Cara pengobatan pasien Ketergantungan Narkoba

Penatalaksanaan Mutakhir dan Komprehensif Ketergantungan Napza

PENDAHULUAN

Masalah penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (selanjutnya disebut napza) merupakan problema kompleks yang penatalaksanaannya melibatkan banyak bidang keilmuan (medik dan non-medik). Penatalaksanaan seseorang dengan ketergantungan napza merupakan suatu proses panjang yang memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan banyak profesi dan paraprofesional).

Dalam makalah ini, penulis hanya memfokuskan pembahasan pada penatalaksanaan medik kedokteran. Intervensi medik dalam penatalaksanaan ketergantungan napza juga mempunyai keterbatasan. Ruang lingkup kerja profesi medis yang relatif terbatas (sebagian hanya bekerja di klinik, rumah sakit atau di tempat praktek), kurangnya SDM yang berpengalaman dan profesional dalam bidang adiksi, tidak adanya jejaring rujukan yang mapan merupakan beberapa faktor penghambat.

Di samping itu, juga cukup banyak faktor- faktor luar yang mengganggu proses pemulihan pasien, misalnya: dukungan keluarga dan/atau kelompok sebaya yang tidak selamanya positif, tawaran pengedar, kepatuhan pasien pada program terapi medik, dan lain-lainnya. Umumnya faktor- faktor tersebut di luar kendali medik.

Napza terdiri atas berbagai macam zat yang mempunyai efek berbeda-beda; berdasarkan pengaruhnya pada tubuh dan perilaku digolongkan atas:
  • Depresan seperti: opioida 
  • Sedatif-hipnotik: diazepam 
  • Stimulansia: amfetamin, metamfetamin 
  • Halusinogenik: LSD, mushroom, kanabinoid. 
Zat adiktif tersebut mempengaruhi otak dan selanjutnya menimbulkan perubahan yang berbeda-beda atas perilaku manusia, oleh karena itu penatalaksanan medisnya juga berbeda-beda tergantung pada simptomatologinya. Umumnya yang digunakan sebagai pegangan baku, adalah terapi dan penatalaksanaan medik untuk ketergantungan opioida.

(Catatan : Pengertian penatalaksanaan mutakhir dalam judul makalah ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang relatif baru dalam dunia kedokteran, sedang komprehensif bermakna adanya kerjasama yang saling berkait sesuai dengan keilmuannya masing-masing.

KONSEP DASAR PENATALAKSANAAN

Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan tindakan-tindakan yang berkait dengannya. Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut:
  1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza. 
    • Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien untuk mempertahankan abstinensia tersebut dapat didukung dengan meminimasi efek-efek yang langsung ataupun tidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lain memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapi kemudian beralih menggunakan jenis napza yang lain. 
  2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. 
    • Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah abstinensia, maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan peng- gunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan ketrampilan mencegah relaps (relapse prevention program), terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate antagonist maintenance therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk mencapai tujuan terapi jenis ini. 
  3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan metadon, syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis ini.
Terapi medik ketergantungan napza merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi perilaku. Meskipun telah dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi ketergantungan zat (termasuk faktor problema psikososial yang sangat kompleks), namun upaya penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan. Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza terdiri atas dua fase berikut:
  • Detoksifikasi
  • Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan). 
Kedua bentuk fase terapi ini merupakan suatu proses berkesinambungan, runtut, dan tidak dapat berdiri sendiri.

Farmakoterapi : 
Manfaat farmakoterapi terhadap pasien ketergantungan napza adalah untuk :
  1. Medikasi untuk menghadapi intoksikasi dan sindrom putus zat. Misalnya adalah penggunaan metadon dan klonidin untuk sindrom putus opioida, klordiazepoksid untuk sindrom putus alkohol. 
  2. Medikasi untuk mengurangi efek memperkuat (reinforcing effect) dari zat yang disalahgunakan. Misalnya pemberian antagonis opioida seperti naltrekson dapat memblok/menghambat pengaruh fisiologi dan subyektif dari pemberian opioida berikutnya. Pada kasus lain, gejala-gejala abstinensia yang dicetuskan oleh penggunaan antagonis opioida, misalnya nalokson, dianggap sebagai provocative test untuk mengetahui adanya penggunaan opioida. 
  3. Medikasi untuk mengendalikan gejala-gejala klinis seperti 
    • anti agresi (haloperidol, fluphenazine, chlorpromazine) 
    • anti anxietas (diazepam, lorazepam) 
    • anti halusinasi (trifluoperazine, thioridazine) 
    • anti insomnia (estazolam, triazolam) 
  4. Terapi substitusi agonis, seperti metadon, klordiazepoksid 
  5. Medikasi untuk menyembuhkan komorbiditas mediko- psikiatri. 
  6. Terapi terhadap overdosis: seperti pemberian nalokson untuk pasien overdosis opioida pada pengguna IDU (Injecting Drug User), 
  7. Mengatur keseimbangan cairan: air dan elektrolit 
  8. Antibiotika: infeksi akibat komplikasi TB pulmonum, he- patitis dan infeksi sekunder karena HIV/AIDS 
  9. Terapi untuk gangguan ekstrapiramidal.

TERAPI DETOKSIFIKASI

Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan merupakan intervensi medik jangka singkat. Seperti telah disebutkan di atas, terapi detoksifikasi tidak dapat berdiri sendiri dan harus diikuti oleh terapi rumatan. Bila terapi detoksifikasi diselenggarakan secara tunggal, misalnya hanya berobat jalan saja, maka kemungkinan relaps lebih besar dari 90 %.
Tujuan terapi detoksifikasi opioida adalah
  • Untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-gejala putus opioida 
  • Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk "mengobati dirinya sendiri" dengan menggunakan : 
    • Metadon: adalah substitusi opioida yang merupakan pilihan utama dalam terapi detoksifikasi opioida secara gradual. Proses detoksifikasi berlangsung relatif lama (lebih dari 21 hari) Selama proses terapi detoksifikasi metadon berlangsung, angka relaps dapat ditekan. Setelah detoksifikasi berhasil, kemudian dilanjutkan dengan terapi rumatan : Methadone Maintenance Treatment Program. 
    • Klonidin: adalah suatu central alpha-2-adrenergic receptor agonist, yang digunakan dalam terapi hipertensi. Klonidin mengurangi lepasnya noradrenalin dengan mengikatnya pada presynaptic alpha2 receptor di daerah locus cereleus, dengan demikian mengurangi gejala-gejala putus opioida. Karena terbatasnya substitusi opioida lain di Indonesia, beberapa dokter  telah menggunakan kombinasi klonidin, kodein dan papaverin untuk terapi detoksifikasi. Klonidin digunakan dalam kombinasi untuk mengurangi gejala putus opioida ringan seperti: menguap, keringat dingin, air mata dan lainnya. Clocopa method tersebut dapat digunakan untuk berobat jalan maupun rawat inap. Namun karena klonidin sendiri tidak dapat memperpendek masa detoksifikasi, maka diperlukan kombinasi dengan naltrek- son. Naltrekson adalah suatu senyawa antagonis opioida. Cara tersebut dikenal dengan nama Clontrex Method yang dapat dilakukan untuk pasien berobat jalan maupun pasien rawat inap. Umumnya program detox dengan cara Clontrex method ini berlangsung selama 3-5 hari dan kemudian diikuti dengan terapi rumatan : Opamat-ED Program. 
    • Lofeksidin dan Guanfasin: Lofeksidin adalah analog klonidin tetapi mempunyai keuntungan bermakna karena tidak banyak mempengaruhi tekanan darah. Guanfasin adalah senyawa alpha-2 adrenergic agonist yang juga mempunyai kemampuan untuk mengurangi gejala putus opioida. 
    • Buprenorfin: adalah suatu senyawa yang berkerja ganda sebagai agonis dan antagonis pada reseptor opioida. Gejala putus opioida pada terapi buprenorfin sangat ringan dan hilang dalam sehari setelah pemberian buprenorfin sublingual. Pemberian buprenorfin juga digunakan sebagai awal dari terapi kombinasi Clontrex Method. Midazolam-Naltrekson: kombinasi midazolam-naltrekson juga telah digunakan untuk memperpendek waktu terapi detoksifikasi. Selama dalam pengaruh sedasi midazolam intravena, pasien diberi nalokson intravena, suatu antagonis opioida.

TERAPI RUMATAN 

Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk :
  • Mencegah atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida 
  • Mencegah relaps (menggunakan zat adiktif kembali). 
  • Restrukturisasi kepribadian 
  • Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioida 
Tujuan farmakoterapi rumatan pasca detoksifikasi adalah
  • Menambah holding power untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan
  • Menciptakan suatu window of opportunity sehingga pasien dapat menerima intervensi psikososial selama terapi rumatan dan mengurangi risiko. 
  • Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama menggunakan terapi rumatan
Methadone: adalah suatu substitusi opioida yang bersifat agonis dan long-acting. Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa, penggunaan metadon dianggap sebagai terapi baku untuk pasien ketergantungan opioida. Klinik-klinik Metadon berkembang di beberapa tempat dengan berbagai variasi program. Beberapa kelemahan terapi metadon: harus datang ke fasilitas kesehatan sekurang-kurangnya sekali sehari, terjadinya overdosis, ketergantungan metadon, dan kemungkinan terjadinya peredaran ilegal metadon. Dewasa ini dikembangkan suatu bentuk derivat metadon, levacethylmethadol, yang mempunyai masa aksi lebih lama (72 jam) sehingga pasien tidak perlu tiap hari datang ke fasilitas kesehatan.

Buprenorfin: dapat juga digunakan untuk terapi rumatan. Seperti levacethylmethadol, hanya diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu karena masa aksinya yang panjang. Karena kemungkinan penyalahgunaan, kombinasi buprenorfin dan naltrekson juga telah dipelajari dan dicoba untuk terapi ketergantungan opioida.

Disulfiram, Disulfiram and Behaviour Therapy: Disulfiram, suatu alcohol antabuse yang diketemukan di Denmark tahun 1948. Disulfiram sangat efektif jika diberikan kepada pasien ketergantungan alkohol secara ambulatory di bawah supervisi. Disulfiram dibuat sebagai tablet buih yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diminum. Terapi disulfiram tanpa pemantauan hasilnya kurang menguntungkan. Hasil yang memuaskan justru diperoleh melalui kombinasi disulfiram dengan terapi perilaku kognitif.

MODIFIKASI LAIN

Ultra rapid detoxification:
Rapid detox adalah kombinasi antara prosedur terapi detoksifikasi dengan anestesia; karena itu yang bertanggung jawab dalam teknik terapi rapid detox ini adalah psikiater dan ahli dokter ahli anestesia. Istilah "rapid detox" rasanya kurang tepat, narnun sudah sangat populer sehingga sukar diganti. Istilah yang tepat adalah "rapid anta- gonist induction" yang kemudian diikuti dengan terapi nal- trekson.

Teknik rapid detox pertama kali berasal dari Loimer dari Bagian Psikiatri University Hospital of Vienna, Austria (first published technique in details, 1988). Dalam laporannya ia menggunakan 6 kasus ketergantungan heroin berusia antara 21-28 tahun. Penemuan rapid detox tersebut kemudian diikuti oleh Brewer (1989) di Stapleford Centre di London. Dalam perkembangan berikutnya rapid detox telah berkembang secara luas di berbagai institusi dan klinik di Amerika Serikat dan Eropa. Beberapa institusi dan klinik tersebut berkembang pesat di Eropa dan mengadakan konferensi setiap tahun, menerbitkan berbagai karya kedokteran ilmiah; sebagian lagi mengembangkannya secara komersial seperti yang dilakukan oleh suatu kelompok "Spanish-Israeli CITA group" yang secara kurang etis mencoba mematenkan prosedur yang dilakukannya. Usaha-usaha mereka telah berhasil masuk ke Indonesia.

Sebutan untuk teknik rapid detox dalam berbagai literatur berbeda-beda, narnun mempunyai makna yang hampir mirip, antara lain adalah: Ultra-rapid opiate detoxification, Rapid Opiate Detoxification under general Anesthesia (RODA) - Vienna Method, Rapidly Accelarated Narcotic Detoxification (RAND) - Addiction Medical Group Inc. (AMGI), Ultra Rapid Detoxification with Anesthesia (UROD) - NIDA, Antagonist Assisted Abstinence (A3) Detoxification - Dr. Lance L. Goober- man, Treatment Accelerated Neuro-regulation of Opiate De- pendency - Dr. Waismann.

Rapid detox dilakukan atas pasien dalam keadaan di bawah pengaruh anestesia umum; dalam keadaan itu diberikan sejumlah besar antagonis opioida sehingga memblokade semua reseptor yang ada dalam otak dan tubuh pasien. Dengan masuknya antagonis opioida, semua opioida yang semula ada di dalam tubuh dipindahkan, sehingga mempresipitasi timbulnya gejala putus opioida sementara pasien sedang asyik tertidur nyenyak karena pengaruh anestesia umum; pasien tentu saja tidak mengalami gejala putus obat yang terjadi, bahkan bermimpi tentang kejadian itu juga tidak.

Gejala-gejala putus opioida umumnya adalah nausea, muntah, diare, kejang-kejang kecil, nafas lambat atau cepat, kram otot, sakit dan ngilu pada sendi dan otot, tegang, merinding, air mata keluar, menguap, demam, berkeringat, depresi umum, insomnia dan gejala-gejala sedih lainnya; gejala-gejala tersebut muncul selama beberapa jam, kemudian berhenti.

Umumnya prosedur rapid detox berlangsung selama 4-6 jam di ruang ICU, sehingga pasien memerlukan perawatan sekurang- kurangnya selama satu hari. Beberapa rumah sakit di Indonesia memfalisitasi perawatan di VIP selama satu sampai tiga hari. Keuntungan-keuntungan rapid detox antara lain : waktu detoksifikasi singkat, terhindarnya rasa sakit atau rasa tidak menyenangkan lainnya selama masa detoksifikasi, cepat masuk ke fase rehabilitasi untuk mengikuti suatu program pemulihan jangka panjang atau dapat menghemat waktu agar dapat di- manfaatkan untuk segera bekerja atau keperluan keluarga lain.

  • Stadium 1: Pre-Rapid Detox 
    • Pemilihan pasien dengan indikasi ketat (ketergantungan opioida, bermotivasi tinggi, penggunaan opioida yang sering) 
    • Konfirmasi terhadap kemungkinan pasien menggunakan program hanya untuk abstinensia opioida jangka pendek 
    • Pasien bersedia mengikuti pemeriksaan jangka panjang/ aftercare setelah detoksifikasi 
    • Memastikan bahwa pasien (dan atau keluarganya) dapat menerima risiko medik dan memahami informed consent 
    • Pemeriksaan: darah rutin, skrining napza dalam urine, EKG, Rontgen foto thorax 
    • Melakukan pemeriksaan latar belakang sosial, psikologi dan klinis secara detail 
    • Kepada pasien dijelaskan tentang perlunya terapi rumatan menggunakan naltrekson; naltrekson mengurangi craving; selain itu naltrekson dapat memblok reseptor opioida sehingga menghambat pasien mengalami high atau gifting. Dengan menggunakan anestesia pasien secara cepat dibawa ke kondisi persiapan menggunakan naltrekson. 
    • Wawancara Pre-Rapid Detox harus disertai dengan pe- nandatanganan kontrak dan rencana terapi mendatang.
  • Stadium 2: Rapid Detox plus Anesthesia 
    • Sesudah selesai stadium 1, ahli anestesia di ICU mulai melakukan anestesia umum sehingga pasien masuk dalam stadium "tidur", selama prosedur detoksifikasi berlangsung. Pada stadium ini diberikan nalokson, naltrekson dan juga klonidin dalam jumiah yang cukup untuk menginduksi terjadinya gejala- gejala putus opioida secara cepat. Setelah gejala-gejala putus opioida selesai sempurna, pasien diperkenankan bangun; umumnya antara 4-6 jam sejak terapi dimulai. Ketika bangun tidur pasien sudah tidak merasakan sama sekali fisik yang "tergantung" dan siap dengan cepat untuk mulai mengikuti program rehabilitasi.
  • Stadium 3: Program Setengah Hari 
    • Sebagian besar pasien mulai menjalani stadium 2 pada pagi hari pertama dan kemudian diperkenankan keluar rumah sakit pada pagi hari ke dua. Stadium 3 dimulai pada hari ke dua dan kemudian dilanjutkan pada hari ke tiga dan ke empat. 
    • Struktur komponen inti stadium 3 adalah: 
      • Evaluasi medis 
      • Review isyu-isyu tentang naltrekson 
      • Penilaian dengan Addiction Severity Index dan rekomendasi intervensi 
    • Komponen tambahan lainnya sebagai introduksi sebelum benar-benar memasuki terapi antara lain 
      • Konseling individual 
      • Konseling kelompok 
      • Relapse Prevention Training atau Craving Coping Skill 
      • Cognitive Behavioural Therapy 
      • Sessi edukasional misal tentang reproduksi dan HIV/AIDS 
      • The 12 Step Recovery Program 
      • Terapi Ko-dependensi
Umumnya proses rapid detox itu sendiri tidak mempunyai hambatan klinis bermakna. Menurut pengalaman para ahli ketika awal awal melakukan Rapid Detox adalah akibat persiapan pasien yang belum sempurna (diare sebagai gejala putus opioida terjadi begitu hebat ketika selesai anestesia umum, dan dapat menimbulkan dehidrasi).

Teknik Rapid Detox hanya sebuah langkah awal dalam proses panjang terapi ketergantungan opioida.Untuk mencapai status bebas opioida sebelum penggunaan naltrekson, teknik rapid detox dapat digunakan untuk membantu transisi cepat menuju terapi rumatan naltrekson. Kita kutip suatu tulisan berikut : "Although the success rate with Rapid Detox is actually 100 %, this is only detoxification. The real marker of patient success is how they are doing at 6 months, 1 year ...Patient sobriety is based on the most im- portant elements of a recovery program-- rehabilitation and aftercare", AMGI, 1998

Beberapa zat yang digunakan dalam rapid detox adalah :
  • Klonidin diberikan secara Oral/IV berguna untuk mengurangi gejala withdrawal 
  • Midazolam diberikan secara IV berguna untuk hipnotik 
  • Ondansetron diberikan secara  IV berguna untuk anti muntah-mual 
  • Nalokson diberikan secara IVb erguna untuk  menduduki reseptor opioida 
  • Naltrekson diberikan secara  Oral berguna untuk  antagonis/terapi rumatan 
  • Oktreotid diberikan secara IV/SC berguna untuk mencegah komplikasi intestinal 
  • Propofol diberikan secara IV berguna untuk  anestetik
  • Dextrose 5 % diberikan secara Infus berguna untuk cegah hipoglikemia 
  • Haloperidol diberikan secara IM berguna untuk anti-agresi
OutPatient Intensive Program:
Terapi konvensional untuk pasien ketergantungan napza yang berobat jalan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. OPI-Program didisain dengan variasi yang sangat luas, ada yang sepanjang hari selama 6-7 hari seminggu. Sebagian lagi menyediakan hanya 2-3 jam contact hours sehari selama 5-7 hari seminggu. Program dibuat dengan struktur ketat, termasuk di dalamnya: ketrampilan meningkatkan sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional dan didaktik, edukasi moral dan spiritual atau religi, the 12-step recovery program.

Dual Diagnosis Treatment Program:
Dual diagnosis adalah istilah klinis untuk penyebutan diagnosis ganda atau multipel pada pasien ketergantungan napza yang juga menderita gangguan psikiatrik lain secara independen. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa prevalensi gangguan psikiatri pada pasien dengan ketergantungan napza jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum. Pasien dengan kombinasi gangguan psikiatrik dan ketergantungan napza membutuhkan terapi khusus guna mempersiapkan dirinya dalam program pemulihan yang sesuai dan adekuat. Terapi kelompok yang dilakukan oleh para pasien dengan dual diagnosis disebut dengan double trouble meeting. Pertemuan tersebut antara lain bersifat edukasi guna memahami manfaat obat yang digunakan untuk menyembuhkan gangguan psikiatrinya.

Residential Treatment:
adalah suatu bentuk terapi pasien ketergantungan napza yang ditempatkan dalam suatu institusi tertutup. Ada bermacam-macam modifikasi residential treat- ment antara lain:

  • Hospital Based Program: program dengan struktur ketat dibuat oleh pimpinan RS bersama stafnya. Umumnya skedul baku dibuat setiap minggu, termasuk suatu pertemuan dengan pimpinan RS. Elemen terapi: psikoterapi individual, konseling kelompok dan The 12-step Recovery Program. Lamanya tinggal di RS 1-3 bulan. 
  • Psychiatric Hospital: program sangat erat kaitannya dengan skedul konvensional fasilitas psikiatri. Umumnya elemen terapi: psikofarmaka, psikoterapi berorientasi dinamik analitik. Sangat bermanfaat untuk pasien ketergantungan napza yang menunjukkan gangguan jiwa berat. 
Cognitive Behavior Therapy
Terapi Perilaku Kognitif - sering disingkat dengan CBT, merupakan terapi yang paling sering digunakan terhadap pasien ketergantungan napza. CBT terhadap pasien ketergantungan napza pasca detoksifikasi dilakukan sebanyak 12-20 sessi seminggu sekali, didasarkan kepada social learning theories dengan analisis fungsional dan latihan ketrampilan terhadap pasien-pasien ketergantungan napza. CBT dapat juga diberikan dalam bentuk terapi kelompok atau terapi perorangan. CBT terhadap pasien dengan ketergantungan opioda di Indonesia, sejauh ini belum dilakukan lebih intensif. CBT merupakan terapi berjangka singkat, sepadan dengan sebagian besar program klinis, berstruktur dan berorientasi pada sasaran. CBT untuk pasien ketergantungan napza merupakan kombinasi dari beberapa bentuk terapi lain seperti prinsip-prinsip dari RPT dan CE-Therapy, dan kemudian diberikan berbagai tugas rumah di luar sessi. CBT terdiri dari 12 sessi @ 2 jam.
Beberapa guidelines yang diberikan oleh Beck adalah :
  1. Don't fire with fire 
  2. Maintain honesty 
  3. Remain focused on the goals of treatment 
  4. Remain focused on the patient's redeeming qualities 
  5. Disarm the patient with genuine humility and empathy 
  6. Confront, but use diplomacy.
Drug Abuse Counseling (DAC):
adalah suatu bentuk pelayanan terapi yang difokuskan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik sesaat. Umumnya bersifat lebih eksternal dan bukan merupakan proses intrapsikik. DAC umumnya dilakukan oleh exaddicts yang telah clean and sober dan men- dapatkan pendidikan khusus sebagai konselor adiksi sekurang- kurangnya selama setahun.

Relapse Prevention Training (RPT): 
RPT adalah program kendali diri yang didisain untuk mengedukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya, bagaimana mengantisipasi dan mengatasi problema relaps. RPT adalah suatu program psikoedukasi yang meng- gabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku dengan teknik intervensi kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan social leaming theory. Sebagian ahli dalam bidang ketergantungan zat telah melakukan sejumlah penelitian yang berkait dengan perilaku relaps sejak tahun 1985 (Marlatt and Gordon). Tujuan RPT adalah mendidik seseorang bagaimana mencapai suatu lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang tidak sehat. Pasien dibimbing untuk mengenali high risk situation - situasi tertentu yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat meningkatkan risiko relaps. Ada beberapa situasi yang tergolong high risk ; yaitu: status emosional yang negatif (35% dari sampel relaps), konflik interpersonal (16% dari sampel relaps) dan tekanan sosial (20% dari sampel). Strategi RPT terdiri dari tiga kategori berikut: skill training, cognitive refraining dan lifestyle intervention.

Cue-exposure Therapy (CE-Therapy):
Pada pasien ketergantungan opioida dipaparkan sejumlah alat-alat atau situasi yang mendatangkan timbulnya craving. Dalam proses terapi selama 20 jam (dibagi atas beberapa sessi) pada pasien diperagakan alat-alat atau situasi tersebut, untuk menurunkan gejala-gejala craving. Pasien dirawat selama 3 minggu sebagai pasien rawat inap. Bentuk lain dari CE-Therapy adalah extinction therapy. Banyak studi yang menggunakan CE-Therapy terhadap pasien ketergantungan opioida. CE-Therapy pada pasien yang sedang menjalani detoksifikasi dibandingkan dengan kontrol menunjukkan bahwa CE-Therapy dan CE-Therapy plus cognitive aversion strategy menurunkan craving cukup bermakna. Namun suatu studi kontrol lain tidak menghasilkan perbedaan hasil antara CE-Therapy saja dengan kelompok kontrol pada follow-up pasien ketergantungan opioida. Suatu penelitian metaanalisis atas 41 studi dengan komparasi berbagai zat adiktif, menunjukkan paradigma cue reactivity mempunyai makna klinis di masa-masa mendatang.

Opiate Antagonist Maintenance Treatment Program:
Farmakoterapi rumatan pasca detox dilakukan dengan menggunakan Naltrekson. Program terapi tersebut dikenal dengan istilah OpamatED (Opiate Antagonist Maintenance Therapy) yang merupakan kombinasi antara farmakoterapi dan konseling kelompok. Naltrekson adalah suatu potent competitive antagonist pada reseptor opioida ยต.;karena itu naltrekson sangat baik digunakan untuk pasien-pasien non-dependent opioid abuser (misalnya pada beberapa orang yang dengan mudah menyelesaikan proses detoksifikasi-nya). Opamat-ED dimulai seketika setelah pasien berhasil menyelesaikan terapi rapid detox atau setelah 1-2 minggu abstinensia pada terapi detoxifikasi konvensional. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi risiko relaps dan mecegah terjadinya ketergantungan fisik kembali. Banyak cara pemberian dosis harian naltrekson, antara lain 50 mg setiap hari atau dosis 100 mg/100 mg/150 mg dalam waktu 3 kali seminggu, disarankan sekurang-kurangnya selama satu tahun. Angka drop-out nya cukup tinggi. Namun sangat besar manfaatnya bagi pasien yang mempunyai motivasi tinggi, dukungan keluarga yang kuat serta berkarir dalam pekerjaan.

No Smoking Clinic: adalah suatu klinik yang digunakan untuk membantu adiksi nikotin (perokok) menghentikan ke- biasaannya. Beberapa zat yang digunakan sebagai replacement therapy antara lain: nicotine patch, nicotine gum, zyban.

Co-Dependency Therapy: 
Berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa penyalahgunaan dan ketergantungan napza merupakan "family disease" dan semua anggota keluarga memerlukan pertolongan. CDTherapy dipandu oleh seorang ahli psikologi, psikiater atau seorang konselor adiksi. Filosofi yang paling sering digunakan dalam CDTherapy adalah The-12 Step Recovery Program.
CD-therapy dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti :
  • Terapi kelompok atau terbatas: beberapa orang anggota keluarga berkumpul bersama dengan anggota keluarga lainnya atau hanya terdiri dari semua anggota keluarga dari satu pasien saja. 
  • Pasien rawat inap atau rawat jalan. CD-Therapy harus dibedakan dengan Family Therapy atau Terapi Keluarga, Spouse Therapy, Konseling Keluarga

HARM REDUCTION PROGRAM

Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang ditujukan untuk menurunkan konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan akibat penggunaan zat adiktif tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan zat. Di Indonesia, pendekatan konsep harm reduction masih kontroversial karena belum dapat diterima masyarakat luas. Namun transmisi HIV/ AIDS, hepatitis dan TB pulmonum di kalangan IDUs cukup memprihatinkan akhir-akhir ini. Karakteristik utama prinsip-prinsip harm reduction adalah: pragmatis (memandang sesuatu berdasarkan azas manfaatnya saja), nilai-nilai humanistik, hanya berfokus pada masalah harms, penyeimbangan pengeluaran dan keuntungan, serta memprioritaskan sasaran antara.

Syringe Exchange Program, availabilitas jarum suntik: tersedianya tempat penukaran jarum suntik bekas dengan yang steril atau tersedianya jarum suntik tanpa penukaran me- rupakan beberapa bentuk pendekatan harm reduction. Di be- berapa negara telah lama dilakukan, seperti di Geneva, Zurich, Amsterdam dan di banyak tempat di Amerika. Di Jakarta dan Denpasar telah diselenggarakan projek percontohan sejak beberapa tahun yang lalu.

Methadone Maintenance Treatment Program: sejak tahun 60an di Amerika, dikembangkan MMTP sebagai suatu cara untuk mengurangi angka kriminalitas, sosialisasi dan infeksi HIV/AIDS. Di Nederland, MMTP mempunyai tiga tujuan yaitu: membangun kontak dengan pengguna heroin, menstabilisasi pengguna heroin, melakukan detoksifikasi dan menghentikan kebiasaannya. Dengan MMTP, kebiasaan menyuntik diubah menjadi penggunaan metadon oral. Di Australia, Eropa dan United Kingdom, metadon dapat diperoleh melalui dokter terlatih yang bekerja di klinik-klinik terbatas atau melalui bus yang disediakan. Beberapa sebutan untuk MMTP antara lain: opioid replacement therapy ; opioid substitution therapy.

Education, Outreach Program and Bleach Kits: suatu program edukasi membersihkan jarum suntik yang sudah dipakai dengan menyediakan detergen untuk mensucihamakan jarum bekas.

Tolerance Areas: adalah suatu tempat di mana seseorang diperkenankan untuk melakukan kebiasaan menggunakan heroin melalui suntikan tanpa mendapat hukuman. Cara tersebut memerlukan koordinasi yang ketat. Di banyak negara angka transmisi HIV menunjukkan penurunan tajam berkait dengan cara ini. Tempat-tempat tersebut antara lain: shooting gallery dan injection rooms (Bern, Basel), tolerance zones (Geneva), platform zero (Rotterdam) yang diawasi oleh polisi, Narcosala (Madrid), Needle Park (Zurich) dan banyak tempat lain di Eropa dan Amerika.

Kawasan Bebas Asap Rokok: merupakan lokasi atau gedung-gedung di mana orang tidak diperkenankan merokok. Ruangan-ruangan tersebut senantiasa disterilkan dari asap rokok sehingga menghindarkan second-hand smokers (menginhalasi asap rokok orang lain). Cara ini telah dijalankan di banyak tempat di Jakarta (gedung-gedung, mal dan restoran).