia. Di Eropa Utara, telah dilaporkan 40/100.000 penduduk.
            Studi baru-baru ini di Eropa dan Kanada telah menunjukkan pengurangan dalam angka kematian pada pasien dengan SLE 10 tahun, dengan tingkat kelangsungan hidup mulai dari 75-85% dengan lebih dari 90% dari pasien hidup lebih dari 5 tahun. Awal kematian biasanya disebabkan oleh penyakit aktif. Atherosclerosis adalah penyebab kematian yang paling akhir diketahui. Infeksi dan peradangan pada ginjal adalah penyebab utama di semua tahapan SLE. Incidence varies from 1.8‑7.6/100,000 per year.

Mortality/Morbidity: Recent studies in Europe and Canada have shown a reduction in mortality in lupus patients with 10‑year survival rates ranging from 75‑85%, with more than 90% of patients surviving more than 5 years.

Manifestasi klinis atau gejala klinis
            Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang.
Karena itu, gejala dan beratnya penyakit bervariasi pada setiap penderita yang perjalanan penyakit ini bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
            Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). 
Pada awal penyakit, Lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
Ø  Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.

Ø  Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.





Gambar ruam kupu-kupu pada anak penderita SLE



Ø  Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap).
Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.

Ø  Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf.
Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

Ø  Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

Ø  Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.

Ø  Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
            Manifestasi klinis Lupus dapat berupa edema, proteinuria, hematuria nyata, gagal ginjal akut, hipertensi dapat disertai ensefalopati hipertensif. Karena kelainan patologik anatomi ginjal pada nefritis lupus dapat mengenai struktur parenkim ginjal yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah maka gambaran klinisnya dapat bervariasi, antara lain :
-  Hipertensi
-  Hematuria dan proteinuria asimtomatik
-  Hematuria nyata
-  Sindrom nefrotik
-  Glomerulonefritis akut
-  Glomerulonefritis progresif cepat
-  Gagal ginjal akut
-  Gagal ginjal kronik
-  Nefritis interstitial
-  Asidosis tubular ginjal

Diagnosis LES
            Gejala penyakit ini begitu banyak, karena memang sistem imun (pertahanan tubuh) kita menyerang berbagai organ.
Ada 11 kriteria diagnosis LES, antara lain :
1.  Malar rash, artinya adanya bercak kemerahan di kulit, yang sangat khas adalah bentuk kupu-kupu (butterfly rash) di muka penderita LES.
2. Discoid rash, disini ada bentuk jaringan parut kemerahan yang timbul, dan meninggi dari pada kulit disekitarnya.
3.  Fotosensitivitas, biasanya penderita LES mengalami keluhan-keluhan keluarnya kemerahan ketika terpapar dengan sinar ultraviolet dari matahari.
4.   Luka/sariawan di mulut
5.  Nyeri sendi yang melibatkan lebih dari 1 sendi, bisa disertai pembengkakan di sendi.
6.  Serositis, yakni adanya peradangan pada selubung jantung atau selubung paru-paru sesuai dengan pemeriksaan dokter.
7. Gangguan ginjal. Kelainan pada ginjal merupakan kelainan yang sering menyebabkan kematian. Gagal ginjal dapat terjadi pada penderita LES, oleh karenanya deteksi dini penyakit LES harus disertai dengan pemeriksaan air seni, untuk segera mendeteksi kelainan pada ginjal.
8.  Gangguan darah. Biasanya berupa anemia.
9.  Gangguan neurologis, bisa berupa kejang atau gangguan kejiawaan lain.
10. Gangguan imunologis, yang dibuktikan lewat pemeriksaan darah.
11. Antibodi antinuklear atau ANA. Pemeriksaan ini yang seringkali digunakan untuk menegakkan diagnosis LES.

            Diagnosis ditegakkan bila ditemukan ≥ 4 dari 11 kriteria. Sebagian besar pada penderita NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+), peninggian LED, penurunan kadar komplemen C3, C4 dan komplemen total (CH50), peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya antibodi terhadap DNA double stranded (ds-DNA).
Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria, proteinuria dan macam-macam silinder antara lain : sel toraks, sel darah medrah, dan sel darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu > 40 mg/jam/m2. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis atau leukopenia, dengan atau tanpa trombositopenia.
            Apabila ditemukan anemia perlu diperiksan uji Coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun.

Pemeriksaan Laboratorium pada Nefritis Lupus/SLE
 
            1.  Urinalisis
            2.  Darah tepi, termasuk LED
            3.  Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin
                 pada urin sewaktu
            4.  Pemeriksaan fungsi ginjal :
                 - darah, ureum dan kreatinin
                 - klirens ureum dan kreatinin
            5.  Kimia darah :
                 - albumin, globulin, kolesterol
            6.  Pemeriksaan khusus :
                 - sel LE
                 - komplemen darah (C3, C4, CH50)
                 - antibodi anti DNA double stranded
                 - uji coombs
                 - uji serologis sifilis
                 - serum imunoglobulin, terutama IgG
                 - krioglobulin
            7.  Biopsi ginjal

Patogenesis
            LES adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ, dan kadang-kadang yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena misalnya ginjal pada nefritis lupus,tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul.
Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA). 
Kompleks imun juga ditemukan dalam sirkulasi pasien NL yaitu kompleks DNA-anti DNA yang kemudian terperangkap/menyangkut di daerah membran basal glomerulus berupa endapan/deposit. Disamping itu kompleks imun juga terbentuk insitu di glomerulus yaitu karena adanya DNA dalam sirkulasi yang mengendap di glomerulus kemudian disusul dengan pembentukan antibodi anti-DNA.
            Setelah terjadi endapan kompleks imun akan terjadi aktivasi sitem komplemen yang kemudian menyebabkan kerusakan jaringan glomerulus yang menimbulkan gejala-gejala nefritis. Deposit komponen komplemen juga ditemukan glomerulus.
Jenis antibodi lain yang banyak ditemukan terhadap inti sel adalah anti-RNA (asam ribonukleat), anti Sm, anti Ro, anti La, anti Histon, anti fosfolipid. Selain itu juga ditemukan berbagai macam antibodi permukaan antigen spesifik terhadapn jaringan tertentu yaitu :
¨      Antibodi terhadap sel darah merah yang dapat menyebabkan terjadinya anemia hemolitik autoimun
¨      Antibodi terhadap glikoprotein trombosit yang menyebabkan trombositopenia
¨      Antibodi terhadap leukosit menyebabkan leukopenia
¨      Antibodi terhadap lemak jaringan otak yang mungkin sebagai penyebab kerusakan jaringan otak.
¨      Antibodi terhadap kardiolipin yang menyebabkan reaksi Wasserman (sifilis) positif palsu.
            Antibodi terhadap limfosit semula hanya dianggap menyebabkan terjadinya leukopenia saja, tetapi ternyata terdiri dari beberapa jenis antibodi dan yang sangat penting yaitu antibodi terhadap sel T supresor, yang menyebabkan pembentukan antibodi oleh sel B tidak bisa dikendalikan (overaktif) dan menyebabkan peningkatan IgG dan berbagai macam autoantibodi yang kemudian mengendap sebagai kompleks imun di berbagai organ tubuh.

Etiologi atau Penyebab lupus
Beberapa hal yang disepakati berperan pada LES adalah :
1.  Faktor genetik sebagai predisposisi
     Hal ini didukung oleh beberapa fakta yaitu :
¨      LES ditemukan pada 63% kembar identik
¨      Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat
¨      Frekuensi pasien LES pada anggota keluarga yang lain juga meningkat.
2.  Faktor hormonal
            Hal ini didukung oleh fakta bahwa :
¨      Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca pubertas.
¨      Pada binatang percobaan yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE
      Bila pada yang betina diberi hormon androgen gejala lupus akan membaik.
      Sebaiknya pada tikus jantan bila diberi estrogen akan menyebabkan gejala
      SLE bertambah jelek.
3. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan struktur retikular intrasoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus.

Pengobatan
            Angka mortalitas pada pasien Nefritis Lupus pada dekade terakhir ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstrarenal akan cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstrarenal yang ringan tanpa adanya gejala renal tidak perlu diberi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria (hidroksi kloroquin) atau obat anti inflamasi non steroid.

Kortikosteroid
            Pada umumnya kortikosteroid diakui dapat memperbaiki angka harapan hidup (survival) pasien Nefritis Lupus, meskipun sampai sekarang belum pernah ada literatur yang membandingkan dengan studi trial klinis prospektif secara random dengan dan tanpa kortikosteroid. Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, namun obat ini dianggap yang terbaik untuk Nefritis Lupus dan LES pada umumnya.
            Pada NL dengan gambaran PA ginjal normal (tipe I) atau mesangial (tipe II) gamabarn klinis yang ringan, urinalisis normal atau minimal, tidak ada gambaran klinis glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik, fungsi ginjal normal, serum komplemen normal, titer anti DNA normal biasanya tidak memerlukan pengobatan kortikosteroid.
            Pada pasien NL dengan gambaran histopatologi proliferatif lokal atau difus dengan tanda-tanda penyakit aktif seperti nekrosis fibrinoid, kresen selular, pemberian kortikosteroid sangat terindikasi.
            Prednison secara oral dipakai dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimum 80 mg/hari) dan diturunkan secara bertahap; bila terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah dan penurunan titer anti-ds DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgbb dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps pemberian steroid diubah menjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps dosis dinaikkan lagi menjadi 60 mg/m2/hari.
            Pada NL yang berat yaitu dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif dianjurkan pemberian terapi pulse dengan metil prednisolon intarvena dengan dosis 15 mg/kgbb (10-30 mg/kgbb) secara infus dalam 50-100 ml glukosa 5% selama 30-60 menit. Pemberian terapi pulse dapat diulang setiap hari atau selang sehari selama 3-6 hari, dilanjutkan dengan prednison oral dengan dosis diatas.

Obat sitostatik
            Pengobatan dengan sitostatik dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin.
Indikasi pemberian obat sitostatik adalah :
1.  Bila dengan kotikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk mengontrol penyakit.
2.  Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid misal hipertensi
3. Pada NL berat yaitu NL proliferatif difus sejak awal diberikan kombinasi kortikosteroid dan sitostatik.
            Biasanya obat sitostatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan sitostatik secara parenteral yaitu obat siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi sistitis hemoragik.
            Pada pasien dengan NL proliferatif difus, dosis siklofosfamid yang dipakai adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgbb). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500mg/m2. Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/mm2 dosis diturunkan 125 mg/m2. Obat diberikan 1 kali sebulan selama 7 bulan, dilanjutkan tiap 3 bulan sampai selama 36 bulan. Pemberian siklofosfamid pulse dilaporkan memberikan efek samping yang kurang dari pada oral tiap hari. Selama pengobatan ini dosis kortikosteroid diturunkan bertahap sampai 0,25 mg/kgbb/hari dan dipertahankan selama 3 tahun baru dosisnya boleh diturunkan lagi. Pengobatan lain pada NL adalah dengan plasmaferesis. Namun berdasarkan laporan yang ada, tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.
            Pada NL dengan gambaran patologi anatomi : tipe I (normal), tipe II (mesangial) dan tipe III (proliferatif lokal) diberi pengobatan yang sama dengan LES berat yaitu prednison 60 mg/m2/hari dibagi 3 dosis (maksimum 80 mg) selama 8 minggu. Bila klinis baik, dosis diturunkan 5 mg setiap 2 minggu sampai mencapai ½ dosis awal. Kemudian dilanjutkan dengan dosis selang sehari dengan penurunan dosis sampai mencapai 10 mg/hari dan dipertahankan 1-2 tahun baru dipertimbangkan untuk dihentikan.
            Pada NL dengan gambaran tipe IV (proliferatif difus) dan V (membranosa) diberi pengobatan kombinasi prednison dan siklofosfamid 2 mg/kgbb.
Selama pemberian siklofosfamid dilakukan pemeriksaan hemoglobin, leukosit, trombosit tiap minggu. Bila timbul efek samping siklofosfamid yaitu biasanya leukopenia 3000/µl obat ini dihentikan sampai efek samping hilang yaitu leukosit 5000/µl dan dilanjutkan dengan dosis 1 mg/kgbb/hari. Bila dijumpai penurunan fungsi ginjal yang progresif diberikan terapi pulse metil prednisolon setiap 1-2hari selama 1 minggu dan bila perlu sekali dipertimbangan untuk melakukan plasmaferesis.

Prognosis
            Setelah pengobatan kortikosteroid dan sitostatik prognosis NL ataupun SLE pada umumnya mengalami perbaikan yang dramatis. Penyebab kematian yang terbanyak adalah gagal ginjal, sepsis dan kelainan susunan saraf pusat.
            Pada ginjal tahap akhir atau terminal bila memungkinkan perlu dilakukan dialisis dan transplantasi.