PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PEMBEDAHAN GINJAL DAN SALURAN KEMIH DENGAN PENDERITA GAGAL GINJAL

ANESTESI PADA PEMBEDAHAN GINJAL DAN SALURAN KEMIH

Pendahuluan
  • Kita ketahui bahwa pembedahan dibidang urologi meliputi pembedahan terbuka dan endoskopi. Pembedahan terbuka hampir sama dengan pembedahan abdomen lainnya sementara pembedahan endoskopi memerlukan pertimbangan khusus karena lebih banyak masalah yang menyertainya.
  • Namun sekecil apapun pembedahan yang dilakukan dalam kondisi ginjal yang melemah/gagal melakukan fungsinya tetap memberikan risiko yang tinggi. Semakin luas operasinya, semakin lama waktu yang diperlukan, semakin tinggi risiko operasinya Untuk ini diperlukan persiapan yang optimal terutama penguasaan masalah renal fisiologi, patologi dan renal farmakologi.
Evaluasi pra operatif
  • Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi dalam mengelola penderita gagal ginjal yang mengalami pembedahan dimana dibutuhkan anestesi.
    • Apakah penderita gagal ginjal akut yang mengalami pembedahanakut atau gagal ginjal kronis yang mengalami pembedahan akut atau elektip .
    • Perubahan fungsi ginjal mendadak pada gagal ginjal akut disertai perubahan yang cepat , keseimbangan/elektrolit, homeostasis dan asam basa menyebabkan angka kematian penderita gagal ginjal akut (GGA) sekitar 30-40 % walaupun sudah dikelola dengan baik, apalagi diagnosa GGA terlambat sehingga iskemia renalis cukup berat , atau akut tubular nekrosis sebagai penyebabnya, Bila dilakukan pembedahan / anestesi kematian meningkat sampai lebih 60% dan untuk bedah mayor dapat mencapai 90%.
    • Dengan pertimbangan tersebut bedah elektif tidak dapat dibenarkan dilakukan pada penderita GGA. Apalagi penderita GGA tak mampu mentolerir adanya anemia, dan sulit menentukan status volume intravaskular oleh sebab bila GGA oleh karena sepsis atau syok hipovolemi penderita mungkin telah mendapat resusitasi cairan yang berlebihan sehingga terjadi hipervolemi sementara bila tergolong non oliguri atau bila berada pada fase diuresis mungkin saja sedang hipovolemi.
    • Bila pembedahan darurat tidak bisa ditawar lagi demi penyelamatan penderita maka risiko siap dihadapi. Perlu diketahui hanya ada empat keadaan dimana bedah darurat benar-benar harus segera dilakukan yaitu fetal distres ( gawat janin), perdarahan tak terkontrol, penyulit respirasi yang mengancam dan henti jantung ( emboli arteri ).
    • Diluar keadaan tersebut masih mungkin menunda operasi satu jam atau lebih untuk mempersiapkan penderita mendekati optimal. Pada kasus gagal ginjal kronis yang berat walaupun sudah ada toleransi dan adaptasi penderita terhadap anemia dan perubahan status volume/elektrolit bila dilakukan bedah darurat tetap berisiko tinggi.
    • Oleh karena itu putusan apakah pembedahan dimaksud benar darurat sangat menentukan nasib penderita. Perlu diketahui penderita gagal ginjal dengan kadar kreatinin serum lebih 3 mg% disertai hipertensi tanpa intervensi pembedahan/anestesipun cukup jelek prognosenya. Apalagi gagal ginjal tidak berdiri sendiri selalu disertai penyulit kardiovskuler, respirasi dan gagal hepar semakin memperuncing kondisi.
    • Mayoritas kasus urologi adalah usia lanjut dengan problema khusus antara lain :
      • Sering disertai penyakit degenaratif dimana autoregulasi semua organ menurun.
      • Perubahan sensori, kebingungan dan eksitasi membutuhkan sedasi yang eksesif.
      • Cenderung dengan sphincter gastro oesophageal yang inkompeten hiatus hernia, oesophageal reflux, sehingga mudah terjadi aspirasi.
      • Daya tahan tubuh sudah menurun memudahkan infeksi.
      • Hilangnya otot-otot wajah dan kurangnya gigi, sulit mencari sungkup muka yang sesuai.
    • Ingat bahwa stress pembedahan /anestesi sendiri akan meningkatkan katekolamine, reninangiotensin dan pelepasan anti diuretik hormon (ADH) dan aldosteron yang dapat menurunkan renal blood flow (aliran darah renal), kecepatan filtrasi (GFR) dan diuresis dan meningkatkan intravaskuler volume akibat meningkatnya retensi natrium dan air.
  • Perubahan fungsi ginjal menyebabkan perubahan fisiologi tubuh yang banyak menimbulkan masalah :
    • Perubahan fungsi ekskresi/reabsorbsi dari ginjal dapat merubah farmakokinetik/dinamik dari obat – obat yang digunakan, diperlukan penyesuaian dosis dan selektifitas dalam menentukan obat – obatan yang dipakai.
    • Perubahan volume intravaskular disebabkan retensi natrium dan air yang cenderung over load bila pemasukan cairan tidak diperhitungkan.
    • Perubahan kimia darah/elektrolit yang harus segera dikoreksi seperti meningginya kadar ureum, hiperkalimia, hiperfosfatemia, hiponatremia, dan lain – lain.
    • Metabolik asidosis.
      • Disebabkan meningkatnya asam inorganik fosfat dan sulfat yang dalam keadaan normal dikeluarkan oleh ginjal, dalam hal ini gagal untuk diekskresi disertai menurunnya kadar bikarbonat plasma oleh sebab hiperkatabolisme sekunder.
      • Asidosis meningkatkan hiperkalimia bersama – sama dapat meningkatkan iritabilitas sensitivitas miokard terhadap katekolamine. Meningkatkan pH 0,1 bisa menaikkan kalium serum 0,6 meq/L.
    • Anemia :
      • Bisa oleh karena menurunnya produksi eritropoetin serta melemahnya proses eritropoesis, pendeknya survival eritrosit serta hemolisa yang mengancam terjadinya hipoksia jaringan oleh karena menurunnya kapasitas membawa oksigen.
      • Gangguan koagulasi : penurunan daya agregasi platelet.
    • Perubahan kardiovaskular berupa hipertensi sampai kegagalan jantung oleh karena kecenderungan kelebihan cairan dan aritmia oleh karena gangguan keseimbangan elektrolit.
    • Perubahan neuromuskular antara lain peripheral neuropati/spasticity terutama motorik, neuropati autonomik yang sering menimbulkan hipotensi perioperatif.
    • Perubahan gastrointestinal berupa mual, muntah, pengosongan lambung terlambat sehingga cenderung terjadi aspirasi.
    • Gangguan jiwa/status mental yang kadang – kadang memerlukan sedasi yang berlebihan padahal over dosis selalu cenderung pada gagal ginjal.
  • Teknik pembedahan urologi sendiri menimbulkan masalah anestesi yang cukup potensial.
    • Posisi penderita di satu sisi sangat membantu operator sementara menambah masalah di bidang anestesi :
      • Posisi lateral dekubitus biasanya pada operasi ginjal/proksimal ureter.
        • Cenderung membuat VA/Q imbalans dimana perfusi lebih banyak di bagian paru yang bawah sedangkan tekanan positif lebih banyak ke arah paru sebelah atas sehingga hipoksia lebih mudah terjadi.
        • Akibat kompresi vena cava inferior, aliran darah balik yang berasal dari ekstrimitas bawah dan abdomen terhambat langsung menyebabkan hipotensi dan penurunan kardiak output.
        • Posisi tengkurap seperti pada perkutaneus ultrasonik lithotripsi.
          • Dimana abdomen di ganjal untuk mengoptimalkan posisi ginjal dapat menghambat respirasi yang cukup berarti terutama penderita obesitas.
          • Pada waktu merubah posisi terlentang ke posisi tengkurap atau sebaliknya selalu disertai perubahan hemodinamik yang nyata. Untuk mencegah ini volume intravaskular harus cukup dan anestesi tidak boleh dalam.
        • Posisi lithotomi biasa pada transurethral reseksi/perineal prostatektomi :
          • Ventilasi dihambat oleh karena retriksi gerakan diafragma terutama penderita obesitas apalagi dengan penyakit paru kronis. Makin ekstrim posisi kaki, makin lama operasi makin besar kemungkinan atelektasis dan hipoksia. Lithotomi yang ekstrim juga cenderung menimbulkan emboli oleh karena adanya gradien gravitasi antara luka operasi dan jantung.
          • Pada saat penempatan posisi kaki bisa meningkatkan aliran balik ±1500 CC berbahaya bila ada kelemahan jantung.
          • Hipotensi kadang terjadi oleh jeleknya tonus vaskular, sekunder oleh karena general anestesi atau regional anestesi. Oleh karena itu merubah posisi dalam keadaan teranestesi harus hati – hati.
      • Tipe pembedahan urologi sendiri punya masalah tersendir pada transurethral reseksi (biasa untuk obstruksi prostat atau lesi kandung kemih)
        • Cairan irigasi yang digunakan selama pemeriksaan urethra dan kandung kemih untuk mengembangkan kandung kemih dan mencuci keluar darah dan potongan jaringan dimana cairan irigasi adalah air biasa, sementara sinus venosus terbuka selama reseksi prostat sehingga behubungan langsung dengan sirkulasi. Makin besar prostat yang di reseksi makin lama prosedur berlangsung makin banyak air irigasi memasuki sirkulasi makin cenderung terjadi over load cairan. Masuknya cairan ke sirkulasi akan dipermudah oleh karena tekanan cairan irigasi di kandung kemih lebih besar dari tekanan vena.
        • Akibatnya timbul deretan masalah :
          • Meningkatnya volume sirkulasi dan berkembangnya kegagalan ventrikel kiri, oedem paru atau otak.
          • Hiponatrimia oleh karena hemodilusi, kadar Na bisa turun lebih kecil 120 mg/L.
          • Hemolisa dari eritrosit yang beredar oleh karena masuknya cairan hipotonis ke intraselular.
          • Kedinginan/menggigil oleh karena suhu cairan irigasi tidak sesuai temperatur tubuh, apalagi bila tidak steril.
      • Perdarahan abnormal disebabkan faktor jaringan dari prostat yang mengaktifkan fibrinolisin. Terjadinya dessiminated intravaskular coagulation ( DIC ) oleh karena masuknya faktor jaringan prostat ke dalam sirkulasi dalam jumlah besar mangaktifkan koagulasi darah dan agregasi platelet.
      • Perdarahan yang timbul selama TUR prostatektomi sangat sulit diperhitungkan oleh karena cairan irigasi memasuki sirkulasi menghilangkan tanda – tanda hipovolemia.
      • Perforasi kandung kemih menyebabkan ekstravasasi cairan irigasi bersama urine yang mernyebabkan sepsis. Perforasi bisa terjadi pada saat :
        • Akhir reseksi yang dalam dari capsul prostat.
        • Selama fulgurasi tumor kandung kemih
        • Insersi resectoscope ke dalam trabekula yang berdinding tipis
        • Stimulasi nervus obturatorius/spasmo musculus obturatorius.
      • Pada saat kejadian ini bila penderita sadar lakan lebih dini diketahui dan tindakan terapi segera diberikan. Inilah salah satu alasan kenapa regional anestesi lebih terpilih.
    • Pada transplantasi ginjal selalui diberikan immuno suppresan ( cyclosporine, azathioprine ) untuk mencegah rejeksi transplant oleh tubuh ( resipient ) akibatnya penderita gampang terinfeksi, untuk ini perlu dijaga setiap manipulasi harus benar – benar asepsis
    Persiapan pra operatif
    • Tergantung pada tipe operasi darurat atau elektip dan penderita gagal ginjal akut atau kronis.
      • Bila benar-benar darurat dimana persiapan sangat sempit maka ada tiga masalah yang harus segera diselesaikan yaitu asidosis, hiperkalemia dan hidrasi berlebihan sebelum dilakukan induksi.
      • Bila kadar kalium serum lebih dari 5,5 meq sebaiknya beri infus insulin – glukosa ( infus dextrose 5 gr ditambah 2 unit regular insulin tiap 5 gr dextrose dengan kecepatan 3-5 cc /menit agar kalium bisa bergerak kedalam sel. Selanjutnya beri intravenous 5-10 cc calcium cloride 10% selama dua menit agar dapat melawan efek toksis kalium terhadap jantung. Untuk perbaikan asidosis diatasi dengan bikarbonas intravenous selama lima menit dan perbaikan ventilasi.
      • Persiapkan pemasangan CVP untuk menilai status volume cairan dengan melakukan test toleransi oleh karena menentukan status volume cairan pada GGA sangat sulit. Walaupun pemberian diuretik masih kontroversi namun untuk perbaikan oliguri menjadi non oliguri tetap diberikan dengan catatan volume cairan harus cukup. Sementara mencari penyebab GGA pemberian cairan harus segera dicukupi baru strategi pemberian diuretik dipikirkan.
      • Loop diuretik tampaknya cukup baik untuk penderita GGA dengan penyulit kardiovaskular oleh karena mengurangi volume intravaskular tetapi kontraindikasi untuk hipovolemia sementara manitol bisa menambah volume intravaskular baik untuk oliguria hipovolemia tapi kontraindikasi bila ada kelamahan jantung.
      • Dopamin dosis rendah walaupun dikatakan dapat menaikkan aliran darah renal/natriuresis/diuresis sebagai posteksi renal tetapi masih kontroversi.
      • Usahakan hematokrit dipertahankan sekitar 32% yang merupakan nilai optimum untuk pasien kritis terutama penderita GGA tidak mampu mentolerir anemia.
      • Pemberian darah segar atau packed red cell lebih terpilih untuk mengurangi penambahan volume intravaskular dan kalium darah.
      • Bila pembedahan tidak benar benar darurat mungkin bisa diundur beberapa jam untuk memberi kesempatan kemungkinan dilakukan dialise ( CVVH).
      • Ada beberapa indikasi absolut untuk dialise :
        • a. Symtomatik uremia dengan gejala CNS/gastrointestinal.
        • b. Resisten hiperkalemia tidak respon medikamentosa.
        • c. Asidosis berat.
        • d. Overload cairan tidak respon terapi medikomentosa
        • e. Perikarditis.
      • Dari analisa serum dan urine bisa diperkirakan apakah penyababnya prerenal/renal sebagai konfirmasi.
      • Test laboratorium
                     prerena
                       Renal
        Urine Osmolalite Mosm/kg
        Urine Sodium (meq/L)
        Urine Plasma Creatinin
        Renal Failure Index (RFI)
        Fractional Excretion of Filtered Sodium
        Urine Sediment
             Lebih dari 500
             Kurang dari 20
              Lebih dari 40
              Kurang dari 1
              
               Kurang dari 1    
        Normal / Granular Cast                 
                     Kurang dari 400
             Lebih dari 40
             Kurang dari 20
              Lebih dari 2

               2
        Urine Granular Cast Celular Debris

    RFI =           Urine Na ( meq/L )
              Urine Creatinin/serum creatinin
    Fractional Excretion of Filtered Sodium =  Urine Na / serum Na
                                                               Urina Creatinin / serum creatinin
    • Penderita gagal ginjal kronis dengan pembedahan elektif harus dipersiapkan secara optimal oleh karena banyak waktu yang tersedia. Pembedahan urologi elektif pada umumnya untuk membebaskan obstruksi apakah oleh karena obstruksi oleh batu atau stenosis atau perlekatan saluran kencing yang diharapkan bisa meringankan beban ginjal. Sindoma uremia sebaiknya diatasi dulu bila ada indikasi dialise dengan alasan penderita uremia :
      • Cenderung menurun daya agregasi platelet ditambah dengan penggunaan heparin selama dialise dan anti koagulan oral diantara dialise, kemungkinan perdarahan peri operatif lebih besar.
      • Eritrosit yang ditranfusikan ke penderita uremia cenderung berumur singkat sebaliknya eritrosit penderita uremia ditranfusikan ke penderita normal malah menjadi normal.
      • Menurunkan daya ikat albumin terhadap obat – obatan sehingga meningkatnya konsentrasi obat dalam bentuk bebas dalam darah bahaya over dosis.
      • Berubahnya permeabilitas sawar darah otak dapat meningkatkan sensitifitas agents, bahaya depresi lebih besar.
      • Cenderung timbul penyulit perikarditis.
        • Petunjuk laboratorium analisa darah /urine sangat membantu memberikan gambaran derajat kegagalan ginjal dan kapan laik dioperasi, seperti klirens kreatinin paling tidak lebih dari 30 ml/menit.
        • Klirens kreatinin bisa diperoleh dengan bantuan formula :

    CC  =   ( 140 – (umur/th) x BB (kg) )n    =             ml
                  72 ( Lk ) 85 ( Pr ) x  serum creatinin           menit             
    Lebih dari  50       = normal
              30 – 50        = moderate ( hati-hati )
              10 – 30        = tidak ada renal reserve
    Kurang dari 10    = stadium akhir
        • Bila lebih kecil dari 30 ml/menit segera dialise.
        • Bila lebih besar dari 30 ml/menit salah satu indikasi laik dilakukan operasi.
        • Anemia sebaiknya dikoreksi paling tidak di atas 9 g% dengan packed red cell dan untuk transplantasi ginjal dengan wash packed red cell ( eritrosit yang sudah dicuci ) agar limposit tidak terbawa karena akan meningkatkan reaksi rejeksi terhadap transplant.
    • Pada penderita gagal ginjal ringan tanpa penyulit lain mungkin Hb hanya 7 g% masih mungkin dengan kompensasi peningkatan kardiak output ( volume semenit ) namun pada penderita gagal ginjal kronis ( GGK ) dengan penyerta kelainan jantung iskemia atau penurunan fungsi liver yang berat sebaiknya Hb minimal 12 g%. Sekiranya bila dialise diindikasikan sebaiknya transfusi dilakukan selama dialise untuk mengurangi pertambahan volume sirkulasi.\
    • Usahakan transfusi diberikan minimal 48 jam sebelum operasi untuk memberikan kesempatan sel – sel darah beradaptasi dalam lingkungannya. Semua ini akan meningkatkan kapasitas mengangkut oksigen untuk mengurangi bahaya hipoksia jaringan.
    • Kadar kalium darah mutlak harus dalam batas normal paling baik bila dibawah 5 meq/liter, oleh karena suasana asidosis, trauma pembedahan sendiri cenderung meningkatkan kalium serum, apalagi suksinil koline digunakan sebagai fasilitas intubasi. Bila oleh karena gagal ginjal murni, hiperkalemia baru terjadi bila GFR kurang dari 5 ml/mnt. Asidosis apakah oleh karena metabolik atau respiratorik harus dikoreksi sebelum induksi oleh karena asidosis, hiponatrimia dan hiperkalemia cenderung meningkatkan sensitifitas myokard terhadap katekolamie. Oleh karena umumnya hiponatrimia oleh karena hemodilusi ( dilusional hiponatremia ) terapinya, diprioritaskan dengan retriksi cairan atau pemberian diuretik sebelum pemberian natrium hipertonis. Hipocalcemia jarang terjadi walaupun ada, hanya ringan (sebabnya belum jelas) namun bila dikoreksi asidosis dengan bikarbonas terlalu drastis ditakuti bertambahnya hipocalsemia dengan timbulnya tetani. Sebaiknya asidosis dikoreksi bila kadar bikarbonas lebih kecil dari 10 meq/liter. Hypo albuminemia sebaiknya dikoreksi oleh karena daya afinitas albumin terhadap obat-obatan menurun, cenderung terjadi overdosis. 
    • Kriteria berikut mungkin bisa sebagai salah satu petunjuk berdasarkan analisa laboratorium apakah penderita baik dioperasi atau belum : 
      • a.creatinin clearance lebih dari 30 ml/menit.
      • b.Ht kurang dari ( 29- 33 % )
      • c.K kurang dari 5 meq / L.
    • Ada yang menyarankan antara lain :
      • a.serum kreatinin kurang dari 10 mg%.
      • b.ureum kurang dari 150 mg%
      • c.Hb / K / Na ----- batas normat.
    • Hipertensi lebih baik dikoreksi beberapa hari sebelum operasi dari pada dipaksakan sesaat menjelang operasi, oleh sebab penderita hipertensi cenderung terjadi hipotensi maupun hipertensi berat selama induksi. Bila tekanan diastolik dibawah 100 mmHg membuat hemodinamik lebih stabil dan komplikasi lebih sedikit.
    • Obat anti hipertensi terpilih tampaknya paling aman buat gagal ginjal adalah klonidin dan metildopa karena dapat meningkatkan /mempertahankan aliran darah renal, sementara captopril ( ACE inhibitor) cenderung meninggikan kadar kalium darah dan memperburuk aliran darah renal.
    • Hipertensi yang persistent yang sukar dikoreksi dengan medikamentosa kadang kadang perlu dialisa, perlu diingat penderita yang sudah didialisa cenderung terjadi hipotensi waktu induksi. Apalagi bila sudah timbul neuropati autonomi yang sering menimbulkan hipotensi perioperatif.
    • Dengan kecenderungan muntah dan terjadi aspirasi akibat pengosongan lambung memanjang apalagi penderita sudah tua dengan sphincter oesophageal yang inkompeten sebaiknya dipuasakan lebih lama dan pemberian obat-obatan yang menurunkan keasaman dan volume cairan lambung bersamaan premedikasi.
    • Tampaknya H2 histamin receptor blockers (ump, ranitidin cimetidine dan famatodin) bisa meningkat pH lambung dan menurunkan volume lambung jika diberikan 60-90 menit pre operatif. Oleh karena kerjanya lambat, maka tidak berguna diberikan dalam pembedahan darurat.
    • Metoclopropamide dapat meningkatkan tonus sphincter oesophagus bawah dan meningkatkan motalitas lambung dan efeknya terjadi dalam beberapa menit setelah pemberian anitravena terpilih untuk bedah darurat.
    • Kombinasi H2 blocker dan metoclopropamide diberikan peroral 60-90 menit sebelum operasi telah dibuktikan dapat menurunkan volume lambung dan meningkatkan pH lambung penderita yang menjalani prosedur elektif. Induksi cepat dengan penekanan krikoid dapat mencegah aspirasi apalagi disertai posisi head up. Studi koagulasi terutama fungsi platelet akibat uremia, untuk antisipasi perdarahan eksesif, durante operatif, kontra indikasi untuk regional anestesi.
    Pengelolaan cairan peri operatif
    • Mempertahankan status volume dan elektrolit dalam keadaan seimbang mutlak dikendalikan. Kecukupan volume sebelum induksi penting untuk mencegah hipotensi mendadak post induksi akan memperberat iskemia renalis. Walaupun tensi (tekanan darah) sudah normal tidak berarti volume sirkulasi sudah cukup. Bila fasilitas CVP belum terpasang, tilt test dapat membantu. Namun dengan adanya penyulit kardiorespirasi apalagi cenderung terjadi overload akibat pemasukan cairan yang tidak terkontrol tampaknya monitor CVP sangat membantu, lebih memuaskan lagi bila dilengkapi monitor PAWP ( Swan Ganz Kateter) oleh karena dapat memberikan informasi langsung fungsi ventrikel kiri. CVP yang tinggi tidak selalu bersama PAWP yang tinggi, sedangkan CVP yang rendah dapat disertai PAWP yang tinggi apalagi pasien gawat ada perbedaan nyata antara tekanan ventrikel kiri dan kanan.
    • TVS (CVP) tak selalu mencerminkan volume darah dengan tepat akibat perubahan tonus pembuluh kapasitas vena yang dapat mempertahankan TVS normal pada hal hipovolemi.
    • Jadi monitoring hemodinamik yang baik harus mampu mengukur tekanan kapiler paru atau tekanan vena dengan kateter CVP bersamaan. Dengan melakukan toleransi test dalam pemberian cairan menurut pedoman dibawah ini dapat dikurangi kemungkinan terjadi overload.

    • Pemberian cairan berdasarkan pemantauan kaeter Swan ganz (PCwP) (aturan 7 dan 3) oleh Dr. Max Harry Weil dari University of Southern California.

    • Dianjurkan mempertahankan PAWP kurang dari sama dengan 15 mmHg, TVS (CVP) (7-10) CmH20, MAP lebih dari 60 mmHg.
    • Dalam pemilihan cairan sebaiknya tidak mengandung kalium dan tidak menambah asidosis. Larutan NaCl 09% dalam jumlah yang besar akan meningkatkan kadar chlorida dalam darah. Hiperkloremik berdampak negatip pada aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi dan mengganggu motilitas gastropilorik sehingga sering terjadi mual dan muntah. Larutan yang mengandung laktat dan posphat akan menambah asidosis oleh karena ginjal sangat berperan dalam mengeluarkan laktat, sementara setiap peningkatan fosfat serum sebesar I mmol/L akan menambah 1,8 meq/muatan anion, apalagi penderita dalam kondisi hiperfosfotemia.
    • Biasanya digunakan infus larutan Dextrose 5% dalam 0,45% NaCl. Bila cairan koloid dibutuhkan untuk stabilisasi sirkulasi perioperatif tampaknya glafundin lebih terpilih karena bukan plasma expander (isoonkotik), tidak mengandung kalium, sementara gelatin yang terkandung didalamnya dapat menghasilkan diuresis yang bagus apalagi half life gelatine dalam intravaskular pendek (2-3 jam, dalam menggati volume plasma lebih gradual tanpa memberi beban berlebih pada sirkulasi dan kandungan Ca ++ sebesar 1,4 m mol/l yang sama dengan kandungan Ca++ fisiologis, tetapi tidak boleh diberikan pada keadaan oliguri/anuria karena larutan gelatine diekskresikan lewat ginjal sebagian besar dan sebagian kecil lewat usus.
    Seleksi obat anestesi yang di rencanakan
    • Obat-obat yang akan diberikan sebaiknya memenuhi kriteria antara lain :
      • Tidak /sedikit diekskresi lewat ginjal baik dalam bentuk utuh atau metabolitnya.
      • Tidak begitu mempengaruhi stabilitas hemodinamik sekaligus tidak mempengaruhi renal blood flow (aliran darah ginjal), kecepatan filtrasi dan fungsi tubulus.
      • Agen dan metabolitnya tidak nepro toksis.
    Premedikasi
    • Sulfas altropin, scopolamin, glikopilorat cukup aman tidak mempengaruhi fungsi renal. Tampaknya glikopirolat lebih terpilih karena pengaruh CNS kecil, bronchodilator, mempenyuai efek menurunkan keasaman/ volume lambung.
    • Untuk sedasi yang cukup tidak mendepresi respirasi kardiovaskuler tampaknya midazolan cukup baik, dimetabolisir di hepar dan dapat menaikkan diuresis dengan menaikkan kadar anti diuretik hormon inhibitor, alternatif bisa diazepam.
    • Sementara long acting barbiturat seperti barbital atau fenobarbital sebaiknya tidak digunakan karena ekskresinya mayoritas lewat urine dalam bentuk utuh.
    • Morfin/petidin merangsang ADH sehingga diuresis menurun. Metabolit morfin (morfin glukuronid) masih aktif bersifat analgesik dan depresi respirasi sementara metabolit petidin (nor petidin) menyebabkan iritability dan kejang-kejang, ekskresi lewat ginjal, dianjurkan tidak dipakai. Droperidol sedikit/pengaruhnya kombinasi dengan fentanil cukup aman.
    • Fentanil dosis sedang sampai besar dianjurkan untuk resiko tinggi, dapat menurunkan kadar katekolamin dan meningkatkan klierens air serta eliminasinya tergantung metabolisme hepar.
    Induksi
    • Sepanjang tidak ada indikasi kontra tampaknya penthotal dan propofol cukup baik. Propofol lebih terpilih oleh karena mula kerja dan masa kerja paling singkat diantara obat-obat intravena dan farmakokinetiknya tidak berbeda untuk pasien normal atau gagal ginjal. Penthotal menurunkan resistensi vaskular renalis sehingga aliran darah renal lebih baik. Terikat albumin (60-70), hati-hati over dosis bila ada hipoalbuminemia apalagi penderita uremia daya ikat albumin menurun.
    Pelumpuh otot
    • Sucsinilcholin sebagai fasilitas intubasi dibenarkan bila tidak ada hiperkalemia. Kenaikan kadar K akibat pemberian sucinilcholin tidak berbeda antara gagal ginjal dan ginjal normal sebesar 0,2-0,5 meq/L setiap pemberian 1 mg/kgBB. Namun ada laporan peningkatan kalium mencapai 8,9 meq/L setelah induksi. Sebaiknya tidak menggunakan succinilcholine apalagi kondisi asidosis dan trauma pembedahan cukup menunjang terjadi hiperkalemia.
    • Mungkin rokuronium (ORG 9426) sebagai alternatif karena onsetnya singkat dan durasinya sedang dimana ekskresinya lewat hepar dan ginjal. Sebaiknya bila ada pelemas otot yang masa kerjanya pendek lebih disukai seperti vekuronium dan atrakurium. Vekuronium ekskresinya hanya 25% lewat ginjal selebihnya lewat empedu sedangkan atrakurium tidak diekresi lewat ginjal tetapi spontan melalui system Hoffman. Namun pankuronium dan d.tubokurarine relatip aman karena ekskresinya lewat ginjal dan hepar, tetapi gallamin dan dekametonium dimana ekskresinya 100 % lewat ginjal, dikontra indikasikan pada gagal ginjal.
    • Sementara neogtigmin/edroponium sebagai penawar pelumpuh otot ekskresinya lewat ginjal akibatnya kerjanya cenderung memanjang secara teoritis cukup baik utnuk mencegah rekurarisasi.
    Obat inhalasi :
    • Halothan tidak nefrotoksis, dosis kecil/sedang tidak mempengaruhi aliran darah ginjal tetapi sangat arimogenik apalagi dalam suasana asidosis dan katekolamine meningkat.
    • Metoksifluran dimetabolisir dihati jadi fluorida anorganik merupakan kontra indikasi ( lebih dari 50 m mol/L, kadar puncak plasma ).
    • Enflurane walaupun metabolit fluride tidak sebesar metoksifluran walaupun untuk gagal ginjal ringan memungkinkan sebaiknya tidak digunakan ( 22 m mol/L 2-3 jam kadar puncak dalam plasma ).
    • Isoflurane lebih stabil dan kadar puncak fluoridanya selama 2-3 jam hanya 5 mikromol/L tidak potensial nefroloksis, sedikit merubah RBF dianjurkan untuk gagal ginjal.
    • Sevoflurane dalam satu jam pemakaian produk metabolit fluorida 22,1 mmol/liter tapi peak levelnya turun cepat mendekati normal. Tidak dianjurkan pada pemakaian lama dan penderita obesitas (lewat 2 jam bisa mencapai 50mmol/l).
    • Desflurane sampai 7 MAC/jam tidak ada kenaikkan fluorida, renal blood flow tetap oleh karena menurunkan resistensi vaskular renalis. N2O tidak mempengaruhi fungsi renal dan dianjurkan tidak melebihi 50% oleh karena kecenderungan penurunan kapasitas mengangkut oksigen pada penderita uremia.
    Obat analgetik
    • Non steroid anti inflamasi drug (NSAID) merupakan kontra indikasi berhubungan dengan inhibisi efek prostaglandin (menurunkan agregasi platelet dan aliran darah ginjal/kecepatan filtrasi dan diuresis).
    • Mungkin tramadol lebih abseptable karena bebas pengaruh prostalglandin dan kerja sentral merupakan opioid agonist efek dan inhibisi spinal (memperkuat efek anti nosiseptik fisiologi dari descending inhibitors pathway dari spinal cord).
    • Tampaknya dextometodimidin dapat memberikan analgetik, amnesia dan sedasi yang seimbang tanpa depresi respirasi. Merupakan alfa-2 adreno reseptor agonist, dimana analgesi bersifat spinal/supraspinal, menekan pelepasan ADH/renin dan merangsang ekskresi air dan natrium.
    Tehnik anestesi
    • Tergantung : 
      • jenis operasi
      • kooperasi penderita
      • tidak ada kontraindikasi
    pada tindakan endoskopi untuk diagnostik seperti cytoscopi/RPG mungkin cukup anestesi lokal. Pada operasi tertentu dimana tidak ada kontra indikasi, tidak terlalu lama, penderita kooperatif lebih disarankan regional anestesi dengan pertimbangan :
    • a.obat anestesi lokal umumnya diekskresi tidak bergantung ginjal.
    • b.tidak mempengaruhi renal blood flow asalkan hipotensi bisa dicegah dengan preload yang cukup.
    • c.tidak ada efek samping metabolit.
    • d.menurunkan resistensi vaskular mengurangi beban jantung.
    • e.tidak memerlukan pelemas otot.
    • f.penderita sadar penuh sehingga cepat diketahui penyulit operasi yang terjadi bila dengan anestesi umum baru ketahuan setelah hipotensi dan disritmia timbul
    • g.tanpa pipa trakea mengurangi infeksi jalan napas/paru.
    • Level sampai T10 cukup memberikan analgesi dan relaksasi cukup untuk pembedahan prostat dan kandung kemih. Namum pemeriksaan koagulasi mutlak apalagi penderita dialise, mengkomsumsi anti koagulan peroral.
    • Bila anestesi umum sebagai pilihan maka anestesi seimbang dengan neurolep anestesia merupakan pilihan yang optimal. Bila tidak ada kontra indikasi kombinasi propofol, droperidol, fentanil dan inhalasi isoflurane cukup aman untuk gagal ginjal.
    Monitoring perioperatif
    • Oleh karena terbatasnya akses vena adanya AV shunt dan kecenderungan terjadinya infeksi bila mungkin monitor invasif dibatasi kalau masih mungkin dengan cara non invasif. Namun dimana penderita dalam keadan kritis terbatasnya cadangan jantung, syok septik sebagai latar belakang/monitor invasif suatu keharusan. Tekanan darah yang didapat dengan cara tidak langsung dengan memakai manset sering tidak akurat pada pasien yang mengalami vasokonstriksi akibat syok sirkulatoar.
    • Tekanan arteri yang cukup tidak berarti bahwa curah jantung yang cukup karena nilai yang cukup tersebut mungki akibat vasokonstriksi yang hebat. Karena itu pada penderita kritis pemberian bolus cairan dalam waktu singkat hendaknya dikerjakan selagi tepasang kateter intra arterial. Dengan kateter intra arterial pemantauan tekanan darah dapat dilakukan kontinu, dan memudahkan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah. Tekanan vena sentral (TVS) (CVP) tidak selalu mencerminkan volume darah dengan tepat akibat peruibahan tonus pembuluh kapasitas vena yang dapat mempertahankan TVS normal pada kondisi hipovolemia.
    • Namun pada syok yang ringan/sedang TVS sangat bermanfaat bila dikombinasi denga parameter hemodinamik lainnya. Pemakaian kateter PAWP (Pulmonary Arteri Wedge Pressure) (Swan Ganz) untuk mengukur tekanan pengisian jantung adalah lebih akurat oleh karena berkaitan erat dengan tekanan artial kiri dan tekanan diastolik ventrikular. Namun pemasangan kateter PAWP masih kontroversil mengenai resiko dan manfaat alat pantau ini.
    • Mungkin bila terjadi hipotensi yang menetap, oliguri dan asidosis serta dibutuhkan bantuan inotropik, pemakaiannya penting untuk pemantauan yang lebih ekstensif. Pemantauan suhu tubuh secara kontinu penting karena penurunan suhu tubuh akan menurunkan fungsi renal, bilamana suhu tubuh turun sampai 270c maka RBF akan turun ± 32% sementara GFR turun ± 69%. Pemantauan EKG kontinu karena cenderug terjadi aritmia dalam suasana asidosis, hiperkalemia dan hiponatremia.
    • Pemakaian capnometer untuk memantau entidal CO2 (EtCO2) dimana PaCO2 = 1.9+1.04 EtCO2 atau PaCO2 biasanya lebih tinggi 5mmHg dari EtCO2, sehingga bisa diawasi agar tidak terjadi hipercapnia yang akan menambah asidosis metabolik yang ada sedang bila hipokapnia ( akibat hiperventilasi yang berlebihan ) akan membuat vasokontriksi pembuluh renal (RBF menurun), selama operasi status normokapnea sebaiknya dipertahankan.
    • Pemantauan SaO2 melalui pulsoxsimetri oleh karena cenderung menurunya kapasitas mengangkut oksigen. Walaupun saturasi yang normal belum tentu memberikan oksigenasi jaringan yang normal. Walaupun delevery 02 (D02) dapat dinilai dari curah jantung dapat diukur dari kateter pulmoner (termodilusi) dan bersama sama Sa02 dan Hb namun tanpa mengkaitkan dengan V02 sulit diketahui perfusi jaringan yang adekwat. Pada penderita kritis V02 bisa meningkat lebih besar dari peningkatan D02 sehingga terjadi hipoksia jaringan tersembunyi atau debt oksigen.
    • Nerve stimulator sangat membantu untuk menilai relaksasi tepat untuk melakukan intubasi dan kapan relaksan harus ditambah dan apakah efek relaksan sudah hilang setelah pemberian anticholine esterase dimana ratio TOF 0.7. Ini penting untuk mencegah rekurarisasi post operatif terutama relaksan kerja lama.
    • Dan pemasangan kateter urine untuk memantau produksi urine ditampung dan diukur setiap jam. Jika jumlah urine rata rata kurang dari 15-20 cc/jam pengawasan terhadap fungsi ginjal lebih ketat, singkirkan anuri /oliguri oleh karena faktor mekanis seperti kateter salah masuk, tertekuk atau sumbatan oleh tekanan darah dan lain lain.