sistim saraf otonom jantung : anatomi, faal, transmisi neurohurmonal dan adenergik

JANTUNG
PENDAHULUAN
  • Setiap tahun di Amerika Serikat terdapat kurang lebih 25 juta pasien yang menjalani operasi non jantung, dimana sekitar 50 ribu pasien menderita infark miokard perioperatif dan dari 40 ribu pasien perioperatif lebih dari setengahnya meninggal disebabkan oleh kelainan jantung.
  • Seperti penduduk di negara lain, di Amerika Serikat, baik jumlah total maupun prosentasi penduduk yang berusia diatas 65 tahun terus meningkat, dimana kelompok ini paling sering memerlukan tindakan operasi dan sekitar seperempat dari tindakan operasi tersebut berhubungan dengan resiko penyakit jantung dan kematian.
  • Morbiditas jantung dan kematian perioperatif tersering berhubungan dengan iskemik miokard, gagal jantung kongestif atau aritmia. Evaluasi preoperatif dan tatalaksana perioperatif akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas khususnya deteksi terhadap karakteristik dan pengobatan penyakit arteri koronaria, disfungsi sistolik ventrikel kiri dan aritmia yang mengancam. Ahli penyakit dalam dan ahli kardiologi dapat membantu mengevaluasi dan memberikan tatalaksana pasien-pasien tersebut sebelum dan selama menjalani operasi non jantung.
  • Sistem kardiovaskuler merupakan suatu susunan yang kompleks, terdiri dari pipa (pembuluh darah), pipa fleksibel (otot polosnya mampu untuk konstriksi dan relaksasi), aliran terbatas (vena dan katup jantung) dan pompa mekanik (miokardium). Oleh karena banyaknya fungsi dari sistem kardiovaskuler, maka modulasi kimia oleh karena obat-obatan amat bervariasi dengan tempat aksi terdistribusi luas di berbagai lokasi dan melibatkan sistem reseptor yang amat banyak. Pada akhirnya dapat dibedakan reseptor pengikat obat (agonis dan antagonis) yang menyebabkan respon klinis.
  • Miokardium dapat mempertahankan automatisitas kontraksi ritmisnya, namun demikian miokardium responsif terhadap pengaruh persarafan ekstrinsik. Ritme dan laju jantung diatur oleh pengaruh antagonistik sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Jika kedua sistem saraf tersebut diaktivasi secara simultan, pengaruh vagal menjadi predominan. Efek tersebut disebut sebagai keunggulan antagonisme.
  • Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas medikasi jantung kronis perioperatif, dilanjutkan dengan medikasi jantung akut intraoperatif dan terakhir tentang protokol tatalaksana pada situasi klinik spesifik. Obat-obat antiaritmia dan protokol resusitasi kardiopulmonal dibahas pada tinjauan pustaka yang lain.

SISTEM SARAF OTONOM
Anatomi susunan saraf otonom
  • Sistem saraf otonom terdiri dari jalinan yang kompleks antara saraf, sensori, jaras efektor dan modulasi di otak terhadap berbagai rangsangan. Rangsang perifer yang terdiri dari nyeri, tekanan, temperatur dan sentuhan sebagaimana rangsang yang lebih spesifik seperti rasa, bau, pendengaran dan penglihatan diproses pada tingkat yang bervariasi di sistem saraf.
  • Saraf otonom terdiri dari saraf praganglion, ganglion dan saraf pascaganglion yang mempersarafi sel efektor. Lingkaran refleks saraf otonom terdiri dari : saraf aferen yang sentripetal disalurkan melalui N. vagus, pelvikus, splanknikus dan saraf otonom lainnya. Badan sel serat-serat ini terletak di ganglia dalam kolumna dorsalis dan di ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. Tidak ada perbedaan yang jelas antara serabut aferen sistem saraf otonom dengan serabut aferen sistem somatik, sehingga tidak dikenal obat yang secara spesifik dapat mempengaruhi serabut aferen otonom. Serat eferen yang disalurkan melalui saraf praganglion, ganglion dan saraf pascaganglion berakhir pada sel efektor.
  • Saraf otonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya, kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat otonom, misalnya di medula oblongata terdapat pengatur pernapasan dan tekanan darah; hipotalamus dan hipofisis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan air, metabolisme karbohidrat dan lemak, pusat tidur dan sebagainya. Hipotalamus dianggap sebagai pusat susunan saraf otonom. Walaupun demikian masih ada pusat yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai koordinator antara sistem otonom dan somatik.
  • Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Serat eferen sistem simpatis dan parasimpatis berasal dari otak, berjalan di dalam kolumna anterolateral korda spinalis (walau tiap sistem berbeda tingkatan), dan menggunakan asetilkolin (Ach) sebagai neurotransmiter pada tingkat ganglion, tetapi berbeda dalam penggunaannya di tempat sambungan neuroefektor jaringan target. Sistem simpatis disalurkan melalui serat torakolumbal dari torakal 1 sampai lumbal 3, dalam sistem ini termasuk ganglia paravertebral, pravertebral dan ganglia terminal menggunakan norepinefrin sebagai neurotransmiter pada sambungan neuroefektor. Sistem parasimpatis atau kraniosakral outflow disalurkan melalui saraf otak ke III, VII, IX, X, dan N. pelvikus yang berasal dari bagian sakral segmen 2, 3 dan 4 menggunakan ACh sebagai neurotransmiter baik pada ganglion maupun sambungan neuroefektor.

  • Serat aferen misalnya yang berasal dari presorreseptor dan kemoreseptor dalam sinus karotikus, badan karotis dan aorta yang diteruskan melalui N. IX dan X menuju ke medula oblongata. Sistem ini berhubungan dengan refleks untuk mempertahankan tekanan darah, frekuensi jantung dan pernapasan.

Faal susunan saraf otonom
  • Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatis dan parasimpatis memperlihatkan fungsi yang antagonistik. Bila yang satu menghambat suatu fungsi maka yang lain memacu fungsi tersebut. Contoh yang jelas ialah midriasis terjadi dibawah pengaruh saraf simpatis dan miosis dibawah pengaruh parasimpatis.
  • Organ tubuh umumnya dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis, dan tonus yang terlihat merupakan hasil perimbangan kedua sistem tersebut. Inhibisi salah satu sistem oleh obat maupun akibat denervasi menyebabkan aktivitas organ tersebut didominasi oleh sistem yang lain. Tidak pada semua organ terjadi antagonisme ini, kadang-kadang efeknya sama, misalnya pada kelenjar liur. Sekresi liur dirangsang baik oleh saraf simpatis maupun parasimpatis, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya; pada perangsangan simpatis liur kental, sedangkan pada perangsangan parasimpatis liur lebih encer. Fungsi dua sistem tersebut dapat juga saling melengkapi, misalnya pada fungsi seksual, ereksi merupakan fungsi parasimpatis sedangkan ejakulasi simpatis. 
  • Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem parasimpatis berperan dalam fungsi konservasi dan reservasi tubuh. Sedangkan sistem simpatis berfungsi mempertahankan diri terhadap tantangan dari luar tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau pertahanan diri yang dikenal sebagai fight or flight reaction. Sistem parasimpatis bersifat vital bagi tubuh. Sebaliknya mahluk dapat hidup setelah denervasi saraf simpatis asalkan dilindungi terhadap ancaman dari luar yaitu hidup cukup makanan dan air, tanpa perubahan besar dalam suhu, kelembaban dan tekanan atmosfir. Bila ada stres, mahluk yang telah didenervasi tersebut cenderung lebih cepat mati dibanding mahluk yang sistem simpatisnya utuh.
  • Sistem simpatis aktif setiap saat, walaupun aktivitasnya bervariasi dari waktu ke waktu. Dengan demikian penyesuaian tubuh terhadap lingkungan terjadi secara terus menerus. Dalam keadaan darurat, sistem simpatoadrenal (terdiri dari sistem simpatis dan medula adrenal) berfungsi sebagai satu kesatuan bekerja secara serentak: denyut jantung meningkat, tekanan darah meningkat, darah terutama dialirkan ke otot rangka, glukosa darah meningkat, dilatasi bronkus dan midriasis. Secara keseluruhan organisme tersebut siap untuk lari atau bertempur.
  • Sistem parasimpatis fungsinya lebih terlokalisasi, tidak difus seperti sistem simpatis, dengan fungsi primer reservasi dan konservasi sewaktu aktivitas organisme minimal. Sistem ini mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi basal, menstimulasi sistem pencernaan berupa peningkatan motilitas dan sekresi getah pencernaan, meningkatkan absorbsi makanan, memproteksi retina terhadap cahaya berlebihan, mengosongkan rektum dan kandung kemih. Dengan demikian saraf parasimpatis tidak perlu bekerja secara serentak.

Transmisi neurohumoral
  • Impuls saraf dari SSP hanya dapat diteruskan ke ganglion dan sel efektor melalui penglepasan suatu zat kimia yang khas yang disebut transmitor neurohumoral atau disingkat transmitor. Tidak banyak obat yang pada dosis terapi dapat mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat mengubah transmisi neurohumoral. 
  • Konduksi saraf hanya dapat dipengaruhi oleh anestetik lokal dosis terapi yang diinfiltrasikan dalam kadar yang relatif tinggi di sekitar batang saraf, dan oleh beberapa zat lain seperti tetrodotoksin. Pada akson, potensial membran istirahat ialah sekitar –70 mV. Potensial negatif ini disebabkan oleh kadar ion K di dalam sel saraf 40 kali lebih besar daripada kadarnya di luar sel, sedangkan ion Na dan Cl jauh lebih banyak di luar sel. Dalam keadaan potensial istirahat ini, ion Na tidak dapat memasuki sel. 
  • Bila ada depolarisasi yang mencapai ambang rangsang maka permeabilitas terhadap ion Na sangat meningkat sehingga ion Na masuk ke dalam aksoplasma dan menyebabkan potensial istirahat yang negatif tadi menuju netral dan bahkan menjadi positif (disebut polarisasi terbalik). Ini diikuti dengan repolarisasi, yaitu kembalinya potensial istirahat dengan terhentinya pemasukkan ion Na dan keluarnya ion K. Perubahan potensial tersebut di atas disebut potensial aksi (impuls) saraf (nerve action potential, NAP).
  • NAP akan berjalan sepanjang akson sampai di ujung saraf, di sini NAP menyebabkan penglepasan transmitor. Transmitor akan melintasi celah sinaps selebar 100 – 500 Angstrom ke membran pascasinaps. Transmitor ini disintesis dan disimpan di ujung akson dalam organel yang disebut gelembung (vesikel) sinaps.
  • Transmitor yang dilepaskan dari ujung saraf praganglion ialah asetilkolin (ACh). ACh berdifusi sepanjang celah sinaps dan mencapai membran pascasinaps; di sini ACh bergabung dengan reseptornya dengan akibat terjadinya depolarisasi membran saraf pascaganglion yang disebut potensial perangsangan pascasinaps (excitatory postsinaptic potential, EPSP). Depolarisasi terjadi akibat peningkatan permeabilitas ion Na dan K sekaligus. EPSP akan merangsang terjadinya NAP di saraf pascaganglion yang sesampainya di sinaps saraf-efektor akan menyebabkan penglepasan transmitor lagi untuk meneruskan sinyal ke sel efektor. Pada sinaps saraf-efektor ini dilepaskan transmitor ACh pada saraf pascaganglion parasimpatis dan norepinefrin (NE) pada saraf pascaganglion simpatis. Reaksi sel efektor dapat berupa perangsangan atau penghambatan tergantung jenis transmitor dan jenis reseptornya.
  • Suatu transmisi neurohumoral tidak selalu menyebabkan depolarisasi tetapi juga dapat menyebabkan hiperpolarisasi. Hiperpolarisasi pada membran saraf pascaganglion disebut potensial inhibisi pascasinaps (inhibitory postsynaptic potential, IPSP) dan menyebabkan hambatan organ pascasinaps. Hiperpolarisasi terjadi akibat peningkatan permeabilitas ion K+.
  • Bila transmitor tidak diinaktifkan maka transmisi sinaptik akan terus berlangsung pada membran pascasinaps dengan akibat terjadinya perangsangan yang berlebihan atau bahkan disusul dengan blokade. Karena itu harus ada mekanisme untuk menghentikannya. Pada sinaps kolinergik terdapat asetilkolinesterase, suatu enzim penghidrolisis ACh yang kerjanya cepat sekali. Pada sinaps adrenergik, NE terutama diambil kembali oleh ujung saraf adrenergik. Ambilan kembali NE ini selain untuk menghentikan transmisi sinaps juga berfungsi untuk menghemat NE.
  • Saraf yang mensintesis dan melepaskan ACh disebut saraf kolinergik, yakni saraf praganglion simpatis dan parasimpatis, saraf pascaganglion parasimpatis, dan saraf somatik yang mempersarafi otot rangka. Saraf yang mensintesis dan melepaskan NE disebut saraf adrenergik, yakni hampir semua saraf pascaganglion simpatis.
  • Keempat tahap transmisi neurohumoral yaitu sintesis, penyimpanan, penglepasan, ikatan dengan reseptor dan eliminasi transmitor merupakan dasar untuk pengertian kerja obat otonom.

Reseptor kolinergik
  • Ada 2 macam reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik. Reseptor nikotinik yang terdapat di ganglia otonom, medula adrenal dan SSP disebut reseptor nikotinik neuronal, sedangkan reseptor nikotinik yang terdapat di sambungan saraf-otot disebut reseptor nikotinik otot (nicotinic muscle). Semua reseptor nikotinik berhubungan langsung dengan kanal kation, aktivasinya menyebabkan peningkatan permeabilitas ion Na+ dan K+ sehingga terjadi depolarisasi, yakni potensial lempeng saraf (EPP, end-plate potential) pada otot rangka (yang menimbulkan potensial aksi otot dan kontraksi otot rangka) dan potensial perangsangan pascasinaps (EPSP, excitatory postsynaptic potential) pada ganglia (yang menimbulkan potensial aksi neuron pascaganglion dan sekresi epinefrin dan NE dari medula adrenal).
  • Reseptor muskarinik ada 3 subtipe, yakni M1 di ganglia dan berbagai kelenjar, M2 di jantung, dan M3 di otot polos dan kelenjar. Reseptor M1 dan M3 menstimuli fosfolipase C melalui protein G yang belum dikenal dan menyebabkan peningkatan kadar Ca++ intrasel sehingga terjadi kontraksi otot polos dan sekresi kelenjar serta late EPSP pada ganglia. Aktivasi reseptor M2 di jantung melalui protein GI menyebabkan hambatan adenil siklase dan aktivasi kanal K+ yang mengakibatkan efek kronotropik dan inotropik negatif dari ACh.

Transmisi adrenergik
  • Pada awal abad 20 telah diketahui bahwa yang meneruskan rangsang dari saraf simpatis pascaganglion ke sel efektor adalah zat yang dikenal sebagai simpatin. Simpatin ini ternyata NE. Dalam pembahasan transmisi adrenergik selain NE dibahas juga dopamin, transmitor terpenting sistem ekstrapiramidal, dan epinefrin (Epi) yang dihasilkan oleh medula adrenal
Katekolamin : sintesis, penyimpanan, penglepasan dan terminasi kerjanya
  • Sintesis katekolamin terjadi di ujung saraf adrenergik. Enzim-enzim yang berperan disintesis dalam badan sel neuron adrenergik dan ditranspor sepanjang akson ke ujung saraf. Hidroksilasi tirosin merupakan tahap penentu (rate-limiting step) dalam biosintesis katekolamin. Disamping itu, enzim tirosin hidroksilase ini dihambat oleh senyawa katekol (umpan balik negatif oleh hasil akhirnya).
  • Epinefrin paling banyak ditemukan dalam kelenjar adrenal, sedangkan NE disintesis dalam saraf pascaganglion simpatis. Pada ujung akson saraf simpatis terlihat vesikel tempat NE disimpan dalam kadar yang sangat tinggi. Vesikel yang berdiameter 0,05 – 0,2 µm ini terlihat pada mikrograf elektron dari jaringan yang dipersarafi saraf adrenergik. Dalam vesikel atau granul kromafin ini terdapat katekolamin (kira-kira 21% berat kering) dan ATP dalam perbandingan molekuler 4 : 1, suatu protein spesifik yang disebut kromogranin, enzim dopamin beta-hidroksilase (DBH), asam askorbat dan peptida (misalnya prekursor enkefalin). 
  • Tahap sintesis sampai terbentuk dopamin terjadi di sitoplasma. Dopamin ditranspor aktif ke dalam vesikel dan di situ diubah menjadi NE. Hanya di medula adrenal terdapat enzim N-metiltransferase yang mengubah NE menjadi Epi di sitoplasma. Epi yang masuk kembali ke dalam vesikel merupakan 80% katekolamin dalam medula adrenal, sisanya berupa NE. Seluruh isi vesikel ini dilepaskan pada perangsangan saraf dengan proses eksositosis.
  • Berbeda dengan sistem kolinergik yang transmisi sinaptiknya dihentikan melalui pemecahan ACh oleh AChE, NE yang dilepaskan dari ujung saraf adrenergik akan mengalami hal-hal berikut : (1) ambilan kembali ke dalam ujung saraf (disebut ambilan-1);  difusi keluar dari celah sinaps dan ambilan oleh jaringan ekstraneuronal (disebut ambilan-2); dan metabolisme oleh enzim COMT menjadi normetanefrin. Pada kebanyakan organ, terminasi kerja NE terutama melalui proses ambilan-1. Pada pembuluh darah dan jaringan dengan celah sinaps yang lebar, peran ambilan-1 berkurang, dan sebagian besar NE diinaktifkan melalui ambilan-2, metabolisme dan difusi. Hal yang sama terjadi pada NE yang diberikan dari luar. Untuk Epi yang beredar dalam sirkulasi, inaktivasi terutama melalui ambilan-2, tebolisme oleh COMT menjadi metanefrin dan difusi.
  • Proses ambilan-1, merupakan sistem transpor yang memerlukan pembawa (carrier) dan ion Na+ ekstrasel tetapi tidak memerlukan ATP, sehingga merupakan proses fascilitated diffusion. Proses ini berjalan sangat cepatdan dapat dihambat oleh beberapa obat, misalnya kokain dan imipramin. Ambilan-2 tidak dihambat oleh obat-obat tersebut. Ambilan-1 lebih selektif untuk NE dibanding Epi, dan tidak mengambil isoproterenol. Sebaliknya, ambilan-2 lebih selektif untuk isoproterenol dan Epi dibanding NE.
  • Dari sitoplasma, NE dan Epi ditranspor secara aktif ke dalam vesikel atau granul kromafin dengan melawan perbedaan kadar 200 kali lipat. Sistem transpor ini memerlukan ATP dan Mg2+, dan diblok oleh reserpin dalam kadar rendah. Saraf adrenergik dapat dirangsang terus-menerus tanpa menunjukkan kelelahan asal saja mekanisme sintesis dan ambilan kembali tidak terganggu.
  • Tiramin dan beberapa amin simpatomimetik lainnya menyebabkan penglepasan NE dengan dasar yang berbeda dengan impuls saraf dan memperlihatkan fenomena takifilaksis. Takifilaksis berarti organ mengalami toleransi dalam waktu cepat sehingga efek obat sangat menurun pada pemberian berulang. Perangsangan saraf masih menyebabkan transmisi adrenergik setelah saraf tidak lagi dapat dirangsang dengan obat-obat ini. Penglepasan NE oleh obat-obat ini tidak diikuti penglepasan DBH dan tidak memerlukan Ca++ ekstrasel; jadi tidak melalui proses eksositosis. Obat-obat ini diambil kedalam ujung saraf oleh carrier ambilan-1. Carrier yang sama akan membawa NE dari tempat ikatannya di dalam ujung saraf keluar. Proses pertukaran ini disebut facilitated exchange diffusion, dan NE yang dikeluarkan akan menimbulkan efek adrenergik. Obat-obat ini juga dapat bersaing untuk transpor aktif kedalam vesikel dan menggeser NE keluar dari dalam vesikel. 
  • Terjadinya takifilaksis diperkirakan karena : (1) pool NE yang dapat ditukar dengan obat-obat ini terbatas jumlahnya (pool ini diperkirakan terletak dekat membran plasma dan vesikel di situ mungkin telah berisi obat-obat ini setelah pemberian berulang), atau (2) akumulasi obat-obat ini dalam sitoplasma (setelah pemberian berulang) akan bersaing dengan NE untuk ditranspor keluar dari ujung saraf.
  • Cara penglepasan NE dari ujung saraf adrenergik setelah suatu NAP sama dengan penglepasan ACh dari ujung saraf kolinergik, yakni dengan proses eksositosis. Depolarisasi ujung saraf (akibat tibanya NAP) akan membuka kanal Ca++. Ca++ yang masuk akan berikatan dengan membran sitoplasma bagian dalam yang bermuatan negatif dan menyebabkan terjadinya fusi antara membran vesikel dengan membran aksoplasma, dengan akibat dikeluarkannya seluruh isi vesikel.
Metabolisme epinefrin dan norepinefrin
  • Peranan metabolisme pada NE dan Epi agak berlainan dengan peranan metabolisme pada ACh. Hidrolisis ACh berlangsung sangat cepat, sehingga dapat menghentikan respon. Pada katekolamin terdapat 2 macam enzim yang berperan dalam metabolismenya, yakni katekol-O-metiltransferase (COMT) dan monoaminoksidase (MAO). 
  • MAO berada dalam ujung saraf adrenergik sedangkan COMT berada dalam sitoplasma jaringan ekstraneuronal (termasuk sel efektor). COMT menyebabkan metilasi dan MAO menyebabkan deaminasi katekolamin. Produk degradasinya terdiri atas metanefrin, normetanefrin dan asam 3-metoksi-4-hidroksi-mandelat (asam vanilomandelat, VMA). MAO maupun COMT tersebar luar di seluruh tubuh, termasuk dalam otak, dengan kadar paling tinggi dalam hati dan ginjal. COMT hampir tidak ditemukan dalam saraf adrenergik. Lokasi kedua enzim ini dalam sel berbeda : MAO pada membran luar mitokondria, sedangkan COMT dalam sitoplasma.
  • Peran MAO maupun COMT pada penghentian transmisi tidak begitu penting; hal ini terlihat dari hambatan kedua enzim ini yang tidak meningkatkan efek adrenergik.
  • Pada feokromositoma, katekolamin dalam jumlah besar diproduksi oleh medula adrenal (terutama NE), pengukuran kadar VMA dalam urin merupakan pendekatan diagnostik yang pasti.
Reseptor adrenergik : klasifikasi, distribusi dan mekanisme kerjanya
  • Konsep reseptor α dan β pada sel efektor yang distimulasi oleh agonis adrenergik dan yang dihambat oleh antagonisnya, memudahkan pengertian tentang mekanisme kerja obat adrenergik. Dua golongan reseptor ini dibedakan atas dasar responnya terhadap beberapa agonis, disamping adanya antagonis yang selektif untuk masing-masing reseptor.
  • Urutan potensi agonis pada reseptor α adalah sebagai berikut : epinefrin lebih dari sama dengan norepinefrin lebih dari sama dengan isoproterenol, sedangkan urutan potensi agonis pada reseptor β adalah: isoproterenol lebih dari epinefrin ≥ norepinefrin. Fentolamin adalah salah satu antagonis yang selektif untuk reseptor α, sedangkan propanolol untuk reseptor β.
  • Pada umumnya, efek yang ditimbulkan melalui reseptor α pada otot polos adalah perangsangan, seperti pada otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa. Sebaliknya, efek melalui reseptor β pada otot polos adalah penghambatan, seperti pada otot polos usus, bronkus dan pembuluh darah otot rangka. Salah satu pengecualian adalah otot polos usus yang mempunyai kedua reseptor α dan β, dan aktivasi keduanya menimbulkan efek penghambatan.
  • Reseptor β masih dibedakan lagi menjadi 3 subtipe yang disebut β 1, β2 dan β3 berdasarkan perbedaan selektivitas berbagai agonis dan antagonisnya. Reseptor β1 terdapat di jantung dan sel-sel jukstaglomeruler, sedangkan reseptor β2 pada otot polos (bronkus, pembuluh darah, saluran cerna dan saluran kemih-kelamin), otot rangka dan hati. Aktivasi reseptor β1 menimbulkan perangsangan jantung dan peningkatan sekresi renin dari sel jukstaglomeruler. Aktivasi reseptor β2 menimbulkan relaksasi otot polos dan glikogenolisis dalam otot rangka dan hati. Urutan potensi agonis pada reseptor β1 adalah : Iso > Epi = NE, sedangkan pada reseptor β2 adalah : Iso lebih dari Epi lebih dari NE (Epi 10 – 50 x NE). 
  • Telah ditemukan antagonis yang cukup selektif untuk masing-masing reseptor β1 dan β2, misalnya metoprolol menghambat reseptor β1 pada dosis yang lebih rendah daripada yang diperlukan untuk menghambat reseptor β2, dan sebaliknya butoksamin lebih selektif menghambat reseptor β2. Propranolol adalah antagonis reseptor β yang non selektif : menghambat kedua jenis reseptor β1 dan β2 pada dosis yang sama. Diantara agonis, salbutamol adalah agonis reseptor β2 yang cukup selektif : pada dosis yang menyebabkan bronkodilatasi, hanya sedikit menimbulkan stimulasi jantung; sedangkan dobutamin adalah agonis yang selektif untuk reseptor β1.
  • Belakangan ini telah ditemukan reseptor β3 yang memperantarai lipolisis dalam jaringan lemak. Urutan potensi agonis pada reseptor ini adalah : Iso = NE lebih dari Epi (NE 10 x Epi). Reseptor β3 relatif resisten terhadap kebanyakan β-bloker, termasuk propranolol.
  • Reseptor α dibedakan lagi atas subtipe α1 dan α2. Reseptor α1 terdapat pada otot polos (pembuluh darah, saluran kemih-kelamin dan usus) dan jantung. Reseptor α2 terdapat pada ujung saraf adrenergik. Aktivasi reseptor α2 prasinaps ini menyebabkan hambatan penglepasan NE dari ujung saraf adrenergik. Reseptor α2 juga terdapat pada sel efektor di berbagai jaringan misalnya otak, otot polos pembuluh darah, sel-sel β pankreas dan platelet. Aktivasi reseptor α1 maupun reseptor α2 pada otot plos menimbulkan kontraksi, kecuali pada otot polos usus menimbulkan relaksasi. Aktivasi reseptor α2 pascasinaps dalam otak menyebabkan berkurangnya perangsangan simpatis dari SSP, dan pada sel-sel β pankreas menyebabkan berkurangnya sekresi insulin, pada platelet menyebabkan agregasi. Aktivasi reseptor α1 pada jantung menyebabkan peningkatan kontraksi otot jantung dan aritmia. 
  • Urutan potensi agonis pada reseptor α1 dan α2 tidak berbeda : Epi ≥ NE lebih dari Iso. Agonis yang selektif untuk reseptor α1 misalnya fenilefrin dan metoksamin, sedangkan agonis yang selektif untuk reseptor α2 misalnya klonidin dan α-metilnorepinefrin. Epi dan NE adalah agonis reseptor α yang non selektif. Diantara antagonis, prazosin relatif selektif untuk reseptor α1 sedangkan yohimbin untuk reseptor α2.
  • Reseptor α1 dan β1 terletak pada membran sel efektor pascasinaps langsung di seberang ujung saraf adrenergik, strategis untuk distimulasi oleh NE yang dilepaskan dari ujung saraf. Reseptor α2 dan β2 juga terletak pada membran sel efektor pascasinaps tetapi agak jauh dari tempat penglepasan NE. kedua reseptor ini distimulasi terutama oleh Epi yang terdapat dalam sirkulasi. Reseptor α2 juga terdapat pada ujung saraf adrenergik untuk umpan balik negatif penglepasan NE.
  • Semua reseptor β berhubungan dengan enzim adenilsiklase, yang mengubah ATP menjadi siklik AMP, melalui protein G stimulasi (Gs). Aktivasi reseptor β menstimulasi enzim tersebut sehingga kadar siklik AMP dalam sel efektor meningkat. Siklik AMP akan berikatan dengan reseptornya, yakni protein kinase yang bergantung pada siklik AMP, disebut protein kinase A. Ikatan ini akan mengaktifkan enzim tersebut, yang selanjutnya akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein seluler dan menimbulkan berbagai efek adrenergik β. Oleh karena itu, siklik AMP disebut juga second messenger karena menjadi perantara dalam menimbulkan berbagai efek tersebut. Protein Gs juga dapat secara langsung mengaktifkan kanal Ca++ pada membran sel otot jantung.
  • Sebagai contoh, pada stimulasi glikogenolisis dalam otot rangka dan hati (melalui reseptor β2), siklik AMP mengaktifkan protein kinase A yang kemudian mengkatalisis fosforilasi 2 macam enzim yang kerjanya berlawanan, yakni glikogen sintetase menjadi inaktif dan fosforilase kinase menjadi aktif. Selanjutnya, enzim yang terakhir ini mengkatalisis fosforilasi enzim fosforilase-b menjadi enzim fosforilase-a yang aktif, yang memecah glikogen menjadi glukose-1-fosfat. Pada stimulasi lipolisis dalam sel-sel lemak (melalui reseptor β3), proteinkinase A yang diaktifkan oleh siklik AMP akan mengkatalisis fosforilasi enzim lipase trigliserida menjadi aktif untuk memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Pada otot jantung, stimulasi reseptor β1 memperkuat kontraksi otot melalui peningkatan kadar siklik AMP intrasel, yang meningkatkan fosforilasi troponin dan fosfolamban. Efek positif inotropik ini tidak ada hubungannya dengan stimulasi glikogenolisis pada otot jantung. Pada otot polos, stimulasi reseptor β2 menimbulkan relaksasi otot melalui peningkatan kadar siklik AMP intrasel, yang diikuti dengan proses fosforilasi dan penurunan kadar Ca++ intrasel, mekanismenya yang pasti belum diketahui.
  • Bila dalam sel efektor peruraian siklik AMP oleh enzim fosfodiesterase dihambat oleh derivat metilxantin, misalnya teofilin atau kafein, kadar siklik AMP di dalam sel juga akan naik; akibatnya akan timbul efek seperti efek adrenergik.
  • Reseptor α2 berhubungan dengan enzim adenilsiklase melalui protein G inhibisi (Gi). Aktivasi reseptor α2 menghambat enzim tersebut sehingga kadar siklik AMP dalam sel efektor menurun dan aktivasi protein kinase A berkurang. Protein Gi juga dapat mengaktifkan kanal K+ (sehingga terjadi hiperpolarisasi) dan menghambat kanal Ca++. Semuanya ini menimbulkan efek hambatan : sekresi insulin dari sel-sel β pankreas berkurang, penglepasan NE dari ujung saraf adrenergik berkurang, perangsangan simpatis dari SSP berkurang, dan terjadi relaksasi otot polos saluran cerna. Yang terakhir ini melalui hiperpolarisasi neuron mesenterik kolinergik sehingga mengurangi penglepasan ACh.
  • Reseptor α1 berhubungan dengan enzim fosfolipase C (PLC) melalui suatu protein G yang belum dikenal. Aktivasi reseptor α1 menstimulasi enzim tersebut yang menghidrolisis fosfatidil inositol difosfat (PIP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG). IP3 menstimulasi penglepasan Ca++ dari retikulum endoplasmik. Peningkatan kadar Ca++ intrasel akan mengaktifkan berbagai protein kinase yang sensitif Ca++, termasuk protein kinase C (yang akan memfosforilasi protein-protein membran, yakni kanal, pompa dan penukar berbagai ion, termasuk kanal Ca++ yang menimbulkan influks Ca++ dari luar sel) dan myosin light chain (MLC) kinase yang bergantung pada kalmodulin (yang akan memfosforilasi MLC dan menimbulkan kontraksi otot).
  • Pada kebanyakan otot polos, peningkatan kadar Ca++ intrasel akibat stimulasi reseptor α1 akan mengaktifkan MLC kinase yang bergantung pada kalmodulin, sehingga terjadi fosforilasi MLC dan kontraksi otot. Sebaliknya, pada otot polos saluran cerna, peningkatan kadar Ca++ intrasel akan mengaktifkan kanal K+ yang bergantung pada Ca++, sehingga terjadi hiperpolarisasi dan relaksasi otot.
  • Suatu subtipe reseptor α1 dapat menstimuli kanal Ca++ secara langsung, demikian juga reseptor α2 pada otot polos vaskuler. Akibatnya terjadi influks Ca++ ekstrasel diikuti dengan kontraksi otot. Stimulasi reseptor α1 di jantung menyebabkan hambatan repolarisasi oleh ion K+ (mungkin melalui IP3 dan/atau DAG), yang menimbulkan peningkatan kontraksi jantung dan efek aritmogenik.

Tabel 1. Characteristics of Subtypes of Cholinergic Receptors
Receptor
Agonists
Antagonists
Tissue
Responses
Molecular
Mechanisms
Muscarinics
M1
Oxotremo- rine
McN-A-343
Atropine
Pirenzepine

Autonomic ganglia
CNS2
Depolariza- zation  (late EPSP)
Undefined
Stimulation of  PLC with forma- tion of IP3 and DAG increased cytosolic Ca++
M2
-
Atropine
AF-DX 115
Heart
SA node




Atrium





AV node


Ventricle


Slowed spontaneous depolarization; hyperpolariza- tion
Shortened duration of action potenti- al; decreased contractile   force
Decreased    conduction velocity
Slight decrea- sed in contrac- tile force

Activation of K+ chan- nels; inhibi- tion of      adenylyl cyclase
M3
-
Atropine
Hexahydro- siladifenidol
Smooth muscle
Secretory glands
Contraction

Increased secretion
Stimulation of PLC with formation of IP3 and DAG incre- ased cytoso- lic Ca++
Nicotinics
Muscle
(NM)
Phenyltri- methyl  ammonium
Tubocurari- ne
α-Bungaro- toxin
Neuromus- cular     junction
End-plate depolarization, skeletal mus- cle contraction
Opening of cation chan- nel in NM receptor
Neuronal
(NN)
Dimethyl- phenyl piperazini- um
Trimethapan

Autonomic ganglia


Adrenal  medula
CNS
Depolarization and firing of postganglionic neuron
Secretion of cathecolamine
Undefined
Opening of cation chan- nel in NN receptor
Tabel 2. Characteristics of Subtypes of Adrenergic Receptors
Receptor
Agonists
Antagonists
Tissue
Responses
Molecular
Mechanisms
Alpha-1 (α1)
Excitatory
Epi NE lebih dari Iso
Phenyle- phrine
Prazosin
Phentolami- ne
Labetalol

Vascular smooth muscle



Genitourina ry smooth muscle
Liver


Intestinal smooth muscle

Heart

Contraction





Contraction


Glycogenoly sis; glucone- ogenesis
Hyperpolari- zation and relaxation

Increased contractile force; arrhythmias
Stimulation of PLC with for- mation of IP3 and DAG; in- creased cyto- solic Ca++






Activation of Ca++ depen- dent K+ chan- nels
Inhibition of transient K+ current

Alpha-2
(α2)
Inhibitory
Epi NE >> Iso
Clonidine
Dexmede- tomidine
Yohimbine
Phentolami- ne
DH Ergot
DH ergole- ryptine
Pancreatic islets
(β cells)

Platelets
Nerve ter- minals

Vascular smooth muscle

CNS Post- synaps
Decreased insuline secretion

Aggregation
Decreased release of NE
Contraction



Potassium
Increased conductance
Inhibition of adenylyl cycla- se; activation of K+ channels

Inhibition of neuronal Ca++ channels
Enhanced in- flux of Ca++; increased cyto- solic Ca++
Beta-1
(β1)
Excitatory

Iso > Epi = NE
Dobuta- mine
Dopamine
Isoprote- renol
Metoprolol
Atenolol
Esmolol
Propranolol
Timolol
Labetalol
Acebutolol
Heart






Juxtaglome- rular cells
Increased force and rate of con- traction and AV nodal conduction velocity
Increased renin secretion

Activation of adenylyl cyclase and Ca++ channels
Beta-2
(β2)
Inhibitory
Iso lebih dari Epi >> NE
Terbutali- ne
Albuterol
Ritrodine

Propranolol
Timolol
Labetolol

Smooth muscle (vas- cular, bron- chial, gas- trointestinal and genitou- rinary)
Skeletal muscle

Liver


Pancreas
Relaxation






Glycogeno- lysis; uptake of K+
Glycogeno- lysis; gluco- neogenesis
Insulin secretion
Activation of adenylyl cyclase
Beta-3
(β)
Iso = NE lebih dari Epi
BRL 37344
ICI 118551
CGP 20712A
Adipose tissue
Lipolysis
Activation of adenylyl cyclase