TERLAMBAT SADAR DAN GAGAL SADAR KEMBALI PASCA ANESTHESIA

PASCA ANESTHESIA

Pendahuluan
  • Walaupun banyak faktor diketahui memperpanjang efek-efek anesthesia, banyak laporan dari pemanjangan munculnya sadar pada manusia adalah anekdotal. Pada paper ini mengkategorikan berbagai penyebab koma postoperatif dan menyebutkan laporan-laporan klinik pemanjangan munculnya sadar. Gangguan-gangguan metabolik, seperti sindrom hiperosmoler, ditinjau dengan seksama karena anesthesia dapat menutupi manifestasi-manifestasi serebral gangguan-gangguan letal potensial ini dan oleh karena itu melambatkan pengenalannya.
MEKANISME PEMBANGKITAN SADAR KORTIKAL
  • Sistem aktivasi retikuler
Penelitian klasik oleh Magoun memperlihatkan bahwa kesadaran tergantung dari aktivasi kortikal menyeluruh oleh formasi retikular dari batang otak. Pemunculan sadar kortikal dan fokus terhadap perhatian yang didapat dari rangsangan sensoris aferen adalah dimediasi oleh sistim aktivasi retikuler. Barbiturat menyebabkan depresi dini dari multisynaptic ascending pathways ini. Gangguan-gangguan metabolik tertentu dihubungkan dengan depresi sistim saraf pusat (SSP), seperti hipoglikemia dan hipoksia, juga berakibat pada depresi dini dari potensial-potensial yang dibangkitkan auditori pada formasi retikular dari batang otak ketika potensial-potensial yang dibangkitkan kortikal didepresi minimal. Kepekaan selektif dari sistem aktivasi retikuler terhadap gangguan-gangguan anesthetik dan metabolik tertentu, mungkin berhubungan dengan kealamiahan multisinaptik dari ascending pathway ini. Menurut konsep ini, depresi fungsional dari sebuah jalur neural adalah proporsional secara langsung terhadap jumlah dari sinap-sinap pada jalur ini.
  • Jalur-jalur Neural Kortikal
Walaupun depresi selektif dari sistim aktivasi retikuler mungkin signifikan pada terlambat bangun pada beberapa pasien sesudah anesthesia, banyak jalur-jalur neural kortikal dan subkortikal lain juga terlibat. Anesthesia umum dihasilkan oleh bermacam-macam mekanisme neurofisiologi. Sebagai contoh, ether menghasilkan depresi kortikal dini, dan ketamin berakibat pada eksitasi neural pada level-level kortikal dan subkortikal. Selanjutnya mekanisme-mekanisme neurofisiologi dari pemanjangan narkose setelah anesthesia adalah bergantung obat dan dapat melibatkan stimulasi neural atau depresi pada level-level kortikal atau subkortikal.
  • Neurotransmiter-neurotransmiter kortikal
Hubungan pada jalur-jalur neural kortikal adalah sinap-sinap yang menggambarkan titik-titik kontrol modifikasi-obat. Neurotransmiter-neurotransmiter adalah agen-agen endogen yang mempengaruhi transmisi neural, dan termasuk bahan-bahan kolinergik, asam-asam amino, dan monoamin-monoamin, yang semuanya dapat dipengaruhi oleh manajemen anesthesia.
  • Asetilkholin
    • Walaupun asetilkholin bukan neurotransmiter kortikal eksitasi primer, sistem sadar kolinergik asenden mungkin ekuivalen secara farmakologi dengan sistem aktivasi retikular. Stimulasi dari jalur neural ini pada level midbrain menyebabkan timbulnya elektroensefalografi kortikal dan pelepasan asetilkholin. Pemakaian langsung asetilkholin oleh neuron-neuron kortikal yang sensitif asetilkholin mengakibatkan pemanjangan eksitasi, suatu efek farmakologi yang dipotensiasi oleh antikholinesterase-antikholinesterase dan diblok oleh atropin pada binatang-binatang percobaan.
    • Walaupun atropin mampu memproduksi depresi CNS pada manusia ketika diberikan pada dosis masif atau ketika subjek adalah orang tua, sindrom antikholinergik sentral terjadi lebih sering sesudah dosis premedikasi skopolamin. Fisostigmin terpilih sebagai antagonis farmakologi kartena antikholinesterase ini melewati sawar darah otak secara bebas, berkebalikan dengan analognya, neostigmin, yang mempunyai suatu group amin quarterner dan oleh karena itu mempenetrasi sawar darah otak secara buruk.
  • Asam T--Aminobutirik
    • Neurotransmiter inhibitor mayor pada otak adalah asam T-aminobutirik, yang menghiperpolarisai neuron-neuron dengan membuka saluran-saluran ion khlorida; pembukaan ini, sebaliknya, menurunkan kemungkinan depolarisasi oleh stimuli eksitasi. Suatu protein membran neural tunggal mengandung tempat pengenalan asam T-aminobutirik, saluran khlorida dan beberapa tempat pengenalan obat. Diantara yang terakhir adalah reseptor benzodiazepin yang, ketika diduduki oleh diazepam, mempertinggi neurotransmisi-neurotransmisi inhibisi yang dimediasi asam T- aminobutirik, menyebabkan efek-efek antikonvulsi dan sedasi yang familier dari bensodiazepin. Baklofen, suatu derivat asam T-amonobutirik, telah dihubungkan dengan keterlambatan bangun setelah anesthesia umum.
DIAGNOSIS BANDING KOMA POSTOPERATIF

Gagal bangun pada waktunya setelah anesthesia umum mungkin dihubungkan dengan satu atau lebih dari tiga penyebab berikut : pemanjangan aksi dari obat-obat anesthesia, encefalopathi metabolik atau injuri neurologi. Operasi-operasi tertentu mungkin dihubungkan dengan pemanjangan gangguan kognitif, gangguan motor atau keduanya.

Pemanjangan aksi dari obat-obat anesthesi
  • Overdosis
    • Terlambat bangun setelah anesthesia umum paling sering disebabkan oleh overdosis anesthesi. Overdosis bisa terjadi ketika obat-obat anesthesi diberikan untuk alasan yang salah. Sebagai contoh, peningkatan tekanan perfusi selama caardiopulmonary bypass atau hipertensi intraoperatif yang disebabkan oleh suatu tumor yang mensekresi katekholamin dapat diobati dengan dosisi besar barbiturat dalam usaha mendalamkan anesthesia. Kegagalan dalam menggunakan vasodilator-vasodilator spesifik atau agen-agen penghambat adrenergik pada beberapa keadaan dapat mengantarkan ke overdosis anesthesia dan melambatkan pemulihan.
  • Peningkatan Sensitifitas Sistim Saraf Pusat
    • Durasi efek hipnotik dari suatu agen anesthesi umum bergantung pada konsentrasi dari anesthesi pada otak dan sensitifitas dari tempat reseptor otak terhadap anesthetik itu. Variasi biologi pada sensitifitas diexpresikan dengan kurve Gaussian bentuk-bell, yang menghubungkan jumlah dari pasien-pasien yang memberikan respon dengan durasi dari efek hipnotik. Sensitifitas dari otak terhadap aksi obat hipnotik mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor fisiologi dan farmakologi.
    • Ritme Cicardian mempengaruhi kebutuhan anesthetik halothan pada kucing: minimum alveolar concentration menurun 10% sampai 14% selama fase inaktif dari sebuah siklus yang diindiuksi oleh periode-periode bolak-balik dari terang dan gelap. Variasi siklus juga bisa memakai durasi dari efek hipnotik pada manusia yang teranesthesi. Kebutuhan anesthesi menurun pada umur dewasa, hipothermia dan hipothiroidisme. Faktor-faktor ini mungkin juga meningkatkan durasi aksi obat hipnotik, sebagai bagian dengan menigkatkan sensitifitas CNS.
    • Reserpin, methyl dopa dan pemberian kronik d-amphetamin menurunkan kebutuhan anesthetik pada binatang-binatang percobaan. Akan tetapi, pemanjangan yang signifikan terhadap anesthesia telah dilaporkan pada manusia setelah menggunakan obat-obat yang menurunkan katekholamin. Walaupun adanya variasi pada sensitivitas CNS merupakan penjelasan yang valid untuk beberapa kasus pemanjangan munculnya sadar dari anesthesia, diagnosis ini biasanya dibuat dengan mengeluarkan dan tidak bisa diperkuat sampai semua faktor-faktor lain yang mempengaruhi aksi obat dan level kesadaran telah dipertimbangkan. 
    • Fenomena lain adalah “differential awakening” yang mana Cuchiara menggambarkan sebagai manifestasi fokal keterlambatan bangun. Dia menteorikan bahwa fenomena ini bisa terjadi sebagai suatu konsekwensi keterjebakan obat-obat anesthesia pada otak yang mengalami cedera atau daerah-daerah dengan relatif perfusi kurang pada otak; peningkatan sensitivitas terhadap efek-efek anesthetik pada bagian-bagian yang mengalami cedera otak atau mempercayakan pada jalur-jalur sekunder setelah pemulihan dari cedera, jalur yang mana adalah fungsional hanya pada keadaan sadar yang komplit.
  • Penurunan Ikatan Protein
    • Obat-obat yang berkompetisi dengan barbiturat untuk tempat-tempat ikatan yang biasa, meningkatkabn aksi dan durasi barbiturat dengan menggeser barbitrat dari protein plasma. Sebagai contoh, pemberian sodium acetriazoat (suatu bahan kontras radiografi) meningkatkan durasi narkosis pentobarbital dengan mekanisme ini. Konsentrasi thiopental pada otak dan jantung setelah pemberian intravena ditingkatkan secara nyata oleh pretreatment sulfadimethoxin, suatu obat yang mengalami peningkatan ikatan protein. Hipoproteinemia dapat memperpanjang durasi anesthesia barbiturat dengan suatu penurunan pengantaran dari barbiturat ke lever.
  • Kelambatan ekskresi obat-obat anesthesi
    • Penurunan konsentrasi obat-obat anesthesi pada otak, dibuktikan secara klinik dengan munculnya sadar atau bangun dari anesthesia, tergantung pada faktor-faktor yang mirip yaitu faktor-faktor yang menentukan pengambilan dan distribusi anesthesia. Kelarutan sebuah agen anesthesi adalah proporsional secara langsung dengan efek durasi obat-obat anesthesi pada kecepatan pemulihan. 
    • Pengalaman klinik telah menunjukkan bahwa munculnya sadar dari anesthesia adalah lamban ketika konsentrsi tinggi dari agen-agen yang larut digunakan untuk prosedur-prosedur pembedahan yang panjang. Jika agen tinggi kelarutannya dalam lemak, suatu cadangan anesthetik akan disediakan oleh simpanan lemak dari mana agen akan dilepaskan setelah penghentian anesthesia.
    • Peningkatan kardiak output melambatkan munculnya sadar dengan menurunkan bersihan obat-obat anesthesia dari otak pada fase-fase awal pemulihan. Hipoventilasi postoperatif juga menlambatkan kemunculan sadar dari anesthesia dengan menurunkan gradien tekanan parsial obat-obat anesthesi alveoli-darah vena. Stoelting dan Eger membandingkan efek dari suatu variasi empat kali lipat pada ventilasi dengan laju penurunan konsentrasi alveolar untuk tiga agen anesthesi dengan kelarutan yang berbeda. Efek peningkatan ventilasi ditemukan paling besar pada halothan, sebuah agen dengan kelarutan menengah, padahal halothan mempunyai efek yang kurang signifikan daripada nitrous oksida dan methoxifluran.
  • Redistribusi Obat-obat Anesthesi
    • Bangun setelah dosis tunggal intravena thiopental bergantung secara primer pada redistribusi dari obat ini pada jaringan tubuh tanpa lemak. Dalam kenyataannya, redistribusi mungkin merupakan faktor mayor yang bertanggung jawab untuk terminasi aksi hipnotik semua barbituarat yang bermanfaat secara klinik dan juga obat-obat hipnotik lain seperti diazepam dan midazolam. Bagaimanapun juga, bukti-bukti yang sangat eksperimental menyarankan bahwa metabolisme hepatik mungkin merupakan hal penting pada durasi tidur yang dihasilkan dari dosis intravena tunggal thiopental. 
    • Perubahan gross fungsi hepatik (seperti oleh hepatektimi atau diversion vena portal) dihubungkan dengan pemanjangna waktu tidur barbiturat yang signifikan pada binatang2. Walaupupn terdapat kontroversi sekitar kepentingan klinik dari mertabolisme padfa pemulihan setealh dosis intravena tunggal brbiturat,efek metabolik adalah signifikan ketika dosis multipel barbiturat atau obat2 hipnotik intravena lain diberikan di atas suatu periode yang panjang. Kejenuhan dari jaringan2 tubuh membatasi bwesarnya distribusi dan dengan demikian memperpanjang aksi CNS, kebalikan dari sebuah agen aksi pendek.
  • Penurunan Metabolisme Hepatik: Formaasi Enzim Mikrosom dan Biotransformasi
    • Umur yang extrim, malnutrisi, hipotyhermia, dan pemberian yang simultan dari beberapa obat2 yang didetoksifikasi oleh sistem mikrosom hepatik (seperti, ethanol dan barbiturat) dihubungkan dengan penurunan metabolisme hepatik dan pemanjangan kemunculan sadar dari anesthetik. Perubahan pada metabolisme mikrosom hepatik telah didemonstrasikan mempengaruhi pengambilan dan eliminasi methoxifluran pada tikus. 
    • Obat2 monoamine oxidase inhibitor juga menghambat enzim2 mikrosom hepatyik. Mekanisme dengan mana obat2 mnoamine oxidase inhibitor mempotensiasi efek dari obat2 narkotik, barbiturat dan obat2 sedatif lain, bagaimanappun juga belum ditentukan. Bis-(p-nitrophenyl) phosphate memperpanjang aksi anesthesi dari propanidid oleh inhibisi dari sistem enzim hepatik yang bertanggung jawab terhadap hidrolisis yang cepat dari agen ini.
    • Ketamin. Kombinasi dari ketamin dengan berbagai transquilizer untuk menurunkan fenomena halusinasi pad munculnya sadar dapat melambatkan muculnya sadar anesthetik. Bnukti terbaru menyarankan bahwa biotransformasi hepatik dari ketamin memainkan suatu aturan penting pada terminasi dari aksi CNSnya bahkan setelah dosis intravena tunggal. Ketamin dapat berbeda dengan thiopental dalam hal ini; oleh karena itu, beberapa derajat caution dinasehaatkan ketika ketamin diberikan untuk pasien2 dengan disfungsi hepatik yang gross. Karrena kebutuhan anesthetik halothan menurun 6 jam setelah pemberian ketamin pada tikus, ketamin tidak bisa dipandang sebagai sebuah agen aksi pendek dan dapat mengkontribusi terhadap pemanjangn pemulilhan dari anesthesia.
    • Halothan. Biotransformasi halothan dihubungkan dengan pelepaan dari ion bromida bebas pada konsewntrasi2 yang cukup untuk menghasilkan drowsiness dan lethargy postoperatif pada menusia. Ingestiion preoperatif dari obat2 yang mengandung bromida, kegagalan fungsi ginjal dan induksi enzim hepatik adalah faktor2 yang bisa mempredisposisikan pasien terhadap peningkatan konsenttrasi bromida pada periode postoperatif. Peningkatan konsentrasi bromida plasma bisa telah mengkontribusi terhadap satu kasus pemanjangan koma setelah perbaikan yang sukses dari suatu aneurisma intrakranial.
    • Cimetidin dan Ranitidin. Cimetidin dan ranitidin oksidasi mikrosomal hepatik dari beberapa obat, meningkatkan kemungkinan sedatif2 dan depresan2 CNS lain bisa mempunyai suatu efek yang lebih besar atau lebih panjang ketika digunakan dalam kombinasi dengan satu darti dua agen2 ini. Akan tetapi, paling tidak pada sukarelawan2 yang sehat tidak ada interaksi penting secara klinis terjadi diantara antagonis2 reseptor-H2 histamin ini dan benzodiazepin2 diazepam dan midazolam.

Encephalopathi Metabolik

Banyak gangguan-gangguan metabolik sistemik yang mengakibatkan depresi CNS dapat terjadi pada periode postanesthetik dan harus dibedakan dari efek-efek sisa dari anesthesia. Encephalopathi metabolik sering meningkatkan sensitivitas otak terhadap obat-obat depresan.
  • Penyakit Liver
    • Pada pasien-pasien dengan penyakit liver yang berat dan riwayat koma hepatik, perlambatan EEG dan depresi CNS terjadi setelah pemberian dosis kecil morfin, sedangkan pada sukarelawa yang sehat atau pasien-pasien tanpa koma hepatik, perubahan-perubahan pada EEG tidak terjadi. Narkotik-narkotik telah dilibatkan sebagai suatu faktor kausatif pada banyak kasus koma hepatik dan harus digunakan dengan caution pada pasien-pasien dengan penyakit liver yang berat. Walaupun waktu tidur barbiturat diperpanjang dengan jelas pada binatang setelah hepatektomi atau kerusaskan hepatik yang diinduksi obat, penelitian pada penyakit liver yang berat tidak memperlihatkan peningkatan sensitivitas terhadap dosis tunggal atau multipel thiopenthal. Peningkatna penetrasi CNS cimetidin pada pasien dengan penyakit liver mengakibatkan kebingungan mental yang mungkin mistaken untuk encefalopathi hepatik.
  • Penyakit Ginjal
    • Pemanjangan dari anesthesia barbiturat telah dilaporkan pada pasien dengan gagal ginjal dan azotemia. Efek ini muingkin akibat dari peningkatan sensitivitas CNS terhadap barbituraat, walaupun faktor-faktor lain, seperti peningkatan ikatan protein, gangguan-gangguan elektrolit dan ketidak seimbangan asam-basa, juga terlibat. Peningkatan sesitivitas terhadap obat-obat hipnotik pada pasien-pasien uremik telah ditunjukkan sebagai akibat dari perubahan-perubahan pada permeabilitas dari barier darah-otak.
  • Gangguan-gangguan Endokrin dan Neurologik
    • Hipothiroidisme dihubungkan dengan penurunan kebutuhan obat-obat anesthesi pada binatang. Laporan-laporan klinik menunjukkan bahwa mungkin memannjng pada periode postopratif pada pasien-pasien dengan defisiensi adrenal yang berat. Kelambatan munculnya sadar setelah anesthesia thiopental telah dilaporkan pada seorang pasien dengan khorea Huntington, walaupun pasien ini merespon normal terhadap anesthesia nitrous oksida – ether berikutnnya.
  • Hipoxia dan Hiperkapnia
    • Gagal respirasi postooperatif bisa berakibat pada pemanjangna munculnya sadar dari anesthesia. Hipoventilasi tidak hanya menyebabkan asidosis respiratorik dan hipoksia tapi juga retards ekskresi dari obat-obat anesthesi inhalasi. Narkosis karbon dioksida pad ketiadaan dari hipoksia dapat terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit paru khronik yang berat yang menerima konsentrasi-konsentrasi tinggi dari oksigen inspirasi. Penelitian2 pada anjing mengindikasikan bahwa karbondioksida menghasilkan narkosis secara primer dengan mengindukasi asidosis jaringan serrebral. Bagaimanapun, narkosis sering diobservasi pada pasien dengan gagal respirasi yang mempunyai less hiperkapnia yang berat. Ketidaksesuaian ini dapat dijelaskan dengan faktor-faktor lain selain hiperkapnia, seperti hipoksia, therapi obat dan penyakirt serebrovaskuler yang bersamaan.
  • Asidosis Cairan Serebrospinal
    • Studi-studi klinis pada pasien-pasien dengan asidosis serebral dari bermacam-macam penyebab telah memperlihatkan bahwa confusion,delirium atau koma selalu terjadi ketika pH cairan serebrospinal menurun ke 7,25 atau kurang (konsentrasi ion hidrogen lebih dari sama dengan 56 nM/L). Asidosis cairan serebrospinal dan dan dedpresiCNS lebih berat ketika hiperkapnia akut, karena karbondioksida berdifusi secara cepat ke dalam cairan extraseluler otak, sedangkan ion bikarbonat melewati barier daah-otak dengan lebih lambat.
    • Kombinasi asidosis respiratorik akut dan alkalosis metabolik khronik dapat dihubungkan dengan asidosis serebaral yang besar dan koma, walaupun terdapat pH arterial yang normal. Pada pasien yang koma dengan pneumonia dan penyakit paru khronik, selama ventailasi mekanik dengan oksigen inspirasi 40%, Bulger dan pembantu-pembantunya mendadpatkan pengukuaran2 sebagai berikut : pH cairan serebrospinal 7,15 (konsentrssi ion hidrogen 71 nM/L), pH arterial 7,45 (konsentrtasi iion hidrogen 36 nM/L), tekanan parsial karbondioksida arterial 63 mmHg. Ventilasi ditingkatkan; status mental pasien secara terus-menerus meningkat sebagai hasilnya ; dan pH dari cairan serebrospinal kembali ke nilai normal.
    • Suatu peningkatyan yang paradoxical pada asidosis serebral dengan deterioration yang progressive pada level kesadaran telah dilaporkan pada pasien2 diabetik dengan ketoasidosis yang berat yang diberikan dosis therapeutik sodium bikarbonat. Peningkatan pada pH arterial yang dihasilkan dengan pemberian bikarbonat berakibat pada penurunan ventilasi alveolar, menghasilkan suatu peningkatan dari tekanan-tekanan parsial karbondioksida arteriak dan otak. Hasil akhir adalah suatu penurunan pada pH otak, swementara pH arterial meniongkat.
    • Pengukuran dari pH cairan serebrospinal adalah nilai dalam menjelaskan mengapa beberpa pasien asidosis serum terbangun dan sadar, sedangkan lainnya dengan nilai2 pH serum yang mirip stupor atau koma. Asidosis sistemik itu tidak selalu menyebabkan koma yang disubstansikan oleh pengukuran2 pH arterial 6,8 (konsentrasi ion hidrogen 158,0 nM/L), yang didapatkan pada dua laboratorium secara terpisah, pad seoorang pasien yang sadar dan berorientasi penuh. Asidosis metabolik yang beerat pada pasien ini akibat dari kehilangan bikarbonat khronik dari traktus gastrointestinal. Pengukuran2 cairan serebrospinal yang beersamaan addalah sebagai berikut : pH 7,36 konsentrasi ion hidrogen 44 nM/L), trkanan parsial karbondioksida arterial 15 mm Hg dan bikarbonat 8,5 mEq/L.
  • Hipoglikemia
    • Walaupun stres anesthesia dan pembedahan meningkatkan konsentrasi gula darah, hipoglikemia yang beerbahaya dapat terjadi intraoperatif pada keadaan yang jarang, seperti manipulasi dari tumor-tumor yang menghasilkan insulin dari pankreas atau karsinoma retroperitoneal. Koma hipoglikemik postoperatif yang fatal telah dilaporkan pada pasien diabetik yang diberikan insulin atau khlorpropamid preoperatif.
      • Interaksi-interkasi obat. Beberapa interkasi obat yang biasa juga berpredisposisi terhadap hipoglikemia. Salisilat, sulfonamid dan ethanol diketahui mempunyai efek2 hipoglikemik. Propoxifen telah dilaporkan mengakibatkan hipoglikemia yng berat yang dimanifestasikan dengan hemiparesis kebingungan. Aksi hipoglikemik dari tolbutamid dan khlorpropamid dipertinggi pada pasien yang menerima khloramfenikol. Kombinasi dari khlorpromazin dan orfenadrin juga telah dilaporkan menyebabkan koma hipoglikemik.
      • Disfungsi liver. Disfungsi liver yang berat dapat mengkontribusi hipoglikemia derngan kegagalan dari glukoneogenesis. Aldrete dan teman2nya melaporkan beberapa keadaan hipoglikemia yang berat setelah transplantasi hepatik; hipotyensi arterial, kehilangan kesadaran dan asidosis metabolik akibatnya.
  • Sindrom Hiperosmolar
    • Laporan-laporan klinik hiperosmolar, hiperglikemik, koma nonketotik pada periode perioperatif telah membuat sindrom ini sebagai penyebab pemanjangan ketidaksadaran setelah anesthesia umum. Karena 40% sampai 60% angka mortalitas pada pasien2 dengan gangguan ini, pengenalan awal dan pengobatan adalah sangat penting.
    • Faktor-fafktor Predisposisi. Sekitar separuh dari pasien-pasien ini tidak mempunyai riwayat diabetes mellitus, tetapi pada banyak kasus dari suatu penyakit berat yang bersamaan, sepeeti sepsis, pneumonia, pankreatitis, uremia, accident sererbrovaskuler atau luka bakar daerah permukaan yang luas, hadir. Dehidrasi yang berat, yang diexerbasi oleh efek diuretik osmotik dari hiperglikemia, mengkontribusio hiperosmolaritas. Pemberian larutan-larutan hipertonik (sepertri, larutan-larutan yang diberikan pada hiperalimentasi atau mannitol) juga dapat menyebabkan hiperosmolaritas.
    • Seperti mungkin diharapkan, kelainan ini dapat tterjadi setelah dialisis peritoneal, hemodialisis dan pembedahan jantung. Faktor-faktor yang mengantarkan ke peningkatan kadar gukla darah, seperti therapi steroid masif dan pemberian intravena dextrose, juga dapat menimbulkan hal ini. Hiperglikemia yang nyata telah diobservasi selama sirkulasi extrakorporeal da hipothermia yang berat pada infant.
    • Walaupun tidak berimplikasi secara langsung sebagai faktor penyebab, respon hiperglikemik terhadap stres pembedahan dan agen anesthesia tertentu mungkin merupkan sebuah pertimbangan pertimbangan yang penting. Bagaimanapun, hiperglikemia itu sendiri cukup untuk menyebabkan koma; dehidrasi seluler yang berhubungan dengan perubahan-perubahan pada konsentrasi sodium bisa juga hadir.
    • Diagnosis. Diagnosis hiperosmolar, hiperglikemia, koma non ketotik yang ditegaskan dengan konsentrasi glukosa darah yang lebih besar ddari 600 mg/dL dan peningkatan osmolalitas serum pada ketiadaan dari ketoasidosis. Osmolalitas serum menggambarkan jumlah bahan aktif osmotik, khususnya sodium (dan anion yang menyertainya), urea dan glukosas.
    • Karena otak relatif permiabel terhadap urean dan glukosa, ion yang mendapat perhatian khusus adalah sodium. Hipernatrtemia tidak konsisten sebuah gambaran dari sindrom ini. Bagaimanapun, hiperglikemia, dengan recruiting suatu volume substatial dari cairan rendah-sodium dari ruang intraseluler, mengakibatkan penurunan yang artifactual dari nilai sodium serum yang diukur.
    • “Koreksi” dari konsentrasi sodium serum telah dianjurkan untuk mengatur efek pengenceran ini: konsentrasi sodium serum terukur dikalikan dengan 1,3 sampai 1,6 mM untuk setiap kenaikan 5,56 mM (100 mg/dL) pada konsentrasi glukossa serum. Khasnya, kionsentrasi sodium serum yang terkoreksi adalah tinggi pada sindrom ini. Azotemia dan hipokalemia juga biasa.
    • Praktek Klinik dan Manajemen. Walaupun gangguan ini dapat terjadi secara lambat lebih dari satu periode beberapa hari, sebuah kasus yang digambarkan pada periode dekat postanesthetik dicirikan oleh bagian yang sangat cepat dan fulminan. Regular insulin, 50 inttravena, telah direkomendasiakn sebagai tahap awal dalam menurunkan glukosa darah; dosis pemberian insulin berikutnya bergantung pada laju dari penurunan pada konsentrsi glukosa darah. Penurunan yang cepat dan berlebihan pad glukosa darah dapat menimbulkan syok hipovoplemik dan edema serebral.
    • Jumlah yang besar dari 0,45% salin biasanya dibutuhkan untuk mengkoreksi dehidrasi dan syok hipovolemik dapat dikoreksi dengan salin dan albumin. Penambahan potasium juga dibutuhkan, karena sejumlah besar potasium dibantu transportasinya ke intraseluler ketika pemakaian glukosas meningkat. Koma yang menyertai sindrom hiperosmoler dipikirkan akibat dari dehidrasi intraseluler serebral. Kerusakan terhadap vena2 “bridging” intrakranial dan formasi hematoma subdural berikutnya dapat terjadi sebagai akibat dari shrinkage otak.
    • Edema otak dapat terjadi selama pengobatan jijka konsentrasi glukosa darah dibiarkan menurun sangat cepat. Air berdifusi intraseluler sepanjang suatu gradien yang dibentuk oleh penurunan glukosa extraseluler dan peningkatan konsentrasi sorbitol intraseluler. Caution oleh karena itu harus dilakukan pada penurunan dari glukosa darah.
  • Ketidakseimbangan Elektrolit
    • Gangguan elektrolit yang berat pada periode postoperatif dapat mengkontribusi pemanjangan munculnya sadar dari anesthesia. Hiponatremia pengenceran bisa akibat dari absorpsi air selama pembedahan prostat transurethral. Koma, hemiparesis dan skuele neurologik alarming yang lain dapat menyertai intoksikasi air atau hiponatremia karena pelepasan yang tidak semestinya dari hormon antidiuretik yang ditrigger oleh stres pembedahan.
    • Sebuah laporan menggambarkan satu seri dari 15 wanita sehat yang mengalami hiopinatrermia simptomatik (108 mEq/L)yang terjadi sekitar 2 hari setelah pembedahan elektif, dengan kejang2 yang seiring, henti nafas dan kerusaskan otak yang berat. Walaupun penyebab yang pasti tidak jelas, perhatian berkenaan dengan laju yang mana hiponatremia dikoraksi sangatlah besar. Koreksi yang cepat telah dihububgkan dengan kerusakan otak diduga di.akibatkan oleh central pontine myelinosis , walaupun keadaan ini jarang terjadi. Hiponatremia yang persisten menghadirkan resiko dari kejang yang terus-menerus dan kemungkinan kerusakan otak. Dasar analisa dari kasus-kasus yang dilaporkan, konsentrasi sodium serum mungkin seharusnya meningkat dengan maksimum 2 mEq/L per jam, ke 128 sampai 132 mM.
    • Demikian juga, hiperkalsemia dan hipermagnesemia yang berat mengakibatkan depresi CNS dan bisa menyebabkan koma. Hipokalsemia dari hipoparathiroidisme sering dihubungkan dengan perubahan2 mental, kelainan EKG yang menyeluruh dan peningkatan tekanan intrakranial.
  • Hipothermia dan Hiperthermia
    • Hipothermia dapat mengkontribusi pemanjangan ketidaksadaran postoperatif dengan menurunkan laju biotransformasi obat-obat depresan, dengan meningkatkan kelarutan dari obat-obat anesthesi inhalasi atau dengan mempengaruhi secara langsung otak (narkosis dingin). Kebutuhan anesthetik pada anjinbg2 menurun 50% ketika temperatur tubuh menurun dari 38derajat Celcius ke 28derajat Celcius. Akan tetapi, hipothermia moderat sendiri (30derajat Celcius sampai 32derajat Celcius) tidak menyebabkan kehilangan kesadaran pada orang2 yang normal. Keterlambatan munculnya sadar dari dari anesthesia umum digambarkan pada seorang pasien tua dengan diabetes insipidus, yang mana hipothermia moderat (32derajat Celcius) dilakukan penulis laporan menspekulasikan penyakit endokrin hipothalamik dihubungkan dengan kegagalan thermoregulasi. Hiperthermia yang berat (lebih dari 40derajat Celcius), sebaliknya, sangat menyebabkan kehilangan kesadaran (“heat stroke”).
  • Obat-obat Neurotoksik
    • Depresi CNS dapat akibat dari efek toksik dari obat-obat tertentru. Sebagai contoh, beberapa agen kemotherapi kanker, seperti L-asparaginase dan vincristine, sering menyebabkan depresi CNS dan perubahan EEG. Walaupun jarang pada paad pasien yang sadar dari anesthesia, poptensial toksik dari agen kemotherapi harus dipertimbangkan pada diagnosis banding. Bahan kontras radiologi yang diinjeksikan pada ruang subarakhnoid juga telah dihubungkan dengan neurotoksisitas postoperatif.
Cedera Neurologi
  • Gagal sadar kembali setelah anesthesia umum bisa akibat dari kerusakan neurologi yang disebabkan oleh iskhemia serebral, peerdarahan atau embolisme.
  • Iskhemia Cerebral
    • Keamanan dari hipotensi yang sengaja dan terkendali pada banyak pasien tanpa penyakit cerebrovaskuler telah dibenarkan. Pemulihan yang memuaskan dari kesadaran telah dilaporkan pada pasien yang menjalani hipotensi terkendali dengan tekanan darah brakhial 40 sampai 65 mmHg dan dengan kepala dimiringkan ke atas 27derajat untuk periode selama 90 menit. Pengukuran dari tekanan parsial oksigen vena jugularis pada pasien tanpa penyakit cerebrovaskuler yang sedang menjalani hipotensi yang disenganja yang diinduksi oleh suatu kombinasi blopkade gangliionik, kepala miring ke atas, tekanan jalan nafas positif dan halothan menyatakan tidak ada bukti adanya hipoksia cerebral.
    • Akan tetapi, pada kasus yang jarang, pemanjangan ketidaksadaran akibat dari kerusakan otak iskhemik telah mempersulit/mengkomplikasi tehnik hipotensi yang disengaja. Brierley dan Cooper melaporakan lesi otak pathologi pada seorang wanita berumur 45 tahun yang sehat sebelumnya yang mempunyai pemanjangan ketidaksadaran postoperatif dan demensia organik setelah hipotensi terkendali digunakan selama anesthesia. Hipotensi lebih mungkin menyebabkan iskhemia cerebral pada pasien dengan penyakit cerebrovaskuler. Jadi, bisa berbahaya terutama sekali pada pasien diabetik atau hipertensi dan pada orang tua.
    • Obstruksi dari aliran darah pada sirkulasi vertebral atau karotid dapat terjadi ketika pasien yang sedang teranesthesi diposisikan tidak tepat (misalnya, denagn fleksi, ekstensi atau rotasi cervikal yang ekstrim, atau penekanan karotid dari retraktor atau alat mekanik yang lain). Sebuah studi menyarankan bahwa suatu bruit karotid pada pasien yang menjalani pembedahan bypass arteria koronaria dihubungkan dengan suatu peningkatan resiko stroke empat kali lipat atau iskhemia yang sementara.
  • Perdarahan
    • Perdarahan intrakranial dengan suatu hematoma supratentorial yang luas dapat menyebabkan kehilangan kesadaran oleh penekanan stem otak dan herniasi. Hipertensi yang dibangkitkan oleh laringoskopi dan intubasi trakhea dapat berakibat pada perdarahan serebral selama anesthesia. Perdarahan serebral adalah juga merupakan komplikasi yang mengkhawatirkan pada pasien2 yang membutuhkan therapi thrombolitik atau antikoagulan untuk periode yang diperpanjang (misal, selama sirkulasi ekstrakorporeal yang lama).
  • Emboli Serebral
    • Udara. Gagal sadar kembali setel;ah pembedahan jantung bisa akibat dari emboli cerebral. Infus intravena dari sejumlah sangat kecil udara adalah berbahaya paad pasien2 dengan pintasan kanan ke kiri dan harus dihindari khususnya pada anak2 dengan penyakit jantung sianotik kongenital (misal, suatu pintasan kanan ke kiri). Masuknya udara ke dalam sirkulasi dapat terjadi pada beberapa dari banyak tempat selama pembedahan jantung dan perawatan yang meticulous diperlukan untuk mencegah komplikasi ini.
    • Keadaan khusus. Sumber2 lain dari embolus cerebral pada pasien yang menjalani pembedahan jantung termasuk katup2 mitral dan aorta yang mengalami kalsifikasi, plak2 atherosklerotik pada tempat kanulasi, thrombus pada atrium atau ventriokel kiri, dan endokarditis bakterial. Bahkan irigasi dari kanul arteri radialis dapat berakibat pada aliran arteri brakhial yang retrograde dan menyebabkan embolisme cerebral. Kanul arteri harus diirigasi infus dengan heparin yang terus-menerus dan di flushed secara lambat dengan 1 atau 2 ml salin untuk mencegah komplikasi ini.
    • Depresi CNS yang menyertai emboli lemak khas terjadi 12 sampai 48 jam setelah fraktur dari sebuah tulang panjang atau trauma jaringan yang luas. Oleh karena itu emboli lemak bisa muncul ketika tidak sadar yang lama setelah anesthesia umum untuk mereduksi fraktur2 sekeletal. Emboli lemak juga telah dilaporkan setelah pijat jantung dada-tertutup dan settelah therapikortikosteroid yang masif. Jones dan teman2nya menggambarkan seorang pasien yang sedang menerima dosis masif steroid sebagai therapi immunosupresif setelah transplantasi ginjal; pasien tidak mendapatkan kembali kesadarannya setelah anesthesia umum untuk laparotomi. Koma dan kematian pada pasien ini dikaitkan dengan emboli lemak sistemik, kemungkinan dari perlemakan hepar (fatty liver) yang diinduksi-kortikosteroid.
    • Bypass Kardiopulmonar. Pengalaman klinik mengindikasikan bahwa kebutuhan anesthetik menurun secara nyata setelah bypass kardiop[ulmonar. Buruknya aliran darah pulsatile, disruptionm ari sawar darah otak, mikroemboli udara, fibrin, thrombus, kalsium atau lemak; dan hipoperfusi ari otak semuanya adalah faktor2 yang dapat mengkontribusi depresi cerebral pada periode postperfusi. Penghilangan material tertentu dengan mikrofiltrasi dapat menurunkan insiden komplikasi emboli. Penggunaan dari kortikosteroid untuk menghasilkan suatu EEGyang isoelektrik selama prosedur2 open-ventrikel telah diperlihatkan kemanjurannya. Monitoring yang terus-menerus dari tekanan perfusi arterial dan EEG atau Dopler transkranial atau ekhokardiografi transesofageal bissa memperkenankan detekasi dini dari iskhemia atau emboli cerebral.
  • Hipoksia
    • Pada masas yang lalu, penyebab paling banyak dari ketidaksasdara postoperatif adalah pemakaian dari senyawa gas hipoksik selama induksi anesthesia dengan nitrous oksida. Sekarang ini, hipoksia cererbral masih merupkan bahaya yang penting, walaupun kemajuan2 tekhnologi pada sistem pemakaian anesthesia ddan alat2 monitoring oksigen. Ketika hipoksia intraoperatif dipercaya sebagai penyebab dari pemanjangan ketidaksadaran postoperatif dan ketika struktur2 lain, metabolik, dan penyebab2 farmakologi ttelah layak untuk dikeluarkan dengan penilaian klinik dan laboratorium, konsultasi neurologi harus diperoleh untuk evaluasi selanjutnya dan sebuah pendekatan yang terorganisasi untuk therapi. Evaluasi EEG serial mungkin bernilai dalam membentuk kemungkinan pemulihan. Hipothermia yang disengaja nampaknya menurunkan edema cerebral dan mencegah kerusakan otak selanjutnya jika diadakan tepat pada waktunya. Walaupun pasien bisa terlihat pulih sepenuhnya, kemunduran neurologi telah dilaporkan beberapa hari sampai beberapa minggu postopeeratif. Penyebab dari encephalopathi postanoxic yang lambat ini belum diketahui.
PEMERIKSAAN KLINIK DAN PENGOBATAN
  • Karena banyaknya dan bermacam-macam penyebab dari pemanjangan ketidaksadaran postoperatif, suatu pendekatan sistemik terhadap penilaian klinik merupkan keharusan. Pertimbangan terhadap riwayat obat2 pasien dan penyakit sistemik yang ada sebelumnya dan kealamiahan dari prosedur operatif sering memperkenankan dokter anesthesi untuk menentukan penyebab yang paling mungkin dari pemanjangan depresi CNS. Tindakan yang cerdas maka harus diambil untuk membuat atau mengeluarkan sebuah diagnosa yang spesifik. Pentingnnya suatu riwayat medis preoperatf dan pemeriksaan fisik yang saksama ditegaskan dengan cerita klinik berikut:
  •  Dilatasi pupil unilateral diobervasi pada pada seorang pasien muda dan sehat yang masih tidak sadar setelah kardiotomi untuk memperbaiki defek septal atrial. Karena ukuran pupil tidak sama dan juga tidak sadar pada awal periode postoperatif, pasien ini ditakutkan telah menderiata emboli cerebral atau perdarahan. Akan tetapi, tidak ada tanda-tyanda neurologi fokal lain hadir, dan pasien bangun dalam periode waktu yang sepantasnya. Pemeriksaan yang cermat dari catatan medik menyatakan bahwa anisokoria telah ada sejak lahir.
  • Pengetahuan yang cermat dari temuan2 fisik preoperatif pasien harus sudah menyingkirkan penyebab untuk menjadi perhatian /keprihatinan.Ketika pasien masih tidak sadar pada unit perawatan ppostanesthesia dan tidak ada penjelasan yang nyata terhadap adanya depresi CNS, penilain yang hati-hati terhadap ventilasi dan oksigenasi adalah merupakan hal yang penting dan menbdesak. Pengukuran terhadap ventilasi semenit, tekanan parsial gas darah arterial, pH dan konsentrasi gula darah harus didapatkan tepat pada waktunya. Temperatur tubuh harus diukur dan fungsi sirkulasi dinilai untuk menilai perfusi cerebral. Studi laboratorium tambahan dapat menunjukkan adanya penyakit hepatik, renal atau endokrin sebelumnya. Pengukuran konsentrasi elektrolit serum (termasuk kalsium dan magnesium) dan osmolaritas harus dipertimbangkan. Peerubahan2 pada pola2 EEG adalah merupakan nilai2 diagnostik dalam mempredikasikan kemungkinan pemulihan pada akhirnya.
  • Encephalopathi metabolik sistemik menyebabkan kehilangan kesadaran dengan atau tanpa tanda-tyanda neurologik fokal. Sebagai contoh, koma insulin pada pasien diabetik bisa hadir sebagai hemip[legia yang disertai denga tanda-tanda lesi upper motor neuron unilateral; sebagai akibatnya, kerusakan vaskuler cerebral mungkun didiagnosa, secara tidak benar. Pengobatan dengan pemberian glukosas intravena pada kasus ini menghasilkan bangun yang cepat dan hilangnya tanda-tanda neurologi yang abnormal.
  • Plum dan Posner melaporkan tanda2 neurologi yang tidk sama yang menyertai keadaan2 yang berturut-turut pada koma hipoglikemik pada satu pasien. Penjelasan2 untuk variasi ini pada respon neurofisiologi pada kekacauan metabolik pada seorang pasien seccara individu adalah spekulatif, pada yang terbaik. Tanda2 neurologik fokalk yang menyertai pemanjangan pemulihan dari anesthesia oleh karena itu harus diinterpretasikaan pada konteks aksi obat anesthesi dan efek2 metabolik pada CNS.
  • Depresi CNS yang dihasilkan oleh narkotik2 dan obat2 antikholinergik dapat dibalikkan (reverse) oleh penggunaan dari antagonis obat spesifik. Somnolen yang diinduksi narkotik dapat dikeluarkan dari diagnosis banding dengan pemberian secara titrasi nalokson(20 sampai 40 mikro gram bolus). Pemanjangan ketidaksadaran yang diakibatkan oleh antikholinergik skopolamin juga bisa dikeluarkan, dengan pemberian fisostigmin. Walaupun skhoplamin mungkin telah diberikan beberapa jam sebelumnya, fisostigmin, pada dosis yang sama, diberikan secara intravena, kadang2 menghasilkan bangun yang menyolok. Dosis fisostigmin ini jarang menyebabkan effek2 ssamping. Akan tetapi, atropin harus tersedia untuk mengobati bradikardia, seandainya hal itu terjadi dari peningkatan tonus vagal. Flumazenil secara spesifik mengantagonis somnolen karena benzodiazepin, dititrasi untuk efek pada kenaikan2 0,1 – 0,2 mg. Karena variasi antar pasien yang sangat besar pada sensitivitas terhadap benzodiazepin, pertimbangan manfaat flumazenil pada pasien yang telah meneriama benzodiazepin dan yang sebaliknya menunjukkan deprresi CNS yang tidak bisa dijelaskan.
  • Nilai dari antagonis obat spesifik seperti naloxon, fisostigmin dan flumazenil pada evaluasi dan pengobatan dari depresi CNS postoperatif telah ditentukan dengan baik. Penggunaan dari agen analeptik nonspesifik, bagaimanapun juga, adalah mengecilkan hati, karena keuntungan diagnistiknya mungkin lebih diperbanyak oleh resiko2 yang menyertai (misal, kejang atau kembali ke keadaan tidak sadar