Neurobiologi dengan penekanan pada patofisiologi dari epilepsi

EPILEPSY

PENDAHULUAN

Posting kali ini membahas pengetahuan mutakhir mengenai neurobiologi dengan penekanan pada patofisiologi dari epilepsi. Walaupun sindrom epilepsi berbeda secara patofisiologis, ciri-ciri iktogenesis yang lazim seperti bertambahnya eksitabilitas neuronal, sinkronisitas maupun mekanisme yang bersangkutan dengan transisi interiktal-iktal adalah sama. Pandangan yang sedang berkembang menunjukkan pada perubahan dari fungsi sinaptik dan sifat intrinsik dari neuron sebagai mekanisme umum yang mendasari hipereksitabilitas. Tak adanya keseimbangan antara sistem neurotransmiter glutamat dan GABA dapat menyebabkan hipereksitabilitas, akan tetapi sistem neurotransmiter katekolaminergik dan peptida opioid memegang peranan juga pada epileptogenesis. Akhir-akhir ini, bukti defek gen yang mendasari epilepsi, memberi pandangan baru pada patofisiologi dari epilepsi karena penyakit ini disebabkan oleh mutasi saluran ion. Penyelidikan mutakhir menekankan peranan sistem imun pada kejang seperti ensefalitis dari Rasmussen. Bertambahnya minat penyelidikan dari epilepsi disebabkan karena kemajuan yang bersamaan dari neuroimaging, bedah saraf, neurofisologi dan neurobiologi molekular

DEFINISI
  • Kejang: Manifestasi klinis dari pelepasan sinkronis yang abnormal dan berlebihan dari kumpulan neuron serebral (Cock 2006).
  • Kejang epileptik timbulnya sepintas dari tanda-tanda dan gejala, atau keduanya, akibat aktivitas neuronal yang berlebihan dan sinkronis di otak (Fisher ILAE, IBS 2005). Aktivitas singkat yang sinkronis dari sekelompok neuron mengakibatkan ”interictal spike”, yang berlangsung kurang dari 70 ms dan berbeda dengan kejang (deCurtis 2001).
  • Epilepsi: adalah gangguan dari otak dengan ciri predisposisi terus menerus untuk membangkitkan kejang epileptik dengan akibat neurobiologik, kognitif, psikologik, dan sosial (ILAE proposed new edition, 2005).
  • Epilepsi adalah gangguan dari otak dengan ciri predisposisi terus menerus untuk membangkitkan kejang epileptik, dan epileptogenesis adalah perkembangan jaringan neuronal pada mana timbul kejang spontan (Duncan 2006).
Kejadian yang timbul akibat macam-macam trauma otak pada epilepsi dapat dilihat pada gambar.

Bagan 1. Kaskade kejadian yang dipicu oleh trauma otak pada epilepsi

HIPOTESIS TRADISIONAL DARI EPILEPSI

Epilepsi dapat timbul karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta bertambhanya sinkroni dari pelepasan neuronal (Schwarzkroin 2003) (lihat bagan 2).

Bagan 2. IMBALANS ANTARA EKSITASI (E) DAN INHIBISI (I) SERTA BERTAMBAHNYA SINKRONI PELEPASAN NEURONAL

1. Imbalans antara eksitasi dan inhibisi

Kejang parsial dan sekunder umum disebabkan karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi di otak. Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang. Output sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat, merekrut sistem neuronal yang berhubungan secara sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan (synchronization). Sistem inhibisi juga diaktifkan waktu kejang, akan tetapi tak cukup untuk mengkontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga timbul kejang (lihat tabel 1).

Tabel 1. Key physiological  processes in balancing excitation and inhibition (Fisher 2002)
Excitation
Neural depalarization
Exctatory postsynapstic potentials (EPSP)
Action potentials
Inward ionic currents
Long-term excitatory plastic changes
Inhibition
Neuronal hyperpolarization
Inhibitory postsynaptic potentials (IPSP)
Calcium-activated potassium potentials
Outward currents
Metabolic pump potentials
 Spike frequency accomodation

Hipotesis klasikal dari imbalans normal antara eksitasi dan inhibisi yang mengakibatkan kejang, dianggap sebagai penyederhanaan yang berlebihan. Fungsi dari otak tergantung pada kerjasama antara jaringan yang berbeda melalui osilasi dalam jaringan ini. Jaringan kortek membentuk osilasi, pada mana neuron inhibisi, komunikasi neuron (misalnya transmisi sinaptik), dan sifat-sifat neuronal intrinsik (misalnya kemampuan neuron untuk mempertahankan letupan) adalah penting sekali. Timbulnya aktivitas epileptik adalah sifat yang timbul dari jaringan osilasi.
    • I.1 Eksitasi dan epilepsi
      • Eksitasi melalui beberapa lusin neurotransmitter dan neuromodulator, akan tetapi reseptor glutamat adalah paling penting dan prototipe yang paling banyak diselidiki untuk eksitasi pada epilepsi. Reseptor glutamat adalah makromolekul yang rumit dengan banyak titik untuk manipulasi, termasuk saluran kation, AMPA, kainat, sisi reseptor NMDA, tiga famili dari reseptor metabotropik, dua famili transporter glutamat neuronal dan glial, dan banyak macam sisi modulator. Subtipe reseptor glutamat dapat dilihat pada bagan 3.
    Bagan 3. SUBTIPE RESEPTOR GLUTAMAT
      • Perubahan pada sinaps glutamatergik dibuktikan sebagai dasar dari epileptogenesis. Terutama perubahan pada komposisi subunit dengan akibat perubahan pada sifat fungsional dari reseptor glutamat. Perubahan itu hubungan dengan perubahan potensiasi jangka panjang pada sinaps glutamat maupun bertambahnya masuknya kalsium. Selain itu, transpor glutamat/ mekanisme uptake termasuk dalam penunjang utama ikut sertanya pada epileptogenesis, karena glutamat yang berada terus menerus di cela sinaps adalah dasar potensial bertambahnya eksitabilitas.
      • Molekul modulator menambah atau mengurangi eksitabilitas otak. Misalnya norepinephrine (dan mungkin lain-lain monoamine) memberi pengaruh antiepileptik umum, dan tak adanya norepinephrine menjadikan otak sangat mudah kejang. Neuropeptida Y dan galanin diketahui sebagai zat penghambat kejang. Perubahan pada ekspresi neuropeptida (misalnya neuropeptida Y, substance P, dan molekul pengikat-kalsium intraselular: calbindin) mengkontrol pelepasan epileptik selanjutnya. Hormon steroid, adrenal maupun gonadal, mempunya efek pada eksitabilitas neuronal dan dapat modulasi epileptogenesis. Estrogen dapat menyebabkan plastisitas struktural dramatis pada beberapa neuron dan dapat menambah eksitabilitas neuronal, perubahan itu hubungan dengan epilepsi katamenial. Aktivitas kejang menyebabkan upregulasi dari BDNF (brain-derived neurotrophic factor); selain itu BDNF menambah aktivitas pelepasan epileptiform, dan blokade dari reseptor trkB mengurangi kepekaan kejang pada binatang percobaan.
    • 1.2 Inhibisi dan epilepsi
      • Terdapat 16 reseptor GABA-A, 3 reseptor GABA-B dan 2 reseptor GABA-C. Sasaran pengobatan obat antiepileptik adalah pada reseptor GABA-A postsinaptik, GABA-B autoreseptor dan GABA-A transporter.
      • GABA-A:
        • Inhibisi diotak diatur dalam satu hirarki. Pada dasar dari hirarki ini adalah IPSP cepat (fast inhibitory postsynaptic potential) yang paling penting dan disalurkan oleh reseptor GABA-A. Setelah GABA dilepaskan dari terminal presinaptik, ia menyebar melalui cela sinaptik dan mengikat pada reseptor postsinaptik. 
        • Komplek reseptor GABA-A terdiri atas dua rantai alfa dan dua rantai beta. Mutasi dari macam-macam rantai ini dapat menyebabkan macam-macam disfungsi reseptor GABA-A, yang dapat menyebabkan kecenderungan kejang. Sisi pengenalan (recognition site) GABA-A terletak pada subunit beta dan sisi modulasi benzodiazepine (benzodiazepine modulatory) pada subunit alfa, akan tetapi kepekaan benzodiazepine tergantung juga pada rantai gamma. 
        • Pengikatan dari GABA pada reseptor GABA-A membuka ionophore klorida pada rantai beta. Masuknya ion klorida mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan selanjutnya mengadakan hambatan dengan cara menurunkan hambatan (resistance) membran. Reseptor GABA-A recognition site dan ionophore klorida berhubungan dekat dengan sisi modulator yang mengadakan respon terhadap benzodiazepine dan barbiturat. GABA-A adalah reseptor paling penting, akan tetapi ia menunjukkan susunan sub-rantai yang membingungkan, beraneka ragam dan varian genetik.
      • GABA-B:
        • Beberapa neuron mempunyai juga reseptor GABA-B, yang menghasilkan hiperpolarisasi yang lebih dalam dan lebih lama, dinamakan IPSP-lambat (slow IPSPs) atau potensial hiperpolarisasi lambat (late hyperpolarizing potentials).
        • Pada tahap selanjutnya dari hirarki inhibisi adalah potensial non-sinaptik dinamakan calcium-activated potassium. Arus yang mendasari potensial ini terjadi oleh masuknya kalsium kedalam neuron, mengakibatkan aktivasi dari aliran kalium keluar. Hiperpolarisasi dari calcium-activated potassium dapat besar sekali dan berlangsung beberapa ratus milidetik. Potensial pompa metabolik menggunakan energi yang diperoleh dari ATP untuk transpor ion natrium keluar dari neuron dan ion kalium kembali kedalam neuron setelah aktivitas neuronal. Karena pompa mentranspor keluar tiga ion natrium untuk dua ion kalium yang masuk, dengan akibat hiperpolarisasi. Hiperpolarisasi ini dapat berlangsung beberapa menit, dan dipertahankan neuron jauh dari ambang letupan aksi potensial. Diperkirakan bahwa hiperpolarisasi yang hubungan dengan pompa (pump-related hyperpolari-zation) mungkin hubungan sebagian dengan Todd’s paralysis setelah kejang.
        • Penambahan respon pada reseptor GABA-B, atau dari “calcium-activated potassium” berguna untuk strategi menghambat kejang. GABA-B terlibat dalam pembentukan spike-wave.
      • GABA-C
        • Peranan GABA-C pada epilepsi tak diketahui
        • Insult epileptogenik dapat merusak interneuron penghambat GABA-ergik. GAD (glutamic acid decarboxylase) - positive neuronal somata berkurang kira-kira 25-50% pada fokus. Proses akut seperti hipoksia dapat menekan aliran penghambat GABA-ergik di sel hipokampus sebelum ia menekan aliran eksitatoris. Dalam interval waktu ini, otak sangat mudah terangsang (hyperexcitable) dan peka terhadap kejang.
    • 1.3 Lain-Lain Transmiter pada Epilepsi
      • Aspartate, acetylcholine, norepinephrine, dopamine, serotonin, opiates, adenosine, substance P, neuropeptide Y (NPY), somastatin, dan lain-lain neuromodulator

    II. MEKANISME SINKRONISASI

    Bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas anjang-anjang aksonal (sprouting of axonal arbors) dari neuron eksitatoris dan pembentukan hubungan sinaptik eksitatoris yan berulang-ulang serta feedback positif dan bertambahnya hubungan dengan sirkuit ini menyokong pelepasan sinkronisasi (synchronized discharge). Penyelidikan menemukan bahwa neuron penghambat, yang sering membuat hubungan dengan banyak sel sasaran adalah mediator penting dari sinkroni. Pada beberapa sirkuit, hambatan adalah inti dari sinkroni normal dan bertambahnya hambatan adalah dasar dari sinkronisasi patologis. Kemungkinan fasilitasi sinkronisasi dapat berasal dari perangkai elektronik yang lebih luas (misalnya liwat hubungan “gap junction” antara neuron) dan interaksi ephaptik yang bertambah (misalnya via aliran listrik melalui “activity-dependent shrinkage” dari ruangan ekstraselular.
    Ciri khas dari semua tipe aktivitas epilepsi adalah bertambahnya sinkroni neuronal. Waktu kejang, sel otak meletup dalam pola hubungan bersamaan (mutually linked pattern). Pada umumnya, saluran natrium dan kalsium menengahi eksitasi neuronal, sedangkan saluran kalium dan klorida menstabilkan letupan neuronal.

    III. IKTOGENESIS

    Eksitabilitas adalah gejala kunci dari iktogenesis yang dapat berasal dari: (1) neuron-neuron itu sendiri, (2) neuron sekitarnya dan (3) kumpulan dari neuron-neuron.

    III.1 Eksitabilitas berasal dari neuron-neuron itu sendiri
    • Eksitabilitas dari neuron tunggal dapat menyebabkan perubahan pada membran atau perubahan pada sifat metabolik dari neuron-neuron individual. Perubahan fungsional dan struktural dapat terjadi pada membran postsinaptik, jadi merubah sifat dari saluran reseptor protein-conductance, sehingga timbul paroxysmal depolarizing shift (PDS) dan bertambahnya eksitabilitas. Neuron epileptik menambah konduksi Ca++. Mungkin saluran Ca++ laten digunakan, sehingga efektivitas saluran Ca++ bertambah atau banyaknya saluran ditambah pelan-pelan. Akan tetapi timbulnya aktivitas ledakan tergantung pada masuknya aliran netto dan tidak pada banyaknya absolut dari aliran yang masuk. Bila konsentrasi K+ ekstraselular bertambah (seperti pada waktu aktivitas kejang), keseimbangan K+ yang meliwati membran neuronal berkurang, sehingga aliran K+ yang keluar berkurang. Aliran netto menjadi kedalam, mendepolarisasi neuron sedemikian rupa sehingga memicu aliran Ca++. Akibatnya timbul PDS dan ledakan spike.
    • Perubahan pada struktur elektronik dari neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan sifat membran dasar) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik) dan output aksi potensial. Akan tetapi, kebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik dipusatkan pada perubahan dari saluran voltase (voltage-gated channels), terutama saluran natrium, kalium, dan kalsium. Mutasi atau hilangnya saluran itu menyebabkan epilepsi pada binatang percobaan dan beberapa bentuk epilepsi dari manusia. Saluran “epileptik” itu dapat mempermudah pelepasan dengan cara beberapa mekanisme, termasuk fasilitasi (atau mengurangi) pelepasan transmitter, penambahan tansmisi di akson, influx kalsium bertambah yang berhubungan dengan depolarisasi neuronal, dan bertambahnya kemampuan meletus berulang-ulang. Selain itu, sistem messenger intraselular, (misalnya saluran rantai (linking channels) dan reseptor dengan proses enzymatik intraselular, pelepasan kalsium dari timbunan intraselular, dan aktivasi gen dan/atau ekspresi) dapat dirubah dalam sel dari jaringan epileptik.
    III.2 Eksitabilitas berasal dari neuron sekitarnya (ekstra-sinaptik)
    • Perubahan fungsional maupun struktural terjadi pada fokus-fokus epileptik. Perubahan fungsional termasuk konsentrasi kation dan anion, perubahan metabolik dan perubahan pada kadar neurotransmitter. Perubahan struktural mengenai neuron maupun glia. K+ ekstrasellular yang berlebihan mendepolarisasi neuron dan mengakibatkan pelepasan spike. Waktu kejang perubahan dalam kadar Ca++ ekstraselular (penurunan 85%) mendahului K+ dan kadar Ca++ kembali normal lebih cepat dari pada K+. Glia dapat membersihkan neurotransmitter dari ruangan ekstraselular, jadi buffer K+ dan memperbaiki konsentrasi K+ ekstraselular yang meningkat pada waktu terjadi kejang. Fokus-fokus epileptik menunjukkan proliferasi glia, yang mempunyai sifat morfologis dan fisiologis yang berbeda. Gliosis dapat mengenai kapasitas buffer K+ glia dan karena itu ikut serta dalam pembentukan kejang.
    • Kebanyakan dari kejadian di otak terjadi pada sinap akan tetapi proses ekstrasinaptik dapat mempengaruhi kejang. Diantaranya adalah pelepasan ion ekstraselular dan interaksi neuronal via efek lapangan non-sinaptik (non-synaptic field effects). Kejadian yang terjadi pada ruangan ekstraselular dinamakan “volume transmission”, sebaliknya dengan hubungan sel sama sel (dengan sinaps kimia atau “gap junction”) dinamakan “wiring synapses”.
      • Kalium : Neuron yang meletup melepaskan kalium dalam ruangan ekstraselular (dari 3 mM hingga 12-15 mM) . Penambahan kalium ekstraselular mendepolarisasi neuron dan membawa lebih dekat pada ambang letupnya. Letupan sel ini melepaskan lebih banyak kalium dalam ruangan ekstraselular dan memberi keadaan timbal balik (feedback) yang positif. Sebaliknya dengan sinsium glia ia dapat bekerja sebagai penawar kalium. Akan tetapi pada epilepsi menahun jaringan glia dapat berfungsi abnormal. Kejang menyebabkan proliferasi astrosit dan perubahan pada rangka sel astrosit (astrocyte cytoskeleton). Astrosit pada fokus-fokus kejang manusia menunjukkan beberapa sifat atipikal, termasuk proses yang berkembang hebat (highly branched processes), adanya saluran peka-tetrodoksin yang voltase aktif (voltage-activated, tetrodoxin-sensitive channels), dan penurunan aliran kalium yang masuk (inward-rectifying currents). Sifat ini mungkin mengganggu kemampuan sinsium glia untuk menetralisir tambahnya kalium intraselular.
      • Natrium, kalsium, magnesium dan hydrogen: Natrium, kalsium, dan magnesium mengurangi aktivitas ekstraselular waktu kejang. Konsentrasi ion hidrogen bertambah pada ruangan ekstraselular waktu kejang, sehingga ruangan ekstraselular agak asam. Karena ion hidrogen bersaing dengan saluran NMDA, maka pergeseran keasaman mengurangi eksitasi yang berlebihan. Pekerjaan obat antiepileptik acetasolamide (Diamox) melalui cara ini.
      • Gap-junction (cela persimpangan): Cela persimpangan menggunakan suatu protein, connexin, yang dapat mengatur hubungan sel-ke-sel pada persimpangan. Connexin terdapat dalam beberapa bentuk, connexin 26 (Cx26; beta 2), Cx32 (beta 1) dan Cx43 (alfa 1). Cela persimpangan diantara neuron memegang peranan pada sinkronisasi neuronal, dan pada hubungan dari interneuron penghambat hippokampus. Blokade farmakologik dari cela persimpangan mengurangi kejang-kejang pada binatang percobaan. Selain itu cela persimpangan antara neuron hipokampus dapat memegang peranan dalam aktivitas osilasi cepat dari 100-200 Hz, yang terjadi pada permulaan dari sesuatu kejang.
      • Letupan balik pada non-sinap: Perluasan non-sinap dari aktivitas epileptik melalui mekanisme letupan balik aksonal.(axonal backfiring). Pada fenomen ini terminal akson mengadakan depolarisasi kedistal dan meletup balik untuk merangsang sel somanya. Somanya kemudian meletupkan semua terminal dan menyebarkan eksitasi.
      • Medan listrik dan magnetik: Medan listrik dan magnetik yang dihasilkan dari aktivitas neuronal dapat mempengaruhi langsung neuron didekatnya., tanpa perantara sinap atau cela persimpangan. Aktivitas epileptik yang dihasilkan pada irisan hipokampus setelah dihapus kalsiumya dapat dinetralisir dengan pemberian medan listrik DC (direct current) dengan perbedaan 1-5 mV/mm.
    • Mengacaukan aktivitas otak normal mungkin dengan cara menimbulkan kejang, melalui disregulasi dari proses kontrol dasar. Yang pokok dalam hal ini adalah kontrol dari balans ion (antara ruangan ekstraselular dan intraselular). Ion-ion yang ternyata paling kritikal adalah H+ dan K+. Perubahan utama pada pH ekstraselular mempunyai kemampuan merubah proses selular yang peka-pH (misalnya fungsi reseptor NMDA). Kenaikan kalium ekstraselular dapat menyebabkan hipereksitabilitas, depolarisasi neuron langsung dan memblok fungsi repolarisasi dari saluran kalium. Glia terutama astrosit, mempertahankan balans ion dan menghilangkan zat eksitatoris (misalnya glutamat) dengan melepaskannya kedalam ruangan ekstraselular. Perubahan dalam sifat glia dapat dibuktikan pada jaringan dari otak epileptik – perubahan dalam sifat saluran membran intrinsik, gap junction protein, dan distribusi dari proses glia. Sebagai hasil-sampingan dari kontrol balans ion, glia juga ikut serta dalam mempertahankan ruangan ekstraselular yang relatif konstan, kekacauan dari ini dapat juga menyebabkan hipereksitabilitas.
    III.3 Kelompok sel epileptik
    • Perubahan kolektif anatomis atau perubahan fisiologis neuronal dapat mengakibatkan fasilitasi eksitabilitas jaringan yang progresif (progressive network-dependent facilitaion of excitability) , mungkin bersamaan dengan penurunan dari pengaruh hambatan, misalnya karena hilangnya secara selektif dari neuron penghambat. Tunas serat lumut (MFS = mossy fiber sprouting) adalah contoh dari bertambahnya eksitabilitas.
    • MFS (mossy fiber sprouting) terdapat pada penderita dengan epilepsi lobus temporalis refrakter dengan sklerosis hipokampus. Pada keadaan normal sel granula dentata membatasi perambatan kejang melalui jaringan hipokampus. Akan tetapi pembentukan dari sinap eksitatoris yang berulang-ulang antara sel granula dentata, setelah terjadi MFS, dapat merubah sel granula dentata menjadi kumpulan neuron epileptogenik Mungkin timbul sirkulus visiosus: kejang menyebabkan kematian neuronal dengan akibat MFS yang sebaliknya menambah frekuensi kejang.

    IV. EPILEPTOGENESIS

    Trauma otak dapat mengakibatkan epilepsi setelah interval latensi bebas dari kejang. Penyelidikan terakhir memperkirakan kemampuan luas sekali untuk remodeling pada sirkuit yang terkena, dengan kemungkinan lebih baik pada otak muda untuk remodeling dan kesembuhan . Anoksia-iskemia, trauma, neurotoksin dan lain-lain trauma secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel-sel ini mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron deafferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang (hyperexcitable) karena mudah rusaknya dari interneuron penghambat.

    Manifestasi klinis dari sirkuit regenerasi di hipokampus adalah sklerosis temporal mesial, menunjukkan hipokampus atrofis yang terlihat pada T2-MRI. Hitologis jaringan sklerosis mesial temporal yang diambil waktu bedah menunjukkan hilangnya neuron dan diganti dengan jaringan gliotik. Pengecatan dengan seng (Zn) yang dipakai sebagai penilai dari satu tipe terminal pada daerah CA3 dari hipokampus, menunjukkan pita ekstra dari seng pada jaringan epileptogenik menahun, ini menunjukkan pertumbuhan berlebihan dari terminal yang mengandung seng. Mengeluarkan tunas baru (sprouting) mungkin sebagai akibat dari pola tertentu dari eksitasi, karena ia dapat terjadi pada tak adanya kematian sel. Epileptogenesis tak tergantung hanya pada pembentukan dari hubungan baru dan tunas serat lumut (mossy fibers), akan tetapi pada kematian terprogram atau apoptosis dari kumpulan sel terpilih.

    Teori dari epilepsi lobus temporalis terpusat pada hipokampus karena popularitas irisan hipokampus pada lobektomi mesial temporal. Akan tetapi lain-lain struktur limbik, termasuk kortek entorinal, amygdala dan kortek piriformis penting sekali pada epilepsi lobus temporalis. Talamus medial mungkin sebagai “pacemaker” dari struktur limbik. Hipotalamus posterior ternyata menengahi daerah hipometabolisme sekitar fokus kejang kortikal

    V. MEKANISME PERALIHAN INTERIKTAL-IKTAL

    Mekanisme bertambah kuatnya sinyal (signal amplification), sinkroni, dan perluasan dari aktivitas mungkin terlibat dalam peralihan interiktal-iktal. In vivo, peralihan interiktal-iktal jarang mengenai satu mekanisme teoretikal, akan tetapi sering akibat interaksi dari macam-macam mekanisme. Macam-macam mekanisme teoretikal dari peralihan interiktal-iktal dapat dilihat ada tabel 2.

    TABEL 2. RINGKASAN MEKANISME PERALIHAN
    INTERIKTAL-IKTAL
    Nonsynaptic mechanisms
    -          Alterations in ionic microenvironment: eg increased extarcellular K+, decreased extracellular Ca++
    -          Dcreases in size of extrcellular space     
    -          Failure of ion transport: Na+-K+ pump or Cl--K+ cotransport
    -          Presynaptic terminal bursting
    -          Ephaptic interactions
    Synaptic mechanisms
    -          Depression of GABA-ergic inhibition
    -          NMDA receptor activation; voltage-dependent EPSPs
    -          Frequency potentiation of EPSPs
    -          Actions of modulators
    Keterangan : EPSP = excitatory postsynaptic potential

    V.1 Mekanisme non-sinaptik

    Perubahan pada lingkungan-mikro ionik
    • Aktivitas iktal dan interiktal yang berulang-ulang menambah K+ ekstraselular dan memberi peningkatan eksitabilitas neuronal. Beberapa neuron sangat peka terhadap perubahan pada aliran membran K+, misalnya sel piramidal pada daerah CA1 dari hipokampus (Engelborghs 2000).
    Transpor ion aktif
    • Aktivasi dari pompa Na+- K+ adalah penting untuk mengatur eksitabilitas neuronal waktu pelepasan neuronal yang berlebihan. Zat-zat seperti ouabain dapat memblok pompa Na+-K+ dan dapat menyebabkan epileptogenesis pada binatang percobaan. Hipoksia atau iskemia dapat mengakibatkan kegagalan pada pompa Na+- K+ jadi memacu peralihan interiktal-iktal. Mekanisme ko-transpor Cl-- K+ mengkontrol konsentrasi Cl- intraselular dan perbedaan Cl- yang melewati membran sel, mengatur efektivitas aliran Cl- yang diaktifkan oleh GABA.. Gangguan pada proses ini dapat menyebabkan penurunan progresif dari hambatan GABA-ergik dan menyebabkan eksitabilitas bertambah
    Interaksi ephaptik
    • Interaksi ephaptik dapat terjadi bila aliran dari neuron diaktifkan, merangsang neuron didekatnya yang tak ada hubungan sinaptik. Efek ephaptik sangat tergantung pada besarnya ruangan ekstraselular. Bila ruangan ekstraselular kecil, interaksi ephaptik digiatkan
    V.2 Mekanisme sinaptik
    Dua mekanisme teoretikal dapat terjadi: yaitu Efektivitas dari mekanisme hambatan sinaptik berkurang atau fasilitasi kejadian sinaptik eksitatorik.

    VI. MEKANISME NEUROKIMIAWI YANG MENDASARI EPILEPSI

    VI.1 GABA
    • Hipotesis GABA mengatakan bahwa penurunan hambatan GABA-ergik mengakibatkan epilepsi, sedangkan bertambahnya hambatan GABA-ergik mengakibatkan efek anti-epileptik. Potensial penghambat postsinaptik (ISPS = inhibitory postsynaptic potential) berangsur-angsur amplitudo-nya berkurang waktu aktivasi berulang-ulang dari sirkuit kortikal. Gejala ini disebabkan karena penurunan pelepasan GABA dari terminal, desensitisasi dari reseptor GABA bersamaan dengan kenaikan konduksi Cl- atau perubahan pada perbedaan ion karena penimbunana Cl- intrasellular. Pada keadaan penimbunan Cl- intraselular, maka redistribusi pasif tak berguna. Selain itu, Cl-- K+ co-transport menjadi kurang efektif waktu kejang karena ia tergantung pada perbedaan K+. Karena Cl-- K+ transpor tergantung pada proses metabolik, efektivitasnya dapat terkena oleh hipoksia maupun iskemia. Mekanisme ini dapat memegang peranan kritis pada iktogenesis dan peralihan interiktal-iktal.
    • Kadar GABA dan aktivitas asam glutamat dekarboksilase (GAD=glutamic acid decarboxylase) menurun pada fokus epileptik dari penderita dengan epilepsi bandel dan pada cairan serebrospinal pada penderita epilepsi tertentu. Pada stiff-man syndrome, suatu penyakit yang hubungan dengan epilepsi dan diabetes mellitus, terdapat autoantibody terhadap GAD. Penurunan dari ikatan 3H-GABA terdapat pada jaringan otak manusia dari penderita epilepsi, sedangkan pemeriksaan PET menunjukkan penurunan ikatan reseptor benzodiazepine pada fokus epilepsi manusia. Komplek reseptor GABA terlibat pada macam-macam epilepsi binatang percobaaan. Kadar GABA cairan serebrospinal menurun pada anjing dengan epilepsi. Kadar GAD rendah pada substansia nigra dari tikus yang amygdalanya dirusak.
    • Beberapa konvulsan endogen (senyawa guanidino) dan eksogen (misalnya bicuculine, picrotoxin, penicillin, pilocarpin, pentylenetetrazol) menghambat transmisi GABA-ergik melalui hambatan dari sintesis GABA atau melalui interaksi dengan sisi tertentu pada reseptor GABA-A postsinaptik. Beberapa obat antiepileptik adalah analog GABA, memblok metabolisme GABA (misalnya vigabatrin, tiagabin, valproat) atau mempermudah efek postsinaptik dari GABA.
    VI.2 Glutamat
    • Sinaps glutaminergik memegang peranan kritis pada semua fenomena epileptik. Aktivasi dari reseptor glutamat postsinaptik ionotropik maupun metabotropik adalah prokonvulsan. Antagonis dari reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) adalah antikonvulsan yang kuat pada banyak epilepsi binatang percobaan. Bertambahnya kepekaan terhadap glutamat pada reseptor NMDA terlihat pada irisan hipokampus dari tikus percobaan dan pada irisan kortikal dari fokus kortikal pada epilepsi manusia. Ini mengakibatkan bertambahnya masuknya Ca++ kedalam neuron waktu aktivitas sinaptik. Perubahan pada fungsi reseptor glutamat metabotropik memegang peranan utama pada epileptogenesis.
    • Kejang epileptik dan epilepsi merupakan penyulit yang sering pada uremia. Penimbunan dari senyawa guanidino uremik menghambat neurotransmisi GABA-ergik. Tambahan pula salah satu dari zat endogen ini adalah agonis dari reseptor NMDA eksitatorik.
    • Pada penderita dengan kejang absence, kadar plasma glutamat meningkat. Membran neuronal yang tersingkap pada jumlah banyak glutamat ekstraselular, menambah eksitabilitas neuronal. Penyelidikan terakhir pada model epilepsi tikus genetik (WAG/RIJ rats) ; pelepasan spike-wave (SW) diikuti oleh gangguan kelakuan, memberi bukti bahwa ada interaksi dari mekanisme glutaminergik dan serotonergik untuk memacu dan memelihara epilepsi. Injeksi 8-hydroxy-2-(di-n-propylamino)-tetralin (8-OH-DPAT) intraserebroventrikular, suatu agonis reseptor 5HT1A, mengakibatkan peningkatan jelas dari lamanya kumulatif dan banyaknya pelepasan SW, sedangkan dizocilpine (MK-801), suatu antagonis reseptor NMDA, menurunkan pelepasan SW.
    VI.3 Katekolamin
    • Gangguan dari katekolamin susunan saraf pusat dilaporkan pada beberapa model genetik dari epilepsi. Pada tikus epilepsi spontan, dopamin berkurang pada nukleus kaudatus sedangkan adrenalin bertambah pada mesensefalon dan batang otak. Kadar dopamin menurun pada fokus epilepsi dari penderita epilepsi. Pada binatang percobaan dengan epilepsi absence, kejang-kejang kambuh oleh karena antagonis dopamin sedangkan kejang-kejang berkurang oleh agonis dopamin. Hasil ini menunjukkan bahwa penurunan dopamin memudahkan timbulnya kejang dengan menurunkan ambang rangsang dari kejang.
    • Tikus yang berjalan terhuyung-huyung mempunyai sindrom seperti absence dengan ciri khas berhentinya serangan kelakuan akibat pelepasan 6-7 Hz kortikal SW EEG. Destruksi selektif dari sistem noradrenergik ascending waktu lahir mencegah permulaan dari sindrom ini. Oleh karena itu diperkirakan bahwa sindrom ini disebabkan oleh hiperinervasi noradrenergik pada otak depan.
    • Data terakhir menunjukkan bahwa sistem serotonergik mengatur aktivitas epileptiform pada model tikus genetik dengan epilepsi absence karena pemberian 8-OH-DPAT intraperitoneal atau intraserebroventrikular dapat menyebabkan bertambah banyaknya dan lamanya pelepasan SW yang tergantung pada banyaknya dosis yang diberikan.
    VI.4 Peptida opioid
    • Pada penyelidikan eksperimental, opioid dan peptida opioid mempunyai sifat konvulsan maupun antikonvulsan. Kappa agonis menekan pelepasan SW pada binatang percobaan dengan epilepsi absence. Peptida dengan pekerjaan m-agonis memberi kejang hipokampal atau limbik bila diberikan intraventrikular mungkin karena hambatan dari interneuron penghambat. Penyelidikan PET menunjukkan bahwa densitas m-reseptor bertambah pada kortek temporal.

    VII. KEMUNGKINAN MEKANISME IMUN PADA KEJANG-KEJANG

    Pada penderita epilepsi mungkin imunitas humoral tergganggu . Penderita epilepsi dan keluarganya diketahui bertahun-tahun mempunyai kadar IgA rendah dan T4-helper terganggu terhadap jumlah T8 cytotoxic lymphocyte. Setelah trauma otak, antigen otak spesifik dan antibody terlihat pada cairan serebrospinal dan serum. Penderita dengan SLE (systemic lupus erythematosus) menderita kejang 7-18%. Beberapa penderita dengan lupus menunjukkan antibody anticardiolipin yang beredar. Anti-GM1 ganglioside antibody memberi epileptiform spiking pada tikus percobaan. Anti-GM1 IgG atau IgM antibody terdapat pada 4 dari seri 64 penderita dengan macam-macam tipe epilepsi. Beberapa anak dengan kejang (3 dari 23) menunjukkan antiphospholipid antibody dengan tanpa klinis maupun bukti serologik dari SLE. Antibody ini dapat menurunkan aliran GABA pada neuron siput. Landau-Kleffner syndrome variant, afasia epileptik, hubungan dengan antibody terhadap nuklei sel otak atau sel endotelial pada 5 dari 11 penderita, akan tetapi tidak pada 2 dengan Landau-Kleffner sindrom klasikal.

    Pada kasus bedah epilepsi ada kalanya menunjukkan serangan imun terhadap neuron.
    Kejang fokal yang bandel dari Rasmussen ensefalitis terdapat antibody terhadap jaringan otak.
    Andrewa & McNamara (1996) memperkirakan Rasmussen ensefalitis dapat disebabkan dari antibody terhadap GluR3 subtipe dari reseptor glutamat. Bila beberapa bentuk kejang disebabkan oleh gangguan autoimun, maka pemberian imunosupressive mungkin berguna. Satu penyelidikan kontrol tunggal dari penderita dengan West syndrome atau Lennox-Gastaut syndrome menunjukkan kecenderungan perbaikan dengan imunoglobulin, akan tetapi tidak sampai pada titik statistikal bermakna. Karena itu, imunoglobulin tetap membangkitkan minat, akan tetapi tak ada bukti untuk terapi kejang. Lain-lain obat imuno-terapi termasuk plasmaferesis untuk Rasmussen ensefalitis, ACTH untuk infantile spasm, dan kortikosteroid untuk Landau-Kleffner afasia epileptik.

    GEN DAN EPILEPSI

    Penyelidikan pada lebih dari 20 tikus model epilepsi yang dimatikan memperkirakan bahwa lebih dari 1000 gen dapat dimutasikan untuk mempengaruhi presentasi kejang. Lebih dari 100 gangguan Mendelian gen tunggal termasuk kejang sebagai satu komponen dari satu sindrom. Tujuh daerah dari genom 6p, 8q, 10q, 15q, 16 q, 19q, 20q diketahui mengandung gen yang hubungan dengan epilepsi. Perubahan fisiologik pada GEPR (genetically epilepsy prone rat) termasuk meningkatnya membran resistance , penurunan adaptasi frequency spike, penurunan ambang dari generasi EPSP , penurunan hambatan melalui GABA-A (GABA-A-medited inhibition).

    Gen kontrol-kalsium adalah paling penting untuk model tikus genetik. Saluran kalsium tipe P/Q mengatur pelepasan neurotransmitter melalui alfa-1A subchain dari pore-forming unit. Mutan sempoyongan (tottering mutant) dengan ataksia dan epilepsi menunjukkan pelepasan asetilkolin (ACh) abnormal pada neuromuscular junction: lebih banyak ACh dilepaskan pertama terhadap kalsium, magnesium atau kalium; akan tetapi pelepasan berkurang lebih cepat dan melelahkan transmisi sinaptik.

    Lokus tottering (tg) termasuk alfa-1 subunit dinamakan Cacna1a. Lokus lethargik (lh) termasuk Cacnb4 untuk beta subunit. Lokus stargazer (stg) termasuk Cacng2 subunit untuk rantai gamma. Sayangnya kalsium ikut serta dalam banyak proses biologik, termasuk transmisi sinap, stabilisasi membran, hidupnya sel, differensiasi sel, pertumbuhan dan migrasi dan ekspresi gen. Ini membuat sukar untuk memisahkan mekanisme pada mana gen kontrol-kalsium menyebabkan epilepsi.

    Benign familial neonatal convulsion adalah gangguan herediter dominan autosomal dengan konvulsi pada hari 2-4 dari kehidupan. Ia menghilang pada 4 bulan, akan tetapi timbul kejang (15%) lama kemudian. Sisi terkena 20q KCNQ2 dan 8q24 KCNQ3 untuk saluran kalium. Lain-lain gangguan yang ikut serta termasuk saluran kalium pada otot jantung dan dapat menyebabkan Q-T syndrome panjang.

    Baltic myoclonic epilepsy dari Unverricht dan Landborg adalah gangguan epileptik dengan permulaan biasanya pada usia 6-15 tahun, sebagai mioklonus peka cahaya dan rangsangan. Sindrom ini akibat cystatin B, suatu penghambat protease cysteine, mutasi gen, dalam bentuk dodecamer repeat expansion yang tak stabil. Repeat satelit (satellite repeats) ini mengganggu translation dan akhirnya konsentrasi dari cystatin B di jaringan cystatin. Hilangnya cystatin B pada tikus menyebabkan memburuknya sel granula serebelum.
    Nocturnal familial frontal lobe epilepsy adalah sindrom dominan autosomal dengan kejang parsial waktu tidur. Permulaan khas dari usia 4-12 tahun. Sisi gen terkena 20q13.2 termasuk sintesis dari reseptor alfa-4 nicotinic acetyl-choline. Gangguan pada reseptor ini mengenai masuknya ion kalsium melalui reseptor dan mengakibatkan eksitabilitas dari jaringan. Tabel 3 adalah ringkasan sindrom genetik epilepsi.

    TABEL 3. SINDROM GENETIK EPILEPSI
    Syndrome
    Mode
    Location
    Gene
    Benign familial neonatal convulsion
    AD = autosomal dominant
    20q, 8q24
    KNCQ2, 3
    Benign familial infantile convulsions
    AD = autosomal dominant
    19q13
    ?
    Absence (pyknoepilepsy)
    Complex                                                                  
    8q24
    ?
    Baltic myoclonic epilepsy
    -
    -
    Cystatin B
    Juvenile myoclonic epilepsy
    Complex                                                                  
    6p, 15q14
    ?
    Benign rolandic epilepsy
    Complex                                                                  
    15q14                                                                           
    Partial epilepsy with auditiory symptoms
    AD = autosomal dominant
    10q
    Nocturnal familial frontal lobe epilepsy
    AD = autosomal dominant
    20q, 15q24
    CHRNA4
    Febrile seizure 1
    Complex                                                                  
    8q
    Febrile seizures 2
    AD = autosomal dominant
    19p
    Generalized epilepsy with febrile Sz plus
    AD = autosomal dominant
    19q13
    SCN1B

    PATOFISIOLOGI DARI MACAM-MACAM TIPE EPILEPSI

    Mesial temporal lobe epilepsy (MTLE)

    Ciri mesial temporal lobe epilepsy (MTLE) adalah kejang komplek parsial yang berulang-ulang dan sklerosis hipokampal. Hilangnya neuronal hipokampal menyebabkan berkurangnya volum hipokampal seperti terlihat pada MRI. Pada penderita dengan epilepsi lobus temporalis yang bandel, PET (positron emission tomography) interiktal menemukan pengurangan daya ikat dari [11C]flumazenil (FMZ) (ikatan reseptor benzodiazepine) dan metabolisme glukosa pada nukleus thalamus medial. Pengurangan daya ikat dari reseptor benzodiazepine mungkin mencerminkan hilangnya neuronal akan tetapi mungkin juga menunjukkan berkurangnya densitas reseptor benzodiazepine pada nukleus talamus medial. Nukleus talamus medial ini mempunyai hubungan timbal balik yang kuat dengan lain-lain bagian dari sistem limbik. Penyelidikan PET interiktal pada penderita dengan epilepsi lobus temporalis menunjukkan metabolisme glukosa dan ikatan FMZ bertambah pada talamus lateral, mungkin mencerminkan upregulasi dari sirkuit hambatan melalui GABA.

    Terdapat hilangnya banyak sekali dari interneuron pada gyrus dentatus, yang dapat memegang peranan pada awal kejang. Selain itu, terdapat upregulasi terus menerus dari reseptor GABA-A pada sel granula, yang menunjukkan respon kompensasi terhadap aktivitas kejang. Densitas reseptor benzodiazepine sentral pada daerah CA1 sangat berkurang pada penderita dengan sklerosis hipokampal. Sebaliknya, afinitas untuk FM2 bertambah pada subikulum dan gyrus dentatus. Lain penulis mengira bahwa sensitivitas glutamat yang meningkat adalah unsur penting pada patofisiologi dari epilepsi lobus temporalis, dan menunjukkan upregulasi pada hipokampus epileptogenik manusia yang direorganisasi.


    Rekaman dari elektrode intrakranial menunjukkan permulaan iktal di struktur-struktur mesial temporal seperti hipokampus, amigdala dan kortek parahipokampal dan sekitarnya. Pada sklerosis hipokampal terdapat hilangnya neuron secara selektif pada hilus dentatus dan lapisan sel piramidal hipokampal, dengan relatif tak terkenanya sel granula dentatus dan daerah kecil dari sel piramidal (pada kornu ammonis, lapangan 2 dari hipokampus). Gliosis hebat yang ikut serta dengan hilangnya neuron menyebabkan pengerutan dan pengerasan dari jaringan.

    Istilah “mesial temporal sclerosis” telah digunakan untuk lesi ini, karena sering terdapat hilangnya neuronal disekitar kortek entorhinal dan amygdala.Terdapat debat seru apakah sklerosis hipokampal adalah sebab atau akibat dari kejang, karena terdapat pada berbagai macam-macam kondisi epileptik, termasuk epilepsi lobus temporalis kriptogenik dan epilepsi setelah kejang demam atau lain-lain kerusakan otak pada usia muda dan trauma otak pada binatang percobaan dan kejang-kejang karena bahan kimia. Kemungkinan bahwa sklerosis hipokampal adalah jalur lazim patologis terakhir dari epilepsia parsial karena macam-macam sebab.

    Dalam keadaan normal, input ke hipokampus datang dari kortek entorinal ke sel granula melalui jalan kecil yang berlobang-lobang (perforant path). Sel granula dentata proyeksi ke sektor CA3 sel piramidal sebagai langkah pertama di jalur output hipokampal. Pada sklerosis hipokampal, serat-serat lumut (mossy) yang baru bertunas dari sel granula dentata dapat bersinap pada dendrit dari sel granula dentata disekitarnya, mengakibatkan sirkuit eksitatoris berulang-ulang. Mereka dapat juga bertunas kedalam interneuron hambatan. Interneuron eksitatoris yang normal mengaktivir interneuron hambatan, dapat secara selektif dirusak oleh trauma otak. Akhirnya, neurogenesis dari sel granula dentata yang baru, terus menjadi dewasa, dan neuron-neuron ini dapat integrasi sendiri menjadi sirkuit abnormal (lihat gambar bagan 1).

    Selain ciri-ciri morfologis ini, perubahan pada tingkat molekular juga penting. Yang paling penting dari ini adalah perubahan dalam komposisi dan ekspresi dari reseptor GABA-A pada permukaan dari sel granula dentata hipokampal. Normal, reseptor GABA-A yang terdiri atas lima subunit, bekerja sebagai inhibitor, hiperpolarisasi neuron dengan keluarnya ion klorida waktu aktivasi. Pada model pilokarpin dari epilepsi lobus temporalis ekspresi dari macam-macam reseptor GABA-A subunit pada sel granula dentata berubah, dan reseptor berubah ini mempunyai kepekaan tinggi terhadap seng, yang terdapat banyak sekali pada terminal serat lumut. Karena perubahan molekular mendahului permulaan dari kejang spontan, maka ia adalah mekanisme dari epileptogenesis.

    Kesimpulan: sklerosis hipokampal, mempunyai ciri-ciri: reorganisasi struktural, hilangnya neuronal selektif, dan neurogenesis. Perubahan ini menunjang hipotesis timbulnya hipereksitabilitas lokal dan predisposisi kejang parsial. Selain itu perubahan molekular seperti perubahan reseptor neurotransmiter mungkin juga penting

    PATOFISIOLOGI SKLEROSIS HIPOKAMPAL

    Mekanisme epilepsi absence


    Inti generasi dari model genetik dari spike-wave adalah output dari nukleus retikularis talami (nRt). Bila talamus dapat dianggap sebagai suatu “pacemaker” dari kortek, maka nRt dapat dianggap sebagai “pacemaker” dari talamus. Serat-serat eferen dari nRt melepaskan GABA pada GABA-B, dan juga GABA-A, reseptor possinaptik pada neuron nuklei talamik relay.

    Pada binatang percobaan “spike-wave” tergantung pada : 1) aktivasi dari neuron talamik oleh sinap glutamatergik 2) Output GABA-ergik dari nRt, nuklei talamik relay 3) Aliran nRt T-kalsium menghasilkan aliran “pacemaker”. GABA-B memberi aliran kedepan untuk “relay” neuron dan GABA-A memberi arus balik yang berulang-ulang pada neuron nRt mengakibatkan langkah berkala (periodic pacing) dari “spike-wave” ke kortek.

    Macam-macam aferen kortikal, subkortikal dan talamik merangsang neuron nRt via reseptor NMDA dan non-NMDA. Letupan dari neuron nRT menghasilkan potensial hiperpolarisasi lambat melaui GABA-B (IPSP lambat) pada nuklei “relay” talamik , seperti komplek ventrobasal. Pada waktu yang sama, hambatan berulang-ulang pada nRt, sebagian besar melaui reseptor GABA-A, menyebabkan hiperpolarisasi dari neuron nRt. Hiperpolarisasi ini mengkokang pelatuk untuk aktivasi dari aliran kalsium ambang rendah, yang menyebabkan masuknya kalsium dan letupan sel untuk meng-gerakkan potensial membran hiperpolarisasi istirahat ke potensial membran istirahat normal. Sel nRt yang meletup mengawali siklus lain dari “spike-wave”. Karena hiperpolarisasi melaui GABA-B berlangsung kira-kira 300 milidetik, maka siklus “spike-wave” 3-4 per detik.

    Basal ganglia mempunyai peranan pada kejang absence. Hambatan pada neuron GABA-ergik pada substansia nigra pars reticulata (SNPR) menekan kejang pada macam-macam binatang percobaan. Striatum mengadakan projeksi GABA-ergik langsung ke SNPR, dan projeksi tak langsung via globus pallidus dan nukleus subtalamus. Aktivasi dari saluran mungkin via mekanisme dopaminergik menekan “spike-wave” Rangsangan listrik frekuensi tinggi dari nukleus subtalamikus mempunyai aksi menekan pada kejang absence, tak tergantung pada aksi motor dari STN. Infus dengan GABA-A dan GABA-B agonis kedalam nukleus posterior dari talamus, yang hubungan dengan basal ganglia dan substansia nigra, memudahkan kejang fluorothyl. Infus kedalam talamus ventromedial mempunyai efek sedikit

    Mekanisme yang membangkitkan kejang absence sekarang diperkirakan mengenai perubahan dalam sirkuit antara talamus dan kortek serebri (gambar 2). Penyelidikan menunjukkan bahwa sirkuit talamo-kortikal mengatur ritme dari eksitasi kortikal oleh talamus dan mendasari pola faal normal seperti yang terjadi waktu tidur. Tiga kelompok neuronal termasuk dalam sirkuit ini: neuron “thalamic relay”, neuron talamik retikular, dan neuron piramidal kortikal. Neuron “thalamic relay” dapat mengaktifkan neuron piramidal kortikal dalam “keadaan tonik” yang terjadi waktu bangun dan “REM-sleep”, atau dengan cara letupan (burst mode) yang terjadi waktu “non-REM sleep” Cara letupan (burst mode) dimungkinkan oleh saluran kalsium tipe-T, yang memberikan depolarisasi ambang-rendah pada mana terdapat superimposisi ledakan aksi potensial (melalui “voltage-gated sodium channels”). Cara aktivasi talamo-kortikal – tonik dan letupan (burst) – dikontrol sebagian besar oleh input dari neuron talamo-retikular, yang meng-hiperpolarisasi neuron “relay”, sehingga mereka dapat meletup dalam bentuk letupan. Neuron retikular sendiri dapat dihambat melalui kolateral berulang-ulang dari neuron retikular disekelilingnya. Neuron piramidal kortikal dan neuron talamik “relay” keduanya berakhir di neuron retikular untuk menyempurnakan sirkuit. Selain itu, noradrenergik “ascending”, serotonergk, dan dopaminergik input ke talamus, memodulasi sirkuit ini dan meletupkan dalam bentuk letupan.

    Pada “non-REM sleep” normal, neuron talamik “relay” dalam keadaan letup mengaktivasi kortek dalam cara ritmik, bilateral sinkron, memberi pola EEG seperti “sleep spindles”. Keadaan tidur dari sirkuit talamo-kortikal adalah berlainan dengan keadaan bangun normal, pada mana neuron talamik “relay” meletup dalam keadaan tonik dan projeksi talamokortikal mengirim informasi sensoris ke kortek dalam cara non-ritmik. Pada epilepsi absence, sirkuit abnormal menyebabkan aktivasi ritmik dari kortek (khas dari “non-REM sleep” normal) waktu bangun, yang mengakibatkan pelepasan khas dan manifestasi dari kejang absence. Beberapa data memper-kirakan bahwa saluran kalsium tipe-T adalah peranan utama. Lain penyelidkan menekankan pentingnya perubahan fungsi reseptor GABA. Faktor gabungan dapat ikut serta, termasuk perubahan dalam input modulasi dari batang otak

    Sirkuit talamokortikal normal dan pola EEG waktu bangun, non-REM-sleep, dan kejang absence

    Generalized convulsive status epilepticus (GCSE)

    Status epileptikus (SE) adalah kegagalan dari mekanisme selular untuk mencegah aktivitas kejang terus menerus. Ini akibat kegagalan keseimbangan antara eksitasi (glutamat) terus menerus dari fokus sel dan penghambatan (GABA) inefektif dari aktivitas kejang terus menerus. Aktivasi diawali oleh rangsangan eksitasi berlebihan akibat kegagalan penekanan GABA dari fokus sel aktif. Resistensi ini dapat timbul melalui pembentukan macam-macam isoform dari reseptor GABA tipe A (GABAA) di hipokampus. Macam-macam isoform ini mempunyai macam-macam sifat farmakologik yang dapat membuat mereka peka terhadap macam-macam pengobatan selama SE berlangsung.

    Sebaliknya, SE dapat terus berlangsung akibat rangsangan neuronal NMDA terus menerus (sustained NMDA-mediated neuronal stimulation). Pada model binatang percobaan, SE timbul akibat kepekaan terhadap NMDA antagonis bersamaan dengan timbulnya resistensi progresif dari GABAA. Bukti yang menunjang hipotesis ini termasuk penemuan hilangnya sekelompok neuron penghambat pada permulaan SE dan timbulnya serat tunas yang merangsang terus menerus aktivitas kejang.

    Pada SE terdapat hilangnya sel kualitatif dan kuantitatif seperti pada mesial temporal sclerosis. Status epileptikus yang berlangsung kira-kira 30 sampai 45 menit dapat menyebabkan kerusakan otak, terutama struktur limbik seperti hippocampus dan kejang sendiri cukup merusak susunan saraf sentral. Hippocampus rupanya terutama peka terhadap aktivitas kejang fokal, dengan pola khas kematian sel mengenai hilangnya sel piramidal (terutama di daerah CA1 dan CA3), dan relatif tak terkenanya interneuron CA2 dan sel dentate granula.

    Pada model binatang percobaan terdapat peningkatan kadar serum enolase dan enolase cairan serebrospinal, suatu tanda dari kerusakan otak, 30 sampai 60 menit pada kejang terus menerus. Kerusakan dari otak sebagian akibat excitotoxicity melalui glutamat. Superimposisi dari stres sistemik seperti hipertermia, hipoksia, atau hipotensi memperburuk derajad dari kerusakan neuronal pada model binatang percobaan dari status epileptikus. Demikian juga, pada seri radiografi dilaporkan atrofi hipocampus progresif dan sklerosis setelah kejang terus menerus pada SE. Perkiraan mekanisme kerusakan neurologik melalui aktivasi glutamat dari reseptor NMDA mengakibatkan kematian sel yang terprogram.

    Status epileptikus menyebabkan down-regulation dari GluR2mRNA (akan tetapi bukan dari GluR1 mRNA) sel piramidal dalam hipocampus CA1 dan CA3. Reseptor AMPA yang mengandung GluR2 (Glutamat reseptor 2) adalah relatif impermeabel terhadap Ca++, dan down regulation dari subunit ini menyebabkan pembentukan reseptor AMPA permeabel terhadap Ca++. Akibatnya influx jumlah toksik dari Ca++ dan mungkin influx Zn++, terhadap reaksi glutamat endogen. Jadi pembentukan reseptor AMPA permeabel terhadap Ca++ adalah penyebab neurodegenerasi lambat setelah status epileptikus (GluR2 hypotesis).

    Hubungan antara mekanisme epileptogenesis dan mekanisme dari pekerjaan obat antiepileptika dapat dilihat pada tabel 4
    TABEL 4.  Hubungan antara mekanisme epileptogenesis dan mekanisme dari pekerjaan obat antiepileptika (Engelborghs 2000)

    Mechanisms of epileptogenesis
    Mechanisms of action of AEDs
    GABA
    ● Reduced GABA in microgyric cortex
    ● Reduced benzodiazepine receptor binding in medial
        thalamic nucleus (mesial temporal temporal epilepsy
    ● Reduced benzodiazepine receptor density in CA1 region
        (hippocampal sclerosis)
    ● Reduced GABA levles and GAD activity (epileptis foci)
    ● Auto-antibodies to GAD (Stiff-man syndrome)
    ● Increased functional pool of GABA (vigabatrin, tiagabine)
    ● Enhanced GABA-ergic inhibition (benzodiazepines)
    ● GABA agonistic effects (progabide)
    ● (Weaker) GABA-ergic properties (phenobarbital, gabapentin,
       topiramate, valproate, zonisamide)

    Glutamate
    ● Upregulation of hippocampal ionotropic glutamate
        receptors (temporal lobe epilepsy)
    ● Anti-gluR3 antibodies (Rasmussen encephalitis)
    ● Increased plasma glutamate levels (absence seizures)
    ● Inhibition of glutamate release (lamotrigine)
    ● Block of glycine site at NMDA receptor (felbamate)
    Na+++
    ● Mutation voltage-gated Na+ channel (generalized epilepsy
       with febrile seizures)
    ● Reduction of voltage-gated Na+ currents (carbamazepine,
        felbamate, lamotrigine, oxcarbazepine, phenytoin, topiramate,
        valproate, zonisamide)
    K+


    Ca++
    ● Mutation voltage-gated K+ channel
       (benign familial neonatal convulsions)

    ● Reduced Ach-mediated Ca ++  flux
        (nocturnal frontal lobe epilepsy)



    ● Reduction of T-type Ca++ currents (ethosuximide, valproate)

    → Incresed membrane excitability
    → Decreased membrane excitability