Fisiologi dan penyakit yang berhubungan dengan sistem endokrin

ENDOKRIN DAN METABOLIK

PENDAHULUAN

Makhluk hidup terus mengembangkan struktur dan fungsinya yang kompleks, oleh karena itu integrasi berbagai komponen dalam diri makhluk hidup menjadi penting sekali bagi kelangsungan hidupnya. Integrasi ini dipengaruhi oleh dua sistem: (1) sistem saraf pusat dan (2) sistem endokrin.

Kedua sistem ini berhubungan secara embriologis, anatomis, dan fungsional. Contohnya, banyak kelenjar endokrin juga berasal dari neuroektodermal, yaitu lapisan embrional yang juga merupakan asal dari sistem saraf pusat. Selain itu, terdapat hubungan anatomis antara sistem saraf pusat dan sistem endokrin, terutama melalui hipotalamus. Akibatnya, rangsangan yang mengganggu sistem saraf pusat seringkali juga mengubah fungsi sistem endokrin. Sebaliknya, perubahan fungsi sistem endokrin dapat berakibat pada fungsi SSP. Paduan kerja sama antara sistem neuroendokrin membantu organisme memberikan reaksi maksimal terhadap rangsangan internal dan eksternal.

FUNGSI SISTEM ENDOKRIN

Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar yang menyekresi hormon yang membantu memelihara dan mengatur fungsi-fungsi vital seperti (1) respons terhadap stres dan cedera, (2) pertumbuhan dan perkembangan, (3) reproduksi, (4) homeostasis ion, (5) metabolisme energi, dan (6) respons kekebalan tubuh.

Jika terjadi stres atau cedera, sistem endokrin memacu serangkaian reaksi yang ditujukan untuk
mempertahankan tekanan darah dan mempertahankan hidup. Yang terutama terlibat dalam reaksi ini adalah aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.

Tanpa sistem neuroendokrin akan terjadi gangguan pertumbuhan dan mencapai kedewasaan; demikian juga infertilitas. Yang paling banyak terpengaruh adalah aksis hipotalamus-hipofisis-gonad.

Sistem endokrin penting untuk mempertahankan homeostasis ion. Organisme mamalia hidup dalam lingkungan eksternal yang senantiasa mengalami perubahan. Tetapi sel-sel dan jaringan harus hidup dalam lingkungan internal yang konstan. Sistem endoknn ikut berperan dalam pengaturan lingkungan internal dengan mempertahankan keseimbangan natrium, kalium, air, dan asam-basa. Fungsi ini diatur oleh hormon aldosteron dan antidiuretik (ADH).

Konsentrasi kalsium juga diatur oleh fungsi endokrin. Kalsium diperlukan untuk pengaturan banyak reaksi biokimia di dalam sel-sel hidup dan untuk pengaktifan saraf normal dan fungsi sel otot. Kelenjar paratiroid mengatur homeostasis kalsium.

Sistem endokrin bertindak sebagai regulator metabolisme energi. Metabolisme basal dapat meningkat karena hormon tiroid, dan kerja sama antara hormon-hormon gastrointestinal dan pankreas akan menyediakan energi yang dipergunakan oleh sel-sel tubuh.

Terdapat interaksi antara sistem neuroendokrin dan respons kekebalan tubuh. Pengaturan kortisol dan pengeluaran sitokin berpengaruh dalam imunitas yang diperantarai oleh sel, dan sitokin seperti interleukin 6 (IL-6) dapat merangsang hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan sekresi kortisol.

HORMON

Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar yang mensintesis dan mensekresi zat-zat yang disebut hormon. Hormon-hormon menyebabkan perubahan fisiologik dan biokimia yang menjadi perantara berbagai pengaturan seperti yang telah dibicarakan sebelumnya. Ketika dilepaskan ke dalam aliran darah, hormon akan diangkut ke jaringan sasaran tempatnya menimbulkan efek. Efek-efek ini seringkali berupa pengaturan reaksi enzimatik yang berlangsung terus menerus.

Hormon pada umumnya disekresi dalam konsentrasi rendah sekali. Contohnya, hormon terdapat dalam darah pada konsentrasi 10-6 hingga 10-12 molar. Sebaliknya, komponen darah lainnya seperti natrium, biasanya terdapat dalam konsentrasi 10-1 molar. Meskipun konsentrasinya rendah, hormon menimbulkan efek metabolik dan biokimia yang nyata pada jaringan sasaran.

Hormon- terbagi dalam dua golongan utama: (1) steroid dan tironin, yang larut dalam lemak, dan (2) polipeptida dan katekolamin, yang larut dalam air. Selain itu, beberapa hormon tergolong sebagai glikoprotein, suatu senyawa campuran gula dan protein

Ciri utama dari hormon steroid adalah adanya struktur multisiklik, yaitu inti sikloperhidrofenantren
(Gbr. 1). Contoh-contoh hormon steroid adalah hormon korteks adrenal dan hormon yang diproduksi oleh gonad. Hormon-hormon polipeptida terdiri atas rantai-rantai asam-asam amino spesifik yang berbeda-beda panjang, berat molekul, dan komposisi asam-asam aminonya.

Suatu inti steroid. lnti ini mempunyai empat cincin: A, B, G, dan D. Nomor-nomor menunjukkan karbon-karbon di dalam molekul. Adanya gugus yang berikatan dengan karbon-karbon ini dapat diketahui dari nomor yang dipakai, Contohnya, steroid 17- hidroksi berarti mempunyai gugus hidroksi yang berikatan dengan karbon pada posisi 17.
Suatu inti steroid. 

Beberapa hormon polipeptida seperti insulin, mempunyai struktur yang lebih kompleks dengan dua rantai asam amino yang diikat oleh jembatan disulfida. Struktur molekul insulin digambarkan pada Gbr. 2. Hormon-hormon polipeptida lainnya adalah parathormon atau hormon paratiroid (PTH), hormon-hormon tropik kelenjar hipofisis (kecuali thyroid-stimulating hormone [TSH], atau tirotropin dan gonadotropin), vasopresin, dan glukagon. Contoh-contoh hormon glikoprotein adalah TSH dan gonadotropin (contohnya luteinizing hormone [LT] dan folicle-stimulating hormone [FSH]).

Struktur molekul insulin, hormon polipeptida. Hormon tersebut memiliki dua rantai, A dan B. Rantai A memiliki 21 asam amino, sedangkan rantai B memiliki 30 asam amino. Dua rantai tersebut berikatan satu sama lainnya dengan ikatan disulfida.
Struktur molekul insulin, hormon polipeptida. 

Kebanyakan hormon disintesis dalam bentuk prekursor dengan berat molekul lebih besar dan bekerja pada tahap-tahap awal yaitu sebagai prohormon. Contohnya, insulin disintesis sebagai proinsulin, suatu peptida yang-setelah melepaskan sebagian dari molekulnya, yaitu peptida C berubah menjadi struktur dua rantai. Hormon adrenokrotikotropik (ACTH) berasal dari proopiomelanokortin (POMC), suatu glikoprotein dengan berat molekul 31.000, yang setelah rangkaian proses pemecahan oleh enzim akan menghasilkan serangkaian peptida, termasuk opiat dan peptida 39 asam amino ACTH.

Selain dari hormon-hormon klasik yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar endokrin spesifik dan bekerja pada organ sasaran tertentu, masih ada sejumlah zat yang dihasilkan oleh kerja hormon, dan bekerja langsung pada sel-sel serta merangsang pertumbuhan. Beberapa zat ini mempunyai kerja yang mirip insulin, sedangkan yang lain bekerja menjadi perantara dari kerja hormon-hormon lain, seperti hormon pertumbuhan. Faktor-1 pertumbuhan yang mirip dengan insulin (IGF-1) adalah faktor pertumbuhan yang dikenal dengan baik, dihasilkan dalam jaringan di bawah pengaruh hormon Pertumbuhan, yang dapat membantu pertumbuhan jaringan. Juga ada senyawa-senyawa yang mekanisme kerjanya mirip hormon, tetapi dihasilkan oleh darah sendiri. Contohnya, angiotensin II, suatu hormon protein yang merangsang korteks adrenal, untuk menyekresi aldosteron. Angiotensin I disintesis dalam darah dari substrat renin (suatu protein hati) akibat efek katalitik renin, yaitu suatu enzim yang disekresi oleh sel-sel ginjal. Dengan hilangnya dua asam amino di paru, angiotensin I kemudian berubah menjadi angiotensin II, reaksi tersebut disebabkan oleh angiotensin- converting enzyme (ACE).

Meskipun kebanyakan hormon jelas disintesis oleh kelenjar-kelenjar endokrin, tetapi ada organ-organ tertentu yang tidak lazim dianggap sebagai kelenjar endokrin namun mengandung sel-sel yang dapat mensintesis hormon. Banyak sel itu berasal dari krista neuralis yang mampu mengambil prekursor amino, dan melakukan dekarboksilasi untuk sintesis hormon. Sel-sel ini dikatakan sebagai bagian dari sistem dekarboksilasi dan ambilan prekursor amino (APUD). Tumor-tumor yang berasal dari sel-sel ini mampu menyekresi hormon, namun karena berasal dari sel-sel yang tidak tergolong sebagai kelenjar endokrin yang lazim, maka hormonyang dihasilkan itu disebut hormon-hormon ektopik.

Banyak yang telah diketahui mengenai cara kerja hormon pada jaringan atau sel-sel sasaran. Hormon memengaruhi proses metabolik selular baik secara langsung maupun tak langsung melalui interaksi awal dengan reseptor-reseptor sel spesifik. Kombinasi dari hormon dengan reseptornya dapat menimbulkan perubahan-perubahan di dalam sel melalui salah satu dari dua mekanisme ini: (1) menghasilkan messenger kedua di dalam sel, atau (2) translokasi dari kompleks hormon-reseptor ke dalam inti sel, dan kemudian kompleks ini menginduksi atau mencegah sintesis protein baru oleh sel.

Hormon-hormon polipeptida dan katekolamin tampaknya bekerja melalui mekanisme messenger kedua, sedangkan hormon-hormon steroid bebas menembus membran sel dan mempengaruhi inti sel secara langsung. Secara lebih spesifik, hormon-hormon polipeptida bekerja melalui interaksi awal dengan reseptor membran sel khusus, dan akibat interaksi ini, suatu enzim yang terikat pada membran yaitu adenilat siklase teraktivasi sehingga adenosin trifosfat (ATP) diubah menjadi adenosin 3',5'-monofosfat (AMP siklik). AMP siklik kemudian berikatan dengan suatu subunit regulator dari protein kinase yang akan melepaskan suatu subunit katalitik dari enzim ini. Selanjutnya, peristiwa ini akan mengawali proses fosforilasi dari enzim kunci tertentu, maupun aktivasi atau inaktivasi potensi biologik dari enzimenzim ini (Gbr.3).

Mekanisme kerja hormon adrenokortikotropik (ACTH) yaitu satu hormon protein. ACTH mengaktivasi adenilat siklase, meningkatkan sintesis 3',5'-c AMp. Sebaliknya cAMP merangsang protein kinase, yang mengaktivasi pemutarbalikan protein dengan cepat. protein ini mempercepat pelepasan kolesterol yang digunakan dalam biosintesis dan stimulasi steroid pada konversi kolesterol menjadi pregnenolon dalam mitokondria sel. AIE adenosin trifosfat.
Mekanisme kerja hormon adrenokortikotropik (ACTH) 

Macam-macam hormon polipeptida mengaktivasi mekanisme enzim yang berbeda pula, yang menjadi perantara kerja hormon. Contohnya glukagon mengaktivasi enzim fosforilase melalui proses seperti di atas, yang menyebabkan pemecahan glikogen secara enzimatik menjadi glukosa 1-fosfat. ACTH meningkatkan steroidogenesis dengan mengaktivasi satu atau beberapa enzim pada jalur steroidogenesis. Insulin terikat pada subunit alfa dari reseptor insulin, suatu glikoprotein heterotetramerik pada membran sel dan merangsang fosforilasi tirosin dari subunit beta. Maka terjadilah rangkaian fosforilasi yang menjadi sinyal untuk transpor glukosa dan perpindahan ion-ion tertentu menembus membran sel. Berbeda dengan hormon-hormon peptida, dalam menimbulkan pengaruhnya hormon-hormon steroid bekerja langsung di dalam sel dengan menembus membran sel dan berikatan dengan protein-protein reseptor sitosol. Kompleks reseptor steroid kemudian ditranslokasi ke inti sel, tempat kompleks tersebut akan terikat secara khusus pada lokusnya dalam deoksiribonukleat (DNA) dan merubah transkripsi serta menyebabkan sintesis satu atau beberapa messenger RNA (mRNA) spesifik. Produk-produk ini keluar dari inti dan berjalan ke ribosom, selanjutnya mengarahkan sintesis protein. Dengan mengubah mRNA, steroid-steroid dapat mengubah jalan sintesis protein

Mekanisme kerja hormon steroid. Hormon ini terikat pada Brotein reseptor intraselular yang nantinya akan membawa molekul steroid ke inti sel. Dalam inti sel, steroid akan memodifikasi bentuk mRNA dan mensistesis protein. DNA, asam deoksiribonukleat; Sl,hormon steroid; R protein reseptor.
Mekanisme kerja hormon steroid. 

Kesimpulannya, kerja hormon melibatkan kombinasi hormon dengan reseptor spesifiknya di dalam sel-sel yang merupakan sasaran dari kerja hormon. Fisiologi kerja hormon dan spesifisitas hormon erat berkaitan dengan interaksi hormon dengan reseptor spesifiknya.

FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN

Sistem saraf pusat dihubungkan dengan hipofisis melalui hipotalamus; ini adalah hubungan yang
paling nyata antara sistem saraf pusat dan sistem endokrin. Kedua sistem ini saling berhubungan baik melalui hubungan saraf maupun vaskular.

Sistem portal hipofisis-hipotalamus
Sistem portal hipofisis-hipotalamus.

Seperti yang diperlihatkanpada gambar diatas, hipofisis dibagi menjadi lobus anterior dan posterior. Pada hewan pengerat, terdapat juga lobus intermedius, tetapi pada manusia, lobus tersebut berdegenerasi dan tidak benar-benar terpisah dari lobus anterior. Pembuluh darah menghubungkan hipotalamus dengan.sel-sel kelenjar hipofisis anterior. Pembuluh darah ini berakhir sebagai kapiler pada kedua ujungnya, dan karena itu dikenal sebagai sistem portal. Dalam hal ini, sistem yang menghubungkan hipotalamus dengan kelenjar hipofisis disebut sebagai sistem portal hipotalamus-hipofisis.

Sistem portal merupakan saluran vaskular yang penting karena memungkinkan pergerakan hormon pelepasan dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis, sehingga memungkinkan hipotalamus mengatur fungsi hipofisis. Rangsangan yang berasal dari otak mengaktifkan neuron dalam nukleus hipotalamus yang menyintesis dan menyekresi protein dengan berat molekul rendah. Protein atau neurohormon ini dikenal sebagai hormon pelepas dan penghambat. Hormon-hormon ini dilepaskan ke dalam pembuluh darah sistem portal dan akhirnya mencapai sel-sel dalam kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis memberi respons terhadap hormon pelepas dengan melepaskan hormon-hormon tropik hipofisis. Dalam rangkaian kejadian ini, hormon-hormon yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis diangkut bersama darah dan merangsang kelenjar-kelenjar lain, menyebabkan pelepasan hormon-hormon kelenjar sasaran. Akhirnya hormon-hormon kelenjar sasaran bekerja pada hipotalamus dan sel-sel hipofisis yang memodifikasi sekresi hormon.

Sistem regulasi umpan balik tempat hormon kelenjar target mengumpan balik hipotalamus. Hipofisis melepaskan hormon tropik berikut A. corticotropin releasing hormone (cRH). B. gonadotropin-releasing hormone (GnRH). c. TSH-releasing hormone (TRA), ACTH,FSH,LH, tyrotropin
 Sistem regulasi umpan balik tempat hormon kelenjar target mengumpan balik hipotalamus. 

Gbr. 6 menggambarkan modalitas pengaturan umpan balik, tempat produk hormonal dari kelenjar
sasaran bekerja menghambat pelepasan hormon tropik hipofisis yang berhubungan, pengaturan sekresi hormon jenis ini dikenal sebagai sistem pengaturan umpan balik negatif . Pada sistem hipotalamus- hipofisis-adrenal, corticotropin- releasing hormone (CRH) menyebabkan hipofisis melepaskan ACTH. Kemudian, ACTH merangsang korteks adrenal untuk menyekresi kortisol. Selanjutnya kortisol kembali memberikan umpan balik terhadap aksis hipotalamus-hipofisis, dan menghambat produksi CRH-ACTH. Sistem mengalami fluktuasi, bervariasi menurut kebutuhan fisiologis akan kortisol. Jika sistem menghasilkan terlalu banyak ACTH, sehingga terlalu banyak kortisol, maka kortisol akan memengaruhi kembali dan menghambat produksi CRH dan ACTH. Sistem ini peka, karena produksi kortisol atau pemberian kortisol atau glukokortikoid sintetik lain secara berlebihan dapat dengan cepat menghambat aksis hipotalamus-hipofisis dan menghentikan produksi ACTH. Konsep pengaturan umpan balik mempunyai implikasi yang praktis pada pasien-pasien dengan terapi kortikosteroid menahun. Pada pasien-pasien ini, pelepasan ACTH tertekan. Jika steroid dihentikan dengan tiba-tiba, pasien dapat mengalami insufisiensi adrenal.

Contoh lain pengaturan umpan balik adalah kerja gonadotropin-releasing hormone (GnRH), yang merangsang hipofisis untuk menyekresi FSH dan LH. Pada perempuan estrogen mula-mula diproduksi oleh ovarium dalam jumlah kecil; kemudian estrogen mengumpan balik hipotalamus, merangsang sekresi GnRH. GnRh selanjutnya memicu pelepasan FSH dan LH, ovulasi, dan sekresi estrogen dan progesteron. Kerja estrogen merupakan salah satu contoh dari pengaturan umpan balik positif. Contoh ketiga dari pengaturan umpan balik adalah pelepasun TSH-releasing hormone (TRH) yang disekresi oleh hipotalamus dan menyebabkan hipofisis mensekresi TSH. TSH selanjutnya merangsang tiroid untuk mengeluarkan tiroksin. Tiroksin akan mempengaruhi kembali hipofisis dan menghambat produksi TRH dan TSH.

Walaupun interaksi antara hormon hipofisis dan hormon-hormon dari kelenjar sasaran terjadi melalui sirkulasi sistemik (sistem simpai panjang), tetapi ada juga interaksi lain yang terjadi antara hormon-hormon hipofisis dan hormon pelepasannya melalui sistem vaskular lokalnya (sistem simpai pendek).

Terdapat pula sistem lain yang mengatur produksi hormon yang tidak bergantung pada aksis hipotalamus-hipofisis. Salah satu contohnya adalah sistem renin-angiotensin-aldosteron. Seperti yang digambarkan , ginjal memiliki sel-sel julstaglomerular (JG) yang terletak pada dinding arteriola aferen glomerulus. Sel-sel ini menyekresi enzim renin. Tekanan perfusi dalam arteriola ginjal memengaruhi produksi renin. Perubahan-perubahan tekanan darah yang mengalir melalui arteriola aferen menuju glomerulus diterima oleh reseptor yang berada dekat sel-sel JG. Kejadian ini menyebabkan perubahan dalam sekresi renin yang selanjutnya akan mengaktifkan angiotensin II, Angiotensin II merangsang produksi aldosteron oleh korteks adrenal. Aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bersamaan dengan reabsorpsi natrium, volume akan meningkat, tekanan di arteriola aferen meningkat, dan produksi renin terhenti. Jadi pelepasan renin, angiotensin, dan aldosteron ditentukan oleh perubahan volume dan tekanan yang terjadi pada sel-sel JG.

Regulasi sekresi aldosteron dengan sistem renin angiotensin. 1. penurunan Extracellular fluid space (ECF), penurunan tekanan arteri, perangsangan nervus, norepinefrin, dan peningkatan Na urine merangsang pelepasan renin.2. perluasan ECF, dengan melawan faktor-faktor ini, menekan pelepasan renin.
Regulasi sekresi aldosteron dengan sistem renin angiotensin. 

Gambar diatas menggambarkan modalitas pengaturan umpan balik yanglain yaitu zat-zat metabolik yang diatur oleh hormon, bekerja langsung terhadap pelepasan hormon tersebut. Pada Gbr.58, A, insulin dan glukosa digambarkan. Respons terhadap insulin akan mengubah kadar glukosa dalam darah. Ketika kadar glukosa meningkat, insulin disekresi. Jika kadar glukosa turun, insulin dihentikan, Walaupun beberapa hormon hipofisis dapat memengaruhi pelepasan insulin secara tidak langsung, tetapi tidak ada bukti yang jelas menunjukkan bahwa kelenjar hipofisis secara langsung dan spesifik mengendalikan sekresi insulin.
PTH dan kalsium juga mempunyai sistem pengaturan yang unik (lihat Gambar dibawah). Penurunan kadar kalsium merangsang sekresi PTH. Sebaliknya, peningkatan kadar kalsium akan menekan produksi PTH.

Sistem regulasi timbal balik, tempat kerja hormon substrat metabolik mengontrol pelepasan hormon. PTH, hormon paratiroid, atau parathormon
Sistem regulasi timbal balik, tempat kerja hormon substrat metabolik mengontrol pelepasan hormon. PTH, hormon paratiroid, atau parathormon.

Karakteristik fisiologis lain dari aksis hipotalamus-hipofisis adalah adanya irama. Irama merupakan gambaran umum pada banyak produksi hormon, dan irama ini berasal dari struktur otak. ACTH merupakan contoh irama yang baik, atau siklus pelepasan hormon. Pada pengukuran kadar ACTH dan kortisol setiap jam selama 24 jam, terlihat adanya peningkatan pada pagi hari, kemudian menurun dan meningkat lagi pada malam hari untuk mencapai puncaknya pada esok paginya. Tipe irama ini disebut sebagai irama diurnal atau sirkandian. Karena pelepasan hormon oleh kelenjar hipofisis terjadi dengan cepat, maka pelepasan hormon ini dikatakan juga sebagai pelepasan hormonal episodik.

lrama sirkadian sekresi kortisol
lrama sirkadian sekresi kortisol.

Gonadotropin, hormon tropik kelenjar hipofisis yang mengatur fungsi gonad, mempunyai siklus atau irama yang berbeda. Pada perempuan, pelepasan gonadotropin merupakan suatu siklus dan terjadi setiap bulan bukannya diurnal. Adanya siklus pelepasan gonadotropin yang normal merupakan ciri khas fungsi endokrin reproduksi perempuan. Sebaliknya, pada laki-laki, pelepasan gonadotropin yang sama ini tidak mempunyai sifat siklik, dan terjadi secara konstan. Jika pelepasan siklik gonadotropin pada perempuan dihentikan, terjadi penghentian siklus menstruasi normal dengan penekanan ovulasi dan fertilitas.

Siklus pelepasan gonadotropin bulanan pada menstruasi perempuan yang normal. Puncaknya adalah pertengahan siklus ketika FSH dan LH meningkat secara tiba-tiba.n
Siklus pelepasan gonadotropin bulanan pada menstruasi perempuan yang normal. Puncaknya adalah pertengahan siklus ketika FSH dan LH meningkat secara tiba-tiba.n

Ada hormon-hormon lain yang tidak dilepaskan dengan irama spontan, tetapi akibat respons terhadap rangsangan metabolik. Misalnya, hormon insulin dilepaskan akibat respons terhadap makanan yang dimakan.

PENYAKIT-PENYAKIT SISTEM ENDOKRIN

Hormon-hormon tidak langsung bekerja pada sel-sel atau jaringan, tetapi harus terlebih dulu berikatan dengan reseptor spesifik pada membran sel atau sitosol dari sel. Untuk terjadinya suatu peristiwa metabolik, seluruh langkah-langkah selanjutnya setelah interaksi hormon dan reseptor harus dalam keadaan yang utuh. Dengan demikian, jelas bahwa yang penting bukan hanya konsentrasi hormon agar dapat tercapai hasil yang baik pada aktivitas selular, tetapi juga jumlah dan afinitas reseptor terhadap hormon.

Oleh karena itu, ada dua mekanisme untuk penyakit endokrin: (1) gangguan primer yang mengubah konsentrasi hormon dan (2) gangguan primer pada mekanisme reseptor dan pasca reseptor. Umumnya penyakit-penyakit endokrin dapat dipahami melalui aktivitas-aktivitas metabolik dari hormon yang terlibat, akibat kelebihan atau kekurangan produksi atau kerja hormon. Dengan demikian, pengetahuan tentang akibat metabolik sekresi hormon yang berlebihan atau terlalu sedikit akan membantu mengenali gambaran klinis yang timbul akibat gangguan- gangguan ini. Contohnya, bila terdapat pembentukan tiroksin yang berlebihan, yaitu hormon tiroid, seseorang dapat mengalami peningkatan metabolisme basal dan produksi panas. Akibabrya, penderita hipertiroidisme memperlihatkan tingkat metabolisme basal yang tinggi, tidak tahan panas, dan berkurangnya beral badan. Sebaliknya, kekurangan tiroksin mengakibatkan efek metabolisme yang berlawanan seperti metabolisme basal yang rendah dan peningkatan kepekaan terhadap suhu dingin. Gangguan primer pada tingkat reseptor menimbulkan sindrom resistensi hormon.

Mutasi pada reseptor kortisol menurunkan ikatan hormon pada reseptor spesifiknya dan menyebabkan sindrom resistensi glukokortikoid primer. Mutasi pada reseptor hormon tiroid menyebabkan sindrom resistensi hormon tiroid. Jenis yang kedua dari gangguan perantara reseptor ini adalah penyakit Graves, yaitu suatu proses autoimun membentuk antibodi terhadap reseptor TSH, sehingga meningkatkan fungsi tiroid. Antibodi yang dihasilkan untuk melawan reseptor insulin menyebabkan sindrom resistensi insulin yang berat.

Pengobatan Penyakit Endokrin

Penanganan penyakit-penyakit endokrin didasarkan atas perubahan produksi hormon yang mendasari terjadinya penyakit tertentu. Secara sederhana, pasien dengan penyakit yang disebabkan oleh kurangnya sekresi hormon diobati dengan penggantian hormon. Misalnya, pasien diabetes yang pankreasnya tidak dapat membuat insulin dalam jumlah yang cukup. Penanganan konsekuensi metabolik akibat kekurangan insulin adalah dengan pemberian insulin atau zat yang merangsang insulin. Demikian pula seorang pasien yang tidak dapat membuat cukup hormon tiroid dan menjadi hipotiroid, diobati dengan pemberian tiroksin.

Penanganan penyakit-penyakit kelebihan hormon lebih rumit karena banyaknya pilihan pengobatan yang tersedia. Pengangkatan seluruh atau sebagian kelenjar yang menghasilkan hormon yang berlebihan merupakan salah satu alternatif. Akan tetapi, pengangkatan seluruh kelenjar mengakibatkan defisiensi hormon total, sehingga harus diberikan terapi penggantian hormonal untuk memperbaiki kadar hormon sampai menjadi normal kembali. Kelenjar hipofisis dapat memberikan contoh akibat pengangkatan kelenjar seluruhnya. Karena kelenjar hipofisis mempunyai banyak fungsi-antara lain, lobus anterior menyekresi hormon-hormon tropik dan lobus posterior menyekresi hormon antidiuretik-pengangkatan kelenjar hipofisis akan mengakibatkan berhentinya sekresi dari banyak hormon atau panhipopituitarisme. Sebaliknya, pengangkatan sebagian dari kelenjar dapat menghilangkan kelebihan hormon, dan menyisakan produksi hormon yang cukup untuk memelihara fungsi normal.

Teknik pembedahan modern memungkinkan pengangkatan hanya sebagian dari kelenjar yang
mengalami kelainan. Teknik ini digunakan bila suatu tumor kecil kelenjar hipofisis menyebabkan produksi hormon yang berlebihan. Tumor dapat direseksi dengan teknik bedah mikroskopik tanpa mengangkat atau mengistirahatkan sisa kelenjar hipofisis. Pada kasus lain, pengangkatan sebagian kelenjar saja tidak mungkin dilakukan. Contohnya bila kelenjar adrenal diangkat, maka baik korteks maupun medula adrenal harus diangkat. Walaupun tubuh dapat berfungsi dengan baik tanpa medula adrenal, kapasitas tubuh untuk menyekresi katekolamin mungkin terganggu.

Alternatif lain dalam menghadapi kelebihan hormon adalah pemberian obat-obatan yang menghambat produksi hormon baik dengan menghalangi atau merusak jaringan yang menghasiikan hormon. Misalnya, pasien dengan hipertiroidisrne dapat diberikan yodium radioaktif konsentrasi tinggi. Yodium radioaktif terkonsentrasi dalam kelenjar tiroid dan akan merusak sel-sel yang memproduksi tiroksin, sehingga terjadi remisi. Contoh lain adalah hiperfungsi adrenal tempat kelenjar dapat dihambat dengan obat-obatan yang mengganggu biosintesis hormon-hormon korteks adrenal.

Penekanan pembentukan hormon juga terjadi pada pemberian kontrasepsi oral. Estrogen dan pragesteron diberikan untuk menghambat pelepasan gonadotropin hipofisis, selanjutnya hal ini akan menekan fungsi ovarium dan ovulasi normal.

Singkatnya, penyakit endokrin adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan hormon; defisiensi diobati dengan mengganti hormon yang kurang, sedangkan kelebihan diobati dengan mengangkat secara pembedahan seluruh atau sebagian kelenjar yang bekerja berlebihan, atau dengan memberikan obat-obatan yang menghambat atau merusak jaringan yang membuat hormon.

DAFTAR PUSTAKA

Hubungin penulis

Jadwal imunisasi pada anak dan imunisasi pada kelompok beresiko

IMUNISASI DAN VAKSINASI

PENDAHULUAN

Imunisasi sendiri pada dasarnya adalah pemindahan atau transfer antibodi secara pasif dimana ini merupakan salah satu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen sehingga bila kelak terpajan antigen serupa tidak terjadi penyakit. Sedangkan Vaksinasi berarti pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.Keuntungan yang diperoleh dari vaksinasi adalah dapat memperoleh kekebalan seumur hidup terhadap jenis penyakit yang di vaksin.

Imunisasi membentengi tubuh dari penyakit selama puluhan tahun, imunisasi merupakan tindakan pencegahan yang murah dan efektif. Semakin banyak vaksin yang ditemukan semakin tinggi harapan untuk hari esok yang lebih sehat. Imunisasi juga bermanfaat untuk menciptakan kekebalan komunitas, bahkan imunisasi mampu melenyapkan penyakit dari muka bumi.

Vaksinasi adalah pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tersebut. Kata vaksinasi berasal dari bahasa Latin vacca yang berarti sapi - diistilahkan demikian karena vaksin pertama berasal dari virus yang menginfeksi sapi (cacar sapi). Vaksinasi sering juga disebut dengan imunisasi.

Pada anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus di imunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan pengobataan imunosupresi, radioterapi, anak dengan infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/ organ dan spelenektomi.

Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Penekanan respons imun dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun kongenital dan defisiensi imun didapat seperti pada leukimia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama.

JADWAL IMUNISASI DI INDONESIA PADA ANAK

Imunisasi merupakan suatu upaya meningkatkan kekebalan tubuh secara aktif artinya kita tidak memasukan antibodi atau zat kekebalan tubuh kedalam tubuh si penerima, tetapi kita memasukan antigen kedalam tubuh si penerima. Zat yang bersifat antigen ini bila masuk kedalam tubuh akan merangsang tubuh untuk membuat antibodi yang bersifat khusus terhadap antigen tersebut.
Jadwal imunisasi adalah informasi mengenai kapan suatu jenis vaksinasi atau imunisasi harus diberikan kepada anak. Jadwal imunisasi suatu negara dapat saja berbeda dengan negara lain tergantung kepada lembaga kesehatan yang berwewenang mengeluarkannya.

Pelaksanaan imunisasi di Indonesia sudah berlangsung puluhan tahun. Imunisasi di indonesia dilaksanakan mulai dari tingkat posyandu, puskesmas, hingga dokter praktek swasta. Pemerintah sendiri sudah membebaskan biaya untuk imunisasi dasar di posyandi dan puskesmas. Sistim imunisasi di Indonesia ada 2 macam yaitu Imunisasi Dasar dan imuniasasi tambahan

Program Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi pada anak dibawah 1 tahun yang meliputi TBC, Hepatitis, difteri, pertusis, tetanus, polio dan campak. Selain Imunisasi dasar, yang wajib diberikan, Ikatan dokter anak indonesia merekomendasikan beberapa imunisasi tambahan yaitu MMR, imunisasi pneumococus (PVC), imunisasi thyfoid, imunisasi influensa type B, imunisasi influenza, imunisasi hepatitis A, imunisasi rotavirus, imunissi human papiloma virus (HPV).

Berikut ini akan saya paparkan Jadwal Imunisasi pada anak, yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012


Jadwal Imunisasi Pada anak menurut rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 2011-2012


Umur
Vaksin
Keterangan
Saat lahir
Hepatitis B-1
  • HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Polio-0
  • Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain)
1 bulan
Hepatitis B-2
  • Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.
0-2 bulan
BCG
  • BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur lebih dari 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2 bulan
DTP-1
  • DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T)
Hib-1
  • Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.
Polio-1
  • Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1
4 bulan
DTP-2
  • DTP-2 (DTwp atau DTap) dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T).
Hib-2
  • Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2
Polio-2
  • Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2
6 bulan
DTP-3
  • DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).
Hib-3
  • Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.
Polio-3
  • Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3
Hepatitis B-3
  • HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun optimal, interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
9 bulan
Campak-1
  • Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapatkan MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan.
15-18 bulan
MMR
  • Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan.
Hib-4
  • Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).
18 bulan
DTP-4
  • DTP-4 (DTwp atau DTap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.
Polio-4
  • Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4.
2 tahun
Hepatitis A
  • Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan.
2-3 tahun
Tifoid
  • Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.
5 tahun
DTP-5
  • DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap)
Polio-5
  • Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5.
6 tahun.
MMR


polio 6
  • Diberikan untuk catch-up immunization pada anak yang belum mendapatkan MMR-1.
  • Diberikan imunisasi polio yang ke 6
10 tahun
dT/TT
  • Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapatkan imunitas selama 25 tahun.
Varisela
  • Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.

Berikut ini jadwal imunisasi menurut american academy of pediatry





MACAM-MACAM IMUNISASI

Imunisasi BCG
  • Imunisasi BCG adalah imunisasi untuk mencegah penyakit TB( tuberculosis). BCG singkatan dari BBacille Calmette-Guerin. 3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas(dapat merangsang timbulnya kekebalan tubuh).
  • Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycbacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-Penyakit TB adalah penyakit yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paru-paru tetapi dapat juga mengenai organ – organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar getah bening dan organ lain. Tuberculosis dapat diobati dengan obat anti tuberkulosis(OAT) yang diminum selama minimal 6 bulan. 
  • Imunisasi BCG tidak mencegah infeksi tuberculosis tetapi mengurangi risiko terjadinya tuberkulosis berat seperti meningitis TB (penyakit radang selaput otak oleh kuman TB). Efektivitas imunisasi BCG bervariasi antara 0% – 80%. Hal ini berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang dipakai dan kondisi anak itu sendiri seperti umur, keadaan gizi dan lain – lain. Efek proteksi akan timbul setelah 8-12 minggu setelah penyuntikan.
  • Imunisasi BCG adalah imunisasi yang paling menyakitkan bagi anak karena cara penyuntikan vaksinnya yang harus intradermal (vaksin harus disuntikkan hanya ke dalam lapisan kulit saja, tidak boleh terlalu dalam hingga menembus lapisan kulit). Karena disuntikan kedalam lapisan kulit yang penuh dengan reseptor syaraf maka suntikkannya lebih sakit dibanding imunisasi lainnya. Imunisasi BCG biasanya disuntikkan didaerah lengan kanan atas. Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,1 mL untuk anak dan 0,05 untuk bayi baru lahir.
  • Imunisasi BCG biasanya akan menimbulkan bekas berupa jaringan parut bulat berdiameter 4-8 mm akibat proses penyembuhan luka/borok yang timbul setelah 3-6 minggu setelah penyuntikan. Borok akan sembuh sendiri dalam 2-3 bulan, tidak perlu terapi apapun. Perlu diingat, imunisasi BCG yang tidak menimbulkan borok/bekas tidak berarti imunisasinya gagal.
 
Cara penyuntikan vaksinnya yang harus intradermal (vaksin harus disuntikkan hanya ke dalam lapisan kulit saja, tidak boleh terlalu dalam
hingga menembus lapisan kulit)
 
Efek yang timbul setelah penyuntikan BCG dimana timbul indurasi dan kemerahan di tempat suntikkan yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut
  • Imunisasi BCG diberikan untuk semua bayi. Pemberiannya dijadwalkan sebelum bayi usia 3 bulan. Bila diberikan pada bayi usia lebih dari 3 bulan maka si bayi harus dilakukan tes mantoux terlebih dahulu. Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8 derajat Celcius, tidak boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.
  • Anak yang tidak boleh di imunisasi BCG adalah :
    1. Bila hasil tes mantoux lebih dari 5 mm
    2. Menderita infeksi HIV
    3. Sedang meminum obat imunosupresi atau sedang mendapat radioterapi
    4. Menderita penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe
    5. Menderita gizi buruk
    6. Menderita demam tinggi.
    Imunisasi DPT
    • Imunisasi DPT bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap 3 penyakit penting yaitu difteri, tetanus dan pertusis. Imunisasi DPT termasuk salah satu imunisasi dasar di Indonesia. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali. Diberikan pada anak mulai usia lebih dari 6 minggu dengan interval 1-2 bulan untuk pemberian selanjutnya. Pemberian imunisasi DPT pada anak usia kurang dari 6 minggu tidak dianjurkan karena respon terhadap pertusis tidak optimal. Imunisasi DPT ulangan diberikan 1 kali pada usia 18 bulan. Dan diulang lagi ketika usia 5 tahun. Karena termasuk imunisasi dasar yang diwajibkan maka biaya imunisasi DPT digratiskan pemerintah. Anda dapat melakukan imunisasi DPT anak anda di posyandu atau puskesmas terdekat.
    • Imunisasi DPT diberikan dengan cara menyuntikkan vaksin DPT ke otot anak. Biasanya penyuntikan dilakukan di otot paha. Imunisasi DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo. Artinya, dalam satu vaksin mengandung beberapa jenis vaksin untuk beberapa jenis penyakit. Saat ini terdapat 2 jenis vaksin DPT.
      • Yang pertama dengan kandungan seluruh sel kuman pertusis (whole cell pertussis) disingkat dengan DTwP. Vaksin kombo inilah yang tersedia di posyandu dan puskesmas.
      • Yang kedua , yang tidak mengandung kuman pertusis, tapi berisi komponen spesifik toksin dari kuman pertusin, disebut sebagai aseluler pertusis, disingkat DTaP. Keuntungan vaksin yang ini, angka kejadian komplikasi yang ditimbulkan lebih sedikit dibanding vaksin yang whole cell. Artinya, lebih sedikit bikin demam , bengkak,nyeri atau komplikasi lainnya. Kerugiannya, harganya relatif mahal.
      • Biasanya dokter akan menanyakan, bu mau yang bikin panas atau yang tidak panas? Maksud dokternya, vaksin yang bikin panas yang whole cell, sedang yang tidak bikin panas yang aseluler.
    • Reaksi lokal pada bekas tempat penyuntikan berupa kemerahan,bengkak dan nyeri. Kejadian ini terjadi pada 42,9% penerima imunisasi DPT. Demam ringan. Hanya sekitar 2,2% yang mengalami demam tinggi Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan, Kejang demam terjadi sebanyak 0,06%, Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang. Pemberian imunisasi DPT tidak dianjurkan bila anak pada pemberian imunisasi DPT sebelumnya, menunjukkan reaksi alergi berat yang disebut anafilaksis dan jika anak menderita gangguan otak yang disebut ensefalopati ( ditandai penurunan kesadaran dan kejang) pasca pemberian imunisasi DPT sebelumnya.
    Imunisasi Hepatitis B
    • Imunisasi hepatitis B diberikan kepada : Semua bayi baru lahir tanpa memandang status apakah ibunya menderita hepatitis B atau tidak, Orang yang karena pekerjaan berisiko tertular hepatitis B (tenaga medis dll), Orang yang menjalani cuci darah, Orang yang menderita penyakit yang membutuhkan transfusi darah berulang (pasien thalasemia, Pemakai narkoba suntik, Orang yang tinggal serumah dengan pengidap hepatitis B.
    • Vaksin hepatitis B yang merupakan sub unit vaksin virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non-infectious. Vaksin hepatitis B ini merupakan vaksin DNA rekombinan yang berasal dari HbsAg yang diproduksi melalui teknologi DNA rekombinan pada sel ragi. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen. Sebelum disuntikkan, kondisikan vaksin hingga mencapai suhu kamar. Minimal pemberian sebanyak 3 kali disuntikkan di otot paha.
    • Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir. Jadwal imunisasi hepatitis B yang dianjurkan adalah usia 0,1,6 bulan. Interval antara imunisasi hepatitis B pertama dengan imunisasi hepatitis B ke dua minimal 1 bulan. Memperpanjang interval ini tidak mempengaruhi antibody yang terbentuk. Imunisasi hepatitis B yang ketiga merupakan penentu respon antibody. Semakin panjang jarak antara imunisasi hepatitis B yang kedua dengan imunisasi hepatitis B yang ketiga semakin banyak jumlah antibodi yang terbentuk. Bila sesudah imunisasi hepatitis B pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak minimal 2 bulan dari imunisasi kedua. Bila imunisasi hepatitis B ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan. Anak yang terlambat atau belum pernah mendapat imunisasi hepatitis B dapat diberikan kapanpun anak siap diimunisasi. Tetap dijadwalkan 3 kali pemberian dengan jarak antara yang pertama dan kedua minimal 4 minggu, sedangkan jarak antara imunisasi kedua dan ketiga minimal 8 minggu.
    • Efektivitas imunisasi hepatitis B dalam mencegah infeksi virus hepatitis B adalah 90%-95%. Tingkat proteksi setelah imunisasi dapat diketahui dengan memeriksa kadar anti HBs dalam darah. Bila kadar anti HBs di atas 10 mIU/mL maka dianggap masih memiliki efek proteksi. Pada bayi dan anak, pemeriksaan anti HBs setelah imunisasi hepatitis B tidak dianjurkan. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk orang – orang dengan resiko tinggi ertular hepatitis B. Di unit pelayanan statis, vaksin HB yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 4 minggu.Sedangkan di posyandu vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk hari berikutnya.
    • Efek samping imunisasi hepatitis B yang terjadi umumnya berupa reaksi local yang ringan seperti kemerahan pada daerah suntikan. Kadang – kadang dapat menimbulkan demam ringan 1-2 hari. Sampai saat ini tidak ada kontra indikasi absolute pemberian imunisasi hepatitis B. Artinya, anak demam, batuk,pilek bukan halangan untuk pemberian imunisasi hepatitis B.
    Imunisasi Polio
    • Imunisasi polio diberikan dengan tujuan untuk mencegah anak terjangkit penyakit polio. atau dengan kata lain pemberian kekebalan aktif terhadap Poliomyelitis. Penyakit Poliomyelitis dapat menyebabkan anak menderita kelumpuhan pada kedua kakinya dan otot-otot wajah.
    • Imunisasi polio ada 2 macam. Yang pertama vaksin virus polio oral. Pemberiannya diberikan dengan cara diteteskan ke mulut bayi. Vaksin jenis kedua berupa vaksin polio inactivated artinya vaksin jenis ini berisi virus polio yang sudah tidak aktif. Pemberiannya dilakukan dengan cara suntikan. Diberikan sebanyak 3 kali dengan jarak 2 bulan. Imunisasi polio diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan dengan interval waktu 6-8 minggu. Biasanya diberikan bersamaan dengan imunisasi DPT karena jadwalnya yang bersamaan. Bila pada pemberian imunisasi polio yang diteteskan bayi muntah dalam waktu 10 menit maka pemberiannya harus diulang.
    • Setelah anak mendapat imunisasi polio maka pada tinja si anak akan terdapat virus polio selama 6 minggu sejak pemberian imunisasi. Karena itu, untuk mereka yang berhubungan dengan bayi yang baru saja diimunisasi polio supaya menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi. Imunisasi polio booster(ulangan/penguat) harus dberikan sebelum masuk sekolah yaitu bersamaan dengan imunisasi booster DPT. Lihat jadwal imunisasi pada gambar jadwal imunisasi diatas.
    • Diperkirakan terdapat 1 kasus polio berkaitan dengan imunisasi polio terjadi setiap 2,5 juta dosis OPV yang diberikan. Hal ini tidak cukup menjadi alasan untuk mengadakan perubahan terhadap kebijakan pemberian imunisasi polio karena imunisasi polio terbukti sangat berguna bagi kesehatan anak. Sebagian kecil anak setelah imunisasi dapat mengalami gejala pusing, diare ringan, nyeri otot. Efek samping berupa paralysis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi (kurang dari 0,17 : 1.000.000; Bull WHO 66 : 1988). 
    • Anak tidak boleh diberikan imunisasi polio, jika Anak demam tinggi diatas 38,5 derajat Celcius, Anak sedang diare atau muntah, Anak yang sedang mendapat pengobatan obat yang menurunkan kekebalan tubuh, Anak yang menderita kanker atau penyakit hipogamaglobulin dan Anak yang mempunyai riwayat alergi neomisin, polimiksin dan streptomisin.
    Imunisasi Campak
    • Vaksin Campak digunakan untuk  pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit Campak(measles atau morbili).Jadwal imunisasi campak berdasar Ikatan dokter anak Indonesia(IDAI) diberikan 2 kali yaitu pada saat anak umur 9 bulan dan umur 6 tahun.Imunisasi campak  oleh WHO untuk kesehatan anak masih tetap dianjurkan diberikan di negara berkembang pada bayi berumur 9 bulan karena angka kejadian campak yang masih tinggi. Saat ini ada 2 macam vaksin campak, yang pertama berisi virus campak yang dilemahkan dan yang kedua berisi virus campak yang dimatikan. Yang banyak dipakai adalah vaksin campak yang berisi virus yang dilemahkan.
    • Sebelum disuntikkan vaksin Campak terlebih dahulu harus dilarutkan dengann pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut aquabidest. Dosis pemberian untuk vaksin campak yang dilemahkan adalah 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan atas, pada usia 9-11 bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-7 tahun (kelas 1 SD) setelah  cath-up campaign Campak pada anak Sekolah Dasar kelas 1-6.  Vaksin campak yang sudah dilarutkan hanya  boleh digunakan maksimum 6 jam. 
    • Efek samping Imunisasi campak kadang membuat anak demam hingga 39,5 derajat Celcius pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi. Demam berlangsung selama 2 hari. Ruam (bercak-bercak merah) dapat dijumpai pada 5% anak, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2- hari. Reaksi berat seperti ensefalitis(radang otak) sangat jarang terjadi. 
    • Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer, pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, anak yang mendapat obat imunosupresi (obat penekan system imun) jangka panjang. Anak yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.

    IMUNISASI PADA KELOMPOK BERISIKO

    Pasien dengan sistim imun tertekan
    1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kg bb/ hari dengan lama pengobatan lebih dari 7 hari atau dosis 1 mg/ kg bb/ hari lama pengobatan lebih dari 1 bulan.
    2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi untuk penyakit keganasan seperti leukemia dan limfoma.
    Pada pasien dengan sistem imun yang tertekan, tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup karena akan berakibat fatal disebabkan vaksin akan bereplikasi dengan hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR, BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan minimal 3 bulan.

    Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DPT, influenza dan Hib, dosis sama dengan anak sehat. Respons imun yang timbul tidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif yaitu normal immunoglobulin human dengan dosis 0,2 ml/kg bb/ intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0,4-1,0 ml/kg bb, bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi spesifik dengan varicella-zoster imunoglobulin namun pada saat ini belum ada di Indonesia.

    Pasien dalam pengobatan kortikosteroid
    • Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal misalnya erosol untuk asma, rinitis alergi, salep kulit, mata, intra artikular, kortikosteroid dosis rendah yang diberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup.
    • Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup segera setelah penghentian pengobataan, namun ada yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari.
    • Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari selama lebih dari 14 hari, dapat diberikan imunisasi vaksin hidup setelah penghentian pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien yang telah menghentikan pengobatan imunosupresif selama 3 sampai 6 bulan dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit primernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol.
    • Keluarga pasien imunokompromais yang kontak lansung dianjurkan untuk mendapatkan imunisasi polio inaktif, varisela, dan MMR. Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena walaupun dapat terjadi penularan transmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebih ringan dari pada infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal.
    • Pengecualian unutk penderita leukemia limfosik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapat infeksi alamiah dengan varisela dapat fatal.
    • Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikan respons maksimal seperti yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer anitbodi serum setelah imunisasi sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.
    Pasien infeksi human immunodeficiency virus (HIV)

    Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang. Kapan pasien HIV harus diberi imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang, namun apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati.

    Pasien transplantasi sumsum tulang (TST)

    Resipien transplantasi sumsum tulang alogenik akan menjadi defisiensi imun disebabkan 4 komponen:
    1. Pengobatan imunsupresi terhadap penyakit primer
    2. Kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu
    3. Reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu serta,
    4. Pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah transplantasi dilakukan
    Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada resipien diberikan imunisasi terlebih dahulu. Karena terbukti setelah transplantasi imunitas terhadap virus polio, tetanus, dan difteria hampir tidak ada, maka sebaiknya pejamu diberikan imunisasi DPT dan polio sebelum transplantasi dilakukan. Penelitian klinis menunjukan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteria dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV.

    Bayi prematur

    Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DPwT atau DtaP, Hib, dan OPV diberikan pada usia 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada usia 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan diberikan OPV pemberian ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit unutk menghindari penyebaran virus polio kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur, respons imun kurang bila dibandingkan bayi cukup bulan terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis dapat dilakukan 2 cara:
    • Prematur dengan ibu HbsAg positif harus diberikan hep B bersamaan dengan HBIG pada 2 tmepat yang berlainan dalam waku 12 jam. Dosis ke 2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke 3 dan ke 4 diberikan usia 6 dan 12 bulan.
    • Permatur dengan ibu HbsAg negatif pemberian imunisasi dapat dengan :
      • Dosis pertama saat lahir, ke II umur 2 bulan, ke II dan ke IV umur 6 dan 12 bulan. Titer diperiksa setelah imunisasi ke IV.
      • Dosis pertama diberikan saat bayi sudah mencapai berat badan 2000 gr atau sekitar 2 bulan. Vaksinasi hepatitis B peratama dapat diberikan bersama sama DPT, OPV (IPV) dan Hib. Dosis hepatitis B ke II diberikan 1 bulan kemudian dan ke II usia 8 bulan. Titer antibodi diperiksa setelah imuniasi ke II
      • Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DPT (Tritanrix, Glaxo, smith Klein). Untuk bayi berumur kurang dari 6 minggu tidak dianjurkan jadi tidak dapat diberikan sebagai imuniasai pertama pada bayi baru lahir.
    Air Susu Ibu dan Imunisasi
    • Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sendan menyusui bila ibunya diberikan imunisasi baik dengan bakteri/virus hidup dan kuman yang dilemahkan. Sebaliknya, air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapakan imunisasi.

    VAKSIN KOMBINASI

    Vaksin kombinasi merupakan gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk mencegah penyakit yang berbeda atau antigen dari galur multipel dari organisme penyebab penyakit yang sama. Alasan utama pembuatan vaksin kombinasi adalah:
    1. Vaksin kombinasi lebih praktis daripada vaksin terpisah, sehingga dapat meningkatkan cakupan imunisasi.
    2. Mengurangi biaya
    3. Mengurangi biaya pengobatan
    4. Memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi yang telah ada.
    5. Untuk mengejar imunisasi yang terlambat
    6. Walaupun harga vaksin kombinasi kadang kadang lebih mahal bila dibandingkan dengan vaksin terpisah, apabila dihitung pengeluaraan total termasuk biaya berobat, transportasi, kecemasan anak dan orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan, maka secara ekonomis menjadi lebih murah.
    Di samping keuntungannya, vaksin kombinasi mempunyai beberapa kekurangan, yaitu:
    1. Terjadinya ketidakserasian kimiawi/fisis, sebagai akibat percampuran beberapa antigen beserta ajuvan-nya.
    2. Sulit dihindari adanya perubahan respons imun sebagai akibat interaksi antara antigen dengan antigen lain atau antara antigen dengan ajuvan yang berbeda.
    3. Pemakainan vaksin kombinasi dapat membingungkan para dokter dalam menyusun jadwal imunisasi, apalagi bila dipergunakan vaksin dari pabrik yang berbeda.

    Bacaan sebelumnya
                                          •         Imunisasi dan vaksin sebagai upaya pencegahan primer
                                          •         Cara pemberian imunisasi
                                          •         Kejadian ikutan pasca imunisasi