Pemeriksaan forensik kejahatan seksual

 FORENSIK KEJAHATAN SEKSUAL
PENDAHULUAN

Kejahatan seksual adalah tindakan seksual apa pun yang dilakukan seseorang pada yang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Kejahatan seksual terdiri dari penetrasi genital, oral, atau anal oleh bagian tubuh pelaku atau oleh sebuah objek benda.

Beberapa varian kejahatan seksual antara lain pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape) dilakukan oleh suami/istri dengan paksa terhadap pasangannya; acquitance rape, dilakukan oleh orang yang telah dikenal sebelumnya, incest dilakukan terhadap saudara kandung sendiri; date rape dilakukan pada saat sedang kencan; statutory rape bermakna adanya hubungan seksual dengan seorang perempuan dibawah umur, yang rentang usianya ditentukan oleh hukum (rentang usia 14-18 tahun); child sexual abuse diartikan dengan interaksi antara seorang anak dengan dewasa dimana anak tersebut digunakan sebagai perangsang seksual dari orang dewasa itu atau orang lain.

Lingkungan sosial kita sering salah persepsi tentang kejahatan seksual. Korban sering disalahkan bahwa kejahatan susila itu diakibatkan oleh tingkah lakunya sendiri.

PEMBAHASAN

Pemeriksaan Medis
  • Anamnesis
Anamnesis atau metode wawancara pada korban yang dilakukan dokter untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan pemeriksaan medis dan juga forensik. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan anamnesis, yaitu:
  • Identitas pasien, akan dilaporkan dalam Visum et repertum
  • Hasil anamnesis dilaporkan terpisah dari Visum et Repertum dengan judul “keterangan yang diperoleh dari korban” karena hasil anamnesis tidak bersifat objektif dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
  • Terdiri dari anamnesis bersifat umum dan bersifat khusus.
    • Anamnesis umum: umur, tempat dan tanggal lahir, status pernikahan, siklus menstruasi, riwayat penyakit (kongenital, herediter, PMS, dll), penggunaannya obat-obatan tertentu, riwayat hubungan seksual (pernah atau belum, frekuensi, hubungan seks terakhir), riwayat penggunaan alat kontasepsi (misalnya kondom)
    • Anamnesis khusus: waktu kejadian (tanggal dan jam), tempat kejadian, kronologi kejadian (ada/tidaknya perlawanan; kesadaran korban; penetrasi; ejakulasi), apa yang dilakukan korban/pasien setelah kejadian.

  • Pemeriksaan pakaian 
    • Lakukan dengan teliti, helai demi helai, apakah terdapat :
      • Robekan baju: lama atau baru, sepanjang alur jahitan atau melintang.
      • Kancing yang terlepas: akibat tarikan atau bukan.
      • Bercak/ noda : darah, semen/air mani, lumpur, dll.
      • Kondisi pakaian: rapi, benda yang melekat, ada/tidaknya trace evidence
      • Benda/sampel segera dikirim ke laboratorium kriminologi untuk pemeriksaan lanjut.

  • Pemeriksaan tubuh korban
      • Pemeriksaan Umum
        • Yang perlu dilakukan antara lain:
          • Deskripsi penampilan : rambut rapi/kusut, ekspresi wajah, emosi pasien, tenang/gelisah.
          • Tanda pernah hilang kesadaran, needle marks
          • Tanda-tanda bekas kekerasan dan perlawanan pada daerah predileksi (mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam, pinggang).
          • Pemeriksaan antropometri : tinggi badan, berat badan
          • Tanda-tanda vital
          • Pemeriksaan pupil : ukuran (pin point/miosis/midiriasis), refleks cahaya
          • Pemeriksaan sistem organ tubuh : jantung, paru, abdomen.
          • Pengumpulan sampel (benda asing, semen, helaian rambut, jaringan pada kuku). 
          • Pemeriksaan daerah anus pada kasus sodomi, penetrasi ke anus akan memberikan tanda khas.
      • Pemeriksaan kandungan dan kebidanan
        • Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan oleh spesialis obstetri-ginekologis. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan:
          • Pemeriksaan area genitalia : rambut pubis yang bertautan, semen yang mengering/ bercak semen, lakukan swab.
          • Pada vulva, introitus vagina : tanda bekas kekerasan (hiperemi, edema, memar, luka lecet); lakukan swab pada vestibulum.
          • Periksa jenis hymen, keutuhan hymen. Jika sudah ruptur, sudah lama atau baru, lokasi ruptur, sampai ke insertio atau tidak; tentukan besar orificium; ada/tidak deflorasi (tidak harus ada).
          • Pada frenulum labiorum pudenda dan commisura labiorum: utuh/tidak.
          • Lakukan pemeriksaan dengan speculum jika memungkinkan, memeriksa vagina dan serviks, ada tidaknya infeksi.
          • Lakukan swab pada vagina
          • Jika pada hymen masih utuh, pengambilan sampel dilakukan sebatas vestibulum.
      • Pemeriksaan kesehatan mental
        • Pasien/ korban dirujuk pada seorang psikolog atau psikiater untuk diperiksa status mentalnya. Pasien mungkin menderita trauma psikis dan perubahan tingkah laku.  Perujukan dan pemeriksaan ini berkaitan dengan pelaporan dalam visum et repertum juga untuk pengobatan.

    • Pemeriksaan penunjang 
      • Pemeriksaan Laboratorium 
        • Dilakukan analisis sampel yang diperoleh dari tubuh dan pakaian; 
        • analisis DNA dari semen, rambut pubis. 
        • periksa ada tidaknya infeksi kuman, misalnya N. gonorrhea. 
        • periksa darah korban jika indikasi diberi obat-obatan tertentu. 
        • Jika rentang waktu kejadian dan pemeriksaan cukup lama, maka dapat dilakukan tes kehamilan. 
        • Selain itu dapat dilakukan juga pemeriksaan terhadap tersangka antara lain kecocokan DNA pria dengan DNA pada tubuh korban, ada/tidaknya epitel vagina pada penis tersangka. 
      • Pencitraan radiologi 
        • Pencitraan dapat dilakukan jika diperlukan, misalnya kemungkinan fraktur akibat kekerasan selama kejadian atau dapat juga untuk mendeteksi kehamilan.

    Interpretasi Hasil Pemeriksaan
    • Robekan lama selaput dara disertai adanya erosi dan peradangan jaringan vulva merupakan tanda-tanda persetubuhan. Sedangkan keluhan sakit bila kencing kemungkinan merupakan sexual transmitted disease.
    • Pada pemeriksaan fisik lain kemungkinan ditemukan tanda kekerasan berupa memar, bekas gigitan, tanda kuku dan lain-lain.
    • Pada pemeriksaan lab bisa saja ditemukan sisa sperma atau cairan mani pada usap vagina di fornix posterior ataupun pada pakaian dalam korban.
    Bila terjadi kasus seperti ini, sebagai dokter kita harus mengetahui bahwa persetubuhan di luar perkawinan dengan anak di bawah umur 12 tahun adalah tindak pidana sesuai pasal 287 ayat 1 dan 2 KUHP. Hukum dalam kasus ini menyebutkan bahwa tiap orang dengan umur di bawah 18 tahun yang belum menikah sebagai orang yang belum mampu membuat pertimbangan dan keputusan untuk suatu perbuatan hukum. Dalam kasus ini, bila terjadi persetubuhan, tanpa memandang si anak menyetujui atau tidak persetubuhan itu, maka dianggap persetubuhan tadi terjadi tanpa persetujuan (consent) si anak.

    Dokter juga harus menjelaskan pada ibu si anak bahwa kasus ini adalah tindak pidana yang harus dilaporkan pada polisi, dan menjelaskan bahwa dengan menyembunyikan suatu tindak pidana dia sendiri bisa dihukum, dan dengan memudahkan terjadinya persetubuhan dan atau percabulan pada anaknya, ia dapat dituntut dengan delik pidana pasal 295 KUHP dengan ancaman penjara 5 tahun.
    Dokter juga bisa merujuk pada spesialis obgyn dan dokter spesialis forensic atau specialis jiwa ataupun seorang psikolog.

    Dokter spesialis obgyn akan memeriksa lebih teliti tentang adanya tanda-tanda persetubuhan baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan memperhatikan perkembangan tanda seks sekunder,pemeriksaan genitalia, serta pemeriksaan lab yang menunjang misalnya swab vagina, dan swab oral.
    Dokter spesialis forensik akan mengumpulkan semua barang bukti yang mungkin tertinggal (pakaian korban, bite mark, kerokan kuku jika korban mengaku mencakar pelaku) sesuai prosedur, dan memuatnya dalam bentuk Visum et Repertum.

    Seorang psikolog bisa membantu gangguan yang mungkin timbul pada mental korban dan bisa mengusulkan cara yang terbaik yang dapat ditempuh sebagai penyelesaian tindak pidana.
    Pengkategorian KDRT sebagai kejahatan menjadi penting, disamping lebih penting adanya aturan untuk menjamin agar korban memperoleh kepastian dan prosedur hukum, medis, psikologis, rehabilitasi baik selama proses hukum dan sesudahnya serta reintegrasi agar korban diterima sebagai manusia dengan hak-haknya yang harus dipenuhi di masyarakat baik oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah. Disinilah pentingnya UU Perlindungan Anak dan UU KDRT harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, jadi bukan menggunakan KUHP saja.

    Penatalaksanaan pada korban
    • Medikamentosa
      • Terapi luka fisik segera, kemudian lakukan terapi medis untuk mencegah penyakit menular seksual(PMS) dan kehamilan.
      • Kontrasepsi darurat dapat dianjurkan untuk mencegah kehamilan. Kontrasepsi ini sebaiknya diberikan dalam jangka waktu sampai 72 jam setelah kejadian meskipun masih efektif sampai 120 jam. Ada beberapa metode kontrasepsi darurat. Untuk beberapa tahun yang paling sering digunakan adalah Yuzpe Method yaitu menggunakan penggunaan kontasepsi oral dosis tinggi dalam 72 jam coitus yang tidak aman, diulang 12 jam kemudian. Selain itu metode progestin saja mulai sering digunakan, menggunakan levonorgestrel 0.75 mg, dalam 2 dosis dengan jarak 12 jam, dalam tenggang waktu 72 jam pasca coitus.
      • Untuk mencegah PMS, terapi empiric antimikroba yang direkomendasikan untuk chlamydial, gonococcal, dan tricchomonal adalah:
        • Ceftriaxone 125 mg perIM dosis tunggal, dan
        • Metronidazole 2 g peroral dosis tunggal , serta
        • Doxycycline 100 mg peroral 2 kali sehari selama 7 hari.
    • Nonmedika mentosa
      • Sebaiknya korban sexual abuse dirujuk untuk melakukan konseling, dan melakukan follow-up dua minggu kemudian.

    Visum et Repertum pada kasus kejahatan seksual

    Pada kasus kejahatan seksual (sexual assault), contoh visum et repertum yang akan Aspek medikolegal
    Bantuan ilmu kedokteran dalam kasus kejahatan seksual dalam kaitannya dengan fungsi penyelidikan ditujukan kepada:
    • Menetukan adanya tanda-tanda persetubuhan.
      • Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya, dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani.
      • Adanya robekan pada hymen hanya akan menunjukkan adanya benda yang masuk, dengan demikian bukan merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. 
      • Adanya sperma pada liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan.
      • Pada pria azoospermia maka pemeriksaan ditujukan untuk menemuka adanya zat tertentu dalam semen, seperti asam fosfatase, spermin, dan kholin.
      • Jika korban hamil, maka jelas ada persetubuhan, namun harus dipastikan dengan hati-hati apakah oleh tersangka atau pelaku.
    • Menentukan adanya tanda kekerasan.
      • Kekerasan tidak selalu menimbulkan bekas, tindakan membius pun termasuk dalam tindakan kekerasan, maka perlu dilakukan pemeriksaan pada korban.
      • Faktor waktu sangat berperan, seiring dengan waktu luka akan sembuh, zat bius akan dieliminasi dari tubuh. Dengan demikian keaslian barang bukti/korban serta kecepatan pemeriksaan perlu dijaga.
    • Memperkirakan umur.
      • Merupakan pekerjaan tersulit. Perkiraan umur dilakukan untuk menetukan apakah seseorang itu sudah dewasa (diatas 21 tahun), khususnya pada kasus homoseksual.
    • Menentukan pantas-tidaknya korban untuk dinikahkan.
      • Secara biologis pengertian pantas/tidaknya untuk dinikahkan adalah jika korban telah siap dibuahi dan sudah pernah menstruasi.
      • Secara hukum (Undang-undang perkawinan pasal 7 ayat 1) perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

    REFERENSI
    1. DeCherney AH, Nathan, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology.10th edition. The McGraw-Hill Companies. 2009.
    2. Arif Budianto, Wibisana Widiatmaka, Siswandi Sudiono, Winardi, Abdul Mun’im, Sidhi, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: FKUI; 1997.
    3. Shepherd Richard. Simpson’s Forensic Medicine. 12th edition. Arnold. 2003.
    4. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current Diagnosis and Treatment: Pediatrics. 19th edition. The McGraw-Hill Companies. 2009.
    5. Idris, AM, Tjiptomartono, AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto.2011