Infeksi Jamur pada Kornea mata (Keratomikosis) : penyebab dan cara terapi

Keratomikosis

PENDAHULUAN

Infeksi jamur pada kornea atau keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini, padahal keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya sesuai dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang agraris dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban tinggi. Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur.

Masalah keratitis jamur menyebabkan kekhawatiran dokter-dokter mata. Penting untuk selalu siap akan kemungkinan infeksi ini dan menganjurkan pemeriksaan laboratorium yang memadai untuk membuat diagnosis dan terapi yang tepat. Pada masa sekarang infeksi jamur bertambah dengan pesat dan dianggap sebagai akibat sampingan pemakaian antibiotik dan kortikosteroid yang tidak tepat.

Keluhan mulai timbul setelah 5 hari rudapaksa atau 3 minggu kemudian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang hebat,berair, dan silau.Pada mata akan terlihat infiltrat yang berhifa dan satelit bila terletak didalam stroma. Biasanya disertai dengan cincin endotel dengan plaque dan hipopion. Tampak tukak yang jelas dan menonjol ditengah tukak nampak bercabang-cabang, dengan endotelium plaque, ganbaran satelit pada kornea, dan lipatan descement. Sebaiknya diagnostik dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik dengan KOH10% terhadap kerokan kornea yang menunjukkan adanya.

Pasien dengan infeksi jamur dirawat dan diberi pengobatan natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun atau anti jamur lain seperti miconazol, amfoterisin, nistatin, dan lain-lain. Diberikan sikloplegik disertai obat oral anti glaukoma bila terjadi peningkatan tekanan intra okuler. Bila tidak berhasil diatasi maka dilakukan keratoplasti.

Keratitis atau peradangan kornea akibat jamur
Keratitis jamur lebih berprevalensi di Amerika Serikat bagian selatan dan barat daya. Kenyataaan bahwa ada peningkatan jumlah kasus di Amerika Serikat sejak tahun 1960 yang diperkirakan adanya peningkatan insidens dan mungkin juga pengenalan keratitis jamur yang baik. Beberapa kejadian diperkirakan karena penggunaan kortikosteroid yang berlebih mungkin memberi kontribusi pada peningkatan insidens. Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat immunosupresif dan lensa kontak, di samping juga bertambah baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik.

Insidens musiman keratitis jamur, biasanya disebabkan karena jamur berfilamen, sebagian karena faktor lingkungan. Keratomikosis bukan merupakan tipe infeksi kornea yang sering terjadi, tetapi salah satu dari kausa mayor keratitis infeksius di daerah tropis. Penting untuk mempertimbangkan kausa jamur untuk keratitis infeksius karena kerusakan okuler yang hebat dapat terjadi tanpa diagnosa dan penanganan yang tepat dan efektif. Setelah diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan kendala, karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia secara komersial di Indonesia serta perjalanan penyakitnya yang sering menjadi kronis.

DEFINISI

Keratitis adalah reaksi inflamasi kornea. Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur.

Keratitis merupakan infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.

Faktor predisposisi antara lainnya adalah trauma, pemakaian kontak lensa, dan steroid topikal. Trauma pada kornea yang memicu terjadinya keratomikosis, biasanya trauma dengan tumbuhan atau benda-benda organik.

INSIDENSI

Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 oleh Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasus-kasus keratomikosis diperhatikan dan dilaporkan, terutama di bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporan-laporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat immunosupresif dan lensa kontak, di samping juga bertambah baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik, seperti dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura melaporkan (selama 2,5 tahun) dari 112 kasus ulkus kornea, 22 beretiologi jamur, sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6 bulan) didapat 3 kasus dari 50 ulkus kornea, Taiwan (selama 10 tahun) 94 dari 563 ulkus, bahkan baru-baru ini Bangladesh melaporkan 46 dari 80 ulkus (kern ungkinan keratitis virus sudah disingkirkan).

ETIOLOGI ATAU PENYEBAB

Secara ringkas dapat dibedakan :
  • Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.
    • Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
    • Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
  • Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
    • Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
Tampaknya di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak begitu berbeda penyebabnya, yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp, sedangkan di Asia Timur Aspergillus sp.

FAKTOR RESIKO
Faktor resiko terjadinya keratomikosis termasuk :
  1. Trauma (mis., lensa kontak, benda asing); dalam sebuah studi fungal keratitis di selatan Florida, trauma dengan sayuran merupakan faktor risiko mayor yaitu sebanyak 44% dari jumlah pasien keratomikosis.
  2. Pemakaian kortikosteroid topikal yang lama
  3. Operasi kornea seperti keratoplasti tembus, operasi katarak “sutureless”, atau laser in situ keratomileusis (LASIK)
  4. Keratitis kronis akibat herpes simplex, herpes zoster, atau keratoconjungtivitis vernal
  5. Tiada penyakit mata yang signifikan
  6. Riwayat penyakit trauma (terutama terkait dengan tumbuhan)
  7. Pekerjaan dalam bidang pertanian
Keratitis fungal lebih jarang dibanding keratitis bakterial, secara umum gambarannya kurang dari 5%-10% infeksi kornea yang dilaporkan di klinik dari amerika serikat. Keratitis fungal filamentous terdapat lebih banyak pada daerah yang hangat, kebanyakan daerah lembab pada beberapa daerah di Amerika serikat.

Trauma dengan bahan-bahan dari tanaman atau tumbuhan faktor resiko yang penting dari keratitis fungal. Predisposisi utama adalah para petani yang menggunakan alat pemotong rumput atau sejenisnya yang menggunakan peralatan mesin dilapangan berumput, tanpa memakai pelindung mata. Trauma dihubungkan dengan penggunaan kontak lensa yang merupakan faktor resiko umum yang lain untuk terjadinya keratitis fungal. Kortikosteroid topikal adalah faktor resiko mayor lainnya, Kortikosteroid topikal mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur dengan mengurangi resistensi kornea terhadap infeksi. Meningkatnya penggunaan kortikosteroid topikal selama akhir dekade ke-empat merupakan implikasi mayor penyebab meningkatnya insiden keratitis fungal selama periode tersebut. Selain itu, penggunaan kortikosteroid sistemik bisa mensupresi respon sistem imun, karena itu merupakan predisposis terjadinya keratitis fungal. Faktor resiko lainnya adalah termasuk operasi kornea (contohnya keratoplasti dan keratotomi radial), dan keratitis kronis (contohnya herpes simpleks, herpes zoster, atau vernal/ konjungtivitis alergi).

Jamur mencapai kedalam stroma kornea melalui kerusakan pada epithelium, kemudian memperbanyak diri dan menyebabkan nekrosis pada jaringan dan menyebabkan reaksi inflamasi. Kerusakan pada epitelium biasanya disebabkan dari trauma (contohnya, penggunaan kontak lensa, benda asing, operasi kornea). Organisme dapat menembus kedalam membran descmentyang intak dan mencapai bagian anterior atau segmen posterior. Mikotoksin dan enzimproteolitik menambah kerusakan jaringan yang ada. Keratitis fungal juga dapat terjadi sekunder dari endophthalmitis fungal. Pada kasus ini,organisme jamur dari segmen posterior menembus membran Descemet dan masuk kedalam stroma kornea.

PROSES TERJADINYA ATAU PERJALANAN PENYAKIT

Fungi biasanya tidak menyebabkan keratitis mikroba karena normalnya, fungi tidak dapat berpenetrasi ke dalam lapisan epitel kornea yang intak dan tidak masuk ke dalam kornea lewat pembuluh darah limbus episklera. Defek pada epitel sering diakibatkan oleh trauma (mis., pemakaian lensa kontak, benda asing, riwayat operasi kornea). Organisme dapat berpenetrasi ke dalam membran Descement yang intak dan masuk ke dalam stroma.. Ia membutuhkan cedera penetrasi atau riwayat defek epitel untuk masuk ke dalam kornea. Setelah berada di dalam kornea, organisme dapat berproliferasi.

Organisme yang menginfeksi defek pada epitel sebenarnya merupakan mikroflora normal yang terdapat pada konjungtiva dan andeksa. Fungi filamentosa merupakan kausa tersering dari infeksi pasca trauma. Fungi filamentosa berproliferasi di dalam stroma kornea tanpa melepaskan substansi kemotaktik, sehingga menunda munculnya respon imun host/ respon inflamasi. Berbeda dengan fungi filamentosa, Candida albicans memproduksi fosfolipase A dan lisofosfolipase pada permukaan blastospora, untuk membantu ia masuk ke dalam jaringan. Fusarium solani, yang merupakan fungus yang virulen, dapat menyebar di dalam stroma kornea dan berpenetrasi ke dalam membrane Descemet. Trauma kornea akibat tumbuhan merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya keratomikosis. Terutamanya, petani yang tidak memakai alat proteksi diri, khususnya kaca mata. Trauma akibat pemakaian lensa kontak juga adalah salah satu faktor resiko terjadinya keratomikosis. Trauma kornea paling sering menyebabkan keratomikosis dan merupakan factor resiko major tipe keratitis tersebut .

Seorang dokter harus mempertimbangkan besar kemungkinan suatu keratomikosis jika pasien mempunyai riwayat trauma kornea, terutama adanya kontak dengan tumbuhan atau tanah. Resiko trauma akibat pemakaian lensa kontak adalah kecil, dan bukan merupakan faktor resiko major untuk keratomikosis.

Selain dari itu, kortikosteroid topikal diketahui dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi organisme jamur dengan menurunkan resistensi kornea terhadap infeksi. Candida sp menyebabkan infeksi okuler pada hospes yang mengalami imunodefisiensi dan pada kornea dengan ulkus kronik. Pemakaian kortikosteroid yang semakin meningkat sejak 4 dekade yang lalu telah berimplikasi sebagai suatu penyebab utama peningkatan insidensi keratomikosis. Tambahan, pemakaian kortikosteroid sistemik dapat menekan respon imun hospes, sehingga terjadi perdisposisi kepada keratomikosis. Faktor resiko lainnya termasuk operasi kornea (mis., PK, keratotomi radial) dan keratitis kronik (mis., herpes simpleks, herpes zoster, atau konjungtivitis vernal/alergi).

Jika pada hospes normal keratomikosis acapkali didahului oleh trauma, atau pemakaian steroid, pada penderita AIDS kelainan ini dapat timbul secara spontan tanpa faktor predisposisi pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua mata.

MANIFESTASI KLINIK

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat. Pasien biasanya datang dengan keluhan rasa mengganjal, nyeri yang bertambah berat, penglihatan menurun secara tiba-tiba, kemerahan pada mata, lakrimasi berlebihan, dan fotofobia (takut cahaya).

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah.

Sebenarnya gambaran yang khas pada ulkus kornea tidak ada. Infeksi awal dapat sama seperti infiltrasi stafilokokus, khususnya dekat limbus. Ulkus yang besar dapat sama dengan keratitis bakteri.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
  1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
  2. Lesi satelit.
  3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.
  4. Plak endotel.
  5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
  6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
  7. Lesi kornea yang indolen.
Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea yang memproduksi mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga terjadi nekrosis kornea dan reaksi radang yang cukup berat.

Pasien dengan keratomikosis cenderung mengalami gejala dan tanda inflamasi yang minimal pada periode awal dibanding dengan penderita keratitis bakteri dan hampir tiada injeksi konjungtiva saat presentasi klinis. Keratomikosis filamentosa sering bermanifestasi dengan infiltrasi putih-keabuan, lesi tampak kering dengan tepi ireguler berawan atau dikenal dengan berbatas filamentosa. Lesi superficial mungkin muncul sebagai elevasi dari permukaan kornea berwarna putih-keabuan, dengan permukaan kering, kasar atau rasa berpasir yang dapat dirasakan saat melakukan kerokan kornea. Kadang terdapat lesi satelit atau lesi multifokal, tetapi sangat jarang terjadi. Plak endotel dan/atau hipopion dapat terjadi jika infiltrasi jamur cukup dalam atau cukup luas.

DIAGNOSIS
  • Diagnosis ulkus kornea ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
  • Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang dikeluhkan oleh pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan, penglihatan kabur, silau jika melihat cahaya, kelopak terasa berat. Yang juga harus ditanyakan ialah adanya riwayat trauma, kemasukan benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya penyakit vaskulitis atau autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang
Gambar tabel anamnesis untuk membedakan macam-macam penyebab keratitis
    Pemeriksaan fisis
    • Mata merah yang ditemukan saat inspeksi (biasanya bersifat unilateral), seperti yang terdapat pada ulkus kornea serpiginosa. Dapat juga ditemukan hipopion yaitu akumulasi sel darah putih (nanah) di ruang anterior mata.
    • Pada pemeriksaan Visus
      • Didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang mengalami infeksi oleh karena adanya defek pada kornea sehingga menghalangi refleksi cahaya yang masuk ke dalam media refrakta.
    • Pada pemeriksaan dengan Slit lamp
      • Seringkali iris, pupil, dan lensa sulit dinilai oleh karena adanya kekeruhan pada kornea.
      • Hiperemis didapatkan oleh karena adanya injeksi konjungtiva ataupun perikornea.
      • Tanda yang umum pada pemeriksaan slitlamp yang tidak spesifik, termasuk didalamnya:
        • Injeksi konjungtiva
        • Kerusakan epitel kornea
        • Supurasi
        • Infiltrasi stroma
        • Reaksi pada bilik depan
        • Hipopion
    Pemeriksaan penunjang
    • Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar.
    • Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.
    Gambaran Histopatologi
    • Pada pemeriksaan histopatologik dengan memeriksa apusan kornea ditemukan adanya jamur pada 75% pasien. Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella kornea. Adanya komponen jamur yang mencapai stroma menunjukkan tingkat virulensi kuman sangat tinggi. Mungkin ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi inflamasi yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses cincin steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multipel dapat mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membrane Descement yang intak dan menyebar ke kamera okuli anterior. Di banyak kasus, jamur dapat tidak ditemukan dari permukaan dan stroma superfisial pada spesimen histopatologi, yang menjelaskan kegagalan pengambilan sampel untuk menemukan organisme pada ulkus pada tahap yang lanjut.
    • Ciri dari keratitis jamur adalah keratitis necrotizing (panah 1) yang pada umumnya dikaitkan dengan kedua akut dan inflamasi granulomatosa menyusup. 
    • Neutrofil (panah 3 hitam) serta histiosit dan sel raksasa berinti banyak bahkan terdiri menyusup. Dalam kornea sering ada ulserasi dan keratitis stroma nekrosis parah. Dalam pengaturan ini noda khusus seperti Grocott-Gomori methenamine nitrat-perak (RUPS bernoda gambar # 5), dan asam Schiff berkala akan sering menyoroti elemen jamur. Jamur telah merambah ke ruang anterior (hitam panah 5). Citra pembesaran tinggi menunjukkan jamur dengan struktur hifa yang bercabang menjadi 2 bagian (dikotomi) pada 45 derajat sudut (panah 1). Hifa yang 'sepatated'. Ini adalah bagian dari Aspergillus. Pada gambar di atas, ada massa jamur besar yang telah menyusup dan menggantikan kornea nekrotik. Membran Descemet ini dapat dilihat di bagian bawah bernoda ini geser PAS. Pada perbesaran yang lebih tinggi sekali melihat massa pseudohyphae yang begitu padat sehingga pola percabangan sulit untuk membedakan namun unsur jamur jelas sangat sangat PAS positif. Sebuah citra RUPS bernoda di bagian tepi massa jamur menunjukkan ragi tunas (merah panah 4). Ini 3 gambar menggambarkan Candida sp. Fusarium (merah panah 1) biasanya dibedakan dengan hifa tipis dengan septae sangat langka dan pola percabangan sudut kanan. 

    DIAGNOSIS BANDING

    Keratitis bakterialis
    • Secara klinis onset nyeri keratitis bakterialis sangat cepat disertai dengan injeksio konjungtiva, fotofobia dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea bakterial, inflamasi endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada. Penyebab infeksi tumbuh lambat, organisme seperti mikrobakteri atau bakteri anaerob infiltratnya tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid, kontak lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan predisposisi terjadinya infeksi bakterial.
    Keratitis viral
    • Dapat disebabkan oleh virus herpes simplex, varicella-herpes zoster atau adenovirus. Pasien keratitis akibat nfeksi herpes simplex sering datang dengan keluhan nyeri berat dan gambaran seperti infiltrat yang bercabang-cabang (keratitis dendritik). Tes sensitivitas pula menurun, bahkan pada infeksi herpes zoster bisa hilang sama sekali.
    Endoftalmitis
    • Didiagnosa bila inflamasi melibatkan kedua-dua bilik mata depan dan belakang. Tanda klasik pada endoftalmitis adalah penurunan visus, hiperemis konjungtiva, nyeri yang memberat, edema palpebra, dan hipopion. Kemosis konjugtiva dan edema kornea dapat ditemukan. Penyebab terjadi endoftalmitis bisa secara eksogen (mis. pasca operasi) atau endogen (penyebaran secara hematogen ; mis. jalur IV yang terinfeksi, atau dari organ tubuh lain yang terinfeksi).

    OBAT-OBAT ANTI JAMUR

    Pengamatan klinik dan laboratorium memperlihatkan bahwa jamur berbeda sensibilitasnya terhadap anti jamur, tergantung spesiesnya; hal ini sering dilupakan, ditambah lagi jenis obat anti jamur yang terbatas tersedia secara komersial di Indonesia.

    Secara ideal langkah-langkah yang ditempuh sama dengan pengobatan terhadap keratitis/ulkus bakterialis :
    • Diagnosis kerja atau diagnosis klinik.
    • Pemeriksaan laboratorik :
      • Kerokan kornea, diwarnai dengan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India.
      • Kultur dengan agar Sabouraud atau ekstrak Maltosa.
    • Pemberian antijamur topikal berspektrum luas.
    • Penggantian obat bila tidak terdapat respon.
    Obat yang ideal mempunyai sifat berikut :
    • Berspektrum luas.
    • Tidak menimbulkan resistensi.
    • Larut dalam air atau pelarut organik.
    • Stabil dalam larutan air.
    • Berdaya penetrasi pada kornea setelah pemberian secara topikal, subkonjungtival atau sistemik.
    • Tidak toksik.
    • Tersedia sebagai obat topikal atau sistemik.
    Jenis obat anti jamur adalah sebagai berikut :
    • Antibiotik polyene :
      • Tetraene: Nystatin, Natamycin (Pimaricin)
      • Heptaene: Amphotericin B, Trichomycin, Hamyein, Candicidin.
    • Golongan Imidazoles: Clotrimazole, Miconazole, Ketoconazole.
    • Golongan Benzimidazole: Thiabendazoles.
    • Halogens: Yodium
    • Antibiotik lain: Cyloheximide, Saramycetin, Griseofulvin.
    • Pyrimidine: Flucytosine.
    • Lain-lain: Thimerosal, Tolnaftate, Cu-sulfat, Gentian Violet.
    Antibiotik polyene : termasuk Natamycin, Nystatin dan Amphotericin B.
    • Berdaya anti fungi karena mengganggu permeabilitas membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler. Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan lisis permanen membran dibanding perubahan reversibel oleh yang bermolekul besar seperti Nystatin, Amphotericin B. 
    • Nystatin semula tersedia secara komersial di Indonesia, tetapi sekarang sedang tidak diproduksi. Mungkin bisa dibuat dari tablet Mycostatin® (500.000 unit/tablet) dengan konsentrasi 100.000 unit/ml, walaupun vehikulum talknya iritatif terhadap kornea dan konjungtiva.
    • Amphotericin B 0,1% tersedia secara komersial dan bila diragukan kestabilannya, bisa dibuat dari preparat perenteral dengan mengencerkannya dengan akuades. Prepanat Amphotericin B iritatif terhadap kornea dan konjungtiva. Golongan ini mempunyai daya antifungi spektrum luas tapi tidak efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia. Obat ini efektif terhadap Aspergillus, Fusanium dan Candida. Pengobatan intravena tidak dianjurkan karena toksik terhadap ginjal dan penetrasi ke kornea minimal.
    • Natamycin (piramycin) berspektrum luas seperti polyene lain, tetapi dilaporkan lebih efektif terhadap Fusanium. Di Amerika Serikat lanutan 5% sering dipakai dengan berhasil dan di Eropa tersedia dalam bentuk salep 1% dan larutan 2,5%. Walaupun dalam vademikum salah satu industri farmasi tercantum, tetapi secara komersial agaknya tidak tersedia. Dosis dan cara pemberian Amfoterisin B yaitu pemberian setiap 30 menit untuk 24 jam pertama, 1 jam untuk 24 jam kedua, dan di tappering off sesuai dengan respon klinis tubuh pasien terhadap obat.
    Griseofulvin tersedia luas secara komersial moral, sayang preparat ini sulit mencapai cairan tubuh atau janingan dalam konsentrasi tinggi sehingga kurang bermanfaat secara oftalmologik. Golongan Imidazol, dan ketokonazol dilaporkan efektif terhadap Aspergillus, Fusarium, Candida. Tersedia secara komersial dalam bentuk tablet.

    Halogen
    Larutan 0,025% dilaporkan berhasil mengobati infeksi Candida albicans, tetapi cepat dinonaktifkan oleh air mata dan berdaya penetrasi lemah pada kornea. Diberikan secara kauterisasi, dapat dengan kapas lidi steril.

    Thimerosal (Merthiolat)
    In vitro dilaporkan baik untuk Candida, Aspergillus dan Fusarium, tapi diduga zat Hg ini cepat diinhibisi oleh radikal sullihidril di jaringan okule Obat ini ada di Vademikum salah satu pabrik farmasi tetapi secara komersial tidak ada.

    Ketokonazole oral (200-600 mg/hari) bisa digunakan untuk tambahan terapi pada beberapa keratitis fungal tipe filamentous, dan fluconazole (200-400mg/ hari) untuk beberapa keratitis fungal tipe yeast

    TERAPI ATAU PENGOBATAN

    Terapi keratitits fungal sangat sulit. Kebanyakan obat antifungi hanya bersifat fungistatik dan memerlukan sistem imun yang utuh (yang tidak nampak) dan memperpanjang perjalanan terapi. Tanpa bantuan imunitas yang utuh untuk menekan organisme, pengobatan fungistatik menjadi kurang efektif.

    Kelas obat yang digunakan untuk pengobatan keratitis jamur termasuk antibiotik polyene (nistatin, amphoterecin B, natamycin); analog pyrimidine (flucytosine); imidazole (clortrimazole, miconozole, econazole, ketoconazole); triazoles (fluconazole, itraconazole); dan sulfadiazine. Natamycin hanya dapat diberikan secara topical; obat lain dapat diberikan dari bermacam jalur yang ada. Steroid kontraindikasi karena akan terjadi eksaserbasi penyakit.

    Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi; bisa dibagi:
    1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
    2. Jamur berfilamen.
    3. Ragi (yeast).
    4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
    Untuk golongan I :
    • Topikal Amphotericin B 1,0¬2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin  lebih dari 10 mg/ml, golongan Imidazole.
    Untuk golongan II :
    • Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin (obat terpilih), Imidazole (obat terpilih).
    Untuk golongan III :
    • Amphoterisin B, Natamycin, Imidazole.
    Untuk golongan IV :
    • Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
    Pemberian Amphotericin B subkonjungtival hanya untuk usaha terakhir. Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior (perlengketan antara iris dan lensa atau kornea) untuk mengurangi uveitis anterior. Obat analgetik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri.

    Terapi sistemik hanya diindikasikan pada kasus yang melibatkan intraokular. Pada kasus lain akan berespon baik dengan terapi topikal antifungi seperti natamycin, nystatin, dan amphotericin B.

    Terapi bedah dilakukan guna membantu medikamentosa yaitu :
    1. Debridement
    2. Flap konjungtiva, partial atau total
    3. Keratoplasti tembus
    Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwaterapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.

    KOMPLIKASI

    Ulkus kornea dapat berkomplikasi dengan terjadinya perforasi kornea walaupun jarang. Hal ini dikarenakan lapisan kornea semakin tipis disbanding dengan normal sehingga peningkatan tekanan intraokuler dapat mencetuskan terjadinya ulkus kornea. Pembentukan jaringan parut kornea menghasilkan kehilangan penglihatan parsial maupun kompleks. Terjadinya neovaskularisasi dan astigmatisme ireguler, penipisan kornea, sinekia anterior, sinekia posterior, glaucoma, dan katarak juga bisa terjadi.

    Keratitis fungal dapat berperan utama untuk infeksi berat yang melibatkan setiap struktur intraokular dan dapat membuat hilangnya penglihatan atau kehilangan mata. Perforasi kornea jarang terjadi, dan endophthalmitis sekunder telah dilaporkan.

    PROGNOSIS

    Prognosis tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya kornea yang terlibat, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), dan waktu penegakkan diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan kultur di laboratorium.Pasien dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diperkirakan satu dari ketiga infeksi jamur gagal terapi pengobatan atau perforasi kornea

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Duane, D Thomas : Clinical Ophthalmology, Volume 4, Philadelphia, Harper & Row Publisher, 1987.
    2. Grayson, Merrill : Diseases of The Cornea, Second Edition, London, The C. V. Mosby Company, 1983.
    3. Ilyas, S., Mailangkay, H.H.B., Taim, H, Saman, R.R., Simarmata, M., Widodo, P.S : Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi kedua, Jakarta, C. V. Sagung Seto, 2002.
    4. Ilyas, Sidarta : Ilmu Penyakit Mata, edisi kedua, Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
    5. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/11InfeksiJamur087.pdf/11InfeksiJamur087.html.
    6. http://www.usmicro-solutions.com/fungi.html

    Pemeriksaan Ct Scan thorax Pada Kanker Paru sebagai alat diagnostik

    CT SCAN THORAX

    PENDAHULUAN

    Kanker paru merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia. Lebih dari 1,3 juta kasus baru kanker paru dan bronkus di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya. Dari jumlah insiden dan prevalensi di dunia, kawasan Asia, Australia, dan Timur Jauh berada pada tingkat pertama dengan estimasi kasus lebih dari 670 ribu dengan angka kematian mencapai lebih dari 580 ribu orang. Sampai saat ini kanker paru masih menjadi masalah besar di dunia kedokteran.

    Di Amerika Serikat kejadian kasus baru kanker paru pada tahun 2005 mencapai 172.570 (laki-laki 93.010 dan perempuan 79.560). Dari kasus tersebut jumlah yang meninggal mencapai 163.510 (laki-laki 90.490 dan perempuan 73.020) dan yang bisa bertahan hidup sampai 5 tahun hanya 15 %.  Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian utama kaum pria dan lebih dari 70 % kasus kanker itu baru terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium IIIb atau IV) sehingga hanya 5 % penderita yang bisa bertahan hidup hingga 5 tahun setelah dinyatakan positif.

    Ct scan adalah salah satu modalitas utama dalam mendiagnosa kanker paru. Pemeriksaan Ct Scan sangat berarti dalam menilai nodul soliter parenkim paru serta keadaan mediastinum. Ct Scan juga dapat memperlihatkan hubungan kanker paru dengan dinding thorax, bronkus dan pembuluh darah besar dengan jelas. Karena berbagai keunggulannya pemeriksaan CT Scan penting sebagai alat diagnosa untuk penderajatan (staging) kanker paru berdasarkan sistem TNM (Tumor, Nodul, Metastasis). Akurasi CT Scan dalam mendiagnosa kanker paru cukup tinggi. Namun hal tersebut tergantung kepada jenis dan kualitas alat serta teknik pemeriksaan yang tepat.

    KANKER PARU

    Kanker paru adalah tumor berbahaya (tumor ganas) yang tumbuh di paru-paru. Sebagian besar kanker paru-paru berasal dari sel-sel di dalam paru-paru, tetapi kanker paru bisa juga berasal dari kanker di bagian tubuh lainnya yang menyebar ke paru-paru.

    1. Jenis-jenis Kanker Paru (lung cancer)

    Secara garis besar kanker paru dibagi menjadi 2 bagian yaitu Small Cel Lung Cancer (SCLC) dan Non Small Cel Lung Cancer (NCLC).
    • Small Cell Lung Cancer (SCLC)
      • Kejadian kanker paru jenis SCLC ini hanya sekitar 20 % dari total kejadian kanker paru. Namun jenis ini berkembang sangat cepat dan agresif. Apabila tidak segera mendapat perlakuan maka hanya dapat bertahan 2 sampai 4 bulan.
    • Non Small Cell Lung Cancer
      • 80 % dari total kejadian kanker paru adalah jenis NSCLC. Secara garis besar dibagi menjadi 3 yaitu:
        • Adenocarsinoma, jenis ini adalah yang paling banyak ditemukan (40%).
        • Karsinoma Sel Sekuamosa, banyaknya kasus sekitar 20 – 30 %.
        • Karsinoma Sel Besar, banyaknya kasus sekitar 10 – 15 %.
      • Sebagian besar pasien yang didiagnosa dengan NSCLC (70 – 80 %) sudah dalam stadium lanjut III – IV.
    2. Staging

    Pada kanker paru jenis SCLC ada 2 stages yaitu Limited Stage dan Extensive Stage. Sedangkan pada NSCLC staging dilakukan dengan sistem TNM (T=Tumor, N=Kelenjar Getah Bening dan M=Metastase). Kalsifikasi stadium berdasarkan TNM dapat dilihat pada tabel berikut :

    Stage NSC Lung cancer
    Criterion for staging
    Stage I a
    T 1
    N 0
    M 0
    Stage I b
    T 2
    N 0
    M 0
    Stage II a
    T 1
    N 1
    M 0
    Stage II b
    T 2 (T 3)
    N 1 (N 0)
    M 0
    Stage III a
    T 3 (any T)
    N 1 (N 2)
    M 0
    Stage III b
    T 4 (any T)
    Any N (N 3)
    M 0
    Stage IV
    Any T
    Any N
    M 1
    KETERANGAN
    T = Tumor
    T1 : Tumor dengan ukuran kurang dari 3 cm
    T2 : Tumor dengan ukuran dan perluasan sbb :
                   ·         Ukuran lebih dari 3 cm
                   ·         Melibatkan bronkus utama yang letaknya sampai ' 2 cm dari distal karina.
                   ·         Perluasan ke pleura viseral.
                   ·         Perluasan ke hilus
    T3 : Tumor dengan segala ukuran, meliputi :
               •          Tumor menginvasi dinding thorax, diafragma, pleura mediastinalis
               •          Tumor di dalam bronchus primarius, max 2 cm distal dari carina (tetapi tanpa melibatkan carina).
               •          Tumor disertai dg atelektasis atau obstruktive pneumonitis pada seluruh paru.
    T 4 : Tumor dengan segala ukuran, meliputi :
                •          Tumor menginvasi mediastinum, cor, pembuluh darah besar, trachea, esophagus, corpus vertebra, atau carina.
                •          Tumor dengan efusi pleura dan efusi pericard maligna.
                •          Tumor dengan nodul satelit tumor yang masih dalam satu lobus pulmo ipsilateral           

    N = Status limfonodi regional :
    N0 : Tidak ada metastasis limfonodi regional.
    N1 : Metastasis di limfonodi regional atau hilar atau limfonodi intrapulmonar sebagai akibat perluasan langsung dari tumor primer.
    N2 : Metastasis di limfonodi retrotracheal, midline prevascular, subcarinal dan mediastinal ipsilateral.
    N3 : Metastasis nodal hilar contralateral atau mediastinal contralateral, serta nodus supraclavicular dan scalenus contralateral atau ipsilateral.N x : Diskripsi N tambahan (tetapi jarang dipakai) metastasis di limfonodi regional
    sulit diperkirakan.

    M = Metastasis Jauh, meliputi :
    M0 : Tidak ada metastasis jauh.
    M1 : Ada metastasis jauh atau nodul tumor terpisah pada lobus lain dalam pulmo yang sama atau Nodul tumor pada pulmo kontralateral (dinyatakan sebagai M1 jika jenis histloginya sama dengan sel tumo primer.

    3. Faktor Penyebab Terjadinya Kanker Paru
    • Perokok, risiko terkena penyakit makin besar seiring dengan banyaknya jumlah rokok yang diisap dan semakin mudanya usia awal merokok.
    • Perokok Pasif, Mengisap asap rokok, perokok pasif juga rentan terkena kanker paru-paru meski kemungkinannya tidak sebesar perokok aktif. Di beberapa keluarga para perokok aktif dapat menjadi 'penyebar' kanker paru karena hubungan genetika.
    • Masuknya zat-zat kimia seperti asbestos, uranium, chromium, dan nikel ke dalam tubuh. namun kasus ini jarang terjadi. Polusi udara juga dicurigai sebagai penyebab kanker paru namun masih sulit dibuktikan.
    4. Prosedur Diagnosa

    Penegakkan diagnosa kanker paru meliputi pemeriksaan klinis, laboratoium (sputum sitologi dan tumor marker) dan pemeriksaan penunjang yang meliputi : foto thorax, CT Scan, USG, Bone Scaning, PET, MRI dan bronchoscopi. Ketika kanker paru-paru mulai menunjukkan gejala, biasanya terlihat pada pemeriksaan X-ray. Terkadang, secara tidak sengaja, kanker paru-paru yang belum menunjukkan gejala tampak sebagai bintik-bintik pada thorax X-ray yang dilakukan untuk tujuan lainnya. CT scan pada dada perlu dilakukan untuk pemeriksaan yang lebih detil.

    Meskipun pemeriksaan dahak atau cairan paru-paru mungkin menunjukkan sel-sel kanker yang telah berkembang, diagnosis kanker paru-paru biasanya dipastikan melalui bronkoskopi. Dengan anestesi lokal, dokter mengarahkan tabung berkamera (bronkoskop) menuju daerah tumor, dimana sampel jaringan yang sangat kecil dapat diambil (biopsi).

    Jika hasil biopsi telah memastikan kanker paru-paru, pemeriksaan lain akan dilakukan untuk menentukan tipe kanker dan seberapa jauh penyebarannya. Penyebarannya sel-sel kanker pada limfe (kelenjar getah bening) terdekat dapat dideteksi melalui mediastinoskopi. Sementara teknik pencitraan seperti MRI, CT scan, PET scan, atau bone scan dapat mendeteksi penyebaran kanker di bagian tubuh lainnya.

    5. Gejala Kanker Paru

    Seseorang yang termasuk golongan risiko tinggi (GRT) jika mempunyai keluhan napas seperti batuk, sesak napas, nyeri dada, sebaiknya segera meneriksakan diri ke dokter spesialis paru.
    Tanda dan gejala kanker paru membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat diketahui dan seringkali dikacaukan dengan gejala sakit pada umumnya.
    • Sesak nafas
    • Batuk yang tidak kunjung sembuh (lebih dari 2 minggu)
    • Bunyi menciut-ciut saat bernafas pada bukan penderita asma
    • Batuk berdarah
    • Perubahan warna pada dahak dan meningkatnya jumlah dahak
    • Perubahan suara (menjadi serak) atau suara kasar saat bernafas
    • Kelelahan kronis dan penurunan berat badan secara drastic
    • Bengkak pada leher dan wajah
    • Nyeri saat menarik nafas dalam-dalam

    D. PEMERIKSAAN CT SCAN THORAX PADA KANKER PARU

    Computer Tomography atau Ct Scan merupakan suatu teknik pemeriksaan secara radiografi dengan system pengambilan gambar dari suatu obyek yang diperiksa secara sectional – axial, dimana berkas sinar X mengitari obyek. Sinar X yang teratenuasi setelah menembus obyek di teruskan ke detector. Oleh Photo Multiplier Tube ( PMT ) sinar X di ubah menjadi signal – signal electron ( listrik ) yang kemudian di perkuat yang kemudian oleh DAS ( data Aquesition System ) signal – signal listrik tersebut diubah menjadi data digital. Data inilah yang kemudian menjadi informasi di komputer dan secara matemetika direkonstruksikan, hasil reconstruksi tersebut akan ditampilkan dalam layar monitor berupa irisan – irisan dari obyek yang dikehendaki dalam bentuk “ Gray Scale Image “ yaitu skala dari hitam ke putih.

    Dengan teknik CT scan inilah akan didapat gambaran axial dari penampang tubuh yang diperiksa, dan juga memperlihatkan organ – organ yang pada pemeriksaan radiografi konvensional tidak tampak karena mengalami overlapping dengan organ – organ lain.

    CT scan pada pemeriksaan thorax bertujuan untuk melihat letak serta luas massa mediastinum dan kelainan yang terjadi pada mediastinum lainnya, dan digunakan pula untuk menunjukkan nodus limfatikus yang membesar sewaktu menentukan stadium pasien dengan penyakit neoplastik, terutama kasus tomor dan limfoma paru, serta menetukan luas dari carsinoma ataupun tumor yang terdapat pada paru – paru maupun pada mediastinum.

    1. Manfaat CT Scan Thorax Pada Kanker Paru 

    Pada kasus kanker paru Ct Scan bermanfaat untuk mendeteksi adanya tumor paru juga sekaligus digunakan dalam penentuan staging klinik yang meliputi :
    • Menentukan adanya tumor dan ukurannya
    • Mendeteksi adanya invasi tumor ke dinding thorax, bronkus, mediatinum dan pembuluh darah besar.
    • Mendeteksi adanya efusi.
    • Mendeteksi adanya penyebaran ke limfonodi dan hepar.
    Disamping diagnosa kanker paru CT Scan juga dapat digunakan untuk menuntun tindakan trans thoracal needle aspiration (TTNA), evaluasi pengobatan, mendeteksi kekambuhan dan CT planing radiasi.

    2. Teknik Pemeriksaan

    Pemeriksaan CT Scan thorax pada kasus kanker paru biasanya dilakukan dengan media kontras melaui intra vena. Scaning dilakukan pre kontras dan post kontras. Teknik pemeriksaan sangat bervariasi tergantung pada jenis CT Scan yang digunakan (CT Generasi III, CT Spiral Single/Dual atau MDCT).
    • Persiapan Pasien
      • Puasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan.
      • Periksa laboratorium kadar ureum (BUN) dan creatinin.
      • Pasien diberi penjelasan tentang pemeriksaan yang akan dilakukan dan breathold technique yang digunakan.
      • Cek riwayat asma, alergi dan penyakit lain.
      • Cek vital sign
    • Persiapan Alat
      • Peralatan CT Scan dalam keadaan Stanby
      • Obat kontras non ionik 100-150 cc
      • Peralatan injeksi
      • Obat-obatan emergency
      • Oksigen
      • Suction
    • Teknik Pemasukkan Media Kontras 
      • Single Bolus Injection
        • Teknik ini digunakan pada CT Scan tipe spiral. Media kontras dimasukkan secara injeksi melalui vena cubiti dengan power injektor atau manual (hand). Jumlah media kontras sekitar 60 – 150 cc dengan kecepatan 2-4 cc/detik. Scaning dilakukan antara 30-60 detik sejak pemasukkan kontras. Banyaknya media kontras dan kecepatan injeksi serta delay time tergantung dari berat badan dan organ yang ingin dinilai.
        • Tabel 2 adalah contoh yang menunjukkan besarnya dosis, kecepatan injeksi dan scan delay berdasarkan berat badan.
    Berat badan
    (kg)
    Dosis
    (cc)
    Flow rate
    (Cc/s)
    Scan delay
    thorax
    Thorax + Abdomen
    Lebih dari 118
    160
    3,3
    55
    42
    98-117
    140
    3,1
    53
    40
    78-97
    120
    2,8
    51
    38
    64-77
    100
    2,6
    49
    36
    48-63
    80
    2,4
    46
    34
    38-47
    70
    2,2
    46
    34
    *31-37
    60
    2
    46
    34
    * for pediatrics : dose= kg 2,0, rate = 0,04 + 0,4

      • Drip Infusion
        • Biasanya dipakai pada CT Scan generasi III atau teknik slice by slice, teknik ini tidak dapat memberikan hasil yang baik karena konsentrasi media kontras sangat rendah.
      • Drip Infusion Dilanjutkan Dengan Bolus Injection Yaitu pemasukkan media kontras dengan drip infus yang dilanjutkan dengan injeksi 40-50 cc ketika scaning mencapai daerah yang yang dicuigai kelainan. Teknik ini biasanya digunakan pada pemeriksaan CT Scan thorax dengan menggunakan pesawat CT generasi III atau teknik slice by slice. Konsentrasi media kontras cukup baik dan waktunya cukup lama namun dibutuhkan media kontras dalam jumlah banyak.
     
    Add caption

      • Multiple Bolus Injection
        • Teknik ini cocok digunakan pada CT Scan generasi III atau teknik slice by slice. Pemasukan media kontras dengan cara bolus injeksi yang dilakukan berulang-ulang. Injeksi yang pertama sebanyak 30-50 cc dengan flow rate 3-5 cc/detik, scaning dilakukan segera kemudian diikuti dengan injeksi berikutnya sebanyak 10-15 cc setiap ekspose sampai kurang lebih 150 cc.
    • Posisi Pasien
      • Pasien supine dengan posisi kaki dekat gantry (feet first) kedua tangan ke arah kepala. Atur MSP tepat pada longitudinal positioning light. Kemudian pasien dilatih tarik napas dan tahan napas serta diukur lamanya pasien bisa tahan napas.
    • Scanogram
      • Scanogram dibuat AP dari apex sampai upper abdomen
    • Scan Parameter
      • Mode Scan : Slice By Slice atau Spiral (sebaiknya spiral)
      • Area Scaning : Dari apex sampai sampai kelenjar supra renal (±Th.XII) atau sampai krista iliaka
      • Slice Thickness
        • Untuk slice by slice : 10 mm dan 5 mm daerah hilus atau daerah kelainan.
        • Untuk spiral : 5 mm atau lebih kecil
      • Pitch dan Interval 
        • Slice By Slice : Interval/indeks = slice thicknes
        • Spiral : Pitch = 1 – 1,5, interval = slice thickness / lebih kecil
      • FOV : Diatur sesuai dengan ukuran tubuh (280 – 350 mm)
      • Scan Time Rotation
        • Pilih scan time rotation yang kecil sesuai dengan alat yang tersedia.
      • Breathhold Technique
        • Pada scaning teknik spiral, apabila pasien dapat menahan napas dalam jangka waktu yang lama dapat digunakan Single Breathhold (scaning dilakukan dalam sekali tahan napas) sedangkan bila tidak dapat menahan napas dalam jangka waktu lama dapat dilakukan 2 atau 3 kali scaning. Scaning dilakukan pada saat inspirasi penuh.
        • Pada scaning dengan teknik slice by slice setiap slice harus dilakukan pada fase napas yang sama (inspirasi penuh dan tahan napas). Hal ini untuk mengurangi artefak dan anatomical misregistration.
      • Gantry Tilting : None
      • Recon Algoritma : soft tisue/standar dan Lung/HR
    • Post Prosesing
      • Recont Slice Interval. Apabila akan dibuat MPR/3D perlu dilakukan recont slice interval lebih rapat lagi sehingga hasil MPR/3D menjadi lebih halus. Slice interval dibuat lebih rapat menjadi setengah atau sepertiga dari slice thicknes. Recont ini hanya bisa dilakukan pada scan spiral.
      • MPR Dan 3D. MPR dan 3D perlu ditambahkan untuk menambah informasi mengenai letak lesi secara lebih jelas. MPR yang biasa dilakukan adalah sagital dan coronal dan 3D dengan SSD maupun Volume rendering.
      • ROI
        • Pengukuran nilai HU pada lesi dan pada efusi (bila ada). Pengukuran juga dibandingkan antara pre dan post kontras
        • Pengukuran besarnya (diameter) lesi.
      • Window dan Image Enhancement :
        • Window Mediatinum/Soft tisue, untuk memperlihatkan mediastinum, cor, pembuluh darah, dinding thorax, hepar dan soft tissue lainnya.
        • Window lung, untuk menampilkan parenkim paru, fisura pulmonary, air bronkogram.
        • Window Tulang, bila diperlukan untuk menampilkan tulang (vertebra dan costa) apabila ada metastase ke tulang.

     

    3. Keterbatasan CT Slice By Slice dan Keunggulan CT Spiral
    • Keterbatasan CT Generasi III / Teknik Slice by Slice Pada Pemeriksaan Thorax
      • Kemungkinan terjadinya anatomy misregistration lebih besar karena adanya variasi fase napas yang berbeda pada setiap slice.
      • Terjadinya motion artefact dikarenakan scan time rotasion yang cukup lama pada CT Generasi III (2-4 detik).
      • Contras Enhance (konsentrasi media kontras) pada pembuluh darah rendah.
      • Hasil MPR maupun 3D kurang baik karena motion artefact dan misregistration.
    • Keunggulan CT Spiral
      • Scaning lebih cepat dan dapat dilakukan dalam single breathold (1 x tahan napas) sehingga dapat terhindar terjadinya motion artefact dan misregistration.
      • Dapat dilakukan retro recont slice interval terhadap raw data.
      • Contras Enhance (konsentrasi media kontras) pada pembuluh darah jauh lebih baik dengan scan delay dan flow rate yang tepat.
      • Hasil MPR/3D jauh lebih baik.

    E. KESIMPULAN
    1. Kanker paru merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi termasuk di Indonesia yang biasanya baru diketahui setelah stadium lanjut.
    2. Ct Scan merupakan salah satu modalitas utama dalam diagnosa kanker paru.
    3. Ct Scan dapat mendeteksi kanker paru yang kecil dan mendeteksi penyebarannya sehingga dapat digunakan dalam penentuan staging/stadium kanker paru
    4. Pemeriksaan CT scan pada kasus kanker paru biasanya dilakukan dengan media kontras secara intra vena. Teknik pemasukkan media kontras disesuaikan dengan tipe CT scan yang digunakan.
    5. Scaning dilakukan mulai dari apex sampai kelenjar supra renal atau upper abdomen dengan slice thickness yang tipis dan dengan teknik breathhold yang tepat.
    6. Penggunaan teknik spiral lebih banyak keunggulannya dibanding teknik slice by slice.

    KEPUSTAKAAN

    1. Boedjang Nurlela Dkk, 2001, Tumor Di Dalam Toraks, BP FKUI, Jakarta
    2. Bushberg J T, 2003, The Essential Physics of Medical Imaging, 2nd ed, Lippincot Williams and Wilkins, Philadelphia
    3. Chiu Lee C, MD, 1995, Clinical computed Tomography for the Technologist, Second Edition, Raven Press, New York
    4. Halls Steven B., MD, FRCPC, Weight-based intravenous contrast injection parameters for EnhancedCT Scanning. Cross Cancer Institute, Edmonton, Alberta, Canada, available online: http://www.halls.md/ct/ct.htm , akses tanggal 5 April 2007
    5. Jaengsri Nuttawan, 2004, CT Protocol, Radiology Departement Of Takshin Hospital, Bangkok
    6. Neseth, 2000, Procedurs And Documentation For CT And MRI, McGraw-Hill Co, New York
    7. Sharma Sat, MD, FRCPC, FACP, FCCP, DABSM, 2005, Lung Cancer, Non-Small Cell, Emedicine, available online : http://www.emedicine.com/radio/byname/lungcancer- non-small-cell.htm , akses tanggal 5 April 2007
    8. Seeram, 2001, Computed Tomography : Physical Principles, Clinical Application And Quality Control, 2nd, WB. Saunders Company, Philadelphia
    9. Sheila R, 1992, Practical CT Techniques, Springer-Verlag, London
    10. Socinski Mark A.,MD, 2005, Epidemiology, Staging And Treatment Of Lung Cancer, Lineberger Comprehensive Cancer Center University Of North Carolina Chapel Hill, available online: http://www.sirfoundation.org/pdf/06Lung/Socinski.pdf, akses tanggal 26 Maret 2007
    11. Syaifudin, 1997, Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat, Edisi 2, EGC, Jakarta
    12. Thoeni Ruedi F., MD, 2000, Technical Helical CT Manual On The GE LightSpeed QX/i Scanner, Departement Of Radiology University Of California San Francisco
    13. Wegener, 1992, Whole Body Computed Tomography, 2nd ed, Blackwell Scientific Publication, Oxford
    14.  .......,2006, Kanker Paru Pembunuh Nomer Satu, Info Aktual, Badan Litbangkes Depkes, available online: www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/kankerparu010306.htm, akses tanggal 26 Maret 2007
    15.  .......,2004, Focus Lung Cancer, Oncology Nursing Society, http://www.lungcancer.org/health_care/focus_on_lc/staging/staging.htm, akses 5 April 07