etika klinik dan hubungan dokter dengan apotek


Etika klinik

            Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral di atas. Jonsen, Siegler dan Winsdale (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu :
1.       Medical indication
2.       Patient preferrences
3.       Quality of life
4.       Contextual features
Ke dalam topic medicalindication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan caída beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan lepada pasien pada doktrin informed consent.
            Pada topik patient preferrence kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan caída autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunter sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak competen, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll
            Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau meningkatkan koalitas hidup insani. Apa, siapa dan bagaimana melakukan penilaian koalitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan denganbeneficence, nonmaleficence dan autonomy.
            Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek nonmedis yang mempengaruhi keputusan, seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaza, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.
  
Etik dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan

            Di dalam praktek, peran profesional kesehatan khususnya dokter dapat terbagi ke dalam 3 model penjaga gawang, yaitu peran tradicional, peran negative gatekeeper dan peran positive gatekeeper.
            Dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai penjaga gawangpenyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harus menggunakan pengetahuan mereka untuk berpraktek secara competen dan rasional ilmiah. Petunjuknya harus diagnostic elegante (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi yang sesuai dalam mendiagnosis) dan therapeutic parsinomy (memberikan terapi hanya yang secara nyata bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya risiko yang tidak diperlukan lepada pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga sumber daya finansial pasien.
            Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada sistemkesehatan pra bayar atau kapitasi, dokter diharapkan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada peran ini jelas terjadi konflik m oral pada dokter dengan tanggung jawab tradisionalnya dalam memuela kepentingan pasien (prinsip beneficence) dengan tanggungjawab barunya sebagai pengawal sumber daya masyarakat/comunitas. Meskipun demikian, peran negative gatekeeper ini secara moral mungkin maíz dapat dijustifikasi.
            Tidak seperti peran negatife yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran postitive gatekeeper dokter Sangay tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam peran ini dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis layanan hi-tech demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas diagnostik  dan terapi yang paling mal dan mutakhir, layanan didasarkan lepada “keinginan pasar” dan bukan lepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas layanan yang sophististicated dijadikan tujuan yang implisit, dan dokter menjadi salesmannya. Mereka berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan tersebut, atau mereka  memperoleh penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana.
            Tidak disangkal lagi bahwa peran positive gatekeeper telah “membudaya” bagi para dokter di kota-kota besar di Indonesia. Transaksi antara pasien dengan dokter menjadi transaksi komoditi biasa. Dokter menjadi entrepreneur. Etik para professional kesehatan menjadi menurun hingga ke bottom line ethics dan bukan lagi menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Pertanyaan “apa yang harus saya lakukan agar pasien memperoleh manfaat dan layanan profesi yang optimal”. Orang yang sakit, dependen, gelisah, kurang pengetahuan dan vulnerable dieksploitasi untuk keuntungan pribadi orang-orang tertentu.


Hubungan Dokter dengan Apotek
Sudah jadi pengetahuan banyak orang bahwa ada kolusi terselubung antara dokter rumah sakit, apotek, laboratorium klinik, dan perusahaan farmasi. Dokter yang bisa membawa atau merujuk pasien yang ke institusi tertentu akan mendapat imbalan finansial atau komisi. Perusahaan farmasi memberi imbalan finansial atau fasilitas atas obat yang diresepkan para dokter.
Pembuktiannya memang agak susah karena memang hampir semua dilakukan di bawah tangan. Namun demikian, barisan  detailer (medical representative ) yang banyak ditemui di ruang tunggu praktek dokter menunjukkan indikasi besarnya masalah ini.
Walau dokter terikat sumpah Hippokrates yang harus mendahulukan kepentingan pasien, sebagian dokter menggunakan posisinya yang lebih kuat (dari hubungan  agency-relationships antara pasien dan dokter) untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ini fenomena yang disebut  Supply-Induced Demand dalam Ilmu Ekonomi Kesehatan.  Demand pelayanan kesehatan dapat meningkat akibat pengaruh dari  supplier pelayanan kesehatan, dalam hal ini dokter dan RS.
Bagi pasien dan pengguna jasa, terjadinya fenomena ini sering kali menimbulkan perlakuan tindakan yang tidak perlu dan ekonomi biaya tinggi yang sangat memberatkan pasien yang sedang sakit dan keluarganya.
Keadaan ini diakui Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, DFM, SH, Msi, Sp.F (K), Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang sekarang Kepala Biro Hukum dan Organisasi – Departemen Kesehatan: “ Praktek kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi ini sudah melanggar kode etik dan disiplin kedokteran. Sebab, dokter memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan gejala penyakit yang telah diperkirakan dokter sebelumnya. Obat yang diresepkanpun berdasarkan kontrak perusahaan farmasi dengan dokter. Dampak dari praktek ‘dokter kontrak’ ini menyebabkan harga obat tinggi. Sebab perusahaan farmasi membebankan biaya insentif dokter sebesar 20 % (dua puluh persen) itu dari harga obat”.
Selanjutnya ditegaskan: “Praktek kolusi ini dilakukan oleh seluruh dokter di Indonesia. Sebagian besar dokter tersebut bekerja sama dengan perusahaan obat lokal yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi”.
Departemen Kesehatan yang pada tanggal 11 Juni 2007 memfasilitasi kesepakatan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi membentuk ‘Etika Promosi Obat’. Pada hal izin usaha perusahaan farmasi dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) SK Menkes RI No.1191/Menkes/SK/IX/2002, perubahan atas Peraturan Menkes RI No. 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Perusahaan Besar Farmasi. Demikian juga izin praktek dokter dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan Pasal 37 UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004. Seharusnya Depkes pro-aktif menghentikan kolusi dokter dan perusahaan farmasi sekaligus melindungi rakyat dari kesulitan membeli obat yang mahal akibat kolusi dengan cara menyiapkan perangkat hukum dengan sanksi yang tegas dan pasti. Bukan sebaliknya menerbitkan etika/kode etik yang justru cukup dan terbatas hanya dilingkungan organisasi masing-masing, seperti Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) untuk kalangan dokter di IDI.      
‘Etika Promosi Obat’ dimaksud selengkapnya berisikan : 

  • (1). Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu ; 
  • (2). Dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh diisyaratkan/dikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk ; 
  • (3). Perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan ; 
  • (4). Perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator ; 
  • (5). Dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/ penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat/ produk perusahaan tertentu ; 
  • (6). Pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual ; 
  • (7). Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/ spesialis dan organisasi lain di lingkungan IDI) harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan GP Farmasi Indonesia untuk tindak lanjutnya

POSTING INI MERUPAKAN KELANJUTAN DARI POSTING ETIKA KEDOTERAN, 
DI SINI