Memprediksi, Kesulitan dan Cara Ekstubasi Trakea

EKSTUBASI TRAKEA PASCA BEDAH

PENDAHULUAN

Pembebasan jalan napas merupakan tindakan pertama dan terpenting yang harus dilakukan pada saat melakukan anestesi umum. Intubasi dengan pipa endotrakea merupakan cara yang paling sering dilakukan dalam anestesi umum untuk penguasaan jalan napas sehingga tindakan anestesi menjadi lebih aman. Intubasi endotrakeal adalah suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea, sehingga jalan nafas menjadi bebas dan nafas menjadi mudah dibantu atau dikendalikan. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan dengan memasukkan pipa dari hidung, mulut atau trakeal stoma. Sedangkan tindakan ekstubasi berarti kebalikan dari tindakan intubasi yaitu mengeluarkan pipa endotrakeal yang telah di masukan pada tindakan intubasi.

Tindakan intubasi trakea terutama pada jalan napas yang sulit begitu banyak mendapat perhatian, disisi lain ekstubasi trakea relatif kurang diperhatikan, padahal masalah-masalah yang terjadi setelah ekstubasi trakea cukup banyak seperti yang dilaporkan oleh ASA Closed Claims Study. Efek merugikan terhadap sistem respiratori setelah ekstubasi sebesar 35 kasus dari 522 kasus (7%), yang meliputi ketidak adekuatan ventilasi, obstruksi jalan napas, spasme bronkus dan aspirasi. Laporan lain menyatakan bahwa 4 – 9% kejadian yang serius terhadap respirasi terjadi segera setelah ekstubasi

pengeluaran pipa endotrakeal
EKSTUBASI ENDOTRAKEAL
Ruth dkk menyatakan pentingnya pencegahan dalam tindakan anestesia. Mathew dkk dalam studi retrospektif melaporkan bahwa lebih dari 13.000 tindakan anestesi, hanya 0,19% memerlukan tindakan reintubasi, dimana sebagian besar kasus tersebut dapat dicegah. Para ahli anestesiologi sepakat bahwa segera setelah ekstubasi adalah saat dimana pasien dalam keadaan rentan. Pada saat itu dapat terjadi spasme laring, aspirasi, ketidak adekuatan patensi jalan napas atau pusat kendali napas yang akan menyebabkan terjadinya hipoksemia. Walaupun hipoksemia sering dapat dikoreksi dalam hitungan menit, namun walaupun jarang, hipoksemia pasca ekstubasi dapat cepat memburuk menimbulkan masalah yang serius.

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai perubahan fisiologis dan patofisiologis fungsi respirasi yang berhubungan dengan tindakan anestesi dan pembedahan pasca ekstubasi, pengaruh ekstubasi itu sendiri, kriteria yang digunakan untuk memprediksi ekstubasi yang baik, kesulitan ekstubasi dan teknik-teknik khusus sekaligus intervensi lain untuk ekstubasi trakea.

EFEK ANESTESI DAN PEMBEDAHAN TERHADAP FUNGSI RESPIRASI PASCA EKSTUBASI

Keadaan “ideal” dilakukan ekstubasi yang diharapkan adalah suatu keadaan dimana pasien memperlihatkan ventilasi yang adekuat, pola napas normal, patensi jalan napas yang terjaga dan reflek-reflek proteksi yang kembali intak, fungsi paru normal, dan tidak adanya beberapa gangguan mekanik seperti batuk. Namun sayang, kondisi “ideal” tersebut jarang kita dapatkan pada pasien pasca ekstubasi trakea. Pemahaman terhadap interaksi antara tindakan anestesia, pembedahan dan ekstubasi terhadap fungsi respirasi membantu kita dalam memprediksi komplikasi yang mungkin terjadi dalam hubungannya dengan pelayanan anestesia.

Perubahan pada jalan napas

Beberapa bentuk disfungsi jalan napas termasuk obstruksi pasca ekstubasi trakea harus segera diterapi demi keselamatan pasien, oleh karena dapat cepat menurunkan volume ventilasi semenit dan menyebabkan hipoksemia. Diagnosa banding dari obstruksi jalan napas atas akut pasca bedah terlihat pada tabel

Obstruksi jalan napas oleh karena aspirasi benda asing (misalnya kondom probe temperatur) tidak dibahas, walaupun demikian perlu dipahami

Tabel 1. Differential diagnosis of postoperative airway obstruction.


  • Laryngospasm
  • Airway muscle relaxation
    • Residual muscle relaxants
    •  Residual anesthetics
  • Soft tissue edema (allergic reaction / mechanical trauma)
    • Uvular
    • Pharyngolaryngeal
  • Cervical hematoma
  • Vocal cord paralysis / dysfunction
  • Foreign body aspiration
  • Spasme laring (laryngospasm)
    • Spasme laring adalah obstruksi laring oleh karena spasme sebagian atau seluruhnya otot-otot intrinsik atau ekstrinsik laring. Oleh Keating didefinisikan sebagai refleks protektif; dapat mengancam jiwa jika terjadi setelah ekstubasi. Pasien pada stadium II anestesia paling mudah terjadi spasme laring. Oleh Rex digambarkan sebagai refleks protektif yang diperantarai nervus vagus untuk mencegah benda asing masuk ke percabangan trakeobronkial. Stimulasi pada berbagai tempat dari mukosa hidung sampai diafragma dapat memprovokasi terjadinya spasme laring. Penyebab tersering spasme laring adalah reaksi terhadap benda asing atau bahan lain dekat glotis. Darah atau saliva walau dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan spasme laring. Untuk mencegah spasme laring disarankan tindakan ekstubasi dilakukan saat pasien teranestesi dalam, dimana refleks laring masih terdepresi; walaupun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar.
    • Suzuki dan Sasaki berpendapat bahwa laringospasme semata-mata disebabkan oleh aduksi berkepanjangan dari pita suara melalui saraf laringeal superior dan otot krikotiroid. Ikari dan Sasaki mendemonstrasikan dengan merangsang pada ambang rangsang saraf aduktor laringeal menghasilkan berbagai bentuk spasme laring selama pernapasan spontan. Refleks penutupan laring terjadi lebih cepat selama ekspirasi daripada inspirasi. Ahli lain percaya bahwa spasme laring juga melibatkan penutupan glotis bersamaan dengan aduksi pita suara. Penutupan glotis dihasilkan dari kontraksi otot-otot krikoaritenoid lateralis dan tiroaritenoid yang diinervasi oleh saraf laringeal rekuren.
    • Spasme laring adalah penyebab tersering obstruksi jalan napas pasca ekstubasi, terutama pada anak-anak setelah operasi jalan napas atas, misalnya setelah operasi adenotonsilektomi, insidensinya sekitar 20%.
  • Relaksasi jalan napas
    • Obstruksi jalan napas yang berhubungan dengan relaksasi jaringan lunak jalan napas sering bertalian dengan efek sisa dari obat-obat anestesi. Obstruksi yang terjadi sebenarnya karena relaksasi otot-otot faringolaringeal. Rumatan fisiologis terhadap patensi jalan napas atas merupakan mekanisme yang sangat kompleks yang melibatkan otot-otot yang berinsersi pada tulang hyoid dan kartilago tiroid. Selama inspirasi normal, peningkatan aktivitas tonus ikatan otot-otot tersebut mendahului kontraksi diapragma dan mencegah aduksi lidah dan palatum mole terhadap dinding posterior faring. Drummond dalam penelitiannya memberikan sodium tiopental terhadap 14 pasien yang menghasilkan penurunan aktivitas elektromyografik ikatan otot-otot tersebut, menyebabkan terjadinya obstruksi jalan napas. Mekanisme obstruksi jalan napas pada kasus gangguan tidur juga melibatkan penurunan aktivitas tonus otot-otot jalan napas atas tersebut. Penelitian pada kelinci, untuk mencegah kolaps jalan napas yaitu dengan memberi stimulasi pada ikatan otot-otot tersebut.
    • Jaringan sebenarnya penyebab obstruksi masih dalam perdebatan, tetapi kemungkinan besar melibatkan lidah, palatum mole, dan/atau epiglotis. Bukti keterlibatan lidah sebagai penyebab obstruksi jalan napas atas pasca ekstubasi diperoleh dari banyak laporan meliputi deskripsi mekanisme obstruksi pada pasien-pasien tak sadar, penelitian tentang sleep apnea, dan banyak laporan anestesi yang lain. 
    • Safar dkk setelah mengevaluasi foto radiografi lateral pada pasien-pasien teranestesi berkesimpulan bahwa obstruksi jalan napas karena prolaps bagian posterior lidah. Pasien-pasien sleep apnea juga mengalami obstruksi oleh karena relaksasi lidah sekunder terhadap penurunan tonus otot jalan napas yang terjadi selama rapid eye movement sleep. Studi menggunakan elektromyogram pada pasien-pasien obstruksi sleep apnea mencatat terjadinya penurunan aktivitas otot genioglosus bersamaan dengan obstruksi jalan napas. 
    • Nishino dkk melaporkan terjadi penurunan aktivitas saraf hipoglosus berkorelasi terbalik dengan peningkatan konsentrasi halotan pada kucing, walaupun tidak dilakukan observasi mengenai obstruksi jalan napas. Laporan lain mengenai obstruksi jalan napas intraoperatif selama operasi endarterektomi karotid bilateral dengan blok pleksus servikalis memberi kesan terjadinya disfungsi saraf hipoglosus bilateral sebagai faktor yang ikut berperan.
    • Dengan menggunakan floroskopi dan gambaran radiografik lateral, peneliti lain memperlihatkan bahwa obstruksi yang terjadi pada pasien-pasien sleep apnea tampak pada level palatum mole. Nandi dkk memperlihatkan bahwa obstruksi pada palatum mole terjadi pada 17 dari 18 pasien, epiglotis pada 4 dari 18 pasien, dan lidah pada 0 dari 18 pasien. Dengan menggunakan bronkoskopi, Boiden mendapatkan data yang sama, dan menyatakan bahwa posisi relatif dari tulang hyoid terhadap kartilago tiroid menentukan derajat patensi jalan napas, sehingga tindakan head tilt dan jaw thrust yang disarankan oleh Morikawa dkk menghasilkan pergerakan ke ventral tulang hyoid relatif terhadap kartilago tiroid, dan cara ini efektif untuk membuka jalan napas. Tampaknya palatum mole merupakan tempat yang paling sering menyebabkan obstruksi jalan napas, namun demikian, prolaps lidah terutama yang sangat besar dapat pula mengganggu patensi jalan napas.
  • Udema faringolaringeal
    • Udem uvula dan/atau palatum mole berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas pasca ekstubasi. Patofisiologi terjadinya udem uvula belum diketahui, tetapi kemungkinan oleh karena trauma mekanik dan/atau gangguan drainase vena oleh alat-alat pada jalan napas seperti pipa endotrakea, alat lain pada oral/nasal, LMA, dan penyedotan sekret jalan napas yang kasar. Pasien-pasien hamil terutama dengan toksemia sering mengalami udem uvula dan/atau faringolaringeal dan relatif menyebabkan obstruksi jalan napas.
    • Pembedahan leher anterior, termasuk juga diseksi dan operasi vertebra servikalis dapat pula menyebabkan udem faringolaringeal dan obstruksi jalan napas. Untuk mencegah terjadinya udem yang serius, telah disepakati untuk menghindari diseksi leher bilateral, walaupun udem dan obstruksi supraglotis dapat tetap terjadi melalui kontralateral yang lambat. Mekanisme terjadinya udem pasca bedah leher adalah gangguan fisik terhadap drainase limfatik. Dalam laporannya, Emery dkk menyatakan dari 7 kasus obstruksi jalan napas pasca bedah vertebra servikalis anterior, 5 diantaranya disebabkan oleh udem faringolaringeal, dan tidak satupun disebabkan oleh hematom servikal.
    • Udema laring adalah penyebab obstruksi jalan napas pasca ekstubasi trakea yang cukup penting pada anak, terutama pada bayi dan neonatus. Udem dapat terjadi pada daerah supraglotik, retroaritenoid, atau subglotik. Udem supraglotik terjadi dalam jaringan ikat longgar pada permukaan anterior epiglotis dan pada lipatan ariepiglotis. Epiglotis tergeser ke posterior oleh pembengkakan dan blokade celah glotis saat inspirasi, menyebabkan obstruksi jalan napas atas yang berat. Udem retroaritenoid terjadi dalam jaringan ikat longgar tepat di bawah pita suara dan dibelakang kartilago aritenoid. Pergerakan kartilago aritenoid membatasi abduksi pita suara saat inspirasi. Udem subglotik merupakan masalah serius pada bayi dan neonatus, karena daerah tersebut merupakan bagian tersempit dari jalan napas pada anak. Gambaran klinis dari udem subglotik adalah postintubation croup. Udem ringan pada daerah tersebut, menyebabkan pengurangan nyata pada diameter internal. Pada bayi baru lahir, besarnya daerah tersebut tidak lebih dari 14 mm2, dan udem sebesar 1 mm akan mengurangi area ini sebesar 5 mm2 (35% dari normal). Pada orang dewasa, besarnya udem tersebut tidak menyebabkan obstruksi yang nyata. Gejala postintubation croup biasanya muncul 30 – 60 menit setelah ekstubasi, dan diagnosis dapat ditentukan dari adanya stridor, retraksi dada, suara serak, batuk sesak, dan gejala obstruksi jalan napas.
  • Hematom servikal
    • Hematom servikal setelah pembedahan leher anterior dapat pula sebagai penyebab obstruksi jalan napas. Hematom dapat pula timbul pasca bedah, dan menyebabkan obstruksi jalan napas lambat setelah ekstubasi. Mekanisme terjadinya obstruksi jalan napas oleh karena obstruksi sistem vena dan limfatik oleh masa yang membesar menyebabkan udem faringolaringeal. Lipatan mukosa yang udematous tersebut pada akhirnya dapat meniadakan glotis. Kompresi terhadap struktur jalan napas yang berdekatan seperti trakea oleh hematom jarang terjadi.
    • O’Sullivan dkk mendapatkan 6 pasien pasca bedah endarterektomi karotis terjadi hematom servikal. Stridor dan gangguan respirasi yang berbahaya dan memerlukan intervensi bedah segera terjadi pada 4 dari 6 pasien tersebut. Setelah dilakukan induksi anestesi umum, 3 dari pasien-pasien tersebut sulit untuk dilakukan ventilasi manual, dan 2 pasien sulit diintubasi. 2 pasien tanpa stridor dikembalikan ke kamar operasi. 1 dari 2 pasien tersebut sulit diventilasi manual, dan keduanya sulit diintubasi. Laporan kasus yang lain terjadi pada pasien usia 57 tahun, dimana terjadi obstruksi jalan napas 12 jam setelah operasi tiroidektomi. Jika hematom yang terbentuk cukup besar, maka evakuasi yang dilakukan tidak mengurangi obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas yang persisten seringkali disebabkan oleh udem faringolaringeal.
    • Insidensi terjadinya hematom servikal setelah operasi endarterektomi karotis adalan 1,9%, prosentase untuk timbulnya obstruksi jalan napas tidak diketahui. Jika pasien dikembalikan ke kamar operasi untuk dilakukan eksplorasi, hilangnya stridor atau gangguan respirasi bukan merupakan tanda bahwa problem jalan napas telah bebas. Hematom sebagaimana udem faringolaringeal membuat sulit atau tidak dapat dilakukan ventilasi manual dengan sungkup muka dan/atau visualisasi pita suara untuk intubasi trakea. Evakuasi hematom juga tidak dapat memperbaiki gangguan jalan napas yang terjadi, sehingga pasien-pasien tersebut perlu sangat hati-hati untuk dilakukan ekstubasi, dan perlu dipastikan bahwa tidak terjadi udem faringolaringeal.
  • Udema lidah
    • Operasi daerah mulut dapat menyebabkan udem lidah dan gangguan fungsi jalan napas pasca bedah yang berbahaya, terutama setelah operasi palatoplasti atau faringeal flap. Penempatan mouth gag yang lama, misalnya pada palatoplasti dapat menyebabkan udem lidah sebagaimana yang dilaporkan oleh Scheffer. Pengurangan tekanan periodik terhadap mouth gag dapat membantu mengurangi terjadinya udem lidah. Posisi kepala selama bedah saraf juga berkontribusi untuk terjadinya udem lidah. Pasien-pasien yang menjalani kraniotomi dalam posisi duduk, seringkali posisi kepala dalam fleksi ekstrim yang menyebabkan sumbatan drainase vena lidah sehingga terjadi udem lidah, macroglossia, dan obstruksi jalan napas. Selama kepala dalam posisi fleksi, tekanan terhadap lidah bertambah berat, sehingga terjadi gangguan sirkulasi lidah.
    • Pada reaksi alergi terhadap larutan glutaraldehid, cairan yang digunakan untuk mensterilisasi bilah laringoskop adalah kasus unik dari udem lidah. Udem dapat menjadi begitu berat sehingga memerlukan reintubasi selama perbaikan. Reaksi alergi umum yang berat dapat melibatkan sebagian atau seluruh struktur jalan napas dan dapat pula menyebabkan udem dan gangguan jalan napas yang berbahaya.
  • Paralisis pita suara
    • Paralisis pita suara unilateral merupakan penyebab serak persisten pasca ekstubasi. Paralisis pita suara bilateral dapat menyebabkan obstruksi jalan napas atas. Paralisis pita suara biasanya disebabkan oleh trauma pada saraf laringeal rekuren, sehingga tidak ada yang mengimbangi aktivitas saraf laringeal superior yang menyebabkan aduksi pita suara. Hal-hal yang menyebabkan trauma saraf tersebut dapat terjadi pada pembedahan daerah leher (terutama tiroidektomi), bedah toraks, insersi pada juguler interna, dan intubasi pipa endotrakea. 
    • Pipa endotrakea dilaporkan sering menyebabkan paralisis pita suara melalui suatu mekanisme kompresi cuff pipa endotrakea pada saraf laringeal rekuren terhadap kartilago tiroid. Posisi cuff pipa endotrakea tepat di bawah atau berdekatan dengan pita suara boleh jadi meningkatkan insiden masalah ini. Inflasi cuff yang berlebihan dan/atau tekanan cuff yang tinggi akibat dari difusi N2O dapat pula berkontribusi terhadap kerusakan pita suara, terutama jika posisi cuff tepat di bawah pita suara.
  • Disfungsi pita suara
    • Disfungsi pita suara (Vocal Cord Dysfunction / VCD) adalah kasus obstruksi jalan napas yang tidak biasa. VCD pertama kali dilaporkan oleh Osler tahun 1902. VCD disebut juga dengan berbagai nama seperti paroxysmal vocal cord motion, factitious asthma, emotional laryngeal wheezing, dan Munchausen’s stridor. Seluruh penyebutan di atas mempunyai penampakan klinis yang sama. Dari beberapa laporan kasus, tampaknya lebih banyak terjadi pada wanita muda dengan riwayat baru saja menderita infeksi saluran napas atas dan stres emosional. VCD tampak sebagai stridor laringeal atau mengi jalan napas atas seperti asma, tetapi mengi yang terjadi tidak responsif terhadap terapi bronkodilator. Pasien mengeluh kesulitan inspirasi oleh karena aduksi pita suara paradoksikal selama inspirasi. Obstruksi dapat menjadi berat sehingga memerlukan tindakan bedah atau alat bantu jalan napas permanen. Dengan Flow Volume Loops tampak obstruksi ekstratoraks yang berubah-ubah dengan penurunan yang nyata aliran inspirasi dibanding dengan aliran ekspirasi. Diagnosa pasti didapatkan dengan visualisasi pita suara selama episoda asimtomatik.
    • Untuk keberhasilan ekstubasi pada pasien-pasien ini disarankan untuk menghindari ekstubasi sadar, atau jika mungkin diberikan sedasi yang adekuat selama ekstubasi. Sedasi dapat meringankan obstruksi dinamik inspiratori dengan mengurangi usaha dan aliran inspirasi.
    • Terapi VCD meliputi nasehat yang menenteramkan, meminta pasien untuk memfokuskan hanya pada fase ekspirasi selama bernapas, dan sedasi jika diagnosa VCD sudah menyebabkan distres respirasi yang nyata.
  • Inkompetensi laringeal
    • Banyak laporan yang menemukan kejadian inkompetensi laringeal setelah ekstubasi dengan atau tanpa efek sisa obat anestesi. Aspirasi isi gaster atau benda asing pada saat ekstubasi trakea dapat terjadi pada pasien dengan refleks protektif laring yang mengalami penumpulan oleh efek sisa obat-obat lokal atau anestesi umum. Burgess dkk mengatakan bahwa fungsi laring dapat terganggu paling tidak 4 jam setelah ekstubasi trakea pada pasien sadar pasca bedah. 
    • Mekanisme terjadinya inkompetensi laring setelah ekstubasi trakea disebabkan ketidak mampuan laring untuk merasakan adanya benda asing. Pencegahan terbaik untuk mencegah terjadinya aspirasi ke paru adalah dengan melihat langsung penyedotan pada faring, diikuti dengan ekstubasi pada posisi lateral kepala bawah.
    • Tomlin dkk mengevaluasi 56 pasien yang menjalani operasi daerah permukaan sederhana dengan anestesi seimbang ”dangkal”; 12 pasien mengalami atelektasis pasca bedah, 6 pasien mengalami aspirasi ketika diminta menelan 10 mL kontras, 2 atau beberapa jam pasca bedah. Gardner melaporkan kejadian aspirasi pada 10 dari 94 pasien 2 – 4 hari setelah ekstubasi, dan Siedlecki dkk mendapatkan 27% pasien responsif, teraspirasi bahan radioopak segera setelah ekstubasi. Pasien-pasien bedah jantung beresiko tinggi (33%) untuk terjadinya aspirasi jika diekstubasi awal (kurang dari 8 jam) pasca bedah, walaupun pasien sudah sadar. Resiko ini nyata menurun hingga 5% jika ekstubasi dilakukan lebih lambat. 
    • Efek sisa obat-obat anestesi juga berkontribusi meningkatkan insidensi aspirasi pada awal masa pasca bedah. Dapat disimpulkan bahwa kejadian inkompetensi laringeal adalah sering dan beresiko untuk terjadinya aspirasi pasca ekstubasi, tidak dapat dikurangi dengan munculnya kesadaran pasien.
  • Kolaps trakea
    • Trakeomalasia mungkin berdiri sendiri atau disebabkan oleh sebab lain (biasanya oleh kelainan tiroid), tetapi timbulnya obstruksi jalan napas hanya setelah ekstubasi trakea. Blanc dan Tremblay menjelaskan satu kasus trakeomalasia pada anak laki-laki umur 14 tahun yang disebabkan oleh penyakit Pott’s dari vertebra servikalis. Gejala obstruksi respirasi terjadi setelah retraksi pipa endotrakea 4 – 5 cm dari karina dan koreksi dilakukan hanya dengan menginsersi kembali pipa endotrakea 1 – 2 cm dari karina. Disarankan ekstubasi trakea dilakukan secara perlahan-lahan, jika terjadi gejala obstruksi respirasi, maka pipa endotrakea diposisikan kembali sampai koreksi bedah terhadap kelainan tersebut dilakukan.
    • Trakeomalasi dapat pula terjadi oleh karena kompresi yang lama oleh perkembangan tiroid goiter, terutama pada perbatasan dengan lekukan toraks. Cincin kartilago yang menyokong trakea dapat menjadi lemah atau rusak, mengganggu keutuhan struktur jalan napas atas setelah kompresi ekstrinsik dihilangkan. Kolaps trakea biasanya terjadi setelah ekstubasi dan sangat membutuhkan tindakan reintubasi segera. Geelhoed menyarankan pilihan selanjutnya yang mencakup reseksi bedah terhadap segmen trakea yang rusak, bantuan internal atau eksternal terhadap trakea, atau mengalihkan fungsi jalan napas di bawah trakea yang rusak dengan trakeostomi.
  • Trauma
    • Trauma pada mukosa trakea akan menimbulkan keluhan nyeri tenggorok pasca bedah. Keluhan ini sangat bervariasi mulai dari yang ringan seperti rasa gatal, serak, nyeri ringan sampai keluhan yang serius seperti rasa tergores, bahkan ruptur trakea, obliterasi/stenosis, atau fistula trakeo-esofageal. Insiden sore throat (nyeri tenggorok) pasca intubasi pipa endotrakea berkisar antara 24 – 90%.
    • Trauma pada beberapa struktur jalan napas atas dan bawah mungkin terjadi pada ekstubasi trakea walau jarang dilaporkan. Trauma pada laring dan pita suara terutama setelah ekstubasi yang sulit seharusnya dilihat secara langsung dengan laringoskopi untuk melihat adanya kerusakan pada laring yang terjadi segera setelah ekstubasi, apalagi jika ekstubasi dilakukan dengan paksa dan berulang-ulang. Perlu dipertimbangkan pula kerusakan pada struktur jalan napas atas yang mudah bergerak oleh karena penyedotan yang eksesif saat ekstubasi.
    • Sekuel dari trauma laring menjadi nyata segera setelah ekstubasi, walaupun trauma tersebut terjadi pada awal proses intubasi. Dislokasi kartilago aritenoid dapat terjadi setelah intubasi yang sulit, tetapi dapat pula bukan merupakan komplikasi intubasi trakea. Gejala yang dikeluhkan biasanya berupa nyeri telan dan perubahan suara, tetapi keadaan ini dapat pula muncul sebagai gagal napas akut akibat obstruksi jalan napas atas segera setelah ekstubasi. Dislokasi aritenoid mungkin merupakan penyebab dari beberapa sebab yang sebelumnya diperkirakan sebagai “udema glotis” yang terjadi setelah ekstubasi trakea. Tatalaksananya adalah segera lakukan reintubasi dan selanjutnya mereduksi aritenoid seawal mungkin dengan tekanan yang lembut menggunakan spatula laringeal atau memperpanjang intubasi trakea, atau dilakukan trakeotomi untuk mencegah bergeraknya aritenoid dan memungkinkan penyembuhan dislokasi.
  • Refleks menelan
    • Menelan adalah refleks proteksi jalan napas yang lain, dan dapat terganggu oleh berbagai faktor setelah tindakan bedah dan anestesi. Laporan terbaru menyebutkan bahwa anestesi topikal, trakeostomi, intubasi trakea, cedera saraf atau struktur jalan napas, sedasi intravena sadar, inhalasi 50% N2O, dan tidur dalam dapat mendepresi refleks menelan dan menyebabkan terjadinya aspirasi paru. Pavin dkk dan Isono dkk melaporkan bahwa paralisis parsial akibat blokade pelumpuh otot dapat pula mendepresi refleks menelan.
  • Udem paru oleh karena obstruksi jalan napas atas
    • Munculnya udem paru sesaat setelah terjadinya obstruksi jalan napas atas akut pasca ekstubasi dapat terjadi pada pasien anak-anak atau dewasa. Biasanya terjadi dalam beberapa menit saat obstruksi jalan napas atas akut terjadi atau setelah obstruksi berkurang. Perbaikan biasanya terjadi secara spontan dalam beberapa jam. Tatalaksana terpenting adalah mempertahankan patensi jalan napas dengan intubasi trakea, oksigenasi, dan jika perlu memberikan ventilasi tekanan positif sampai kondisi membaik. Biasanya tidak diperlukan intervensi dengan obat-obatan. Patogenesis dari udem paru ini multifaktorial, tetapi mekanisme yang paling dominan oleh karena tekanan intratoraks yang sangat negatif yang timbul saat obstruksi jalan napas atas akut.

Kontrol pernapasan

Fungsi jalan napas mempunyai hubungan dengan kontrol saraf pusat terhadap pernapasan; dan seperti juga ventilasi spontan, ia didepresi oleh tindakan anestesia. Obat-obat inhalasi, opioid, hipnotik-sedatif dan pelumpuh otot adalah zat-zat anestetik yang sering mendepresi respon ventilasi terhadap karbondioksida dan/atau hipoksia. Efek sisa dari obat-obat tersebut sering muncul pada saat ekstubasi trakea.

Obat-obat inhalasi dapat merubah regulasi tekanan parsial CO2; sebagaimana telah terbukti bahwa terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi alveolar berbagai zat anestetik poten dan peningkatan tekanan CO2 sisa, dan penurunan respon ventilasi terhadap CO2. Konsentrasi obat-obat inhalasi poten yang rendah (kurang dari 0,5 minimum alveolar anesthetic concentration / MAC) tidak akan menumpulkan respon ventilasi terhadap CO2 selama ekstubasi dan pemulihan dari bedah. Walaupun demikian, konsentrasi obat-obat inhalasi poten yang rendah tersebut dapat menumpulkan respon hipoksik ventilasi dan hal itu amat beresiko. Halotan, enfluran dan isofluran, 1 MAC pada anjing menyebabkan depresi nyata terhadap hypoxic ventilatory drive. Enfluran dilaporkan paling besar mendepresi hypoxic ventilatory drive, dan isofluran yang terkecil. Knill dkk melakukan beberapa penelitian tentang hypoxic ventilatory drive pada manusia, dan memperlihatkan bahwa konsentrasi rendah (0,1 MAC) halotan dan enfluran sangat menurunkan respon ventilasi terhadap hipoksia isokapnik. Laporan terbaru menyatakan bahwa hypoxic ventilatory drive tidak didepresi oleh konsentrasi rendah isofluran. Kontrol ventilasi menurun pada hipoksia, tetapi tidak pada hiperkapnia, dan dapat pula disebabkan oleh N2O.

Seluruh agonis reseptor µ opioid seperti morfin, fentanil, sufentanil, dan alfentanil menyebabkan dose-dependent depression terhadap ventilasi, terutama melalui aksi langsung pada pusat napas di medula. Responsivitas pusat napas terhadap CO2 menurun nyata oleh opioid. Kemiringan respon ventilasi terhadap CO2 juga menurun, dan respon ventilasi semenit ditingkatkan pada PaCO2 yang bergeser ke kanan. Nilai ambang apneu dan PCO2 arterial juga ditingkatkan oleh opioid. Sehingga mekanisme utama tubuh untuk mengatur ventilasi semenit, proteksi terhadap peningkatan CO2 yang nyata dan asidosis respiratorik secara meyakinkan dirusak oleh opioid. Opioid juga menurunkan kontrol ventilasi hipoksik dan menumpulkan peningkatan kontrol respirasi terhadap peningkatan beban napas seperti peningkatan resistensi jalan napas.

Depresi pernapasan lambat atau rekuren dapat terjadi pada pasien-pasien saat pemulihan dari anestesi umum, dimana pasien sebelumnya mendapat fentanil, morfin, meperidin, alfentanil dan sufentanil. Penjelasan dari fenomena ini meliputi blokade terhadap berbagai rangsang atau nyeri, pemberian tambahan analgetik atau medikasi yang lain, renarcotization setelah pemberian nalokson, aktivitas motorik yang menyebabkan pelepasan opioid dari tempat penyimpanannya di otot skelet, hipotermia, hipovolemia dan hipotensi. Para peneliti mencatat terdapat puncak kedua pada level plasma fentanil selama fase eliminasi obat tersebut dan menyebabkan penurunan yang sejajar dari sensitivitas CO2 dan pernapasan.

Benzodiazepin tampaknya juga menurunkan respon cepat ventilasi terhadap hiperkarbia dan hipoksia, tetapi tidak sebesar agonis opioid. Efek antagonis dari sisa-sisa benzodiazepin terhadap flumazenil dapat terjadi dan menyebabkan resedasi oleh karena pendeknya durasi obat tersebut. Vekuronium dan d-tubokurarin dapat pula menurunkan hypoxic ventilatory drive, diperkirakan melalui blokade reseptor nikotinik kolinergik di badan karotid. Asetilkolin adalah salah satu neurotransmiter di badan karotid yang memfasilitasi hypoxic ventilatory drive.

Depresi ventilasi berulang dapat terjadi setelah ekstubasi tanpa sebab yang nyata. Ekstubasi trakea, transpor dan rangsangan perawat untuk menilai keadaan pasien di ruang pemulihan adalah stimulasi yang cukup adekuat. Dengan berlalunya waktu tersebut, seluruh rangsang menjadi subminimal, dan memungkinkan untuk terjadinya renarcotization yang nyata, menyebabkan ketidakadekuatan dan/atau obstruksi ventilasi. Tidur yang terlalu dalam, terutama jika bersamaan dengan pemberian analgetik opioid akan menyebabkan depresi nyata pada kontrol ventilasi.

Fungsi paru

Paru-paru adalah organ yang paling sering mengalami perubahan fisiologis dan (suatu saat) patofisiologis selama anestesi umum, dan dapat bertahan lama setelah ekstubasi trakea. Perubahan-perubahan tersebut meliputi penurunan volume paru, abnormalitas pertukaran gas, kerja napas yang lebih berat, dan depresi fungsi mukosiliari. Perubahan tersebut sebenarnya jarang terjadi, tetapi dapat merusak, dan pada suatu saat mungkin dapat menyebabkan morbiditas yang nyata. Oleh karena itu, pengaruh tindakan anestesi dan pembedahan terhadap fungsi paru dapat begitu nyata setelah ekstubasi trakea.
  • Volume paru
    • Perubahan volume paru setelah ekstubasi adalah peningkatan ruang rugi yang terjadi karena substitusi volume jalan napas atas oleh volume pipa endotrakea. Perubahan pada kapasitas residual fungsional (FRC) yang nyata juga terjadi pada masa perioperatif. FRC biasanya menurun kira-kira 18% dari kapasitas total paru atau kira-kira 500 – 1000 mL saat induksi anestesi. Penurunan FRC pasca bedah berhubungan dengan pembedahan abdomen atau toraks. Yang belum jelas adalah penurunan FRC segera setelah ekstubasi trakea. Ali dkk dan Colgan dan Whang mengatakan bahwa penurunan FRC tidak terjadi segera setelah ekstubasi, tetapi beberapa jam kemudian. Strandberg dkk menyatakan bahwa penurunan FRC sebesar 90% 1 jam setelah pembedahan.
    • Penurunan FRC terlihat setelah induksi anestesi dan setelah ekstubasi yang disebabkan oleh suatu mekanisme yang berbeda. Penurunan FRC yang terlihat segera setelah induksi seperti yang digambarkan oleh Brismar dkk. Dengan menggunakan komputer tomografi tampak daerah yang mengalami kompresi atelektasis. Mekanisme penurunan FRC ini berhubungan dengan pergeseran diafragma ke arah sefalad, instabilitas ruang iga, dan peningkatan volume darah intratoraks. Yang menarik, blokade neuromuskuler (NMB) setelah induksi anestesi umum tidak menyebabkan penurunan FRC lebih lanjut. Mekanisme yang melatarbelakangi penurunan FRC pasca bedah biasanya berhubungan dengan disfungsi diafragma. Simonneau dkk melaporkan bahwa disfungsi diafragma setelah bedah abdomen dapat terjadi lebih dari 1 minggu, dan menyebabkan lebih besarnya peranan pergerakan ruang dada untuk bernapas. Disfungsi diafragma dapat pula terjadi karena iritasi bedah, kontrol nyeri yang tidak adekuat, dan/atau distensi abdomen. Disfungsi diafragma merupakan penyebab lain penurunan FRC pasca bedah, dimana pasien lebih berat saat bernapas. Pengurangan nyeri dapat memperbaiki sebagian FRC, kapasitas vital dan memperbaiki oksigenasi.
    • Walaupun dalam klinis penurunan FRC seringkali bukan merupakan masalah, tetapi penurunan FRC yang cukup besar merupakan penyebab terjadinya atelektasis dan abnormalitas ventilasi-perfusi yang mengganggu pertukaran gas dan menurunkan cadangan oksigen. Perubahan volume paru yang jika terjadi pada saat ekstubasi dapat mengganggu kemampuan pasien untuk mentoleransi kesulitan jalan napas guna mencegah hipoksemia.
  • Hipoksemia
    • Insiden hipoksemia yang didefinisikan sebagai saturasi oksihemoglobin kurang dari 90% pasca ekstubasi dan pemulihan dari anestesi umum adalah cukup besar. 24% pada anak-anak dan 32% pada dewasa mengalami hipoksemia ketika tiba di PACU (Post Anesthesia Care Unit) jika tanpa diberikan suplemen oksigen selama transpor. 
    • Marshall dan Wyche dalam laporannya menyatakan bahwa hipoksemia selama dan setelah anestesia dikategorikan sebagai hipoksia pasca bedah awal dan lambat. Selain ketidakadekuatan ventilasi semenit atau obstruksi jalan napas, penyebab lain dari hipoksemia awal mencakup mismatch ventilasi/perfusi, peningkatan gradien alveolar-arterial, hipoksia difusi, munculnya hipoventilasi pasca hiperventilasi, menggigil, hambatan dari mekanisme vasokonstriksi hipoksik pulmonal, dan penurunan curah jantung. Penyebab lambat meliputi peningkatan mismatch ventilasi/perfusi, penyakit paru sebelumnya, usia lanjut, jenis kelamin (laki-laki menunjukkan lebih sering menderita hipoksemia daripada perempuan), dan obesitas. Walaupun pemberian opioid intraoperatif disebutkan dapat meningkatkan hipoksemia pasca bedah, banyak pula penelitian yang tidak menunjukkan bahwa penggunaan opioid dalam anestesi berhubungan dengan peningkatan insiden hipoksemia pasca bedah.
    • Hipoksia difusi adalah penyebab lain hipoksemia pasca anestesi, dan pertama kali dilaporkan oleh Fink; disebabkan oleh difusi keluar N2O dan mendilusi oksigen alveolar. Dengan pemberian suplemen oksigen kontinyu selama pemulihan dari anestesia, insiden hipoksia difusi dalam klinik jarang terjadi, tetapi masalah ini jangan diabaikan.
    • Disfungsi mukosiliari yang berhubungan dengan tindakan anestesi dan pembedahan dapat ikut berperan untuk terjadinya hipoksemia pasca bedah. Sel silia epitel bronkus normal berfungsi membersihkan mukus dari saluran pernapasan. Pasien dengan atelektasis memperlihatkan bersihan mukosiliari yang melambat. Anestesia, intubasi trakea dan pembedahan menyebabkan disfungsi mukosiliari dan menyebabkan aliran mukus abnormal atau mengalami retrograd. Pengumpulan mukus pada daerah yang dependen dapat mengganggu pertukaran gas.
  • Usaha napas
    • Ekstubasi trakea pada pasien yang bernapas spontan dapat menurunkan usaha napas (Work Of Breathing / WOB) akibat penurunan resistensi jalan napas dan ventilasi semenit. Adanya pipa endotrakea pada pasien yang bernapas spontan, akan meningkatkan laju napas dan volume tidal. Ia dapat menstimuli pernapasan dan melawan efek depresi pernapasan anestesia selama ia masih dipertahankan pada jalan napas. Beberapa penelitian memperlihatkan terjadinya peningkatan sesaat pada ventilasi semenit setelah ekstubasi yang dihasilkan dari peningkatan laju napas, volume tidal dan aliran udara inspirasi, dimana seluruh keadaan tersebut akan kembali ke nilai sebelum ekstubasi dalam waktu 30 menit. Tampaknya, ventilasi semenit spontan yang adekuat sebelum ekstubasi tidak dapat dipertahankan terus setelah ekstubasi trakea.

Batuk dan Bucking

Batuk seringkali muncul selama ekstubasi trakea. Bucking adalah batuk yang lebih kuat dan seringkali terus-menerus, terjadi pada volume paru yang berbeda-beda, biasanya lebih kecil dari kapasitas vital paru. Batuk dan bucking bukan saja tidak menyenangkan, tetapi dapat pula berbahaya, karena dapat menyebabkan peningkatan mendadak tekanan intrakavitas. Amat beresiko untuk pasien dengan trauma mata terbuka atau peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intratoraks dapat menyebabkan penurunan venous return ke atrium kanan. Terlepasnya luka pada abdomen, walaupun jarang berhubungan dengan tindakan anestesi, dapat terjadi jika dihubungkan dengan peningkatan tekanan intraabdomen oleh karena bucking.

Bucking juga menyebabkan penurunan FRC. Bucking yang terjadi utamanya pada pasien anak-anak, dapat segera menimbulkan hipoksemia, tidak hanya terjadi penurunan pada ventilasi semenit tetapi juga akibat hilangnya volume paru dan atelektasis. Hipoksemia yang relatif menetap setelah bucking itu sendiri, lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pengembangan paru-paru kembali dibanding dengan memperbaiki kolaps yang terjadi. Adalah penting untuk mencegah terjadinya bucking selama ekstubasi, dan diperlukan suatu “seni” dan ketrampilan klinik untuk dapat melakukan “smooth extubation”.

PENGARUH EKSTUBASI TERHADAP KARDIOVASKULER

Beberapa peneliti mencatat bahwa ekstubasi trakea menyebabkan paling tidak 10 – 30% peningkatan sesaat tekanan darah dan laju jantung dalam waktu 5 – 15 menit. Walaupun stimulasi kardiovaskuler biasanya tidak membahayakan, namun untuk pasien-pasien tertentu dapat menyebabkan sekuele yang tidak diinginkan. Coriat dkk memperlihatkan pasien-pasien dengan penyakit arteri koronaria, akan mengalami penurunan yang nyata pada fraksi ejeksi (dari 55% ± 7% menjadi 45% ± 7%) setelah ekstubasi. Perubahan pada fraksi ejeksi ini tidak menampakan gambaran iskemik miokard pada elektrokardiografi.

Wellwood dkk melaporkan bahwa pasien-pasien dengan indeks jantung kurang dari 3,0 L/menit/m2 memperlihatkan respon iskemik terhadap stres ekstubasi trakea pasca bedah setelah tindakan revaskularisasi miokard. Pasien-pasien tersebut mengalami penurunan ekstraksi laktat miokardial, kemampuan ventrikel kiri dan penampilan jantung. Namun peneliti lain gagal untuk membuktikan gambaran elektrokardiografi atau enzimatik dari iskemik miokard yang berhubungan dengan tindakan ekstubasi trakea setelah bedah arteri koronaria. Ekstubasi trakea setelah seksio sesaria pada wanita hamil yang menderita hipertensi dapat menyebabkan peningkatan yang nyata tekanan arteri rata-rata sekitar 45 mmHg, dan tekanan arteri pulmonal sekitar 20 mmHg. Sehingga ekstubasi trakea yang menyebabkan perubahan hemodinamik dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan serebral dan udem pulmonal pada wanita melahirkan tersebut.

Seperti telah diterangkan di atas, batuk dapat terjadi selama ekstubasi trakea. Batuk dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratoraks dan dapat mengganggu venous return ke jantung. Pengaruh batuk terhadap laju jantung, sistolik, diastolik, tekanan arteri, dan kecepatan aliran darah koroner diteliti oleh Kern dkk. 40 pasien yang menjalani arteriografi koroner diagnostik rutin diteliti. Batuk yang terjadi secara nyata meningkatkan tekanan sistolik (dari 137 ± 25 menjadi 176 ± 30 mmHg), tekanan diastolik (dari 72 ± 10 menjadi 84 ± 18 mmHg), dan tekanan pulsasi arterial (dari 65 ± 27 menjadi 92 ± 35 mmHg), tanpa terjadi perubahan pada laju jantung. Kecepatan aliran darah koroner rata-rata menurun (dari 17 ± 10 menjadi 14 ± 12 cm/detik).

Dapat disimpulkan di sini bahwa rangsang hemodinamik yang nyata dari berbagai tingkatan dapat terjadi setidaknya selintas karena ekstubasi trakea. Walaupun perubahan tersebut biasanya tidak membahayakan, namun untuk pasien-pasien yang beresiko, kadang-kadang timbul efek yang merugikan, sehingga gangguan hemodinamik yang berbahaya setelah ekstubasi jangan diabaikan, walaupun jarang terjadi.

PENGARUH EKSTUBASI TERHADAP FUNGSI NEUROLOGIS

Tak dapat dipungkiri bahwa tindakan laringoskopi dan intubasi akan meningkatkan tekanan intrakranial (TIK); peningkatan paling besar terjadi pada pasien dengan penurunan komplaien intrakranial. Walaupun pengaruh ekstubasi trakea terhadap TIK belum pernah diteliti, tetapi kemungkinan ekstubasi dapat menyebabkan (walau selintas) peningkatan TIK.

Donegan dan Bedford melaporkan peningkatan TIK sebesar 12 ± 5 mmHg pada pasien koma yang dilakukan penyedotan trakea. White dkk juga mendapatkan peningkatan TIK dari 15 ± 1 menjadi 22 ± 3 mmHg setelah penyedotan endotrakea pada pasien koma di ICU. Peningkatan TIK setidaknya berlangsung sampai dengan 3 menit setelah penyedotan. Kedua peneliti berpendapat bahwa batuk yang terjadi selama penyedotan endotrakea sebagai penyebab peningkatan TIK oleh karena peningkatan tekanan intratoraks, tekanan vena serebral dan volume darah serebral. Sehingga ekstubasi trakea, terutama yang berhubungan dengan penyedotan dan/atau batuk/bucking memungkinkan peningkatan TIK.

Peningkatan tekanan darah arterial yang sering disebabkan oleh ekstubasi trakea dapat berperan atau berhubungan dengan perdarahan intrakranial atau peningkatan TIK. Kemungkinan perubahan hemodinamik selama dan setelah ekstubasi dapat berpengaruh negatif untuk pasien dengan kelainan intrakranial.

Problem jalan napas dan kesulitan penatalaksanaannya pada pasien dengan cedera vertebra servikalis pernah dilaporkan. Walaupun belum pernah diteliti, kerusakan neurologis yang nyata selama ekstubasi dapat terjadi pada pasien setelah prosedur stabilisasi vertebra servikal. Cedera preoperatif sebagaimana tindakan bedah vertebra servikal, dapat menyebabkan terbentuknya udem dan/atau perdarahan dan disfungsi jalan napas pasca bedah. Cedera vertebra servikal atau udem dapat pula merusak neural drive, saraf frenikus dan fungsi diafragma.

Dapat disimpulkan, walaupun konsekuensi neurologis oleh karena ekstubasi trakea belum pernah diamati, namun batuk, bucking, dan hipertensi arterial selama ekstubasi trakea dapat menjadi berbahaya, terutama pada pasien dengan kelainan intrakranial sebelumnya. Mempertahankan kontrol ventilasi dan fungsi jalan napas yang adekuat setelah ekstubasi, mungkin lebih sulit pada pasien yang menjalani bedah intrakranial atau vertebra servikal.

PENGARUH EKSTUBASI TERHADAP HORMONAL

Pengetahuan kita tentang pengaruh negatif respon stres yang diakibatkan oleh induksi anestesi, intubasi trakea dan pembedahan telah banyak diteliti. Disisi lain, respon endokrin terhadap ekstubasi trakea masih sangat sedikit diteliti. Lowrie dkk mempelajari pengaruh ekstubasi trakea terhadap perubahan konsentrasi plasma epinefrin dan norepinefrin pada 12 pasien yang menjalani pembedahan elektif besar. Level epinefrin meningkat nyata dari 0,9 menjadi 1,4 µmol/mL hanya 5 menit setelah ekstubasi. Level norepinefrin tetap tak berubah.

Adams dkk meneliti 40 pasien yang menjalani herniorafi atau kolesistektomi dengan anestesi isofluran atau halotan yang diekstubasi pada 0,5 MAC atau sadar. Didapatkan peningkatan nyata level plasma epinefrin tetapi selintas (untuk beberapa menit) pada seluruh pasien, tetapi pada tingkat yang lebih besar dengan isofluran dibanding halotan, termasuk pula pada ekstubasi sadar. Level norepinefrin juga meningkat pada seluruh pasien, kecuali pada ekstubasi sadar setelah anestesi dengan halotan. Walaupun level hormon antidiuretik meningkat pada seluruh pasien, tidak pada hormon adrenokortikotropik dan kortisol.

KRITERIA EKSTUBASI

Untuk memprediksi fungsi respirasi yang adekuat setelah ekstubasi tergantung dari banyak faktor. Tindakan anestesi dan penggunaan terapi farmakologis spesifik untuk intubasi trakea dan ventilasi mekanik seharusnya sudah dilakukan revers. Beberapa kelainan yang melatarbelakangi perlunya penggunaan ventilasi mekanik seperti untuk keperluan terapi (misalnya pneumonia) atau oleh karena iatrogenik (misalnya torakotomi) perlu pula dipertimbangkan; sehingga ventilasi spontan dapat dipakai sebagai tanda bahwa fungsi kardiopulmonal adekuat.

Kepentingan klinik penggunaan ventilasi mekanik dalam pembedahan seringkali berbeda dengan pasien di ICU, dan terutama oleh karena iatrogenik seperti untuk keperluan anestesi, pembedahan, sisa obat anestesi, dan blokade neuromuskuler. Faktor-faktor tersebut biasanya dapat cepat di revers. Pasien-pasien di ICU seringkali memerlukan ventilasi mekanik karena penyakit kardiopulmonal dan proses penyakit yang berhubungan dengan pertukaran gas. Pembahasan tentang proses penyapihan pasien ICU dari bantuan ventilasi mekanik tidak dibahas di sini, namun beberapa kriteria yang biasa digunakan untuk memprediksi keberhasilan ekstubasi trakea dapat digunakan.

Memperkirakan pasien-pasien yang dapat mentolerir ekstubasi trakea pasca anestesi umum membutuhkan pengetahuan tentang status kardiopulmonal pasien saat itu, termasuk juga adanya sisa obat anestesi dan pelumpuh otot. Fokus perhatian fungsi kardiopulmonal terutama pada fungsi ventilasi, hemodinamik, neuromuskuler dan hematologik. Perhatian pada sistem respirasi meliputi pola napas, kontrol ventilasi, fungsi jalan napas, kekuatan otot-otot pernapasan, dan pertukaran gas. Perhatian pada sistem kardiovaskuler mencakup stabilitas hemodinamik yang dapat menjamin keadekuatan sirkulasi dan transpor gas respirasi ke paru dan sistemik. Pengaruh sisa obat pelumpuh otot dan keadekuatan reversnya juga penting diperhatikan. Harus dicapai level hemoglobin yang cukup agar transpor oksigen dan hemostasis adekuat.

Tabel 2. Criteria for extubation


  1. Patient alert, responsive to verbal stimuli, able to protect airway.
  2. Resolution of the effects of narcotics and neuromuscular blockers.
  3. Normal gas exchange : pH lebih dari 7.35, PaCO2 kurang dari 45 mmHg, PaO2 lebih dari 60 mmHg @ FiO2 kurang dari 0.4.    Respiratory rate of  kurang dari 28/min.
  4. Forced vital capacity lebih dari 15 mL/kg. Maximum inspiratory force lebih dari -25 cm H2O.
  5. A – a DO2 kurang dari 250 and Qs/Qt lebih dari 0.20.
  6. Hemodynamically stable.
    • Normothermic.
    • Low dose or no ionotrope.
    • Absence of dysrithmias.
    • Absence of bleeding.

Fagan dkk menyarankan tindakan ekstubasi trakea dilakukan jika 
  1. Pasien bernapas spontan adekuat,
  2. Pasien mampu mengikuti perintah verbal (membuka mata atau tangan menggenggam) atau berkecenderungan untuk mencabut sendiri pipa endotrakea.
Jika seluruh kriteria untuk memprediksi keberhasilan ekstubasi trakea di atas telah dipahami oleh klinisi, maka ekstubasi dapat dilaksanakan dengan lancar. Beberapa kriteria obyektif yang sering digunakan untuk memutuskan perlunya ekstubasi akan dibahas sebagai berikut :

Pola napas
  • Pola napas spontan memberi informasi tentang efisiensi respirasi dan memungkinkan untuk keberhasilan ekstubasi. Terdapat 2 jenis pola napas yang beresiko tinggi jika dilakukan ekstubasi, yaitu pola napas cepat dan dangkal atau pola napas paradoksikal (terjadi pergerakan asinkron antara rongga dada dan abdomen).
  • Pola napas cepat dan dangkal sering disebabkan oleh disfungsi mekanik dan menyebabkan pertukaran gas tidak efisien. Yang dan Tobin mempelajari pasien-pasien yang dirawat di ICU, dan mendapatkan bahwa frekuensi napas permenit dibagi volume tidal dalam liter (f/Vt) merupakan prediktor yang dapat diandalkan untuk keberhasilan ekstubasi. Pasien dengan nilai f/Vt kurang dari 100 dapat berhasil diekstubasi. Dalam penelitian ini, rasio f/Vt terbukti lebih baik daripada ventilasi semenit, volume tidal, laju napas, tekanan inspirasi maksimal dan statis/dinamis compliance dalam memprediksi keberhasilan penyapihan dan ekstubasi.
  • Pola napas paradoksikal atau pergerakan ansinkron antara rongga dada dan abdomen, dapat berimplikasi terjadinya gagal napas terutama pada kasus insufisiensi pulmonal. Kelelahan otot-otot pernapasan merupakan dasar dari fenomena ini, dan dalam usahanya untuk menghemat energi, otot-otot interkostal dan diafragma ganti berkontraksi. Pola napas paradoksikal atau “rocking boat “ dapat pula terlihat oleh karena sisa obat-obat pelumpuh otot dan/atau obstruksi jalan napas.
Kekuatan otot
  • Ekstubasi trakea pasca anestesi umum pada suatu saat menjadi kurang berhasil yang disebabkan oleh efek sisa obat pelumpuh otot, menyebabkan obstruksi jalan napas dan/atau ketidakadekuatan ventilasi semenit. Sisa obat pelumpuh otot lebih kecil menyebabkan ketidakadekuatan ventilasi semenit daripada obstruksi jalan napas. Napas yang tidak terkoordinasi, dispnoe, dan/atau kegelisahan sering muncul mendadak pada situasi ini. Beberapa klinisi biasa menggunakan monitor obyektif untuk menilai ketidakadekuatan fungsi neuromuskuler dengan alat stimulasi saraf perifer, tes kekuatan klinis, dan tekanan inspirasi maksimum (maximum inspiratory pressure / MIP).
  • Ali dkk menggunakan ulnar nerve evoked electromyograms, menyatakan bahwa rasio train-of-four (TOF) 0,6 – 0,7 berkorelasi baik dengan keadekuatan pemulihan klinik dan ekstubasi yang aman. Walaupun demikian, rasio TOF tidak selalu dapat memperkirakan keadekuatan ventilasi dan kekuatan otot jalan napas pasca ekstubasi trakea. Penjelasan logis atas fakta tersebut adalah bahwa pengukuran rasio TOF dalam klinik secara visual dan/atau taktil kurang dapat diandalkan. Lebih seringnya subyektifitas daripada obyektifitas dalam menilai rasio TOF merupakan penjelasan mengapa lebih dari 28% pasien di ruang pemulihan mempunyai rasio TOF kurang dari 0,7. Faktor-faktor lain seperti peningkatan PaCO2 dapat pula mengganggu reversal blok neuromuskuler.
  • Teknik double-burst disarankan untuk memperbaiki keakuratan klinik stimulator saraf perifer. Walaupun pengamatan visual dari teknik double-burst 90% akurat untuk memprediksi rasio TOF kurang dari 0,5 , namun hanya sekitar 44% akurat untuk memprediksi rasio TOF kurang dari 0,7. Sehingga baik rasio TOF maupun teknik double-burst bukan merupakan standar stimulator saraf perifer, dan tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosa sisa obat pelumpuh otot. Stimulator saraf perifer jenis sustained tetanic response lebih dapat diandalkan untuk memprediksi keberhasilan ekstubasi trakea.
  • Penilaian klinis terhadap kekuatan otot pernapasan sebelum ekstubasi yang meliputi pengamatan angkat kepala, angkat kaki, kekuatan menggenggam dan/atau MIP dapat menilai ada-tidaknya sumbatan jalan napas. Pengamatan angkat kepala diperkenalkan oleh Varney dkk. Kemampuan pasien mengangkat kepala selama 5 detik merupakan tes yang paling dapat diandalkan untuk menilai bahwa kekuatan otot adekuat, mempunyai rasio TOF 0,7 – 0,8. Dam dan Guldmann mendukung penggunaan angkat kepala sebagai tes yang dapat diandalkan untuk menilai kekuatan otot pernapasan. Pavlin dkk memberikan dosis kecil kurare pada relawan sadar, dan mendapatkan penurunan MIP dari -90 menjadi -20 cmH2O, kemudian dihubungkan antara relaksasi otot yang terjadi dengan obstruksi jalan napas menggunakan tes-tes klinik yang meliputi 5 detik angkat kepala, angkat kaki dan kekuatan menggenggam. Tes 5 detik angkat kepala merupakan indikator yang paling dapat diandalkan untuk menilai fungsi dan kekuatan otot jalan napas yang adekuat.
  • MIP sering digunakan untuk mengukur kekuatan otot pernapasan yang adekuat. Bendixen dkk memperlihatkan bahwa pasien dengan MIP antara -20 sampai -25 cmH2O mampu untuk mempertahankan ventilasi semenit yang adekuat, dan menyatakan bahwa MIP dapat menilai kapasitas ventilasi yang cukup valid. Sahn dan Lakshminarayan memperlihatkan bahwa 100% pasien di ICU dengan MIP -30 cmH2O dapat berhasil diekstubasi. Pavlin dkk menyatakan bahwa walaupun saat relawan diberi sedikit peningkatan dosis kurare agar terjadi penurunan MIP dari -90 menjadi -20 cmH2O, ventilasi semenit tetap dapat dipertahankan, tetapi tidak pada fungsi jalan napas. Pada kenyataannya, obstruksi jalan napas tetap terjadi, kecuali jika dapat dicapai nilai MIP -40 cmH2O. Tes 5 detik angkat kepala dapat dilakukan hanya ketika nilai MIP rata-rata -53 cmH2O. Satu penelitian yang menguji hubungan antara MIP dan rasio TOF, mendapatkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua tes tersebut. Penelitian-penelitian di atas mendukung pengamatan klinik bahwa keadekuatan ventilasi semenit sebelum ekstubasi tidak dapat dipertahankan terus pada saat bantuan jalan napas (misalnya pipa endotrakea) dilepaskan.
  • Sebagai kesimpulan, stimulator saraf perifer adalah alat yang berharga untuk titrasi pelumpuh otot intraoperatif dan untuk menilai tingkat blokade pelumpuh otot. Namun demikian, TOF dapat keliru sebagai prediktor klinis atas keberhasilan ekstubasi. Sama halnya dengan pengukuran MIP intraoperatif untuk membuktikan kembalinya fungsi otot yang adekuat, mempunyai nilai yang berubah-ubah dan sangat jarang digunakan. Kemampuan pasien untuk mengangkat kepala selama 5 detik, merupakan suatu metoda sederhana dan paling dapat diandalkan untuk menentukan kembalinya kekuatan otot yang cukup setelah penggunaan obat pelumpuh otot dan revers nya. Sehingga ketika ingin mengetahui apakan pasien dapat mempertahankan fungsi jalan napas dan ventilasi spontan, maka kemampuan pasien mengangkat kepalanya selama 5 detik sebelum ekstubasi direkomendasikan sebagai prediktor terbaik untuk menilai fungsi-fungsi tersebut.

TEKNIK EKSTUBASI

Penelitian ilmiah tentang ekstubasi trakea masih sangat sedikit. Kurangnya informasi tentang keuntungan dan kerugian dari tiap teknik ekstubasi trakea merupakan satu kendala dalam memilih tiap teknik yang akan digunakan. Perhatian dan kepentingan klinik saat ekstubasi trakea adalah memberi proteksi terhadap paru dari bahaya aspirasi selama fungsi jalan napas belum baik.

Ekstubasi dan “trailing” suction catheters

Mehta (1972) mempelajari berbagai cara penempatan pipa endotrakea dan teknik ekstubasi dalam hubungannya dengan kejadian aspirasi pulmonal pada 90 pasien yang menjalani berbagai prosedur bedah berbeda. Setelah intubasi, cuff pipa endotrakea diinflasi sampai tidak ada kebocoran udara napas. Mehta mengevaluasi efektivitas 6 teknik ekstubasi yang berbeda dalam mencegah aspirasi bahan radiografi yang ditempatkan pada belakang lidah. Hanya ada 2 teknik yang tidak menggambarkan adanya aspirasi pada gambaran radiografi. Satu dari teknik tersebut menempatkan tepi proksimal cuff tepat di belakang pita suara. 

Cara kedua adalah menurunkan meja operasi 100 head down, dilakukan penghisapan di daerah faring dan kemudian menempatkan suction catheter pada pipa endotrakea dan menariknya secara bersamaan sambil menghisap dengan lembut. Pada kelompok pasien yang dilakukan penghisapan tunggal atau penempatan suction catheter pada pipa endotrakea tanpa posisi head down, tidak dapat mencegah aspirasi bahan radiografi pada paru. Mehta berkesimpulan bahwa bahan cair yang lain (misalnya regurgitasi isi gaster atau darah) akan berkumpul di atas cuff pipa endotrakea dan dapat teraspirasi. Peneliti lain menyatakan bahwa gumpalan cair dapat berkumpul melingkupi pipa endotrakea di atas cuff dan di bawah pita suara. Guna meminimalkan fenomena tersebut, disarankan untuk menggunakan pipa endotrakea dengan diameter paling besar yang masih mungkin, menempatkan bahan tipis pada daerah hipofaring, dan memposisikan pasien pada posisi Trendelenburg.

Cheney dalam tanggapannya terhadap laporan Mehta setuju bahwa penempatan cuff pipa endotrakea tepat di belakang pita suara dan posisi head down sebelum ekstubasi adalah menguntungkan. Tetapi ia menolak penghisapan lewat pipa endotrakea saat ekstubasi, karena dikhawatirkan terjadi deplesi cadangan oksigen paru dan gangguan pada aliran udara dan oksigen ke paru. Cheney menyarankan satu metoda dengan memberikan pasien beberapa kali pernapasan tekanan positif dengan oksigen 100% setelah penghisapan pada pipa endotrakea tepat sebelum cuff dikempiskan. Secara teoritis teknik ini menyebabkan seluruh bahan yang melingkupi pipa endotrakea di atas cuff akan dipaksa keluar dan masuk ke daerah faring oleh perbedaan tekanan positif yang terjadi antara paru dan atmosfir setelah cuff dikempiskan dan pipa ditarik keluar. Teknik ini menyebabkan pasien terekstubasi dalam keadaan jalan napas yang bersih dan paru-paru terisi oksigen. Pendapat Cheney ini didukung oleh Urban dan Weitzner, Jung dan Newman yang memperlihatkan bahwa penghisapan melalui pipa endotrakea dapat menyebabkan hipoksemia.

Bantuan napas tekanan positif dan ekstubasi

Metoda ekstubasi ini adalah memberikan bantuan pernapasan tekanan positif yang besar segera sebelum ekstubasi. Paru-paru diberikan inflasi besar secara terus-menerus (mendekati kapasitas total paru), kemudian cuff pipa endotrakea dikempiskan dan diekstubasi, akibatnya akan terjadi batuk yang merupakan tanggapan awal respirasi pasca ekstubasi, menyebabkan pembersihan jalan napas dan pita suara dari sekret. Garla dan Skaredoff menjelaskan bahwa penutupan katup pengatur tekanan pada mesin anestesi dapat menghasilkan inflasi paru yang terus-menerus sebelum pengempisan cuff dan ekstubasi. Terdapatnya bahan-bahan yang terkumpul di dalam trakea di atas cuff pipa endotrakea akan dipaksa keluar oleh pernapasan tekanan positif sebelum ekstubasi. Tidak didapatkan penelitian klinis atau laporan ilmiah tentang keuntungan atau kerugian teknik ini dan perbandingannya dengan teknik yang lain.

Ekstubasi dalam atau sadar

Dalam sejarah anestesi, Guedel adalah orang pertama yang membagi tahapan klinis dari anestesia dengan eter. Selama stadium dua, yang tampak paling jelas adalah aktivitas yang tidak terkontrol, ketidaksadaran, dan eksitasi. Refleks-refleks penting seperti spasme laring dan muntah harus secepatnya dihindari selama stadium dua ini. Oleh karena itu, dasar untuk melakukan ekstubasi trakea adalah pada saat pasien sadar penuh atau pada tingkat anestesi yang dalam (stadium pembedahan). Pada penggunaan anestesi seimbang intravena, biasanya tanda-tanda klinis stadium dua ini tidak jelas, sehingga pada tingkat mana kondisi yang adekuat untuk ekstubasi dalam, masih selalu diperdebatkan.

Sampai saat ini, pengamatan klinis yang membandingkan antara ekstubasi dalam dan sadar, masih terbatas hanya pada populasi pasien pediatrik. Patel dkk memeriksa 70 pasien pediatrik sehat mengenai perbedaan saturasi oksigen dan komplikasi pada jalan napas setelah dilakukan ekstubasi sadar atau dalam yang sebelumnya menjalani operasi strabismus atau adenoidektomi dan/atau tonsilektomi. Pasien dibagi secara random menjadi kelompok ekstubasi sadar yang bernapas dengan oksigen 100% minimal selama 5 menit pada konsentrasi end-tidal halotan kurang dari 0,15% sebelum ekstubasi. Kelompok ekstubasi dalam pada konsentrasi end-tidal halotan lebih besar dari 0,8% saat ekstubasi. Kedua kelompok diberikan oksigen 100% selama 5 menit pasca ekstubasi. Pada 1, 2, 3, dan 5 menit pasca ekstubasi, kelompok ekstubasi dalam mempunyai saturasi oksihemoglobin lebih besar daripada kelompok ekstubasi sadar (SpO2 97,6% ± 3,7% menjadi 99,8% ± 0,5% dibanding dengan 93,7% ± 4,8% menjadi 98,6% ± 2,5%). Menit berikutnya, nilai saturasi oksigen sama pada kuadua kelompok. Pasca bedah, insiden spasme laring, batuk eksesif, bantuan napas, obstruksi jalan napas, perlunya ventilasi tekanan positif pasca ekstubasi, atau terjadinya aritmia, secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok. Para peneliti berkesimpulan bahwa untuk pasien pediatrik sehat yang menjalani pembedahan elektif, pilihan teknik ekstubasi tergantung dari kondisi klinik dan kemampuan ahli anestesiologi.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Pounder dkk yang membandingkan halotan dan isofluran terhadap komplikasi yang terjadi setelah ekstubasi sadar dan dalam. Diteliti 100 pasien pediatrik yang menjalani bedah urologi minor atau herniotomi abdominal. Perbandingan pada kelompok pasien yang dilakukan ekstubasi dalam dengan tiap obat inhalasi secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap insiden batuk, bantuan napas, obstruksi jalan napas, spasme laring, atau tingkat saturasi oksihemoglobin terendah (halotan 97% ± 1,9% dan isofluran 96,5% ± 2,1%). Kelompok pasien ekstubasi sadar memperlihatkan insidensi yang lebih tinggi setelah inhalasi dengan isofluran dibanding halotan terhadap kejadian batuk (18 dibanding 7), obstruksi jalan napas (9 dibanding 2), dan komplikasi respirasi total (20 dibanding 10). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap insidensi desaturasi oksigen kurang dari 90% atau tingkat terendah saturasi oksigen (87,4% ± 11,2% dibanding 89,0% ± 11,2%). Kelompok halotan memperlihatkan insidensi desaturasi oksihemoglobin kurang dari 90% lebih rendah pada ekstubasi dalam dibanding sadar (0 dibanding 6). Kelompok isofluran nyata lebih rendah dengan ekstubasi dalam dibandingkan dengan ekstubasi sadar dalam hal batuk (1 dibanding 8), komplikasi respirasi ( 12 dibanding 20), dan desaturasi oksihemoglobin kurang dari 90% (0 dibanding 11). Dapat disimpulkan bahwa pada pasien pediatrik dengan jalan napas normal, ekstubasi sadar setelah halotan atau isofluran lebih menyebabkan hipoksemia (SpO2 kurang dari 90%) daripada ekstubasi dalam. Anestesi dengan isofluran dibanding halotan juga lebih menyebabkan batuk dan obstruksi jalan napas setelah ekstubasi sadar. Sehingga jika tindakan ekstubasi memerlukan pulihnya kesadaran pasien, maka disarankan menggunakan inhalasi halotan daripada isofluran.

INTERVENSI FARMAKOLOGI

Penelitian intervensi farmakologi untuk mengurangi perubahan fisiologis yang berhubungan dengan tindakan ekstubasi trakea telah banyak dilakukan. Obat anestesi lokal khususnya lidokain, merupakan obat yang paling banyak diamati. Steinhaus dan Howland mengamati pasien-pasien yang dilakukan “smoother” anestesia menggunakan kombinasi thiobarbiturat – N2O dan lidokain untuk menekan refleks faring dan laring. Spasme laring dan batuk berhasil ditekan dengan pemberian lidokain intravena. Penelitian lanjutan oleh Steinhaus dan Gaskin mendapatkan bahwa lidokain IV (1,1 mg/kg) lebih efektif menekan batuk, tetapi tidak menyebabkan apnoe, dibanding sodium tiopental IV (1,1 mg/kg) dan meperidin IV (0,36 mg/kg). Poulton dan James juga mendapatkan bahwa lidokain IV (1,5 mg/kg) dibanding salin, menghasilkan pengurangan yang nyata dari respon batuk (24 ± 11 menjadi 9 ± 9) pada subyek yang dirangsang batuk menggunakan inhalasi cairan nebuliser asam sitrat.

Pada satu penelitian terhadap 40 pasien pediatri yang menjalani tonsilektomi elektif, Baraka mengevaluasi pengaruh lidokain IV untuk mencegah atau mengontrol terjadinya spasme laring yang berhubungan dengan tindakan ekstubasi. Induksi dan rumatan anestesi menggunakan halotan dalam oksigen, dan dihentikan 5 sampai 10 menit sebelum akhir pembedahan. Tidak ada satupun dari 20 pasien yang mendapat bolus lidokain IV 2 mg/kg, 1 menit sebelum ekstubasi yang mengalami spasme laring pasca ekstubasi; 4 dari 20 pasien kelompok kontrol mengalami spasme laring berat pasca ekstubasi. Lidokain IV 2 mg/kg secara cepat dapat mengatasi spasme laring pada pasien pediatri. Mula kerja lidokain telah tercapai setelah diberikan 60 – 90 detik sebelum stimulasi trakea atau ekstubasi. Walaupun aksi lidokain diperkirakan melalui mekanisme sentral, namun efek supresi terhadap jalan napas perifer juga terlihat. Obat-obat intravena yang lain seperti meperidin, doxapram, dan diazepam dilaporkan dapat pula mengurangi terjadinya spasme laring.

Penggunaan anestetik lokal bentuk aerosol untuk mengurangi kejadian batuk juga pernah diteliti. Inhalasi nebuliser lidokain 20% atau bupivakain 5% dapat mendepresi refleks batuk pada hewan. Cross dkk mendapatkan bahwa inhalasi bupivakain aerosol dapat mengurangi bangkitan batuk karena inhalasi asam sitrat atau stimulasi taktil pada trakea oleh suction catheter melalui luka trakeostomi. Efek yang sama tidak dapat dicapai oleh bupivakain intravena. Thomson mengukur efek nebuliser bupivakain 4% pada 7 orang normal dan 8 pasien asmatik. Pada seluruh kelompok didapatkan bupivakain dapat mencegah bangkitan batuk oleh inhalasi nebuliser asam sitrat. Anestetik lokal yang diberikan secara sistemik atau sebagai aerosol dapat pula mengurangi spasme bronkus secara langsung dengan merelaksasi otot polos jalan napas, menghambat pelepasan mediator dan/atau memotong arkus refleks bronkus.

Bidwai dkk dan Wallin dkk mengamati efek lidokain terhadap respon tekanan darah dan laju jantung saat ekstubasi trakea. Bidwai dkk memberikan 1,5 mL lidokain 4% di atas cuff pipa endotrakea 3 – 5 menit sebelum ekstubasi. Saat pipa endotrakea dilepas perlahan, spray dosis kedua lidokain 4% 1,0 mL diberikan di bawah pipa endotrakea. Secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik ataupun laju jantung pada 1 dan 5 menit pasca ekstubasi. Penelitian yang sama dengan memberikan lidokain IV (1,0 mg/kg) 2 menit sebelum ekstubasi, juga efektif menghambat peningkatan tekanan darah dan laju jantung pada 1 dan 5 menit pasca ekstubasi. Wallin dkk mengamati efektivitas infus kontinyu lidokain IV dalam mengurangi respon hemodinamik perioperatif. Penghambatan yang nyata terhadap peningkatan tekanan darah sistolik dan laju jantung terjadi pada pasien yang mendapat infus lidokain pada 5 dan 10 menit pasca ekstubasi.

Lidokain IV digunakan pula untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial oleh karena tindakan penghisapan sekret melalui pipa endotrakea. Donegan dan Bedford memperlihatkan bahwa lidokain IV (1,5 mg/kg) yang diberikan 2 menit sebelum penghisapan, dapat mengurangi peningkatan tekanan intrakranial yang biasanya meningkat pada prosedur tersebut. Mereka berkesimpulan bahwa batuk yang terjadi selama tindakan penghisapan melalui pipa endotrakea penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial. Sehingga efektivitas lidokain dalam mencegah batuk, mungkin efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan intrakranial selama ekstubasi trakea.

Dari hasil penelitian di atas, mengindikasikan bahwa lidokain cukup efektif dalam mengurangi atau mencegah sekuel fisiologis yang berat dari tindakan ekstubasi trakea. Walaupun dari beberapa penelitian menyatakan bahwa mekanisme aksi anestetik lokal dalam mengurangi kejadian batuk dapat diperoleh jika diberikan secara topikal, pemberian lidokain IV dosis 1 – 2 mg/kg, 1 – 2 menit sebelum ekstubasi, dapat mengurangi kejadian batuk atau bucking sebagaimana respon kardiovaskuler saat ekstubasi. Selain itu, ventilasi spontan dan pola napas tetap terpelihara setelah pemberian bolus lidokain IV.

Esmolol juga digunakan untuk mengurangi respon hemodinamik terhadap ekstubasi trakea. Dyson dkk meneliti 40 pasien ASA I dan II yang direncanakan menjalani bedah elektif. Pasien mendapat masing-masing esmolol (1,0 mg/kg, 1,5 mg/kg, atau 2,0 mg/kg) atau normal salin IV secara random 2 – 4 menit sebelum ekstubasi. Walaupun seluruh dosis esmolol dapat mengontrol respon laju jantung akibat ekstubasi, esmolol 1,0 mg/kg tidak dapat mengurangi peningkatan tekanan darah sistolik, sedangkan dosis 1,5 mg/kg dan 2,0 mg/kg berhasil baik. Dosis terbesar esmolol menyebabkan hipotensi yang nyata, dan peneliti merekomendasikan esmolol 1,5 mg/kg adalah dosis terbaik untuk mengontrol respon hemodinamik terhadap ekstubasi trakea. Muzzi dkk mendapatkan bahwa esmolol IV (500 µg/kg loading dose diikuti dengan infus 50 – 300 µg/kg/menit) dan labetolol (0,25 – 2,5 mg/kg) sama efektifnya dalam mengontrol peningkatan tekanan darah pada masa awal dan pemulihan anestesia setelah bedah intrakranial.

Fuhrman dkk membandingkan efek esmolol dan alfentanil dalam mengontrol laju jantung dan tekanan darah sistolik pada saat pasien mulai sadar dan saat ekstubasi secara random buta ganda terhadap 42 pasien sehat yang menjalani bedah elektif. Pada saat level end-tidal isofluran mencapai 0,25% atau kurang, setiap pasien masing-masing mendapat bolus normal salin diikuti dengan infus normal salin; bolus alfentanil 5 µg/kg diikuti dengan infus normal salin; bolus esmolol 500 µg/kg diikuti dengan infus esmolol 300 µg/kg/menit. Hanya pada kelompok esmolol, tekanan darah sistolik dan laju jantung dapat dikontrol pada saat pasien mulai sadar dan saat ekstubasi. Respon hemodinamik saat pasien mulai sadar pada kelompok alfentanil selalu berubah-ubah, namun saat ekstubasi terjadi peningkatan baik laju jantung maupun tekanan darah sistolik (dari 81 menjadi 108 x/menit, dan dari 121 menjadi 147 mmHg). Waktu untuk dilakukan ekstubasi memanjang pada kelompok alfentanil (12,6 menit) dibanding esmolol (8,8 menit) dan plasebo (8,1 menit). Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa esmolol cukup efektif dalam mengontrol respon hemodinamik terhadap ekstubasi trakea. Respon hemodinamik terhadap ekstubasi trakea pasca bedah, jarang terjadi pada pasien yang mendapat β-adrenergik bloker sebelum dilakukan pembedahan arteri koronaria.

Coriat dkk melaporkan bahwa infus kontinyu nitrogliserin (0,4 µg/kg/menit) dapat me revers dan mengeliminasi penurunan fraksi ejeksi ventrikel yang terjadi pada pasien dengan angina ringan 3 menit setelah ekstubasi. Pemberian infus nitrogliserin dimulai sebelum induksi, diteruskan selama pembedahan, dan diakhiri 4 jam setelah ekstubasi. Infus nitrogliserin tidak dapat, “namun sedikit” mencegah peningkatan laju jantung (dari 85 ± 8 menjadi 99 ± 7 x/menit) dan tekanan darah sistolik (dari 122 ± 9 menjadi 140 ± 8 mmHg) selama ekstubasi.

EKSTUBASI TRAKEA RUTIN

Pengalaman, “seni”, dan ketrampilan klinik adalah hal-hal yang mendasari dalam memilih teknik ekstubasi trakea pasca bedah. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, disarankan untuk mendasarkan pada literatur-literatur yang tersedia dan mengkombinasikannya dengan pengalaman yang ada.

Sebelum memutuskan untuk ekstubasi, harus dipastikan bahwa pasien terbebas dari segala kemungkinan yang akan menyebabkan terjadinya obstruksi jalan napas. Kemungkinan tersebut meningkat pada pembedahan daerah kepala dan leher. Dengan tindakan laringoskopi yang cepat dan lembut, dapat dideteksi masalah-masalah yang berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas seperti udema atau perdarahan persisten di jalan napas; selain itu, visualisasi langsung dan penghisapan lembut dapat sebagai tindakan diagnostik sekaligus terapetik terhadap berbagai masalah yang ada. 

Mudah atau sulitnya pemberian ventilasi manual dan proses intubasi selama induksi anestesi perlu pula dipertimbangkan, termasuk adanya kelainan dan/atau tindakan bedah yang dapat mengganggu rumatan ventilasi spontan adekuat pasca ekstubasi. Perlu dipertahankan ventilasi spontan yang adekuat sebelum ekstubasi, meliputi kembalinya kontrol ventilasi, volume tidal, laju napas, pola napas, dan kecukupan oksigenasi. Pada keadaan khusus, terutama jika fungsi respirasi dan kardiovaskuler terganggu, maka tindakan ekstubasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jika menggunakan obat pelumpuh otot, maka revers nya sudah adekuat. Walaupun tes 5 detik angkat kepala jarang digunakan, namun tes tersebut paling dapat diandalkan untuk menilai kecukupan fungsi neuromuskuler. Dari pengalaman klinik, pembatasan penggunaan pelumpuh otot hanya atas indikasi bedah dan diberikan secara titrasi akan dapat dihindari kelebihan dosis dan mengurangi komplikasi akibat pelumpuh otot.

Saraf aduktor laringeal kurang aktif selama inspirasi, sehingga pelepasan pipa endotrakea selama fase napas ini menyebabkan rendahnya kejadian spasme laring. Pemberian lidokain IV 1,0 – 1,5 mg/kg yang dilanjutkan dengan penghisapan lembut pada daerah orofaring, dan ekstubasi trakea dilakukan pada awal aktif inspirasi tanpa pemberian ventilasi manual (volume tidal), menghasilkan rendahnya kejadian spasme laring dan gangguan pola ventilasi spontan. Teknik ini digunakan saat pasien masih teranestesi ringan dengan isofluran 0,4 – 0,8% dalam O2 – N2O dan mendapat analgetik opioid. N2O dihentikan saat pemberian lidokain untuk memberi waktu reoksigenasi paru. Tujuan pemberian level anestesi yang minimal adalah untuk mencegah respon yang tidak diinginkan saat pengempisan cuff dan ekstubasi pipa endotrakea. Konsentrasi agent inhalasi saat ekstubasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi tiap pasien.

Setelah ekstubasi trakea rutin, segera nilai keadekuatan ventilasi spontan pasien, pola napas dan patensi jalan napas. Tindakan gentle jaw thrust maneuver dan ekstensi leher yang dikombinasi dengan pemberian oksigen 100% pada 4 – 8 cmH2O dengan Continuous Positive Airway Pressure / CPAP melalui sungkup muka, mengoptimalkan oksigenasi paru. Tangan pada rebreathing bag of a circle system dapat untuk menilai apakah penutupan sungkup muka cukup baik, mengukur kualitas fungsi pernapasan spontan, dan mempertahankan CPAP dengan sesekali memberi bantuan napas. Jika diperlukan tekanan positif yang lebih tinggi, dapat dicapai dengan mengecil tinggikan sungkup muka atau menutup katup “pop off” pengatur tekanan. Dengan cara yang sederhana ini, pola napas dan fungsi jalan napas dapat selalu dinilai, dan jika diperlukan intervensi seperti saat awal ekstubasi (oksigen 100% dengan tekanan positif) dapat segera dilakukan.

KESULITAN EKSTUBASI

Kesulitan dalam melepas pipa endotrakea pada akhir prosedur bedah merupakan kasus yang jarang terjadi, tetapi cukup berbahaya dan adakalanya merupakan komplikasi intubasi trakea yang fatal. Blanc dan Tremblay dalam laporannya tentang komplikasi intubasi trakea melaporkan bahwa kesulitan ekstubasi terjadi berdasarkan 1 dari 3 mekanisme berikut :
  1. Kegagalan dalam mengempiskan cuff pipa endotrakea,
  2. Cuff terlalu besar yang terjepit pita suara,
  3. Melekatnya pipa endotrakea pada dinding trakea oleh karena tidak terdapatnya pelumas. Selain itu, pipa endotrakea dapat pula terfiksir oleh jahitan bedah atau oleh kawat pada struktur yang berdekatan dengannya.
Kasus terbanyak adalah yang disebabkan oleh kegagalan mengempiskan cuff. Hal tersebut terjadi mungkin oleh karena kekurang hati-hatian disaat pasien tiba-tiba sadar dan dengan cepat menarik pipa endotrakea. Pada kasus lain dapat terjadi oleh karena terjepitnya pipa inflasi cuff oleh klem arteri. Kesulitan ekstubasi dapat pula terjadi ketika pangkal pipa inflasi cuff (pipa endotrakea berbahan plastik) tertekuk oleh plester yang melekat pada pipa endotrakea.

Tavakoli dan Corssen melaporkan peristiwa dimana pangkal pipa inflasi cuff secara tak sengaja terputus tepat pada daerah insersinya dengan pipa endotrakea, sehingga cuff tetap mengembang dan ekstubasi tidak mungkin dilakukan. Dengan laringoskop, pipa endotrakea ditarik hingga cuff terletak tepat pada pita suara, dan dengan visualisasi langsung, cuff dikempiskan dengan menusukkan kanula plastik, kemudian pipa endotrakea dilepaskan secara atraumatik. Mereka menyarankan, jika akan melepas pipa endotrakea dengan cuff yang tidak dapat dikempiskan, maka pengempisan cuff dapat dilakukan dengan menusukkan jarum melalui membran krikoid jika cuff terletak pada daerah tersebut.

Brock – Utne dkk dalam laporan terbarunya melaporkan cara mengempiskan cuff pipa endotrakea yang lebih cepat. Ketika pilot balon beserta katupnya tersobek dari pilot pipa, kemudian pilot pipa tersebut dipotong sehingga ujungnya akan tersumbat oleh karena saling melekat, menyebabkan cuff tetap dalam keadaan terinflasi dan pada akhirnya pipa endotrakea tidak dapat dilepaskan. Pengempisan cuff dilakukan dengan menggunakan semprit dan jarum yang diinsersikan ke ujung pilot pipa.

Kesulitan ekstubasi trakea dapat pula disebabkan oleh tindakan intubasi yang dipaksakan menggunakan pipa endotrakea yang terlalu besar, atau yang lebih jarang adalah intubasi dengan pipa endotrakea yang sesuai ukuran tetapi pada pasien dengan laring yang abnormal. Pada keadaan demikian disarankan untuk memutar pipa endotrakea saat ekstubasi dibawah pengamatan langsung.

Pada banyak kejadian, kesulitan ekstubasi terjadi karena cuff pipa endotrakea berbahan karet merah atau plastik yang tergulung. Terbentuknya gulungan ini terjadi setelah pengempisan cuff dan terlihat saat dilakukan ekstubasi. Peningkatan diameter eksternal ini terlalu besar untuk melewati daerah pita suara. Disarankan untuk dilakukan reinsersi, rotasi dan traksi pipa endotrakea untuk ekstubasi ulang. Jika tetap sulit, maka dapat dilakukan reinsersi dan inflasi cuff secara lembut akan menghilangkan lipatan tersebut, kemudian ekstubasi dilakukan setelah pengempisan cuff. Teknik lain yang pernah dilaporkan adalah dengan menggunakan pengait kulit atau forceps untuk mengurangi lipatan cuff tersebut.

Beberapa laporan mengenai kesulitan ekstubasi terjadi setelah terfiksasinya pipa endotrakea pada struktur di dekatnya setelah operasi di daerah mulut dan wajah. Perforasi dan terfiksasinya pipa nasotrakea karena tindakan bedah dapat disebabkan oleh kawat dan sekrup bedah. Jika diperkirakan tindakan bedah dapat menyebabkan terfiksasinya pipa nasotrakea, dianjurkan untuk selalu menggerakkan pipa sedikit keatas dan kebawah untuk memastikan bahwa tidak terjadi fiksasi yang tidak disengaja. Dapat pula secara rutin memasukan suction catheter ke dalam pipa endotrakea saat pemasangan kawat atau sekrup bedah yang tidak terlihat. Teknik terakhir menyebutkan penggunaan flexible fiberoptic bronchoscope untuk memastikan keutuhan pipa endotrakea. Terdapat pula kasus dimana pasien yang menggunakan pipa nasotrakea tidak dapat dilepaskan walaupun telah dipergunakan teknik di atas, setelah dilakukan pemotongan pangkal pipa inflasi cuff, maka pipa nasotrakea dapat dilepas tanpa mengalami kesulitan. Setelah ekstubasi diketahui bahwa kawat Kirschner melintasi antara pipa nasotrakea dan pangkal pipa inflasi cuff, sehingga menghalangi tindakan ekstubasi. Kasus yang sama juga terjadi ketika pipa nasogastrik menjerat pangkal pipa inflasi cuff di daerah nasofaring. Ekstubasi tidak dapat dilakukan oleh karena gulungan pipa nasogastrik menjepit pipa inflasi cuff antara dinding hidung dan pipa nasotrakea. Ekstubasi dapat dilakukan setelah pangkal pipa inflasi dipotong.

Pipa endobronkial dapat pula terfiksasi selama tindakan bedah pada bedah toraks. Dryden melaporkan sebuah kasus dimana terjadi kolaps sistem sirkulasi yang fatal setelah pelepasan pipa Carlens double- lumen yang secara tidak disengaja terjahit bersama arteri pulmonalis. Kasus yang sama dimana ekstubasi tidak mungkin dilakukan yaitu terjahitnya sisi kiri pipa double-lumen. Dengan bronkoskopi fiberoptik tidak tampak jelas penyebab dari terfiksasinya pipa, namun adanya darah dalam lumen kiri terlihat. Dengan usaha ekstubasi yang lebih kuat menyebabkan keluarnya darah segar dari lumen pipa kiri, sehingga kecurigaan fiksasi bedah menjadi lebih kuat. Pada akhirnya luka bedah dibuka kembali dan beberapa jahitan dibebaskan dari pipa endobronkial, sehingga ekstubasi dapat dilakukan.

PENCEGAHAN DAN TERAPI HIPOKSEMIA PASCA EKSTUBASI

Insidensi dan resiko kesulitan jalan napas dan hipoksemia pasca ekstubasi dapat dikurangi dengan beberapa tindakan sebelum dan selama ekstubasi. Misalnya pemberian volume inspirasi yang besar segera sebelum ekstubasi dan pemberian oksigen 100% selama 3 menit pasca ekstubasi dapat mengurangi kejadian atelektasis. Pemberian campuran oksigen dan nitrogen dibanding hanya oksigen 100% sebelum ekstubasi secara teoritis mungkin menguntungkan.

Browne dkk mengamati insidensi atelektasis menurun jika diberikan campuran oksigen dan nitrogen. Tampaknya nitrogen dapat mencegah atelektasis absorbsi, selain itu pasien yang diberikan fraksi inspirasi oksigen lebih besar dari yang diperlukan, relatif menyebabkan shunt intrapulmonal yang lebih besar. Disisi lain, jika pasien mengalami obstruksi jalan napas setelah ekstubasi, pasien yang mendapat oksigen 100% sebelum ekstubasi mempunyai lebih banyak cadangan waktu dan oksigen sebelum hipoksemia terjadi daripada pasien yang mendapat campuran gas dengan sedikit oksigen. Walaupun penambahan nitrogen mungkin dapat mencegah atelektasis dalam derajat yang ringan, namun penggunaan cara ini terbatas sehubungan dengan batas keamanan yang sempit dalam seluruh tindakan anestesia. Reoksigenasi paru dengan inspirasi oksigen 100% hingga end-tidal oksigen mendekati 100% sebelum ekstubasi adalah pilihan terbaik.

Insidensi hipoksemia dapat diturunkan dengan pemberian suplemen oksigen segera setelah ekstubasi, selama transpor, dan saat pemulihan. Meneruskan pemberian oksigen pada masa pasca bedah untuk pasien yang beresiko terjadi hipoksemia adalah tindakan yang bijaksana. Tindakan pertama pada hipoksemia akut pasca ekstubasi adalah koreksi jalan napas. Heiberg (1874) adalah orang pertama yang memperkenalkan penggunaan teknik jaw thrust untuk membebaskan obstruksi jalan napas. Jaw thrust akan mengangkat palatum mole terhadap dinding posterior laring, sehingga membuka jalan napas. Bersamaan dengan ekstensi leher akan menambah efektif teknik pembebasan jalan napas tersebut. Morikawa dkk memperlihatkan melalui gambaran radiografi bahwa ekstensi leher dapat menghilangkan obstruksi jalan napas sebagai akibat dari relaksasi otot jalan napas dan mungkin lebih efektif daripada mengangkat mandibula. Walaupun elevasi oksipital membantu tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakea, tetapi tidak terhadap patensi daerah faring, dan fleksi leher dapat menyebabkan tertutupnya jalan napas.

Koreksi jalan napas dapat pula menggunakan alat bantu yang secara fisik dapat membebaskan obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh relaksasi jaringan faringolaringeal. Koreksi menggunakan alat bantu jalan napas tergantung pada ukuran dan ketepatan daerah yang akan dikoreksi. Tidak tepatnya ukuran atau tempat alat bantu oral selain tidak efektif, sebaliknya akan menimbulkan obstruksi jalan napas. Alat bantu jalan napas nasal lebih dapat ditolerir oleh pasien daripada yang oral, terutama pada pasien yang baru sadar. Alat bantu jalan napas nasal yang terlalu besar atau terlalu kecil tidak efektif atau kontra produktif. Pelepasan alat bantu tersebut tergantung pada penolakan pasien terhadap alat tersebut. Saat pemasangan dan pelepasan alat tersebut adalah saat yang penting mengingat bahaya terjadinya spasme laring.

Terapi hipoksemia yang disebabkan oleh spasme laring terdiri dari pemasangan alat bantu jalan napas yang tepat, memposisikan jalan napas pada posisi yang paling optimal, pemberian lidokain IV dan CPAP dengan oksigen 100%. Pada kasus yang berat, spasme laring mungkin hanya dapat dihilangkan dengan pemberian pelumpuh otot, biasanya dengan dosis kecil (20 mg IV) suksinilkolin. Pada hipoksemia berat (PaO2 kurang dari 50 mmHg) terjadi penurunan rangsang terhadap saraf aduktor dan menyebabkan hilangnya spasme laring, suatu respon yang “menguntungkan” tetapi tidak direkomendasi.

Tatalaksana hipoksemia karena udem laring pasca ekstubasi trakea tergantung dari beratnya udem yang terjadi. Pada kasus yang ringan, terapi konservatif dengan inhalasi campuran gas kaya oksigen yang dihangatkan dan dilembabkan memberi respon yang baik. Nebuliser adrenalin 1 : 1000 (0,5 mL/kg sampai 5 mL) yang digunakan untuk terapi infective croup pada anak, cukup efektif untuk terapi udem laring pasca ekstubasi trakea. Efeknya amat dramatik walaupun hanya sebentar, sehingga diperlukan pemberian tambahan yang teratur. Deksametason 0,25 mg/kg intravena yang diikuti dengan 0,1 mg/kg tiap 6 jam selama 24 jam dapat diberikan, walaupun pada penelitian terbaru menyatakan bahwa deksametason tidak efektif untuk mencegah terjadinya udem laring pasca ekstubasi pada anak maupun dewasa. Pada kasus yang berat, jika gagal dengan terapi di atas, maka reintubasi dengan pipa endotrakea yang lebih kecil mungkin diperlukan.

EKSTUBASI PADA JALAN NAPAS YANG SULIT

Ekstubasi pada jalan napas yang sulit sama halnya dengan tindakan intubasi, merupakan tantangan tersendiri bagi ahli anestesiologi, mengingat kemungkinan sekuel yang terjadi. Baru-baru ini, The American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway menerbitkan pedoman praktis tatalaksana jalan napas yang sulit. Mereka merekomendasikan suatu strategi ekstubasi yang meliputi :
  1. Pertimbangkan akan manfaat antara ekstubasi sadar dibandingkan dengan ekstubasi sebelum pulihnya kesadaran.
  2. Evaluasi terhadap berbagai faktor klinis yang mungkin dapat menimbulkan gangguan pada ventilasi setelah pasien terekstubasi.
  3. Buat rencana tatalaksana jalan napas yang dapat diimplementasikan jika pasien tidak mampu mempertahankan keadekuatan ventilasi pasca ekstubasi.
  4. Dalam jangka pendek, persiapkan suatu alat yang dapat digunakan sebagai guide untuk memperlancar tindakan reintubasi. Jenis alat tersebut biasanya dapat dimasukan ke dalam lumen pipa endotrakea sebelum pipa endotrakea dilepas. Alat tersebut sebaiknya kaku untuk memfasilitasi intubasi dan/atau berlubang agar dapat digunakan untuk ventilasi.
Benumoff menjelaskan bagaimana metode ekstubasi yang ideal pada jalan napas yang sulit, yaitu dengan selalu melakukan pengawasan, gradual, tahap demi tahap, dan memakai alat bantu jalan napas yang dapat digunakan untuk reintubasi. Direkomendasikan penggunaan alat Jet stylet.

Walaupun teknik ekstubasi dalam sangat disukai oleh banyak klinisi, namun untuk ekstubasi trakea pada pasien dengan jalan napas yang sulit, dapat dilakukan hanya setelah kesadaran, responsivitas, dan fungsi ventilasi yang adekuat pulih kembali. Resiko munculnya respon kardiovaskuler dan serebrovaskuler yang membahayakan terhadap ekstubasi sadar dapat dikendalikan secara farmakologis. Walaupun ekstubasi dalam mampu mencegah respon yang berbahaya, tetapi resiko terjadinya inkompetensi jalan napas dan gangguan keadekuatan ventilasi menjadi pertimbangan utama.

Beberapa faktor pada pasien yang dapat mempersulit jalan napas dan/atau fungsi ventilasi seperti kelainan pada pasien itu sendiri, efek sisa obat anestesi, pembedahan pada struktur orofaringeal, alat bantu jalan napas, posisi pasien, dan reaksi alergi, kemungkinan dapat menggagalkan ekstubasi pada pasien dengan jalan napas yang sulit. Perlu pula dipertimbangkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan dari masalah-masalah tersebut.

Rekomendasi ketiga dan keempat adalah perlunya perencanaan jika ekstubasi gagal mempertahankan keadekuatan ventilasi dan oksigenasi. Perencanaan yang dimaksud adalah perlunya intervensi untuk memperbaiki keadekuatan ventilasi dan oksigenasi secara bertahap, cepat, dan tindakan invasif progresif jika perlu. Alat-alat yang diperlukan sebelum ekstubasi pada jalan napas yang sulit sama seperti alat yang diperlukan untuk intubasi pada jalan napas yang sulit. Alat lain (seperti pisau bedah) perlu disiapkan pada keadaan tertentu.

Tabel 3. Suggested contents of the portable storage unit for difficult airway management

  1.  Rigid laryngoscope blades of alternate design and size from those routinely used.
  2. Endotracheal tubes of assorted size.
  3. Endotracheal tube guides. Examples include (but are not limited) semirigid stylets with or without a hollow core for jet ventilation, light wands, and forceps designed to manipulate the distal portion of the endotracheal tube.
  4.  Fiberoptic intubation equipment
  5. Retrograde intubation equipment.
  6. At least one device suitable for emergency nonsurgical airway ventilation. Examples include (but are not limited to) a transtracheal jet ventilato, a hollow jet ventilation stylet, the laryngeal mask, and the esophageal-tracheal combitube.
  7. Equipment suitable for emergency surgical airway access (e.g. cricothyrotomy).
  8. An exhaled CO2 detector.

Penggunaan alat sebagai guide jika diperlukan tindakan reintubasi, dapat ditempatkan melalui pipa endotrakea dengan ujung distalnya diletakan tepat di atas karina sebelum ekstubasi. Alat tracheal tube exchanger (Sheridan Catheter Corp, Argyle, NY) yang dilengkapi dengan konektor untuk jet ventilation mempunyai banyak keuntungan. Alat tersebut lebih kaku daripada long guide wire, dan dapat digunakan untuk memberikan suplemen oksigen menggunakan jet ventilation, memberikan ventilasi yang cukup adekuat. Sebelum pipa endotrakea dilepas melalui tube exchanger, jalan napas harus selalu dibersihkan dan diberikan pernapasan dengan oksigen 100% untuk beberapa menit. Walaupun diameter eksternal tracheal tube exchanger lebih besar daripada guide wire dan mungkin menyebabkan lebih besarnya iritasi dan distres pada jalan napas, masalah tersebut belum pernah didapatkan. Saat untuk melepas tube exchanger tergantung dari keadaan pasien, tetapi biasanya diperkenankan sampai dengan 1 jam dari saat ekstubasi.

Pemakaian alat bronkoskopi sebagai guide untuk melepas pipa endotrakea mempunyai beberapa keuntungan, seperti dapat memvisualisasi dan mengkonfirmasi letak pipa endotrakea jika reintubasi diperlukan, tetapi alat ini tidak praktis mengingat perlunya memproteksi alat tersebut, juga lebih berat dan mahal. Selain itu lumen pipa bronkoskopi lebih kecil dibanding dengan tracheal tube exchanger ukuran medium, sehingga tidak efektif sebagai pipa penyalur untuk oksigenasi. Diameter internal lumen penghisap bronkoskopi Olympus LF-1 dan Olympus LF-2 (Olympus Corp, Lake Success, NY) adalah 1,2 dan 1,5 mm, dan diameter internal lumen tracheal tube exchanger ukuran medium kira-kira 2,3 mm. Dari persamaan Hagen-Poiseulle dapat diperkirakan bahwa makin kecil radius lumen, makin sedikit aliran udara yang dapat disalurkan. Penggunaan jet ventilation dengan sumber oksigen biasanya diberikan pada 50 psi.

Reintubasi melalui tube exchanger tidak selalu berhasil, karena itu reintubasi dilakukan dengan memutar pipa endotrakea dan secara simultan dikontrol menggunakan bronkoskopi untuk melihat kesulitan dan efek dari pemutaran pipa endotrakea. Walaupun pemberian dosis kecil pelumpuh otot dapat diberikan untuk reintubasi menggunakan stilet, namun cara tersebut cukup beresiko, oleh karena adanya ventilasi spontan membantu mempertahankan derajat ventilasi dan oksigenasi.

Jika ventilasi dan/atau oksigenasi menjadi tidak adekuat pasca ekstubasi, maka tahapan intervensi yang dilakukan sesuai dengan urgensi yang dihadapi, meliputi :
  1. Perbesar jumlah suplemen oksigen melalui tube exchanger atau sungkup muka,
  2. Berikan pernapasan tekanan positif dengan oksigen 100%,
  3. Gunakan jet ventilation melalui tube exchanger atau kateter transtrakeal nomor 16 atau 18 jika reintubasi segera tidak dapat dilakukan dan/atau hipoksemia menjadi nyata,
  4. Reintubasi menggunakan laringoskopi melalui tube exchanger, alat bronkoskopi atau lakukan krikotiroidotomi.

RINGKASAN
  • Episode segera setelah ekstubasi adalah saat dimana pasien dalam keadaan rentan. Pada saat itu dapat terjadi spasme laring, aspirasi, gangguan pada patensi jalan napas atau pusat kendali napas yang akan menyebabkan terjadinya hipoksemia. Termasuk pula gangguan pada sistem kardiovaskuler, serebrovaskuler, dan sistem hormonal. Kesulitan pasca ekstubasi yang menyebabkan cedera otak hipoksik biasanya menjadi penyebab tuntutan hukum karena dianggap perbuatan malpraktek.
  • Penyebab obstruksi jalan napas dapat terjadi segera atau berlangsung lambat. Masalah pada pasien yang meliputi efek sisa obat anestesi, nyeri atau penanganan nyeri yang tidak adekuat, renarcotization, tidur yang dalam, asidosis respiratorik dapat mengganggu fungsi ventilasi dan oksigenasi pasca ekstubasi. Walaupun pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan daerah leher biasanya tidak terjadi gangguan pada jalan napas pasca bedah yang berarti, namun kewaspadaan terhadap terjadinya morbiditas respirasi pada populasi pasien tersebut amat diperlukan.
  • Insiden dan resiko hipoksemia pasca ekstubasi oleh karena obstruksi jalan napas dapat dikurangi dengan beberapa tindakan sebelum, selama, dan setelah ekstubasi. Misalnya pemberian volume inspirasi yang besar segera sebelum ekstubasi dan pemberian oksigen 100% selama 3 menit setelah ekstubasi, dapat mengurangi kejadian atelektasis. Meneruskan pemberian oksigen pada masa pasca bedah untuk pasien yang beresiko terjadi hipoksemia adalah tindakan yang bijaksana.
  • Pengalaman, “seni”, dan keterampilan klinik adalah hal-hal yang mendasari dalam memilih teknik ekstubasi trakea pasca bedah. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya pengalaman yang ada diperkaya dengan bacaan literatur-literatur yang tersedia, walaupun penelitian ilmiah tentang ekstubasi trakea masih sangat sedikit.
  • Ekstubasi pada jalan napas yang sulit sama halnya dengan tindakan intubasi pada jalan napas yang sulit, merupakan tantangan tersendiri bagi ahli anestesiologi. Diperlukan suatu pedoman praktis dan berbagai laporan kasus yang dapat menambah keterampilan dan pengalaman agar mendapatkan hasil terbaik menghadapi kasus tersebut.
BACA JUGA


    DAFTAR PUSTAKA

    1. Larson CP. Airway management. In : Clinical anesthesiology. 3rd Ed. New York : The McGraw – Hill Companies, 2002 : 59 – 85.
    2. Stone DJ, Gal TJ. Airway management. In : Anesthesia. 5th Ed. Philadelphia : Churchill Livingstone, 2000 : 1414 – 48.
    3. Fagan C, Frizelle HP, Laffey J, et al. The effects of intracuff lidocaine on endotracheal tube – induced emergence phenomena after general anesthesia. Anesth Analg 2000; 91 : 20 – 5.
    4. Miller KA, Harkin CP, Bailey PL. Postoperative tracheal extubation. Anesth Analg 1995; 80 : 149 – 72.
    5. Hollinger IB. The pediatric patient. In : Postanesthetic care. California : Appleton and Lange, 1990 : 187 – 212.
    6. Hartley M, Vaughan RS. Problems associated with tracheal extubation. Br. J. Anesth 1993; 71 : 561 – 8.
    7. Rosenberg H, Kotlus HR. Airway obstruction and tracheal intubation. In : Complications in anesthesiology. 2nd Ed. Philadelphia : Lippincott – Raven Publishers, 1996 : 211 – 26.
    8. Porter NE, Sidou V, Husson J. Postoperative sore throat : Incidence and severity after the use of lidocaine, saline, or air. Anesth Analg 1999; 1 : 49 – 52.
    9. Komer C. The cardiovasculer patient. In : Postanesthetic care. California : Appleton and Lange, 1990 : 140 – 1.