Waspada hipertensi pada kehamilan


               MENGENAL APA ITU PRE-EKLAMSIA PADA KEHAMILAN


Penyakit yang ditandai dengan timbulnya hipertensi, diikuti dengan proteinuria yang timbul karena kehamilan dikenal sebagai pre-eklampsia. Pre-eklampsia umumnya terjadi pada trimester III, tepatnya di atas kehamilan 20 minggu, namun dapat timbul sebelumnya seperti pada mola hidatidosa atau penyakit trofoblastik lainnya. Sebelumnya, edema termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis preeklampsia, namun sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis, karena pada wanita hamil umum ditemukan adanya edema, terutama di tungkai, karena adanya stasis pembuluh darah.
pre eklamsia


Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Kenaikan tekanan sistolik lebih dari 30 mmHg dari nilai normal atau mencapai 140 mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik lebih dari 15 mmHg (mencapai 90 mmHg) dapat membantu ditegakkannya diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.


Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+ atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang serius.


Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis pre-eklampsia, namun adanya penumpukan cairan secara umum dan berlebihan di jaringan tubuh harus teteap diwaspadai. Edema dapat menyebabkan kenaikan berat badan tubuh. Normalnya, wanita hamil mengalami kenaikan berat badan sekitar 0.5 kg per minggu. Apabila kenaikan berat badannya lebih dari normal, perlu dicurigai timbulnya pre-eklampsia.


Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi eklampsia, yang ditandai dengan timbulnya kejang atau konvulsi. Eklampsia dapat menyebabkan terjadinya DIC (Disseminated intravascular coagulation) yang menyebabkan jejas iskemi pada berbagai organ, sehingga eklampsia dapat berakibat fatal.


Definisi Preeklampsia Superimposed pada Hipertensi Kronik
Semua gangguan hipertensi kronik,apapun penyebabnya, memiliki kecendrungan untuk berkembang menjadi pre-elampsia superimposed atau eclampsia. Gangguan ini dapat menimbulkan kesukaran dalam mendignosis dan menatalaksana pada wanita yang tidak menampakkan gejala hingga setelah pertengahan usia kehamilan.


Diagnosis hipertensi kronik pada pre-ekalmpsia:


1.    Hipertensi (140/90 mm Hg atau lebih) pada saat sebelum kehamilan.
2.    Hipertensi (140/90mm Hg atau lebih) yang terdeteksi sebelum 20 minggu.
3.    Hipertensi yang terus berlangsung setelah proses kehamilan


Selain itu terdapat fakor lain yang dapat membantu mendukung dignosis antara lain multipara dan komplikasi hipertensi pada kehamilan sebelumnya.Dan biasanya pada riwayat keluarga memiliki penyakit hipertensi essential.Oleh karena itu kriteria diagnostik superimposed pre-eklampsia adalah hipertensi yang mengalami perburukan (nilai sistolik lebih dari 30 mmHg dan diastolik lebih dari 15 mmHg dibandingkan pada rata-rata nilai sistolik dan diastolik pada usia kehamilan 20 minggu) yang disertai dengan timbulnya protenuria atau edema.


Epidemiologi dan Faktor resiko Pre-eklampsia

Preeklampsia dapat ditemui pada sekitar 5-10% kehamilan, terutama kehamilan pertama pada wanita berusia di atas 35 tahun. Frekuensi pre-eklampsia pada primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama pada primigravida muda. Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, usia > 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi terjadinya pre-eklampsia.


Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada kehamilan / pre-eklampsia / eklampsia


•    Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat
Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten
•    Paritas
angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko lebih tinggi untuk pre-eklampsia berat
•    Ras / golongan etnik
bias (mungkin ada perbedaan perlakuan / akses terhadap berbagai etnikdi banyak negara)
•    Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat sampai + 25%
•    Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin
•    Diet / gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu / pola diet tertentu (WHO). Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese / overweight
•    Iklim / musim
Di daerah tropis insidens lebih tinggi
•    Tingkah laku / sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi.
Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan / insidens hipertensi dalam kehamilan.
•    Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
•    Hidrops fetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus
•    Diabetes mellitus : angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan pre-eklampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal / vaskular primer akibat diabetesnya.
•    Mola hidatidosa : diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan pre-eklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini / pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil


pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada pre-eklampsia.
•    Riwayat pre-eklampsia.
•    Kehamilan pertama
•    Usia lebih dari 40 tahun dan remaja
•    Obesitas
•    Kehamilan multiple
•    Diabetes gestasional
•    Riwayat diabetes, penyakit ginjal, lupus, atau rheumatoid arthritis


Patofisiologi

Etiologi dan faktor pemicu timbulnya eklampsia masih belum diketahui secara pasti. Teori timbulnya pre-eklampsia harus dapat menjelaskan beberapa hal, yaitu sebab meningkatnya frekuensi pada primigravida, bertambahnya frekuensi dengan bertambahnya usia kehamilan, terjadinya perbaikan dengan kematian janin intrauterin, sebab timbulnya tanda-tanda pre-eklampsia. Salah satu teori yang menyatakan bahwa aliran darah maternal ke plasenta yang inadekuat akibat gangguan perkembangan arteri spiralis pada bantalan utero-plasenta menyebabkan terjadinya pre-eklampsia. Pada trimester ketiga kehamilan normal, dinding muskuloelastis arteri spiralis secara perlahan digantikan oleh bahan fibrinosa sehingga dapat berdilatasi menjadi sinusoid vaskular yang lebar. Pada pre-eklampsia dan eklampsia, dinding muskuloelastik tersebut dipertahankan sehingga lumennya tetap sempit. Hal ini mengakibatkan antara lain:
•    Hipoperfusi plasenta dengan peningkatan predisposisi terjadinya infark
•    Berkurangnya pelepasan vasodilator oleh trofoblas; seperti prostasiklin, prostaglandin E2, dan NO; yang pada kehamilan normal akan melawan efek renin-angiotensin yang berefek meningkatkan tekanan darah.
•    Produksi substansi tromboplastik oleh plasenta yang iskemik, seperti faktor jaringan dan tromboksan, yang mungkin mengakibatkan terjadinya DIC.


Walaupun tidak ditemukan perubahan histopatologik yang khas, namun perdarahan, infark, nekrosis, dan trombosis pembuluh darah kecil dapat ditemukan dalam berbagai alat tubuh pada pre-eklampsia. Diduga hal ini terjadi akibat spasme arteriol dan penimbunan fibrin pada pembuluh darah.Teori lain menyebutkan bahwa pre-eklampsia timbul akibat plasenta yang tertanam dangkal yang menjadi hipoksik dan mencetuskan reaksi imun maternal yang ditandai dengan sekresi mediator inflamasi dari plasenta yang berefek pada endotelium vaskular. Plasenta yang tertanam dangkal tersebut diduga diakibatkan respon imun maternal terhadap plasenta. Teori ini menekankan peran sistem imun maternal dalam perkembangan pre-eklampsia.


Beberapa teori lain mencoba menjelaskan terjadinya pre-eklampsia terkait terjadinya:


•    Kerusakan sel endotel
•    Penolakan plasenta oleh reaksi imun
•    Gangguan perfusi plasenta
•    Perubahan reaktivitas vaskular
•    Ketidakseimbangan prostasiklin dan tromboksan
•    Penurunan GFR yang mengakibatkan retensi air dan garam
•    Penurunan volume intravaskular
•    Peningkatan iritabilitas sistem saraf pusat
•    DIC
•    Peregangan otot uterus yang mengakibatkan iskemi
•    Faktor diet: defisiensi vitamin
•    Faktor genetik


Secara garis besar, pemahaman mengenai pre-eklampsia terbagi menjadi dua proses, yaitu predisposisi plasenta terhadap hipoksia, diikuti dengan pelepasan faktor terlarut yang mengakibatkan berbagai macam hal, seperti kerusakan sel endotel, perubahan reaktivitas vaskular, endotheliosis glomerular, penurunan volume intravaskular, inflamasi, dan sebagainya.
Apapun dasar teorinya, adanya perubahan-perubahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta. Hal ini adalah patofisiologi yang terpenting pada perkembangan pre-eklampsia, dan merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan.


Hipoperfusi plasenta pada akhirnya akan menimbulkan:


•    Iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang.
•    Rangsangan produksi renin di utero plasenta akibat hipoperfusi uterus, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi.
•    Penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin, yang dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin dan hipoksia, hingga kematian janin.
•    Perubahan sistemik yang terjadi pada Pre-eklampsia berat
•    Perubahan kardiovaskular




Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal : karena vasodilatasi perifer. Vasodilatasi perifer disebabkan penurunan tonus otot polos arteriol, akibat :
1.    meningkatnya kadar progesteron dalam sirkulasi
2.    menurunnya kadar vasokonstriktor (adrenalin/noradrenalin/ angiotensin II)
3.    menurunnya respons dinding vaskular terhadap vasokonstriktor akibat produksi vasodilator / prostanoid yang juga tinggi (PGE2 / PGI2)
4.    menurunnya aktifitas susunan saraf simpatis vasomotor


Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal ke tekanan darah sebelum hamil.
+ 1/3 pasien pre-eklampsia : terjadi pembalikan ritme diurnal, tekanan darah naik pada malam hari. Juga terdapat perubahan lama siklus diurnal menjadi 20 jam per hari, dengan penurunan selama tidur, yang mungkin disebabkan perubahan di pusat pengatur tekanan darah atau pada refleks baroreseptor.
Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis juga meningkat pada pre-eklampsia. Kemampuan mengeluarkan natrium terganggu, tapi derajatnya bervariasi. Pada keadaan berat mungkin juga tidak ditemukan edema (suatu “pre-eklampsia kering”). Jika ada edema interstisial, volume plasma lebih rendah dibandingkan wanita hamil normal, dan dengan demikian terjadi hemokonsentrasi. Porsi cardiac output untuk perfusi perifer relatif turun. Perfusi plasenta melakukan adaptasi terhadap perubahan2 ini, maka pemakaian diuretik adalah diuretik sesuai karena justru akan memperburuk hipovolemia.
 Plasenta juga menghasilkan renin, diduga berfungsi cadangan untuk mengatur tonus dan permeabilitas vaskular lokal demi mempertahankan sirkulasi fetomaternal.Perubahan metabolisme steroid tidak jelas. Kadar aldosteron turun, kadar progesteron tidak berubah.Kelainan fungsi pembekuan darah ditunjukkan dengan penurunan AT III.
Rata-rata volume darah pada penderita pre-eklampsia lebih rendah sampai + 500 ml dibanding wanita hamil normal.


Fungsi organ-organ lain


Otak
Pada hamil normal, perfusi serebral tidak berubah, namun pada pre-eklampsia terjadi spasme pembuluh darah otak, penurunan perfusi dan suplai oksigen otak sampai 20%. Spasme menyebabkan hipertensi serebral, faktor penting terjadinya perdarahan otak dan kejang / eklampsia.
Hati
Terjadi peningkatan aktifitas enzim-enzim hati pada pre-eklampsia, yang berhubungan dengan beratnya penyakit.
Ginjal
Pada pre-eklampsia, arus darah efektif ginjal berkurang + 20%, filtrasi glomerulus berkurang + 30%. Pada kasus berat terjadi oligouria, uremia, sampai nekrosis tubular akut dan nekrosis korteks renalis. Ureum-kreatinin meningkat jauh di atas normal. Terjadi juga peningkatan pengeluaran protein (”sindroma nefrotik pada kehamilan”).


Sirkulasi uterus , koriodsidua
Perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada pre-eklampsia, dan merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan.
1.    Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang.
2.    hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi.
3.    karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi dari gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.


Kriteria Diagnosistik PEB:


•    Peningkatan tekanan darah: tekanan darah sistolik > 160mmHg atau tekanan darah diastolik > 110mmHg dalam dua kali pengukuran dengan interval 6 jam pada wanita dalam keadaan istirahat
•    Proteinuria: kadar protein dalam urin 24 jam >5g atau >3+ pada pemeriksaan urin menggunakan dipstick. Urin diperiksa dua kali secara terpisah dengan interval 4 jam
•    Oliguria: jumlah urin 24 jam kurang dari 500mL
•    Gangguan serebral atau pengelihatan
•    Edema paru atau sianosis
•    Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen
•    Gangguan fungsi hati
•    Trombositopenia
•    Restriksi pertumbuhan intrauterin
•    Perdarahan retina


Diagnosis preeklampsia ditegakkan jika terdapat minimal hipertensi dan proteinuria
.
Pemeriksaan Fisik:


•    Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC
•    Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion
•    Edema pada muka yang memberat
•    Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg per minggu atau peningkatan berat badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari

Pemeriksaan Penunjang



Saat ini belum ada pemeriksaan penyaring yang terpercaya dan efektif untuk preeklampsia. Dulu, kadar asam urat digunakan sebagai indikator preeklampsia, namun ternyata tidak sensitif dan spesifik sebagai alat diagnostik. Namun, peningkatan kadar asam urat serum pada wanita yang menderita hipertensi kronik menandakan peningkatan resiko terjadinya preeklampsia superimpose.
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada wanita dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan protein total pada urin 24 jam.
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan dan pembekuan. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk memantau progresifitas penyakit.
Prognosis
Kematian ibu antara 9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9%.
Komplikasi
•    Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
•    Hipofibrinogenemia
•    Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal hati pada penderita pre-eklampsia.
•    Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
•    Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan adanya apopleksia serebri.
•    Edema paru
•    Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.
•    Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
•    Prematuritas
•    Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga terjadi anuria atau gagal ginjal.
•    DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah mencapai tahap eklampsia.


Perbedaan Preeklampsia dengan penyakit hipertensi dalam kehamilan lainnya


Riwayat:
•    Adanya faktor resiko terjadinya preeklampsia berat:
•    Faktor yang berhubungan dengan kehamilan: kelainan kromosom, mola hidatidosa, hidrops fetalis, kehamilan multipel, kelainan kongenital struktural, infeksi saluran kemih, inseminasi buatan atau donasi oosit
•    Faktor dari ibu: usia > 35 tahun atau < 20 tahun, orang kulit hitam, riwayat preeklampsia dalam keluarga, nulipara, preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, diabetes pada kehamilan, diabetes tipe I, obesitas, hipertensi kronik, penyakit ginjal, trombofilia, stress
•    Faktor dari ayah: ayah pertama, sebelumnya memiliki istri lain yang menderita preeklampsia dalam kehamilan
•    Pada ANC setelah usia kehamilan 20 minggu, ibu hamil harus ditanyakan mengenai adanya keluhan gangguan pengelihatan, sakit kepala persisten, nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas, dan edema yang meberat


Tatalaksana
Tujuan penanganan preeklampsia berat yakni:
1.    Mencegah kejang
2.    Menjaga tekanan darah ibu
3.    Menginisiasi kelahiran.

Pencegahan kejang



Magnesium sulphate sebaiknya dipertimbangkan pada wanita dengan pre-eklampsia yang memiliki risiko eklampsia, Magnesium sulphate selalu diberikan kepada wanita dengan pre-eklampsia berat ketika keputusan untuk melahirkan bayi diambil, dan pada periode postpartum yang segera, sedangkan pada kasus dengan pre-eklampsia yang kurang parah, keputusan untuk diberikan magnesium sulphate menjadi kurang jelas dan bergantung kepada kasus yang dihadapi masing-masing. (Rekomendasi A)


Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan:
(1) Larutan larutan Sulfas magnesikus 40% sebanyak 10 ml (4 gram) sebagai loading dose, disuntikkan intramuscular sebagai dosis permulaan dan dengan Lanjutan diberikan 1gram/jam setelah 24 jam kejang terakhir. (Rekomendasi A)
Pada kasus kejang berulang dapat ditatalaksana dengan pemberian dari salah satu metode yakni: pemberian bolus 2 gram magnesium sulphate atau meningkatkan rata-rata infuse menjadi 1,5 gram atau 2.0 gram/jam. (Rekomendasi A)


Menurut penelitian MAGPIE menunjukkan pemberian magnesium sulfate terhadap wanita dengan pre-eclampsia menurunkan resiko terjadinya kejang eklamptik. Wanita yang diberikan magnesium sulphat memiiki resiko kejang eklamptik 58% lebih kecil (95% CL 40 – 71%).
Magnesium sulphate adalah terapi pilihan, sedangkan diazepam dan phenytoin sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama. Pemberian secara intravena memili resiko efek samping yang lebih kecil. (Evidence Level Ia)
Magnesium sulphate diekresikan melalui urine, sehingga sebaiknya bila dilakukan observasi urine dan jika terjadi penurunan di bawah 20 ml/jam, infuse magnesium sebaiknya dihentikan.
Kecendrungan toksisitas magnesium dapat diperiksa secara klinis yakni terjadi hilangnya refleks tendon dalam dan depresi pernapasan.


Pengontrolan tekanan darah


Pemberian antihipertensi sebaiknya dimulai pada wanita dengan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau tekanan darah diastlik lebih dari 110 mmHg. (Rekomendasi C)Pemberian Labetalol secara oral atau intravena, nifedipine secara oral atau intravena hydralazine dapat diunakan untuk penatalaksaan akut dari hipertensi berat. (rekomendasi A)


Terdapat consensus bersama bila tekanan darah lebih dari 170/110 mmHg, membutuhkan penanganan tehadap tekanan darah ibu. Obat terpilih yang digunakan Labetalol, nifedipine, atau hydralazine. Labetalol memiliki keuntungan dapat diberikan awal lewat mulut pada kasus hipertensi berat dan kemudian,jika diperlukan, bisa secara intavena.


Terdapat konsesus, bila tekanan darah dibawah 160/100, tidak dibutuhkan secara mendesak pemberian terapi antihipertensi. Terdapat perkecualian, bila ditemukan indikasi untuk penyakit dengan gejala yang lebih berat, yakni: potenuria berat atau gangguan hati, atau hasil tes darah, oleh karena itu pada kondisi emikian, peningkatan tekanan darah dapat diantisipasi, dengan diberikan terapi antihiperteni pada tekanan darah level tekanan darah yang lebih rendah yang telah disesuaikan.


Penggunaan obat hipertensif pada pre-eklampsia berat diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan aplopeksia serebri menjadi lebih kecil.

Perencananan kelahiran 



Pada umumnya pada pre-eklampsia berat sesudah bahaya akut berakhir menjadi lebih baik, sebaiknya dipertimbangkan untuk menghentikan kehamilan oleh karena dalam keadaan demikian harapan janin dalam uterus menghambat sembuhnya penderita dari penyakitnya.
Perencanaan pengeluaran bayi disesuaikan dengan tingkat keparahan gejala pre-eklampsia dan usia kehamilan.
Pada preeklampsia ringan dengan usia kehamilan 40 minggu, sebaiknya dilahirkan.
Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan pre-eklampsia ringan dapat diindukusi kelahiran.
Pada usia kehamilan 32-34 minggu dengan pre-eklampsia berat sebaiknya dipertimbangkan untuk dilahirkan, dan fetus sebaiknya diberikan kortikosteroid.
Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu dengan preeklmapsia berat, kelahiran dapat ditunda untuk memperkecil tingkat morbiditas dan mortilitas bayi, ibu tersebut sebaiknya diberikan magnesium sulfat pada 24 jam pertama ketika diagnosis dibuat, tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan menggunakan pengobatan, pasien sebaiknya diberikan kortikoseteroid untuk mematangkan organ paru bayi.
Jika usia kehamilan kurang dari 23 minggu, pasien sebaiknya diberikan induksi persalinan untuk diterminasi kelahirannya.
Bila usia kehamilan kurang dari 34 minggu dan proses persalinan dapat ditunda untuk sementara waktu, kortikosteroid sebaiknya diberikan, walaupun setelah 24 jam manfaat dari penatalaksaan konservatif ini harus dinilai kembali. (Rekomendasi A)
Bila usia kehamilan lebih dari 34 minggu, setelah dilakukan stabilisasi, proses persalinan direkomendasikan. Jika usia kehamilan kurang dari 34 minggu dan kehamilan dapat diperpanjang hingga lebih dari 24 jam,pemberian steroid dapat membantu menurunkan tingkat kematian bayi akibat gangguan pernapasan. Terdapat kemungkinan manfaat dari pemberian terapi steroid walaupn proses kelahiran terjadi kurang dari 24 jam setelah pemberian steroid. (evidence level 1a)
Pengeluaran bayi melewati vagina lebih baik dibandingkan dengan operasi sesar. Jika pengeluaran bayi secara vagina tidak tercapai selama kurun waktu tertentu, maka segera.dilakukan operasi sesar.


Pengontrolan keseimbangan cairan , Pembatasan cairan disarankan untuk menurunkan resiko overload cairan pada peride kehamilan dan setelah kehamilan. Dalam keadaan biasa, total cairan sebaiknya dibatasi 80 ml/jam atau 1 ml/kg/jam. (Rekomendasi C)
Pada penanganan cairan yang tidak tepat pada kasus pre-eklampsia diperkirakan memiliki keterkaitan dengan timbulnya kasus edema paru. Selama kurang lebih 20 tahun, edema paru menjadi penyebab kematian ibu yang signifikan.
Pengeluaran bayi melewati vagina lebih baik dibandingkan dengan operasi sesar. Jika pengeluaran bayi secara vagina tidak tercapai selama kurun waktu tertentu, maka segera dilakukan operasi sesar. Penanganan setelah kehamilan


Pada kasus pre-eklampsia berat pada masa setelah kelahiran dapat terjadi eklmpalsia. Dilaporkan lebih dari 44 % eklamsia dapat terjadi, terutama pada wanita yang melahirkan pada usia kehamilan aterm. Wanita yang timbul hipertensi atau gejala pre-eklampsia setelah kehamilan (sakit kepala, gangguan penglihatan, mual dan muntah, nyeri epigastrium) sebaiknya dirujuk ke spesialis.
Wanita dengan kelahiran yang disertai pre-eklampsia berat (atau eklampsia) sebaiknya dilakukan pemantauan dengan optimal pasca melahirkan. Dilaporkan dapat terjadi eklampsia setelah minggu ke-4. (evidence level III)Terapi anti-hipertensi sebaiknya tetap dilanjutkan pasca kehamilan. Walaupun, pada awalnya, tekanan darah turun, biasanya kan kembali naik kurang lebih 24 jam setelah kehamilan. Pengurangan terapi anti-hipertensi sebaiknya dilakukan secara berjenjang. (Evidence level III)Corticosteroid digunakan pada pasien dengan sindrom HELLP. Hasil dari penelitian terbaru memperkirakan corticosteroid dapat memicu perbaikan gangguan biokimia dan hematology secara cepat, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan kortikosteroid dapat menurunkan morbiditas.