ANATOMI , PATOFISIOLOGI DAN TERAPI NYERI

NYERI
PENDAHULUAN
  • Nyeri, “pengalaman sensoris dan emosional yang tak menyenangkan itu,” telah didefinisikan dalam pelbagai bentuk – epikritik dan protopatik, akut dan kronis, somatis dan psikogenik. Deskripsi seperti itu kecil artinya dalam menentukan patofisiologi dari pengalaman tersebut atau dalam menuntun manajemennya. Secara tradisional “alur-alur nyeri” telah didiskusikan dengan menggunakan definisi nyeri yang paling ketat – nosisepsi (nociception).
  • Pendekatan ini berlaku dalam situasi eksperimental, atau pada hewan-hewan percobaan. Tetapi, sindrom nyeri klinis jarang sekali begitu sederhana. Maka dari itu perlu memperkenalkan terminologi yang akan menjelaskan lebih akurat proses patopsikologis yang terlibat dalam generasi, transmisi dan proses dari, dan respons terhadap rangsang nyeri.
  • Mekanisme nyeri, alur-alurnya dan manajemennya dibahas dibawah kategori berikut ini, yang nampaknya secara klinis sangat menarik.
    • 1. Nyeri akut nosiseptik ( somatik dan viseral )
    • 2. Nyeri pasca-operasi
    • 3. Nyeri neuropatik
    • 4. Nyeri terminal
    • 5. Nyeri kronis (berkaitan dengan perilaku)
    • 6. Nyeri psikogenik
  • Untuk mendiskusikan masalah tersebut perlu menilik ulang mekanisme neuropsikologik yang disangka, baik dari sudut pandang anatomi maupun biokimia. Pada saat yang sama, aplikasi klinis dari perubahan-perubahan fungsi anatomis atau komponen biokemis dibahas dalam prinsipnya. Aplikasi klinis dari perubahan-perubahan itu dibahas dalam makalah ini
Nyeri Akut Nosiseptif
  • Sistem syaraf manusia memiliki mekanisme untuk mendeteksi dan merespon terhadap stimulus noksius / berbahaya. Sistem-sistem itu harus mengandung reseptor-reseptor untuk mendeteksi kejadian yang berbahaya, alur-alur untuk me-relay informasi secara sentral, mekanisme proses sentral, dan sistem respons. Sistem terakhir itu bisa mencakup refleks-refleks penarikan mundur, perilaku-perilaku menghindar, belajar dan respon otonom.
  • Nosiseptor-nosiseptor Perifer. 
    • Kulit dan organ-organ lain memiliki reseptor-reseptor khusus yang hanya merespon terhadap stimulus-stimulus yang berbahaya/noxious. Nosiseptor-nosiseptor itu tampak seperti ujung-ujung syaraf yang bebas yang responsip terhadap stimulus-stimulus yang intensitasnya tinggi, stimulus termal dan kemikal/kimiawi. Ada pelbagai klasifikasi untuk stimulus-stimulus yang nyeri / nosiseptor itu. Yang paling rasional didasarkan pada sifat-sifat dari sistem-sistem itu.
    • Ini meliputi stimulus optimal untuk mengaktifkan nosiseptor, sisi anatomis dari nosiseptor (kulit, otot, viskus, dll) dan kecepatan konduksi dari jaringan / fiber pembawa / afferent yang terkait. Fiber-fiber itu selalu berada dalam kelompok A-delta dan C.
    • Ada nosiseptor dengan modalitas khusus (ump. panas) tetapi sebagian besar tampaknya merespon kepada lebih dari satu stimulus noksius. Rupanya nosiseptor yang paling umum adalah nosiseptor panas-mekanik yang berhubungan dengan kulit, yang merespon terhadap stimulus mekanik-noksius dan stimulus termal. Keduanya mengaktifkan baik fiber-fiber A-delta maupun fiber-fiber C. Yang paling umum yang terdapat pada manusia adalah nosiseptor fiber C-mechanoheat (panas mekanis). Mereka juga bisa disebut sebagai C poly modal nociceptor, karena mereka merespon juga terhadap stimulus kimiawi (kemis). Nyatanya ada juga A-fiver mechanoheat nociceptor yang bisa dibagi juga dalam Type I dan Type II berdasarkan pada ambang / threshold responsnya. 
    • Type I memiliki ambang batas tinggi (49oC) dan Type II ambang batas lebih rendah (42oC) untuk pengaktivannya. Ada pula kelompok keempat A-fiber nociceptor, yang hanya merespon kepada stimulasi mekanis yang berintensitas, mechanoreceptor dengan ambang batas yang tinggi. Peran yang sebenarnya dari pelbagai nosiseptor dalam respons tertentu terhadap stimulus yang berbahaya (noxious) belum diketahui, tetapi dalam kebanyakan hal klinis lebih dari satu type nosiseptor yang akan diaktifkan.
  • Nyeri Viseral.
    • Sifat dari nyeri yang menyebar dan sukar ditentukan tempatnya di alat dalam dan fenomena nyerinya sering menyukarkan evaluasi dan diagnosa pada pasien-pasien dengan nyeri dalam (visceral pain) khususnya abdominal. Seorang pasien tak dapat mengeluhkan rasa sakit dalam pankreas itu sendiri, tetapi dirasakan nyeri abdomen bagian atas atau dipunggungnya.
    • Tetapi, kenyataan bahwa afferen viseral menonjol ke urat syaraf tulang belakang dengan fiber-fiber simpatik menjadi lebih berguna secara klinis. Rasa nyeri viseral semacam itu sering dapat diinterupsi dengan anestesi pada fiber simpatik yang tepat atau ganglia, yang mungkin bisa dicapai melalui rute percutaneous (melalui kulit) umpamanya, nyeri viseral dari pankreas, hati, lambung atau gallbladder/kelenjar empedu sering diatasi dengan blok anestesia lokal dari fiber-fiber afferen viseral yang terdekat pada celiac plexus atau syaraf splanchnic.
    • Harus dicatat bahwa sangat sulit menentukan kontribusi relatif dari sistem-sistem sensorisomatik dan viseral terhadap sindrom nyeri tertentu. Agaknya ada komponen otomatis pada setiap sindrom nyeri, Afferen-afferen nosiseptif mengaktifkan baik refleks somatis maupun otomatis. Refleks somatis atau kekejangan otot viseral dan refleks vasokonstriksi keduanya dapat menimbulkan rasa nyeri. 
    • Mengurangi rasa nyerinya dengan blok simpatetik bisa memberikan interpretasi salah dari penyebab utama rasa nyeri itu. Begitu pula, adanya reaksi plasebo tidak menunjukkan tidak adanya aktivitas nosiseptif, dan karena itu tak bisa dipakai untuk berkesimpulan tentang adanya nyeri psikogenik.
    • Secara klinis nyeri akut memiliki banyak karakteristik nosisepsi, maka prinsip-prinsip untuk blokade nosisepsi dapat dipakai untuk mengurangi rasa nyeri yang akut. Keterkaitan antara nyeri akut, refleks lokal otot yang kejang dan perubahan vaskuler belum jelas dirumuskan. Bukan tak masuk akal untuk beranggapan bahwa kekejangan otot lokal, pada waktunya akan menjadi berasa nyeri karena terlepasnya metabolit-metabolit. Ini menyebabkan otot-otot sekitarnya mengalami kekejangan refleks lebih lanjut, seperti lingkaran setan. Begitu pula, jika rasa nyeri menyebabkan refleks vasokonstriksi lokal, ischemia yang diakibatkannya bisa memperparah nyeri lokal tersebut.
Nyeri Pasca Operasi
  • Nyeri pasca operasi adalah varian dari nyeri nosiseptif yang akut. Kerusakan jaringan akut disebabkan oleh pembedahan dan ada sampai terjadi penyembuhan. Ada perbedaan nyata antara nyeri akut dan nyeri sesudah operasi. Nyeri pasca operasi biasanya tidak penting secara diagnostik. Karena penyebab rasa nyeri itu sudah jelas kerusakan jaringan menyusul trauma pembedahan. Dalam beberapa kasus, mungkin ada kerusakan insidental atau kerusakan tambahan yang tak disengaja pada jaringan neural, vaskuler atau lainnya.
  • Dalam kasus-kasus seperiti itu, nyeri pasca operasi bisa mempunyai diagnostik signifikan. Jika nyeri telah berkurang, klinisi harus bersandar pada simptom-simptom lain serta tanda-tanda lain untuk mendeteksi adanya kerusakan syaraf, ischemia, infeksi, tekanan, nekrosis, sindrom kompartemen, atau distensi viseral (umumnya kandung kencing).
  • Dalam pembedahan “rutin” biasanya sejumlah jaringan yang berbeda telah dirusak. Afferen-afferen kulit akan diaktifkan, afferen-afferen otot juga diaktifkan lewat insisi atau traksi, dan otot-otot akan terasa nyeri ketika kekejangan refleks berlanjut. Visera bisa menjadi kembung / distended, dan afferen viseral telah diaktifkan oleh operasi (ump. dengan diathermi atau traksi). Karena nyeri pasca operasi umumnya kombinasi dari nosisepsi somatis dan viseral, maka terapi nyeri dalam masa pasca-operasi mungkin membutuhkan dipakainya teknik-teknik untuk mengurangi baik komponen maupun memperhatikan fakta-fakta lain yang mungkin memperkuat respon nyeri (seperti rasa cemas, depresi).
Prinsip umum untuk blokade nosisepsi bisa diringkas sebagai berikut :
  • 1. Pemberian obat antiradang perifer
  • 2. Blokade nosiseptor perifer / topikal
  • 3. Blokade syaraf perifer
  • 4. Blokade syaraf spinal
  • 5. Antinosisepsi spinal (narkotik dan non narkotik)
  • 6. Antinosisepsi sentral (batang-otak dan lebih tinggi lagi)
  • 7. Kombinasi dari yang tersebut diatas.
  • Stres psikologis yang disebabkan oleh nyeri akut secara biologis berguna juga. Tetapi dalam periode pasca-operasi respons terhadap stres menghasilkan efek kurang baik pada semua sistem psikologis. Telah ditunjukkan secara gamblang bahwa pengurangan rasa sakit dari nyeri pasca-operasi mengurangi baik mortalitas maupun morbiditas dari pembedahan dan mengantarkan pada penyembuhan lebih awal dari pembedahan tersebut. Mungkin juga bahwa perawatan secara memadai dari nyeri selama operasi / perioperative pain bisa mencegah perkembangan sindrom nyeri kronis.
  • Nyeri pasca-operasi memiliki korelasi psikologis yang berbeda dari nyeri akut. Rasa nyeri selama masa pasca-operasi memang dimaklumi oleh para pasien, sanak keluarga, ahli-ahli bedah, perawat dan staf paramedis lainnya. Dalam budaya barat kemampuan untuk menahan rasa sakit tanpa mengeluh sangat dihargai. Telah ditunjukkan bahwa pasien-pasien yang tak meminta analgesik pasca-operasi diberikan lebih banyak daripada mereka yang justru memintanya. Jika para perawat diberi kebijaksanaan tentang dosisnya, mereka akan memberikan non-narkotik ketimbang narkotik, dan akan memberikan dosis terendah narkotiknya, jika harus diberikan.
Nyeri Neuropatik
  • Perubahan-perubahan tertentu dari struktur syaraf serta fungsinya bisa mengakibatkan rasa nyeri. Perubahan-perubahan metabolik dari diabetes atau keracunan merkuri bisa menghasilkan nyeri saraf perifer yang sangat.
  • Kerusakan oleh virus ump. Herpes zostor, poliomyelitis yang terlambat dan penyakit Guillain – Barre, bisa mengakibatkan keadaan yang sangat nyeri. Trauma terhadap syarat perifer dapat berakibat nyeri neuropatik dari neuromas, causalgia atau nyeri phantom.
  • Mekanisme yang memproduksi rasa nyeri belum diketahui dalam salah satu dari kejadian tersebut, meskipun mungkin ada sebuah ke-tidak-seimbangan dalam jumlah relatif dari fiber-fiber yang besar dan kecil. Kerusakan pada dorsal akar ganglia, akar-akar dorsal, sungsum tulang belakang, thalamus atau korteks serebri bisa mengakibatkan nyeri peuropatik sentral, umumnya untuk waktu yang tak terbatas. Dalam kasus-kasus tersebut tak ada kerusakan jaringan yang terus berlanjut atau terjadi proses menyerupai nosisepsi perifer.
  • Sistem simpatik bisa dilibatkan dalam sindrom-sindrom nyeri neuropatik tertentu, seperti kausalgia dan distropi refleks simpatis. Dalam beberapa kasus ump. neuralgia trigeminal atau migraine, mungkin tak terdapat keabnormalan anatomis atau biokemia yang bisa di-identifikasi. 
  • Ada 4 mekanisme yang mungkin untuk produksi rasa nyeri pada lesi syaraf perifer, seperti dinyatakan Wall : 
    • 1) Gate Control bisa disebabkan oleh gagal fungsi, 
    • 2) syaraf-syaraf mungkin menjadi sensitif secara mekanis dan menghasilkan impuls / dorongan ektopik. 
    • 3) mungkin ada cabangsilang/crosstalk antara serabut besar dan kecil dan
    • 4) mungkin ada perubahan dalam prosesing sentral.
  • Ada berbagai observasi klinis yang sukar diterangkan. Phantom limbs sering didistorsi dan nyeri yang dibayangkan bisa mirip dengan nyeri dalam anggota badan sebenarnya, yang sekarang di amputasi, yang tak dapat bangkit dari ujung-ujung syaraf perifer yang terpotong dalam beberapa kasus, anestesi spinal menghasilkan nyeri phantom, dan ini melibatkan sebuah mekanisme supra-spinal. Rasa nyeri karena kerusakan syaraf perifer (causalgia) telah lama di akui sebagai memiliki sebuah komponen simpatetik. 
  • Simpatektomi (oleh berbagai variasi teknik perifer dan teknik sentral) merupakan andalan dari pengobatan. Jika simpatektomi efektif, maka nyeri dapat dianggap “dipertahankan secara simpatik”. Hal ini secara eksperimental telah dipelajari secara luas, dan ternyata bahwa afferen simpatik dapat mengirimkan info yang bersifat nosiseptif. Tetapi, salah satu ciri dari rasa nyeri ini adalah bahwa ia diikuti oleh kelebihan aktivitas efferen simpatik. Ini bisa direfleksikan pada perubahan-perubahan dalam kontrol aliran darah ke kulit, otot, dan tulang didaerah yang terkena, dan perubahan-perubahan dalam pilo-erection, berkeringkat, dan mungkin kepekaan nosiseptor pada kulit. Terapi selain blokade syaraf, narkotik, anxiolitik, antidepresan, antikejang.
Nyeri Terminal
  • Rasa nyeri bisa timbul dalam stadium akhir penyakit keganasan dan penyakit-penyakit lain (ump. penyakit vaskuler sentral dan perifer, scleroderma atau gangguan jaringan yang terkait, AIDS dan neuropatik)
  • Pada kasus kanker mungkin ada rasa nyeri yang terkait dengan kanker itu sendiri, nyeri karena terapi kanker, dan nyeri yang tak ada kaitannya, yang mungkin sebelumnya sudah ada. Karakteristik nyata dari nyeri terminal adalah pengaruh psikologis dari kematian yang menunggu. Ini bisa dibagi dalam 5 tahap : penolakan, rasa marah, tawar menawar, depresi, dan kepasrahan.
  • Maka ada kemungkinan adanya pelbagai komponen dari sindrom nyeri, dan modalitas terapeutik tunggal agaknya akan gagal. Sangatlah penting bahwa semua komponen nyeri dinilai seluruhnya, sehingga konstribusi relatif mereka terhadap penderitaan secara keseluruhan dapat dirumuskan. Ini mungkin memerlukan juga pendekatan multidisipliner. Setiap faktor penopang harus dinilai dalam daftar, berorientasi pada masalahnya, dan keputusan-keputusan terapeutik dapat dibuat atas dasar manfaat yang mungkin ada dibandingkan dengan efek yang kurang baik. Terapi yang dianjurkan adalah sesuai dengan The Analgesic ladder dari WHO.
Nyeri Kronis
  • Lama berlangsungnya rasa nyeri kadang-kadang digunakan dalam definisi arbitrase tentang nyeri kronis. Tetapi, ini bukan salah satu hal yang menyolok dalam kategori rasa nyeri.
  • Kriteria esensial dari nyeri kronis terkait dengan aspek kognitif – perilaku, ketimbang komponen nosiseptif apapun. Kategori lain dari nyeri – akut, pascaoperasi, neuropatik dan terminal – bisa diperpanjang semua tetapi tidaklah “kronis” jika mereka tetap memegang karakteristik psikologis dan patofisiologinya yang orisinil. Penentuan tentang nyeri kronis, tergantung pada evaluasi semua komponen dari sindrom tersebut. Jika masalah rasa nyeri tidak pas dalam salah satu kategori diatas, maka nyeri kronis tak dapat dikatakan ada. Jika salah satu dari kategori – kategori lain itu ada, dan kriteria perilaku nyeri kronis tidak ada, maka sindrom itu hanya sebuah contoh jangka panjang dari kategori tersebut. Terapi : NSAID, antidepresan, blokade syaraf, strategi pengetahuan dan modifikasi perilaku. Narkotik, sedatif – hipnotik adalah kontra indikasi.
Nyeri Psikogenik
  • Diagnostic and Statistical Manual yang telah direvisi (DSM-111-R) mencantumkan sejumlah kondisi psikologis dan psikiatrik dimana rasa nyeri adalah hal yang signifikan.
  • Harus ditekankan kembali bahwa diagnosa nyeri psikogenik tak dapat dibuat atas dasar blok – blok syaraf diagnostik atau differensial karena semua kesukaran yang melekat pada interpretasi blok – blok tersebut. Hal itu hanya dapat dilakukan setelah disingkirkannya dengan susah payah semua patologi somatik dan dilakukan oleh psikiater yang berpengalaman. Harus juga di ingat bahwa dalam kasus – kasus seperti itu semua intervensi fisik, termasuk blok – blok diagnostik, bisa memperkuat kepercayaan pasien bahwa ada proses somatis yang reversible yang bisa ditemukan hanya dengan satu tes dan disembuhkan dengan satu blok syaraf atau operasi. Memang terapinya paling sulit.

KESIMPULAN
  • Konsep pengalaman nyeri selalu berubah, sejalan dengan hasil dan perkembangan dalam neuroanatomi , neurofisiologi, neurofarmakologi dan pengetahuan tentang perilaku.
  • Celakanya, pengelolaan nyeri tidak mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut, dan banyak praktisi yang tetap berpegang pada teori lama dan pengetahuan yang sederhana tentang nyeri.
  • Karena itu menjadi kewajiban para praktisi nyeri modern untuk menginformasikan teori-teori dan penemuan-penemuan baru mengenai masalah nyeri dan pengelolaannya.

DAFTAR PUSTAKA
  • 1. Wilson PR, Lamer TJ. Pain Mechanisme : Anatomy and Physiology. In : Raj PP. Practical Management of Pain. 2nded, Mosby Year Book Inc., St. Louis, Baltimore, 1992 : 65-77.
  • 2. Fields HL. Pain. Mc. Graw-Hill Book Co., San Fransisco, California USA, 1987.
  • 3. Raja SN, Meyer RA, Campbell JN. Peripheral Mechanism of Somatic Pain. Anesthesiology 1988; 68 : 571-590.
  • 4. Yeager MP, Glass DD, Neff, et al : Epidural Anesthesia and Analgesia in Hight-Risk Surgical Patients. Anesthesiology 1987 :66 : 729-736.
  • 5. Rawal N. Postoperative Pain and Its Management. In : Raj PP. Practical Management of Paint. 2 nded, Mosby Year Book Inc., St. Louis, Baltimore 1992 : 367-386.
  • 6. Wong HJ. Non-opioid Analgesics Use in Perioperative Period. In: Collins VJ. Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Williams and Wilkins, A Waverly CO., Baltimore, Philadelphia 1996 : 599-607.
  • 7. Wall PD. Cancer Pain : Neurogenic Mechanisms. In : Max MB, Partenoy RK, Laska EM. Advances in Pain Research and Therapy. Raven Press, New York 1991; 18 : 193-221.
  • 8. Bruera E. Cancer Pain : Chronic Studies of Adjuvants to Opiat Analgesics. In : Max MB, Partenoy RK, Laska EM. Advances in Pain Research and Therapy. Raven Press, New York 1991 : 18 : 267–279.
  • 9. Max MB. Neuropathic Pain Syndromes. In: Mzx MB, Partenoy RK, Laska EM. Advances in Pain Research and Therapy. Raven Press, New York 1991; 18 : 193-221.
  • 10. Murphy TM. Treatment of Chronic Pain. In: Miller RD. Anesthesia. 2 nded, Churcill Livingstone, New York 1986; 2077-2081.