Penyakit Kolera : Penyebab, gejala, patogenesis dan penatalaksanaannya

PENYAKIT KOLERA

PENDAHULUAN

Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan vibrio cholerae dengan manifestasi diare disertai muntah yang akut dan hebat akibat enterotoksin yang dihasilkan bakteri tersebut. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri Vibrio Cholerae akan mengeluarkan enterotoksin atau racunnya di saluran usus sehingga terjadinya diare sekretorik yang disertai muntah akut.

Gejala ini menyebabkan penderita hanya dalam beberapa hari dapat kehilangan banyak cairan tubuh atau dehidrasi. Jika dehidrasi tidak segera ditangani atau mendapatkan penanganan yang tepat dapat berlanjut ke arah hipovolemik dan asidosis metabolik sampai akhirnya menyebabkan kematian. Hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah di mana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ. Sedangkan asidosis metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah.

Pada tahapan ini, penderita tidak banyak terbantu dengan pemberian air minum biasa. Penderita kolera membutuhkan infus cairan gula (Dextrose) dan garam (Normal saline) atau bentuk cairan infus gabungan keduanya (Dextrose Saline).

Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik atau pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar dilakukan, namun kondisi penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern.

ETIOLOGI ATAU PENYEBAB

Penyakit kolera disebabkan oleh bakteri vibrio cholerae yang merupakan kuman aerob gram negatif berukuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4,0 mm, mudah dikenal dalam sediaan tinja kolera dengan pewarnaan gram sebagai batang-batang pendek sedkit bengkok (koma), tersusun berkelompok seperti kawanan ikan berenang. V. Cholerae dibagi menjadi 2 biotipe yaitu klasik dan El Tor, yang dibagi berdasarkan stuktur biokimiawinya dan parameter laboratorium lainnya. Tiap biotipe dibagi lagi menjadi 2 serotipe yaitu inaba dan ogawa.

 
Vibrio cholerae

Vibrio cholerae bersifat motil (dapat bergerak), memiliki struktur antogenik dari antigen flagelar H dan antigen somatik O, gamma-proteobacteria, mesofilik dan kemoorganotrof, berhabitat alami di lingkungan akuatik dan umumnya berasosiasi dengan eukariot. Spesies Vibrio kerap dikaitkan dengan sifat patogenisitasnya pada manusia, terutama V. cholerae penyebab penyakit kolera di negara berkembang yang memiliki keterbatasan akan air bersih dan memiliki sanitasi yang buruk. Diagnosis presumtif secara cepat dapat dibuat dengan menggunakan mikroskop fluoresensi dengan menggunakan antibodi tipe spesifik yang telah dilabel dengan fluoresein, atau dengan uji mobilisasi vibrio dengan memakai serum tipe spesifik dan dilihat dengan mikroskop lapang gelap atau mikroskop fase.

Vibrio cholerae tumbuh cepat dalam berbagai media selektif seperti agar garam empedu, agar gliserin-telur-taurokolat atau agar thiosufat-citrate-bile salt-sucrose (TCBS). Kelebihan medium TCBS ialah pemakainannya tidak memerlukan sterilisasi sebelumnya. Dalam medium ini koloni vibrio tampak berwarna kuning suram. Identifikasi vibrio cholerae biotipe el tor penting untuk tujuan epidemologi. Sifat-sifat penting yang membedakannya dengan biotipe koler klasik ialah resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap kolerafaga tipe IV (mukerjee) dan menyebabkan hemolisis pada eritrosit kambing.

EPIDEMOLOGI

Sejak tahun 1917 dikenal 7 pendemi yang penyebarannya bahkan mencapai eropa. Vibrio yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pandemi ke-7 adalah vibrio cholerae OI, biotipe El tor. Pandemi ke-7 baru baru ini di mulai pada tahun 1961 ketika vibrio pertama kali muncul menyebabkan epidemi kolera di sulawesi, indonesia. Penyakit ni lalu menyebar dengan cepat ke asia timur lainya dan mencapai bangladesh pada tahun 1963, india pada tahun1964 dan Unisoviet, iran, iraq pada tahun 1965-1966.

Pada tahun 1970 kolera menyebar di afrika barat, suatu wilayah yang belum pernah mengalami penyakit ini selama lebih dari 100 tahun. Penkit ini menyebar dengan cepat ke beberapa negara dan menjadi endemik pada banyak benua. Pada tahun 1991, kolera menyerang amerika latin, dimaa penyakit ini juga telah hilang selama lebih dari satu abad. Dalam waktu setahun penyakit ini menyebar ke 11 negara dan secara cepat menyebar lintas benua.

Sampai tahun 1992, hanya serogrup vibro cholerae OI yang menyebabkab endemi kolera. Serogup lainnya dapat menyebabkan kasus-kasus diare yang sporadis, tapi tidak menyebabkan epidemi. Pada akhir tahun 1992 ledakan kasus kolera dimulai di india dan bangladesh yang disebabkan oleh serogrup v. Cholerae yang sebelumnya belum teridentifikasi yaitu serogrup OI39 atau bengal. Keadaan ini dikenal pula sebagai pandemik ke-8. Isolasi dari vibrio ini telah dilaporkan dari 11 negara di asia tenggara. Namun masih belum jelas apakah vibrio cholerae OI39 akan menyebar kedaerah/wilayah lain, dan pengawasan epidemologik yang cermat dari situasi ini sedang dilakukan.

TRANSMISI

Pada daerah epidemi, air terutama berperan dalam penularan kolera, namun pada epidemi yang besar penularannya juga terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh tinja atau air yang mengandung vibrio cholera. Khususnya pada kolera El tor, yang dapat bertahan selama beberapa bulan di air. Penularan dari manusia ke manusia dan dari petugas medis jarang terjadi.

Pada pasien dengan infeksi yang ringan atau asimtomatik berperan penting pada penyebaran penyakit ini. Perbandingan antara penderita asimtomatik dengan simtomatik (bermanifestasi klinis yang khas) pada suatu epidemi diperkirakan 4:1 pada kolera asiatika, sedangkan untuk kolera El tor, diperkirakan 10:1. Dengan kata lain terdapat fenomena gugus es. Hal ini merupakan masalah khususnya dalam upaya pemberantasan kolera El tor. Pada kolera El tor angka karier sehat (pembawa kuman) mencapai 3%. Pada karier dewasa vibro cholerae hidup dalam kantung empedu.

Prevelensi kolera di daerah epidemik pada anak lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yaitu 10:1. Pada orang dewasa insiden pada pria lebih tinggi dari wanita. Pada keadaan epidemis, insiden tidak berbeda pada kelompok umur maupun jenis kelamin tertentu.

PATOGENESIS DAN IMUNITAS

Kolera ditularkan melalui jalur oral. Bila vibrio berhasil lolos dari pertahanaan primer dalam mulut dan tertelan, bakten ini akan cepat terbunuh dalam asam lambung yang tidak diencerkan. Bila Vibrio dapat selamat melalui asam lambung, maka ia akan berkembang di dalam usus halus. Suasana alkali dibagian usus halus ini merupakan medium menguntungkan baginya untuk hidup dan memperbanyak diri. Jumlahnya bisa mencapai sekitar 10/ml cairan tinja. Langkah awal dari patogenesis terjadinya kolera yaitu karena adanya membrane protein terluar dan adhesin flagella.

vibrio chollerae merupakan bakteri non invasif, patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan vibrio chollerae yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit yang masif yang disebabkan oleh kerja toksin pada sel epitel usus halus, terutama pada duodenum dan yuyenum.

Enterotoksin adalah suatu protein, dengan berat molekul 84.000 Dalton, tahan panas dan tak tahan asam, resisten terhadap tripsin tapi dirusak oleh protease. Toksin kolera mengandung 2 sub unit yaitu sub unit B (binding) dan A (active). Sub unit B mengandung 5 polipeptida dimana masing-masing molekul memiliki berat 1500 dan terikat pada gangliosid monosialosil yang spesifik, reseptor GMI yang terdapat pada sel epitel usus halus. Sub unit A kemudian dapat masuk menembus membran sel epitel.

Sub unit ini memiliki aktivitas adenosine diphospate (ADP) ribosiltranferase dan menyebabkan transfer ADIP ribose dari Nicotinamide- adenine dinucleotide (NAD) ke sebuah guanosine triphospate (GTP) binding protein yang mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi cAMP, yang menghambat absorpsi NaCl dan merangsang ekskresi klorida, yang menyebabkan hilangnya air, NaCl, Kalium dan bikarbonat.

Toksin-toksin tambahan dan faktor-faktor lain sekarang telah diketahui terlibat pada patogenesis kolera. zonula occludens toxin (Zot) meningkatkan permiabilitas mukosa usus halus dengan mempengaruhi stuktur light juction interceluler. Accessory cholerae esotoxin (ACE) ditemukan pada tahun 1993 dan diketahui meningkatkan transpor ion transmembran.

Imunitas terhadap toksin kolera dan antigenpermukaan bakteri sama dengan respon infeksi alami. Kebanyakan study terhadap respon imun telah mengukur antibodi bakt in vivi kemungkinan besar di mediasi oleh IgA sekretorik.

Kolera ditandai dengan diare yang sangat berat yang dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan hipovolemia dengan angka kematian (mortality rate) yang berkisar dari kurang dari 1% hingga 40%. Terdapat spektrum yang luas mulai dari yang asimtomatik ringan hingga berat.

Tabel. 1 Komposisi Elektrolit dalam tinja pasien Kolera

Natrium
Kalium
Klorida
Bicarbonat
Dewasa
124
16
90
48
Anak
101
27
92
32

MANIFESTASI KLINIS

Ada beberapa perbedaan pada manifestasi kolera baik mengenai sifat dan beratnya gejala. Terdapat perbedaan pada kasus individual maupun pada terjadi epidemi. Masa inkubasi kolera berlangsung antara 15-72 jam. Gejala klinis dapat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai dengan gejala klinis berupa dehidrasi berat. Infeksi terbanyak bersifat asimtomatik atau terjadi diare ringan dan umumnya pasien tidak memerlukan perawatan.

Manifestasi klinis yang khas ditandai dengan diare yang encer dan berlimpah tanpa tanpa didahului oleh rasa mulas maupun tenesmus (rasa ingin buang air besar walaupun perut sudah terasa kosong). Dalam waktu singkat tinja yang semula berwarna dan berbau feses berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau busuk maupun amis tapi “manis” menusuk. Cairan yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan gumpalan-umpalan putih. Cairan ini akan keluar berkali-kali dari anus pasien dalam jumlah besar. Muntah timbul kemudian setelah diare dan berlangsung tanpa didahului mual. Kejang otot dapat menyusul, baik dalam fibrilasi atau fasikulasi, maupun kejang klonik yang nyeri dan mengganggu. Otot-otot yang sering terlibat ialah betis, biseps, triseps, pektoralis dan dinding perut. Teriakan ataupun rintihan pasien karena kejang yang nyeri itu dapat disangka sebagai teriakan nyeri karena kolik. Kejang otot ini disebabkan karena berkurangnya kalsium dan klorida pada sambungan neuromuskular.

Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit serta asidosis. Pasien berada dalam keadan lunglai tidak berdaya namun kesadarannya relatif baik dibandingkan dengan berat penyakitnya. Koma baru dapat terjadi pada saat-saat terakhir. Pada kurang lebih 10% bayi dan anak-anak, dapat dijumpai kejang sentral, stupor yang disebabkan hipoglikemia.

Tanda-tanda dehidrasi tampak jelas, nadi menjadi cepat, nafas menjadi cepat, suara menjadi serak seperti suara bebek manila (vox cholerica), turgor kulit menurun (kelopak mata cekung memberi kesan hidung yang mancung dan tipis, tulang pipi yang menonjol), mulut menyeringai karena bibir kering, perut cekung tanpa ada steifung maupun kontur usus, suara peristaltik usus bila ada jarang sekali. Jari- jari tangan dan kaki tanpak kurus dengan lipatan-lipatan kulit, terutama ujung jari yang keriput (whaser women hand), diuresis berangsur-angsur kurang dan berakhir dengan anuria. Diare akan bertahan hingga 5 hari pada pasien yang tak diobati.

TANDA-TANDA GAGAL SIRKULASI

Berkurangnya volume cairan disertai dengan viskositas darah yang meningkat, akhirnya menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Tanda utama yang dianggap khas adalah suhu tubuh yang rendah (34 hingga 24,5 derajat Celcius), sekalipun sedang berlangsung infeksi. Frekuensi nadi menjadi cepat dengan isi yang kurang dan akhirnya menjadi cepat dan kecil (filiform). Denyut jantung cepat, suara jantung terdengar jauh dan kadang-kadang hanya suara sistolik yang terdengar, namun dengan irama yang tetap teratur. Tekanan darah menurun sebagai tanda renjatan hipovolemik, akhirnya terukur hanya dengan palpasi. Warna kulit, bibir dan selaput mukosa serta kuku jadi ungu akibat sianosis, memberi kesan pasien berwarna hitam pada orang yang berkulit gelap, pada perabaan kulit terasa lembab. Sianosis yang terjadi adalah bersifat perifer. Asidosis metabolik terjadi akibat kehilangan bikarbonat jumlah besar dan metabolisme anaerob akibat kegagalan sirkulasi. Tampilan klinis berupa pernafasan yang cepat, mula-mula dangkal, namun akhirnya dalam (kussmaul). Perubahan patofisiologi ireversibel lainnya pada organ agaknya tidak terjadi, bahkan homostasis masih tetap dapat dipertahankan atau masih mudah dikoreksi.

Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan ad intergrium (sehat utuh) atau kematian.penyulit yang diakibatkan oleh penyakitnya sendiri tidak ada. Penyulit yang terjadi biasanya disebabkan oleh keterlambatan pertolongan atau pertolongan yang tidak adekuat, seperti uremia dan asidosis yang tidak terkompensasi. Gagal ginjal dengan anuria yang berkepanjangan terjadi pada presentasi kecil berupa nekrosis tubular yang akut (ATN) yang umumnya dapat diatasi dengan terapi konservatif dan tidak memerlukan dialisis.

Penyulit lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah abortus pada pasien yang hamil muda, komplikasi iatrogenik seperti gagal jantung, reaksi infus berupa demam, infeksi nosokomial (tromboflebitis, sepsis bekterial). Pada umumnya dengan pengobatan dini dan adekuat, prognosis pasien kolera cukup baik dan tidak sampai menyebabkan kematian.

DIAGNOSIS

Diagnosis kolera meliputi diagnosis klinis dan bakteriologis. Tidak sukar untuk menegakan diagnosis kolera berat, terutama di daerah epidemik. Kesulitan menentukan diagnosis biasanya terjadi pada kasus ringan dan sedang, terutama di luar epidemik dan endemik. Kolera yang khas dan berat dapat dikenali dengan gejala diare sering tanpa mulas diikuti dengan muntah tanpa didahului rasa mual, cairan tinja serupa air cucian beras., suhu badan tetap normal ataupun menurun dan keadaan bertambah buruk secara cepat karena pasien mengalami dehidrasi, rejatan sirkulasi dan asidosis.

Bila gambaran klinis menunjukan dugaan yang kuat ke arah penyakit ini, pengobatan harus segera dimulai, tanpa menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Diare sekretorik lain dengan gambara klinis mirip dengan kolera dapat disebabkan oleh enterotoxigenik eschericia coli (ETEC). Berbagai bakteri penyebab diare secretorik dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Bakteri penyebab diare sekretorik

Vibrio cholerae

Vibrio cholerae non grup I

Eschericia coli

Clostridium perfringes

Bacillius aereus

Staphylococcus aureus

Jika tinja segar pasien kolera yang tanpa pewarna diamati di bawah mikroskop lapang gelap akan tampak mikroorganisme berbentuk spiral yang memiliki pola motilitas sperti shooting star. Untuk pemeriksaan biakan, cara pengambilan bahan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rectal (rectal swab) yang diawetkan dalam media transport carry-blair atau pepton alkali atau langsung ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan presentase hasil positif yang tinggi. Vibrio cholerae OI menghasilkan koloni yang oksidase positif yang berwarna kuning yang dapat dikonfirmasi dengan slide aglutinasi spesifik dengan anti serum.

PENATALAKSANAAN

Dengan diketahui patogenitas dan patofisiologi penyakit kolera, saat ini tidak ada masalah dalam pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi simtomatk dan kausal secara stimulan. Tatalaksana mencakup pergantian kehilangan cairan tubuh dengan segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntah, kemih, keringat dan kehilangan insensible), serta terapi antimikrobial.

Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu terapi rehidrasi dan rumatan. Pada kedua tahap ini diperhitungkan kebutuhan harian akan cairan dan nutrisi, terutama bila diare berlangsung lama dan pada pasien pediatri. Pada dehidrasi berat yang disertai rejatan hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau pasien dengar penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, terapi rehidrasi harus diberikan secara infus intravena. Pada kasus sedang dang ringan, rehidrasi dapat dilakukan secara per oral dengan cairan rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS). Sedang tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya dengan cairan rehidrasi oral, baik pada kasus dehidrasi berat sedang maupun ringan.

Untuk keperluan rumatan dapat diberikan cairan dengan konsentrasi garam yang rendah seperti air minum biasa, atau susu yang diencerkan dan air susu ibu terutama untuk bayi dan anak-anak. Petunjuk terapi rehidrasi dan pemeliharaan secara umum dapat dilihat masing-masing pada tabel 3 dan 4

Tabel 3. Petunjuk terapi rehidrasi kolera pada dewasa
Derajat dehidrasi
Macam cairan
Jumlah cairan
Jangka waktu pemberian
Ringan
ORS
50 ml/KgBB
maks 750ml/jam
3-4 jam
sedang
ORS
100 ml/KgBB
Maks. 750ml/jam
3 jam
Berat
Intra vena ringer laktat
110ml/KgBB
3 jam pertama guyur sampai nadi teraba kuat, sisanya dibagi dalam 2 jam berikutnya


Tabel 4. Petunjuk untuk terapi pemeliharaan
Jumlah diare
Macam diare
Jumlah cairan
Cara pemberian
Diare ringan
-           Tidak lebih dari 1 kali mencret setiap 2 jam atau lebih lama atau kurang dari 5 ml tinja/Kg/jam

ORS

100 mL/KgBB/hari sampai diare berhenti

Oral dirumah
Diare sedang
-           Lebih dari 1 kali mencret setiap 2 jam atau lebih dari 5 ml tinja/kgBB/jam

ORS
Ganti kehilangan volume tinja dengan volume cairan. Bila tak terukur, beri 10-15ml/kgBB/jam
Oral dirumah atau rumah sakit
Diare berat
-           Tanda-tanda dehidrasi atau rejatan

Beri pengobatan untuk dehidrasi berat seperti pada tabel 3

KRITERIA DERAJAT DEHIDRASI

Untuk dapat memberikan penatalaksanaan pengobatan sebaiknya pad pasien diare akut perlu dilakukan penentuan derajat dehidrasinya antara lain berdasarkan
  1. Penilaian klinis
  2. Perhitungan skor Daldiyono,
  3. Berat jenis plasma atau plasma spesifik gravity (PSG)
  4. Tekanan vena central (CVP)
Penilaian Klinis
  • Cara menentukan penilaian tingkat dehidrasi yang tepat secara klinis sulit didapat karena pengaruh subyektifitas. Secara klinis derajat dehidrasi dibagi menurut tingkatan dehidrasi ringan, sedang dan berat, sesuai kehilangan cairan 5%, 8% dan 10% dari berat badan. Kriteria ini praktis penggunaannya untuk pengobatan massal pada suatu wabah dan dapat dilakukan oleh tenaga paramedik setelah dilatih.
Skor Daldiyono
  • Modifikasi cara penilain klinis dilakukan Daldiyono dengan menilai derajat dehidrasi inisial berdasarkan gambaran klinis yang diterjemahkan ke dalam nilai skor (tabel 5). Kemudian penjumlahan skor tersebut dibagi dengan nilai skor maksimal yaitu 15. Defisit cairan dihitung dengan mengkali hasil perhitungan tersebut dengan defisit cairan pada dehidrasi berat yaitu 10% dari berat badan. Secara matematis perhitungan tersebut dituangkan dalam rumus empirik
Defisit cairan (ml) = skor/15 x berat badan (kg) x 0,1 x 1000

Tabel 5. Skor Daldiyono
Gambaran Klinis
Skor
Rasa haus atau muntah
1
Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg
1
Tekanan darah sistolik kurang dari 60 mmHg
2
Frekuensi nadi lebih dari 120 kali/menit
1
Kesadaran apatis
1
Kesadaran somnolen, sopor, koma
2
Frekuensi napas lebih dari 30 kali/menit
1
Fasies kolerika
2
Vox cholerica
2
Turgor kulit menurun
1
Washer woman’s hand atau tangan keriput seperti kena air
1
Ekstremitas dingin
1
Sianosis
2
Umur 50-60 tahun
-1
Umur lebih dari 60 tahun
-2

Berat jenis plasma
  • Cara penilaian derajat dehidrasi yang lebih tepat untuk mengukur kebutuhan cairan yang akan diberikan ialah dengan menentukan berat jenis plasma dengan memakai rumus :
Berat jenis plasma/0,001 = 1,025 x berat badan (kg) x 4 ml
  • Cara yang digunakan dirumah sakit ini lebih tepat dan bila perlu dapat pula diusahakan pemakaiannya di suatu pusat rehidrasi darurat pada suatu endemi.
Tekanan vena sentral
  • Cara menghitung keperluan cairan yang tepat lainnya adalah dengan pengukuran tekanan vena central (CVP). Cara yang invasif ini memerlukan keahlihan dan tidak dapat diterapkan dilapangan. Nilai CVP normal adalah 12-14 cm.
Menentukan pemilihan jenis cairan yang akan diberikan adalah langkah berikutnya. Dalam sejarah pengobatan kolera sejumlah besar cairan telah diciptakan orang, kebanyakan tidak memberikan hasil baik karena tidak sesuai dengan patofisiologi penyakit ini. Cairan yang terbukti baik manfaatnya ialah ringer laktat yang komposisinya kurang lebih sama dengan susunan elektrolit tinja kolera dan terbukti dapat perfusi ke sel tubuh dengan baik. Cairan lainnya yang juga bermanfaat ialah NaCL fisiologis dan larutan segar isotonis bikarbonat natrikus 1,5% dalam perbandingan 2:1. Sebagai pengganti bikarbonas, dapat pula diberikan larutan 1/6mol Na laktat dalam larutan darrow glukosa, yang lebih stabil berada dalam larutan dari pada bikarbonas natrikus. Dalam pemakainan jenis cairan ini perlu di berikan subtitusi kalium dalam bentuk oral atau parenteral. Susunan elektrolit tinja kolera dapat dilihat pada tabel 6

Tabel 6. Susunan elektrolit berbagai cairan dan susunan elektrolit tinja kolera
Macam cairan
Na+
K-
Cl-
HCO3-
CH3CHOHCO2
Glukosa
Ca++
Osmol
Cairan campuran
1.a) 2 L garam isotonik
  b) 1 L 1,3% bicarbonat
2.a) 2 L garam isotonik
  b) 1 L 1/6 Na laktat


175

158


_

_


155

103


59

55


_

27


_

_


_

_


_

_
Cairan tunggal
5:4:1
5 gram NaCL
4 gram NaCHO3
1 gramKCL/liter
Ringer laktat



_
133
130



_
14
4



_
99
109



_
48
_





28






27,5





273
Cairan rehidrasi oral
WHO
Oralit
Kristalit
P3M
Pedialit

90
90
51,5
85
45

20
20
25
15
20

80
80
37,5
70
35

30
30
57,5
30
30

_
_
_


111
111
100
50



330
330

Suatu perkembangan maju dalam usaha pengobatan kolera ialah tindakan rehidrasi oral dengan cairan khusus rehidrasi oral (ORS). Dasar patofisiologinya ialah kemampuan usus pasien kolera untuk resorpsi elektrolit dan cairan dari dalam lumen bila ditambahkan glukosa dalam jumlah yang tepat akan meningkatkan resorpsi tersebut. Suhu suam cairan oral akan membantu tercapainya net gut balance (balans usus netto) yang maksimal.

Rehidrasi oral dengan ORS diberikan sebagai terapi inisial pada kasus ringan dan sedang, serta sebagai terapi pemeliharaan pada kasus berat. Pada keadaan terpaksa ORS dapat diberikan pada kasus berat sekalipun. Pemberian secara konsekuen dan sabar terbukti juga berhasil (tabel 6).

Terapi rehidrasi dengan cairan oral (ORS) pelaksanaanya sederhana sekali, namun memerlukan pencatatan yang seksama tentang pengeluaran cairan tinja dan pemasukan cairan oral. Untuk memperkirakan volume cairan pemeliharaan, dapat dipakai Cholera cot.

Cara pengobatan yang efektif ini mempunyai efisiensi dari segi klinik berupa meminimalkan resiko seperti hidrasi berlebihan dengan segala akibatnya, efek samping dari terapi infus, disamping keuntungan dari penghematan cairan infus dengan 50-80%, sekaligus memecahkan problem logistik pada keadaan epidemi.
Selain terapi rehidrasi secara intra vena maupun dengan cairan oral pada kolera, tidak kalah pentingnya adalah terapi kausal dengan antibiotik. Terapi antibiotik dini mungkin dapat segera mengeradikasi vibrio dan mengurangi frekuensi serta volume diare secara bermakna. Tetrasiklin dengan dosis 500 mg 4 kali sehari secara oral selama 3 hari pada umumnya cukup efektif. Sebagai alternatif dapat dipilih obat-obat lain seperti siprofloksasin, doksisiklin dan trimetoprim-sulfametaksol (tabel 7)

Tabel 7. Terapi antibiotik atau antimikroba pada kolera

Terapi lini pertama
Terapi alternatif
Dewasa
Tetrasiklin 500 mg per-oral 4x1 selama 3 hari
Doksisiklin 300 mg per-oral dosis tunggal
Siprofloksasin 1000mg per-oral dosis tunggal
Eritromisin 250mg per-oral 4x1 selama 3 hari
Trimetoprim-sulfametaksasole ( 5mg/kg trimetropim + 25mg/kg sulfametaksasole) per-oral 2x1 selama 3 hari
Furazolidon 100mg per-oral 4X1 selama 3 hari

Anak
Tetrasiklin 12,5 mg/kg per-oral  4x1 selama 3 hari
Doksisiklin 6 mg/kg peroral dosis tunggal
Eritromisin 10mg/kg per-oral 3x1 selama 3 hari
Trimetoprim-sulfametaksasole ( 5mg/kg trimetropim + 25mg/kg sulfametaksasole) per-oral 2x1 selama 3 hari
Furazolidon 12,5mg per-oral 4X1 selama 3 hari
Keterangan :
        -           Dipakai jika dicurigai terapi lini pertama telah resisten atau pasien  alergi terhadap terhadap 
               terapi lini pertama
        -           Tidak dianjurkan pada anak dibawah 8 tahun

PENCEGAHAN

Menjaga kebersihan lingkungan, terutama air dan tempat pembuangan kotoran merupakan cara mencegah penyakit kolera. Mengonsumsi air yang sudah dimasak terlebih dahulu, mencuci tangan sampai bersih sebelum makan, mencuci sayuran, dan menghindari mengonsumsi ikan dan kerang yang dimasak setengah matang. Jika salah satu anggota keluarga ada yang menderita penyakit kolera, sebaiknya diisolasi dan segera berikan pengobatan. Lakukan sterilisasi pada benda yang tercemar muntahan atau tinja. Dapatkan vaksinasi kolera untuk melindungi orang yang melakukan kontak langsung dengan penderita.

Imunisasi dengan vaksin komersial standar yaitu vaksin cholera sec yang mengandung 10 miliyar vibrio mati per mL, memberikan proteksi 60-80% untuk masa 3-6 bulan. Vaksin tidak berpengaruh pada karier dalam pencegahan penularan hingga vaksinasi kolera tidak lagi menjadi persyaratan sertifikat kesehatan internasional. Imunisasi dengan toksoid pada manusia tidak memberikan hasil lebih baik dari pada vaksin standar, sehingga pada saat ini perbaikin higieni saja yang memberikan perlindungan yang berarti dalam mencegah kolera.

KEPUSTAKAAN

HUBUNGIN PENULIS