Infeksi Jamur pada Kornea mata (Keratomikosis) : penyebab dan cara terapi

Keratomikosis

PENDAHULUAN

Infeksi jamur pada kornea atau keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini, padahal keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya sesuai dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang agraris dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban tinggi. Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur.

Masalah keratitis jamur menyebabkan kekhawatiran dokter-dokter mata. Penting untuk selalu siap akan kemungkinan infeksi ini dan menganjurkan pemeriksaan laboratorium yang memadai untuk membuat diagnosis dan terapi yang tepat. Pada masa sekarang infeksi jamur bertambah dengan pesat dan dianggap sebagai akibat sampingan pemakaian antibiotik dan kortikosteroid yang tidak tepat.

Keluhan mulai timbul setelah 5 hari rudapaksa atau 3 minggu kemudian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang hebat,berair, dan silau.Pada mata akan terlihat infiltrat yang berhifa dan satelit bila terletak didalam stroma. Biasanya disertai dengan cincin endotel dengan plaque dan hipopion. Tampak tukak yang jelas dan menonjol ditengah tukak nampak bercabang-cabang, dengan endotelium plaque, ganbaran satelit pada kornea, dan lipatan descement. Sebaiknya diagnostik dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik dengan KOH10% terhadap kerokan kornea yang menunjukkan adanya.

Pasien dengan infeksi jamur dirawat dan diberi pengobatan natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun atau anti jamur lain seperti miconazol, amfoterisin, nistatin, dan lain-lain. Diberikan sikloplegik disertai obat oral anti glaukoma bila terjadi peningkatan tekanan intra okuler. Bila tidak berhasil diatasi maka dilakukan keratoplasti.

Keratitis atau peradangan kornea akibat jamur
Keratitis jamur lebih berprevalensi di Amerika Serikat bagian selatan dan barat daya. Kenyataaan bahwa ada peningkatan jumlah kasus di Amerika Serikat sejak tahun 1960 yang diperkirakan adanya peningkatan insidens dan mungkin juga pengenalan keratitis jamur yang baik. Beberapa kejadian diperkirakan karena penggunaan kortikosteroid yang berlebih mungkin memberi kontribusi pada peningkatan insidens. Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat immunosupresif dan lensa kontak, di samping juga bertambah baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik.

Insidens musiman keratitis jamur, biasanya disebabkan karena jamur berfilamen, sebagian karena faktor lingkungan. Keratomikosis bukan merupakan tipe infeksi kornea yang sering terjadi, tetapi salah satu dari kausa mayor keratitis infeksius di daerah tropis. Penting untuk mempertimbangkan kausa jamur untuk keratitis infeksius karena kerusakan okuler yang hebat dapat terjadi tanpa diagnosa dan penanganan yang tepat dan efektif. Setelah diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan kendala, karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia secara komersial di Indonesia serta perjalanan penyakitnya yang sering menjadi kronis.

DEFINISI

Keratitis adalah reaksi inflamasi kornea. Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur.

Keratitis merupakan infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.

Faktor predisposisi antara lainnya adalah trauma, pemakaian kontak lensa, dan steroid topikal. Trauma pada kornea yang memicu terjadinya keratomikosis, biasanya trauma dengan tumbuhan atau benda-benda organik.

INSIDENSI

Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 oleh Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasus-kasus keratomikosis diperhatikan dan dilaporkan, terutama di bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporan-laporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat immunosupresif dan lensa kontak, di samping juga bertambah baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik, seperti dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura melaporkan (selama 2,5 tahun) dari 112 kasus ulkus kornea, 22 beretiologi jamur, sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6 bulan) didapat 3 kasus dari 50 ulkus kornea, Taiwan (selama 10 tahun) 94 dari 563 ulkus, bahkan baru-baru ini Bangladesh melaporkan 46 dari 80 ulkus (kern ungkinan keratitis virus sudah disingkirkan).

ETIOLOGI ATAU PENYEBAB

Secara ringkas dapat dibedakan :
  • Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.
    • Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
    • Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
  • Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
    • Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
Tampaknya di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak begitu berbeda penyebabnya, yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp, sedangkan di Asia Timur Aspergillus sp.

FAKTOR RESIKO
Faktor resiko terjadinya keratomikosis termasuk :
  1. Trauma (mis., lensa kontak, benda asing); dalam sebuah studi fungal keratitis di selatan Florida, trauma dengan sayuran merupakan faktor risiko mayor yaitu sebanyak 44% dari jumlah pasien keratomikosis.
  2. Pemakaian kortikosteroid topikal yang lama
  3. Operasi kornea seperti keratoplasti tembus, operasi katarak “sutureless”, atau laser in situ keratomileusis (LASIK)
  4. Keratitis kronis akibat herpes simplex, herpes zoster, atau keratoconjungtivitis vernal
  5. Tiada penyakit mata yang signifikan
  6. Riwayat penyakit trauma (terutama terkait dengan tumbuhan)
  7. Pekerjaan dalam bidang pertanian
Keratitis fungal lebih jarang dibanding keratitis bakterial, secara umum gambarannya kurang dari 5%-10% infeksi kornea yang dilaporkan di klinik dari amerika serikat. Keratitis fungal filamentous terdapat lebih banyak pada daerah yang hangat, kebanyakan daerah lembab pada beberapa daerah di Amerika serikat.

Trauma dengan bahan-bahan dari tanaman atau tumbuhan faktor resiko yang penting dari keratitis fungal. Predisposisi utama adalah para petani yang menggunakan alat pemotong rumput atau sejenisnya yang menggunakan peralatan mesin dilapangan berumput, tanpa memakai pelindung mata. Trauma dihubungkan dengan penggunaan kontak lensa yang merupakan faktor resiko umum yang lain untuk terjadinya keratitis fungal. Kortikosteroid topikal adalah faktor resiko mayor lainnya, Kortikosteroid topikal mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur dengan mengurangi resistensi kornea terhadap infeksi. Meningkatnya penggunaan kortikosteroid topikal selama akhir dekade ke-empat merupakan implikasi mayor penyebab meningkatnya insiden keratitis fungal selama periode tersebut. Selain itu, penggunaan kortikosteroid sistemik bisa mensupresi respon sistem imun, karena itu merupakan predisposis terjadinya keratitis fungal. Faktor resiko lainnya adalah termasuk operasi kornea (contohnya keratoplasti dan keratotomi radial), dan keratitis kronis (contohnya herpes simpleks, herpes zoster, atau vernal/ konjungtivitis alergi).

Jamur mencapai kedalam stroma kornea melalui kerusakan pada epithelium, kemudian memperbanyak diri dan menyebabkan nekrosis pada jaringan dan menyebabkan reaksi inflamasi. Kerusakan pada epitelium biasanya disebabkan dari trauma (contohnya, penggunaan kontak lensa, benda asing, operasi kornea). Organisme dapat menembus kedalam membran descmentyang intak dan mencapai bagian anterior atau segmen posterior. Mikotoksin dan enzimproteolitik menambah kerusakan jaringan yang ada. Keratitis fungal juga dapat terjadi sekunder dari endophthalmitis fungal. Pada kasus ini,organisme jamur dari segmen posterior menembus membran Descemet dan masuk kedalam stroma kornea.

PROSES TERJADINYA ATAU PERJALANAN PENYAKIT

Fungi biasanya tidak menyebabkan keratitis mikroba karena normalnya, fungi tidak dapat berpenetrasi ke dalam lapisan epitel kornea yang intak dan tidak masuk ke dalam kornea lewat pembuluh darah limbus episklera. Defek pada epitel sering diakibatkan oleh trauma (mis., pemakaian lensa kontak, benda asing, riwayat operasi kornea). Organisme dapat berpenetrasi ke dalam membran Descement yang intak dan masuk ke dalam stroma.. Ia membutuhkan cedera penetrasi atau riwayat defek epitel untuk masuk ke dalam kornea. Setelah berada di dalam kornea, organisme dapat berproliferasi.

Organisme yang menginfeksi defek pada epitel sebenarnya merupakan mikroflora normal yang terdapat pada konjungtiva dan andeksa. Fungi filamentosa merupakan kausa tersering dari infeksi pasca trauma. Fungi filamentosa berproliferasi di dalam stroma kornea tanpa melepaskan substansi kemotaktik, sehingga menunda munculnya respon imun host/ respon inflamasi. Berbeda dengan fungi filamentosa, Candida albicans memproduksi fosfolipase A dan lisofosfolipase pada permukaan blastospora, untuk membantu ia masuk ke dalam jaringan. Fusarium solani, yang merupakan fungus yang virulen, dapat menyebar di dalam stroma kornea dan berpenetrasi ke dalam membrane Descemet. Trauma kornea akibat tumbuhan merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya keratomikosis. Terutamanya, petani yang tidak memakai alat proteksi diri, khususnya kaca mata. Trauma akibat pemakaian lensa kontak juga adalah salah satu faktor resiko terjadinya keratomikosis. Trauma kornea paling sering menyebabkan keratomikosis dan merupakan factor resiko major tipe keratitis tersebut .

Seorang dokter harus mempertimbangkan besar kemungkinan suatu keratomikosis jika pasien mempunyai riwayat trauma kornea, terutama adanya kontak dengan tumbuhan atau tanah. Resiko trauma akibat pemakaian lensa kontak adalah kecil, dan bukan merupakan faktor resiko major untuk keratomikosis.

Selain dari itu, kortikosteroid topikal diketahui dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi organisme jamur dengan menurunkan resistensi kornea terhadap infeksi. Candida sp menyebabkan infeksi okuler pada hospes yang mengalami imunodefisiensi dan pada kornea dengan ulkus kronik. Pemakaian kortikosteroid yang semakin meningkat sejak 4 dekade yang lalu telah berimplikasi sebagai suatu penyebab utama peningkatan insidensi keratomikosis. Tambahan, pemakaian kortikosteroid sistemik dapat menekan respon imun hospes, sehingga terjadi perdisposisi kepada keratomikosis. Faktor resiko lainnya termasuk operasi kornea (mis., PK, keratotomi radial) dan keratitis kronik (mis., herpes simpleks, herpes zoster, atau konjungtivitis vernal/alergi).

Jika pada hospes normal keratomikosis acapkali didahului oleh trauma, atau pemakaian steroid, pada penderita AIDS kelainan ini dapat timbul secara spontan tanpa faktor predisposisi pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua mata.

MANIFESTASI KLINIK

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat. Pasien biasanya datang dengan keluhan rasa mengganjal, nyeri yang bertambah berat, penglihatan menurun secara tiba-tiba, kemerahan pada mata, lakrimasi berlebihan, dan fotofobia (takut cahaya).

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah.

Sebenarnya gambaran yang khas pada ulkus kornea tidak ada. Infeksi awal dapat sama seperti infiltrasi stafilokokus, khususnya dekat limbus. Ulkus yang besar dapat sama dengan keratitis bakteri.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
  1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
  2. Lesi satelit.
  3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.
  4. Plak endotel.
  5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
  6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
  7. Lesi kornea yang indolen.
Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea yang memproduksi mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga terjadi nekrosis kornea dan reaksi radang yang cukup berat.

Pasien dengan keratomikosis cenderung mengalami gejala dan tanda inflamasi yang minimal pada periode awal dibanding dengan penderita keratitis bakteri dan hampir tiada injeksi konjungtiva saat presentasi klinis. Keratomikosis filamentosa sering bermanifestasi dengan infiltrasi putih-keabuan, lesi tampak kering dengan tepi ireguler berawan atau dikenal dengan berbatas filamentosa. Lesi superficial mungkin muncul sebagai elevasi dari permukaan kornea berwarna putih-keabuan, dengan permukaan kering, kasar atau rasa berpasir yang dapat dirasakan saat melakukan kerokan kornea. Kadang terdapat lesi satelit atau lesi multifokal, tetapi sangat jarang terjadi. Plak endotel dan/atau hipopion dapat terjadi jika infiltrasi jamur cukup dalam atau cukup luas.

DIAGNOSIS
  • Diagnosis ulkus kornea ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
  • Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang dikeluhkan oleh pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan, penglihatan kabur, silau jika melihat cahaya, kelopak terasa berat. Yang juga harus ditanyakan ialah adanya riwayat trauma, kemasukan benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya penyakit vaskulitis atau autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang
Gambar tabel anamnesis untuk membedakan macam-macam penyebab keratitis
    Pemeriksaan fisis
    • Mata merah yang ditemukan saat inspeksi (biasanya bersifat unilateral), seperti yang terdapat pada ulkus kornea serpiginosa. Dapat juga ditemukan hipopion yaitu akumulasi sel darah putih (nanah) di ruang anterior mata.
    • Pada pemeriksaan Visus
      • Didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang mengalami infeksi oleh karena adanya defek pada kornea sehingga menghalangi refleksi cahaya yang masuk ke dalam media refrakta.
    • Pada pemeriksaan dengan Slit lamp
      • Seringkali iris, pupil, dan lensa sulit dinilai oleh karena adanya kekeruhan pada kornea.
      • Hiperemis didapatkan oleh karena adanya injeksi konjungtiva ataupun perikornea.
      • Tanda yang umum pada pemeriksaan slitlamp yang tidak spesifik, termasuk didalamnya:
        • Injeksi konjungtiva
        • Kerusakan epitel kornea
        • Supurasi
        • Infiltrasi stroma
        • Reaksi pada bilik depan
        • Hipopion
    Pemeriksaan penunjang
    • Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar.
    • Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.
    Gambaran Histopatologi
    • Pada pemeriksaan histopatologik dengan memeriksa apusan kornea ditemukan adanya jamur pada 75% pasien. Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella kornea. Adanya komponen jamur yang mencapai stroma menunjukkan tingkat virulensi kuman sangat tinggi. Mungkin ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi inflamasi yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses cincin steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multipel dapat mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membrane Descement yang intak dan menyebar ke kamera okuli anterior. Di banyak kasus, jamur dapat tidak ditemukan dari permukaan dan stroma superfisial pada spesimen histopatologi, yang menjelaskan kegagalan pengambilan sampel untuk menemukan organisme pada ulkus pada tahap yang lanjut.
    • Ciri dari keratitis jamur adalah keratitis necrotizing (panah 1) yang pada umumnya dikaitkan dengan kedua akut dan inflamasi granulomatosa menyusup. 
    • Neutrofil (panah 3 hitam) serta histiosit dan sel raksasa berinti banyak bahkan terdiri menyusup. Dalam kornea sering ada ulserasi dan keratitis stroma nekrosis parah. Dalam pengaturan ini noda khusus seperti Grocott-Gomori methenamine nitrat-perak (RUPS bernoda gambar # 5), dan asam Schiff berkala akan sering menyoroti elemen jamur. Jamur telah merambah ke ruang anterior (hitam panah 5). Citra pembesaran tinggi menunjukkan jamur dengan struktur hifa yang bercabang menjadi 2 bagian (dikotomi) pada 45 derajat sudut (panah 1). Hifa yang 'sepatated'. Ini adalah bagian dari Aspergillus. Pada gambar di atas, ada massa jamur besar yang telah menyusup dan menggantikan kornea nekrotik. Membran Descemet ini dapat dilihat di bagian bawah bernoda ini geser PAS. Pada perbesaran yang lebih tinggi sekali melihat massa pseudohyphae yang begitu padat sehingga pola percabangan sulit untuk membedakan namun unsur jamur jelas sangat sangat PAS positif. Sebuah citra RUPS bernoda di bagian tepi massa jamur menunjukkan ragi tunas (merah panah 4). Ini 3 gambar menggambarkan Candida sp. Fusarium (merah panah 1) biasanya dibedakan dengan hifa tipis dengan septae sangat langka dan pola percabangan sudut kanan. 

    DIAGNOSIS BANDING

    Keratitis bakterialis
    • Secara klinis onset nyeri keratitis bakterialis sangat cepat disertai dengan injeksio konjungtiva, fotofobia dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea bakterial, inflamasi endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada. Penyebab infeksi tumbuh lambat, organisme seperti mikrobakteri atau bakteri anaerob infiltratnya tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid, kontak lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan predisposisi terjadinya infeksi bakterial.
    Keratitis viral
    • Dapat disebabkan oleh virus herpes simplex, varicella-herpes zoster atau adenovirus. Pasien keratitis akibat nfeksi herpes simplex sering datang dengan keluhan nyeri berat dan gambaran seperti infiltrat yang bercabang-cabang (keratitis dendritik). Tes sensitivitas pula menurun, bahkan pada infeksi herpes zoster bisa hilang sama sekali.
    Endoftalmitis
    • Didiagnosa bila inflamasi melibatkan kedua-dua bilik mata depan dan belakang. Tanda klasik pada endoftalmitis adalah penurunan visus, hiperemis konjungtiva, nyeri yang memberat, edema palpebra, dan hipopion. Kemosis konjugtiva dan edema kornea dapat ditemukan. Penyebab terjadi endoftalmitis bisa secara eksogen (mis. pasca operasi) atau endogen (penyebaran secara hematogen ; mis. jalur IV yang terinfeksi, atau dari organ tubuh lain yang terinfeksi).

    OBAT-OBAT ANTI JAMUR

    Pengamatan klinik dan laboratorium memperlihatkan bahwa jamur berbeda sensibilitasnya terhadap anti jamur, tergantung spesiesnya; hal ini sering dilupakan, ditambah lagi jenis obat anti jamur yang terbatas tersedia secara komersial di Indonesia.

    Secara ideal langkah-langkah yang ditempuh sama dengan pengobatan terhadap keratitis/ulkus bakterialis :
    • Diagnosis kerja atau diagnosis klinik.
    • Pemeriksaan laboratorik :
      • Kerokan kornea, diwarnai dengan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India.
      • Kultur dengan agar Sabouraud atau ekstrak Maltosa.
    • Pemberian antijamur topikal berspektrum luas.
    • Penggantian obat bila tidak terdapat respon.
    Obat yang ideal mempunyai sifat berikut :
    • Berspektrum luas.
    • Tidak menimbulkan resistensi.
    • Larut dalam air atau pelarut organik.
    • Stabil dalam larutan air.
    • Berdaya penetrasi pada kornea setelah pemberian secara topikal, subkonjungtival atau sistemik.
    • Tidak toksik.
    • Tersedia sebagai obat topikal atau sistemik.
    Jenis obat anti jamur adalah sebagai berikut :
    • Antibiotik polyene :
      • Tetraene: Nystatin, Natamycin (Pimaricin)
      • Heptaene: Amphotericin B, Trichomycin, Hamyein, Candicidin.
    • Golongan Imidazoles: Clotrimazole, Miconazole, Ketoconazole.
    • Golongan Benzimidazole: Thiabendazoles.
    • Halogens: Yodium
    • Antibiotik lain: Cyloheximide, Saramycetin, Griseofulvin.
    • Pyrimidine: Flucytosine.
    • Lain-lain: Thimerosal, Tolnaftate, Cu-sulfat, Gentian Violet.
    Antibiotik polyene : termasuk Natamycin, Nystatin dan Amphotericin B.
    • Berdaya anti fungi karena mengganggu permeabilitas membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler. Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan lisis permanen membran dibanding perubahan reversibel oleh yang bermolekul besar seperti Nystatin, Amphotericin B. 
    • Nystatin semula tersedia secara komersial di Indonesia, tetapi sekarang sedang tidak diproduksi. Mungkin bisa dibuat dari tablet Mycostatin® (500.000 unit/tablet) dengan konsentrasi 100.000 unit/ml, walaupun vehikulum talknya iritatif terhadap kornea dan konjungtiva.
    • Amphotericin B 0,1% tersedia secara komersial dan bila diragukan kestabilannya, bisa dibuat dari preparat perenteral dengan mengencerkannya dengan akuades. Prepanat Amphotericin B iritatif terhadap kornea dan konjungtiva. Golongan ini mempunyai daya antifungi spektrum luas tapi tidak efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia. Obat ini efektif terhadap Aspergillus, Fusanium dan Candida. Pengobatan intravena tidak dianjurkan karena toksik terhadap ginjal dan penetrasi ke kornea minimal.
    • Natamycin (piramycin) berspektrum luas seperti polyene lain, tetapi dilaporkan lebih efektif terhadap Fusanium. Di Amerika Serikat lanutan 5% sering dipakai dengan berhasil dan di Eropa tersedia dalam bentuk salep 1% dan larutan 2,5%. Walaupun dalam vademikum salah satu industri farmasi tercantum, tetapi secara komersial agaknya tidak tersedia. Dosis dan cara pemberian Amfoterisin B yaitu pemberian setiap 30 menit untuk 24 jam pertama, 1 jam untuk 24 jam kedua, dan di tappering off sesuai dengan respon klinis tubuh pasien terhadap obat.
    Griseofulvin tersedia luas secara komersial moral, sayang preparat ini sulit mencapai cairan tubuh atau janingan dalam konsentrasi tinggi sehingga kurang bermanfaat secara oftalmologik. Golongan Imidazol, dan ketokonazol dilaporkan efektif terhadap Aspergillus, Fusarium, Candida. Tersedia secara komersial dalam bentuk tablet.

    Halogen
    Larutan 0,025% dilaporkan berhasil mengobati infeksi Candida albicans, tetapi cepat dinonaktifkan oleh air mata dan berdaya penetrasi lemah pada kornea. Diberikan secara kauterisasi, dapat dengan kapas lidi steril.

    Thimerosal (Merthiolat)
    In vitro dilaporkan baik untuk Candida, Aspergillus dan Fusarium, tapi diduga zat Hg ini cepat diinhibisi oleh radikal sullihidril di jaringan okule Obat ini ada di Vademikum salah satu pabrik farmasi tetapi secara komersial tidak ada.

    Ketokonazole oral (200-600 mg/hari) bisa digunakan untuk tambahan terapi pada beberapa keratitis fungal tipe filamentous, dan fluconazole (200-400mg/ hari) untuk beberapa keratitis fungal tipe yeast

    TERAPI ATAU PENGOBATAN

    Terapi keratitits fungal sangat sulit. Kebanyakan obat antifungi hanya bersifat fungistatik dan memerlukan sistem imun yang utuh (yang tidak nampak) dan memperpanjang perjalanan terapi. Tanpa bantuan imunitas yang utuh untuk menekan organisme, pengobatan fungistatik menjadi kurang efektif.

    Kelas obat yang digunakan untuk pengobatan keratitis jamur termasuk antibiotik polyene (nistatin, amphoterecin B, natamycin); analog pyrimidine (flucytosine); imidazole (clortrimazole, miconozole, econazole, ketoconazole); triazoles (fluconazole, itraconazole); dan sulfadiazine. Natamycin hanya dapat diberikan secara topical; obat lain dapat diberikan dari bermacam jalur yang ada. Steroid kontraindikasi karena akan terjadi eksaserbasi penyakit.

    Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi; bisa dibagi:
    1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
    2. Jamur berfilamen.
    3. Ragi (yeast).
    4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
    Untuk golongan I :
    • Topikal Amphotericin B 1,0¬2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin  lebih dari 10 mg/ml, golongan Imidazole.
    Untuk golongan II :
    • Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin (obat terpilih), Imidazole (obat terpilih).
    Untuk golongan III :
    • Amphoterisin B, Natamycin, Imidazole.
    Untuk golongan IV :
    • Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
    Pemberian Amphotericin B subkonjungtival hanya untuk usaha terakhir. Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior (perlengketan antara iris dan lensa atau kornea) untuk mengurangi uveitis anterior. Obat analgetik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri.

    Terapi sistemik hanya diindikasikan pada kasus yang melibatkan intraokular. Pada kasus lain akan berespon baik dengan terapi topikal antifungi seperti natamycin, nystatin, dan amphotericin B.

    Terapi bedah dilakukan guna membantu medikamentosa yaitu :
    1. Debridement
    2. Flap konjungtiva, partial atau total
    3. Keratoplasti tembus
    Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwaterapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.

    KOMPLIKASI

    Ulkus kornea dapat berkomplikasi dengan terjadinya perforasi kornea walaupun jarang. Hal ini dikarenakan lapisan kornea semakin tipis disbanding dengan normal sehingga peningkatan tekanan intraokuler dapat mencetuskan terjadinya ulkus kornea. Pembentukan jaringan parut kornea menghasilkan kehilangan penglihatan parsial maupun kompleks. Terjadinya neovaskularisasi dan astigmatisme ireguler, penipisan kornea, sinekia anterior, sinekia posterior, glaucoma, dan katarak juga bisa terjadi.

    Keratitis fungal dapat berperan utama untuk infeksi berat yang melibatkan setiap struktur intraokular dan dapat membuat hilangnya penglihatan atau kehilangan mata. Perforasi kornea jarang terjadi, dan endophthalmitis sekunder telah dilaporkan.

    PROGNOSIS

    Prognosis tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya kornea yang terlibat, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), dan waktu penegakkan diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan kultur di laboratorium.Pasien dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diperkirakan satu dari ketiga infeksi jamur gagal terapi pengobatan atau perforasi kornea

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Duane, D Thomas : Clinical Ophthalmology, Volume 4, Philadelphia, Harper & Row Publisher, 1987.
    2. Grayson, Merrill : Diseases of The Cornea, Second Edition, London, The C. V. Mosby Company, 1983.
    3. Ilyas, S., Mailangkay, H.H.B., Taim, H, Saman, R.R., Simarmata, M., Widodo, P.S : Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi kedua, Jakarta, C. V. Sagung Seto, 2002.
    4. Ilyas, Sidarta : Ilmu Penyakit Mata, edisi kedua, Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
    5. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/11InfeksiJamur087.pdf/11InfeksiJamur087.html.
    6. http://www.usmicro-solutions.com/fungi.html