obat sitoprotektif: Obat yang di pakai untuk melindungi mukosa lambung dan duodenum

Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat Sitoproteksi

PENDAHULUAN
  • Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif(asam dan pepsin) dan faktor-faktor defensif (resistensi mukosa) pada mukosa lambung-duodenum menyebabkan terjadinya gastritis, duodenitis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. 
  • Asam lambung yang bersifat korosif dan pepsin yang bersifat proteolitik merupakan dua faktor terpenting dalam menimbulkan kerusakan mukosa lambung-duodenum. Faktor-faktor agresif lainnya adalah garam empedu, obat-obat ulserogenik (aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lainnya, kortikosteroid dosis tinggi), merokok, etanol, bakteria, leukotrien B4 dan lain-lain.
  • Faktor-faktor yang merupakan mekanisme proteksi mukosa lambung-duodenum adalah sawar mukus bikarbonat, sawar mukosa, aliran darah mukosa dan regenerasi mukosa. Mekanisme proteksi mukosa lambung-duodenum terhadap kerusakan oleh faktor-faktor agresif ini disebut dengan istilah sitoproteksi. Meskipun mekanisme sitoproteksi ini belum diketahui secara pasti, ada bukti bahwa prostaglandin endogen memegang peranan penting.
  • Karena pada dasarnya terjadinya ulkus peptikum ataupun gatritis di sebabkan oleh dua faktor yang utama yaitu faktor agresif yang di sebabkan oleh meningkatnya asam lambung dan juga karena faktor defensif berupa berkurangnya perlindungan terhadap mukosa lambung. maka prinsip pengobatan ulkus peptikum maupun gastritis di tujukan untuk mengatasi kedua faktor diatas. Karena saat ini prinsip pengobatan lebih banyak di tujukan pada mengatasi masalah akibat faktor agresif, maka pada kesempatan ini saya akan membahas menyangkut prinsip pengobatan untuk mengatasi faktor defensif yaitu  turunnya kemampuan proteksi mukosa lambung yang dapat memungkinkan terciptanya ulkus peptikum.
  • Pengobatan ulkus peptikum maupun gastritis dengan mengatasi masalah defensif berupa mengatasi masalah berkurangnnya mukosa lambung dapat di lakukan dengan penggunaan obat-obatan sitoprotektif yang akan saya bahas pada postingan saya kali ini.

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan ulkus peptikum adalah :
  1. Menghilangkan rasa nyeri dan menyembuhkan ulkus.
  2. Mencegah kambuhnya ulkus dan mencegah terjadinya komplikasi.
Berdasarkan patofisiologinya, terapi farmakologik ulkus peptikum ditujukan untuk menekan faktor-faktor agresif dan/atau memperkuat faktor-faktor defensif. Sampai saat ini pengobatan ditujukan untuk mengurangi asam lambung, yakni dengan cara menetralkannya dengan antasida atau mengurangi sekresinya dengan obat-obat antisekresi yakni :
  1. H2 bloker : simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin.
  2. Muskarinik bloker : pirenzepin.
  3. Penghambat pompa proton (H+/K+ ATPase) : omeprazol.
Oleh karena asam memecah molekul pepsinogen yang inaktif menjadi pepsin yang aktif serta memberikan pH yang dibutuhkan untuk aktivitas pepsin (aktivitas pepsin sangat menurun pada pH lebih dari 4 dan pepsin menjadi inaktif pada pH netral atau alkalis), maka dengan mengurangi asam, kedua faktor agresif yang utama ini (asam dan pepsin) dapat diatasi.

Akhir-akhir ini, pengobatan ulkus peptikum mulai ditujukan untuk memperkuat mekanisme defensif mukosa lambung duodenum, yakni dengan obat-obat sitoproteksi. Obat sitoproteksi – bermula dari prostaglandin – didefinisikan sebagai obat yang dapat mencegah atau mengurangi kerusakan mukosa lambung atau duodenum oleh berbagai zat ulserogenik atau zat penyebab nekrosis, tanpa menghambat sekresi atau menetralkan asam lambung. Jadi obat sitoproteksi dapat mencegah kerusakan mukosa lambung yang acid-mediated (misalnya aspirin) maupun yang acid-independent (misalnya oleh alkohol).

H2 bloker tidak termasuk obat sitoproteksi yang efektif untuk mencegah kerusakan mukosa yang acid-mediateci. Selanjutnya akan dibahas berbagai obat sitoproteksi yang telah mapan (established) efek sitoproteksinya pada manusia maupun penggunaan kliniknya sebagai anti ulkus. Obat-obat ini dapat dibagi dalam 2 kelompok:
  • Analog prostaglandin (PG)
    • Analog PGE1: misoprostol, rioprostil.
    • Analog PGE2 : enprostil, arbaprostil, trimoprostil
  • Non-prostaglandin, semuanya dengan proteksi lokal
    • Karbenoksolon
    • Sukralfat
    • Bismuth koloidal
    • Setraksat.
    • OBAT YANG Di PAKAI UNTUK MENGOBATI ULKUS PEPTIKUM
      OBAT UNTUK MENGURANGI ASAM LAMBUNG
      OBAT SITOPROTEKTIF (MELINDUNGI MUKOSA)
            -          Golongan antihistamin generasi kedua
             -          Analog prostaglandin (PG)
              -          Muskarinic bloker 
             -          Non-prostaglandin
             -          Poton-pump inhibitor


Analog prostaglandin
  • Karena konsep sitoproteksi berasal dari studi eksperimental yang mempergunakan prostaglandin, maka prostaglandin (PG) alamiah maupun sintetik menjadi prototip obat sitoproteksi. Oleh karena PG alamiah dipecah dalam waktu beberapa detik, maka dibuat PG sintetik (analog PG) yang cukup stabil agar dapat digunakan sebagai obat. Banyak analog PG yang telah disintesis, tetapi baru ada 5 analog PG yang telah diteliti manfaat kliniknya untuk pengobatan ulkus peptikum (lihat di atas) dan beberapa di antaranya telah dipasarkan. 
  • Selain efek sitoproteksi (pada dosis kecil maupun besar), PG juga mempunyai efek antisekresi (pada dosis besar). Jadi PG pada dosis kecil hanya menimbulkan efek sitoproteksi dan antisekresi. Efek sitoproteksi PG berhubungan dengan besarnya dosis.
  • Mekanisme sitoproteksi mencakup:
    • PGE dan PGI meningkatkan aliran darah mukosa lambung duodenum (vasodilatasi, sedangkan PGF2 vasokonstriksi).
    • PGE meningkatkan sekresi mukus lambung-duodenum.
    • PGE meningkatkan sekresi bikarbonat lambung-duodenum(tidak semua PG).
    • PGE memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaan mukosa dan dengan demikian mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen.
    • PGE menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum (terutama di antara antrum lambung), terutama dengan memperpanjang daur hidup sel-sel epitel yang sehat (terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas proliferasi.
  • Dengan demikian terjadi proteksi zone proliferatif mukosa oleh PG, yang penting untuk regenerasi mukosa. Bila zone masih utuh, maka bila terjadi kerusakan sel-sel epitel permukaan (misalnya pada erosi), segera terjadi penggantian sel-sel baru hasil proliferasi sel-sel di zone tersebut yang kemudian bermigrasi ke permukaan. Tetapi bila zone ini telah rusak/tidak ada (mis. pada ulkus), mekanisme sitoproteksi PG tidak dapat menyembuhkan.
  • Hasil berbagai uji klinik menunjukkan bahwa :
    • Analog PGE efektif untuk menyembuhkan ulkus bila digunakan dalam dosis tinggi, yakni dosis sitoproteksi dan anti sekresi, tetapi efektifitasnya umumnya inferior bila dibandingkan dengan H2 bloker, baik dalam mempercepat kesembuhan atau menghilangkan rasa nyeri, kecuali rioprostil yang mempunyai efektivitas sebanding dengan H2 bloker dan dapat diberikan sekali sehari.
    • Dalam dosis rendah, yakni dosis yang diperkirakan mengurangi sekresi asam lambung, obat-obat ini memperlihatkan efek sitoproteksi, yakni dapat mencegah kerusakan dan mengurangi perdarahan mukosa lambung duodenum akibat pemberian alkohol, aspirin atau obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) lainnya; tetapi tidak efektif untuk menyembuhkan ulkus. Untuk pencegahan kerusakan lambung inipun diperlukan dosis tinggi, yakni dosis anti ulkus agar mendapatkan hasil yang maksimal.  NSAID tampaknya lebih banyak disertai ulkus lambung daripada ulkus duodenum. Hal ini terlihat dari prevalensi ulkus lambung pada penderita yang menggunakan NSAID secara kronik (terutama penderita artritis) yang sangat tinggi, yakni antara 9–22%, tetapi kurang konsisten dengan ulkus duodenum.
    • Efek samping yang sering timbul dengan analog PGE adalah diare (biasanya ringan dan hanya sementara), yang berhubungan dengan besamya dosis karena merupakan akibat efek PG meningkatkan sekresi cairan di usus halus. Insidens diare antara 5–34% dengan misoprostol dan antara 5–55% dengan enprostil pada dosis anti-ulkus. Rionrostil lebih jarang menimbulkan diare dibandingkan PG lainnya. PG juga menimbulkan nyeri abdomen (10-20%), mungkin akibat kerjanya meningkatkan kontraksi otot polos usus. Selain itu ada efek samping yang serius yakni misoprostol dapat menginduksi kontraksi uterus sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Enprostil juga meningkatkan kontraksi uterus, tetapi tidak menyebabkan aborsi pada dosis yang digunakan. Sedangkan rioprostil tampaknya tidak mempunyai efek kontraksi uterus, tetapi hal ini perlu konfirmasi lebih lanjut.
  • Bahwa analog PG yang mempunyai efek sitoproteksi dan anti sekresi temyata tidak lebih efektif dibandingkan dengan H2 bloker yang hanya mempunyai efek antisekresi dalam menyembuhkan ulkus, memang mengherankan; mungkin hal ini disebabkan oleh :
    • Istilah sitoproteksi berasal dari percobaan pada tikus, dimana pemberian PG mencegah/mengurangi kerusakan epitel lambung dan mencegah stasis sirkulasi. Mencegah kerusakan tidak sama dengan proses penyembuhan. Proses penyembuhan membutuhkan regenerasi sel-sel mukosa yang rusak, dan proses ini berjalan dengan spontan dan cepat asal tidak terpapar pada suasana asam yang merusak sel-sel tersebut. Sedangkan pencegahan kerusakan mukosa oleh PG melalui hiperplasia sel-sel mukosa yang sehat dan berbagai mekanisme lain telah disebut sebelumnya. Tanpa aktivitas anti sekresi, tampaknya PG tidak dapat mengaktifkan proses regenerasi sel yang dibutuhkan untuk penyembuhan ulkas. Ini berarti bahwa efek sitoproteksi dari PG tidak ikut berperan/minimal dalam proses penyembuhan ulkus sehingga penyembuhan ulkus oleh analog PG bergantung pada aktivitas anti sekresinya.
    • Misoprostol dan enprostil adalah penghambat sekresi asam lambung dengan kekuatan sedang. Potensi anti sekresi misoprostol kira-kira sebanding dengan simetidin dan potensi enprostil kira-kira terletak di antara simetidin dan ranitidin. Sedangkan penyembuhan ulkus dan hilangnya rasa nyeri tampaknya bergantung pada penghambatan asam lambung. Oleh karena analog PG yang ada sekarang ini umumnya inferior dalam efektivitas (kecuali rioprostil) dan menimbulkan banyak efek samping (diare, nyeri abdomen, sifat abortifasien), maka analog PG yang sekarang ini tidal dapat menggantikan H2 bloker untuk menjadi pilihan utama untuk menyembuhkan ulkus peptikum.
  • Meskipun efek sitoproteksi tidak dapat diandalkan untuk penyembuhan ulkus, tetapi dari efek ini diharapkan 3 hal, yakni :
    1. Analog PG diharapkan berguna untuk mencegah kerusakan saluran cerna akibat pemberian obat ulserogenik secara kronik. Ini telah terbukti untuk misoprostol, yang ternyata bermanfaat untuk mencegah terjadinya ulkus lambung akibat pemberian NSAID pada penderita osteoartritis. Tetapi sebagaimana telah disebutkan di atas, hasil yang terbaik diperoleh dengan dosis misoprostol sebagai anti ulkus. Untuk penggunaan ini, tidak diketahui apakah analog PG lebih efektif dibanding H2 bloker, karena belum ada perbandingan langsung. Tetapi, pada studi eksperimental, telah ditunjukkan bahwa misoprostol dalam dosis anti sekresi yang sebanding dengan simetidin ternyata jauh lebih efektif dalam mengurangi kerusakan lambung akibat pemberian etano180% intragastrik maupun pemberian tolmetin (suatu NSAID). Hal ini menunjukkan bahwa efek sitoproteksi dari analog PG juga ikut berperan dalam mencegah kerusakan lambung tersebut, di samping efek antisekresinya.
    2. Analog PG dapat memperpanjang masa remisi ulkus yang disembuhkan dengan obat ini. Masa remisi ulkus duodenum setelah sembuh dengan misoprostol dibanding dengan simetidin dan hasil meta-analisis terlihat bahwa untuk penderita dengan ulkus yang kronik, masa remisinya tidak berbeda antara misoprostol dengan simetidin tetapi untuk penderita tanpa riwayat ulkus sebelumnya, masa remisinya lebih panjang dengan misoprostol dibanding dengan simetidin. Efek misoprostol terhadap masa remisi ulkus lambung belum jelas. Angka kekambuhan ulkus duodenum setelah rioprostil tidak berbeda bermakna dengan simetidin. Untuk enprostil, belum ada data mengenai efeknya terhadap masa remisi ulkus.
    3. Merokok diharapkan tidak mempengaruhi penyembuhan ulkus oleh analog PG. Merokok merupakan faktor risiko terjadinya ulkus, memperlambat penyembuhan ulkus dan mempercepat kāmbuhnya ulkus peptikum. Merokok tidak mempengaruhi sekresi asam basal lambung dan pepsin, tetapi meningkatkan sekresi akibat stimulasi dengan pentagastrin. Merokok menghambat sintesis PGE2 di mukosa lambung tetapi tidak mempengaruhi produksi PG di mukosa duodenum. Merokok nampaknya mengurangi efektivitas obat-obat antisekresi tetapi tidak mempengaruhi efektivitas obat-obat sitoproteksi. Penyembuhan ulkus duodenum oleh misoprostol, umumnya tidak dipengaruhi oleh merokok. Demikian juga dengan penyembuhan ulkus duodenum oleh enprostil maupun rioprostil tampaknya juga tidak dipengaruhi oleh merokok. Diperkirakan pada perokok dengan ulkus duodenum, merokok menghambat penglepasan PG di duodenum terhadap rangsangan asam, meskipun produksi PG basal tidak dipengaruhi. Untuk penyembuhan ulkus lambung, pengaruh rokok tidak konsisten.
  • Selanjutnya untuk pengobatan jangka panjang mencegah kambuhnya ulkus duodenum, enprostil dengan dosis setengah dari dosis untuk menyembuhkan ulkus (35 μg malam hari) menghasilkan kekambuhan 2 kali lipat dari ranitidin setelah 1 tahun (62% versus 29%). Tetapi pada dosis enprostil 70 μg malam hari (sama dengan dosis untuk menyembuhkan ulkus), angka kekambuhan sama dengan ranitidin (juga dalam dosis penyembuhan, 300 μg malam hari) setelah 6 bulan (29% vs 31%). Mengingat efek samping enprostil yang relatif tinggi, maka obat ini tidal dapat dianjurkan untuk pengobatan jangka panjang mencegah kambuhnya ulkus

Non prostaglandin : obat sitoproteksi dengan proteksi lokal
  • Karbenoksolon
    • Karbenoksolon, suatu derivat asam glikonizinat sintetik, adalah obat sitoproteksi dengan proteksi lokal yang pertama dipasarkan.
    • Mekanisme kerjanya mencakup : stimulasi sekresi mukus, stabilisasi membran sel dan mempercepat regenerasi sel-sel epitel permukaan yang rusak (mekanisme sitoproteksi, sebagian melalui peningkatan kadar PG di mukosa akibat penghambatan deaktivasinya), aktivasi anti peptik (sebagai yang membentuk sawar lokal).
    • Dengan dosis 200-300 mg sehari, obat ini sebanding efektivitasnya dengan simetidin dalam mempercepat penyembuhan ulkus lambung dan duodenum. 
    • Efek samping sistemiknya (retensi garam dan air, edema, hipertensi, hipokalemia) yang potensial membahayakan menyebabkan obat ini sekarang telah ditinggalkan (obsolete).
  • Sukralfat 
    • Sukralfat adalah garam aluminium dari sukrose sulfat. Pada suasana asam (perut kosong), obat ini membentuk pasta kental secara selektif mengikat pada ulkus (berupa kompleks yang stabil antara molekul obat dengan protein pada permukaan ulkus, yang tahan hidrolisis oleh pepsin) dan berlaku sebagai barier yang melindungi ulkus terhadap difusi asam, pepsin dan garam empedu (proteksi lokal). Sukralfat juga mempunyai efek sitoproteksi pada mukosa lambung melalui 2 mekanisme yang terpisah, yakni melalui pembentukan PG endogen dan efek langsung meningkatkan sekresi mukus
    • Efek sitoproteksi ini tidak memerlukan suasana asam.
    • Sukralfat sebanding efektivitasnya dengan simetidin dalam menyembuhkan ulkus lambung maupun ulkus duodenum.
    • Untuk ulkus duodenum, sukralfat (4 g/hari diberikan 4 x 1 g atau 2 x 2 g pada perut kosong) dan simetidin (1 g/hari atau 4 x 300 mg) memberikan kecepatan penyembuhan yang sebanding  Penyilangan penderita yang belum sembuh selama 4 minggu lagi, kembali memberikan laju kesembuhan yang tidak berbeda (sekitar 70%). Ini menunjukkan bahwa masing-masing obat dapat menyembuhkan sebagian besar penderita yang belum sembuh dengan obat sebelumnya.
    • Kombinasi simetidin dengan sukralfat bersifat sinergistik dan mempercepat penyembuhan ulkus. Pada perokok, sukralfat memberikan laju kesembuhan yang lebih tinggi dibandingkan simetidin. Hal ini mungkin berkaitan dengan sifat sitoproteksi dari sukralfat. Di samping itu, penderita yang disembuhkan dengan simetidin lebih cepat kambuh dibanding penderita yang sembuh dengan sukralfat, demikian juga di antara penderita yang perokok. Pada umumnya masa remisi setelah pengobatan dengan sukralfat 2 x lebih panjang dibanding dengan simetidin. Hal ini mungkin berkaitan dengan efek sitoproteksi dari sukralfat.
    • Suatu studi lain yang meneliti angka kekambuhan pada penderita ulkus duodenum, prepilorus dan lambung setelah sembuh dengan simetidin atau sukralfat, ternyatā angka kekambuhan setelah 12 bulan tidak berbeda antara kedua obat, tetapi ada perbedaan dalam efek merokok. Merokok mempengaruhi angka kekambuhan dan masa remisi setelah terapi dengan simetidin, tetapi tidak mempengaruhi hasil terapi dengan sukralfat. Sukralfat 2 g sehari lebih efektif dari plasebo dan sebanding dengan simetidin untuk terapi jangka panjang mencegah kambuhnya ulkus duodenum.
    • Untuk ulkus lambung, sukralfat (4 g/hari, diberikan 4 x 1 g pada perut kosong) dan simetidin (1 g/hari atau 4 x 300 mg) memberikan kecepatan penyembuhan yang sebanding (sekitar 70-80% setelah 6-8 minggu). Sukralfat 2 g sehari (sekali malam hari) lebih efektif dari plasebo untuk mengurangi kambuhnya ulkus lambung.
    • Sukralfat (4 x 1 g sehari pada perut kosong) ternyata efektif untuk mengurangi kerusakan mukosa lambung dan gejala-gejala saluran cema akibat penggunaan NSAID. 
    • Karena mengandung aluminium, sukralfat menyebabkan konstipasi ringan pada 2-10% penderita, dan dapat menimbulkan toksisitas aluminium pada penderita gagal ginjal. Kerugiannya yang utama adalah cara pemberiannya; biasanya 4 x sehari, terutama pada ulkus lambung, serta tidak diberikan bersama antasida ataupun makanan.
  • Bismuth kolodial 
    • Bismuth kolodial adalah garam bismuth koloidal dari asam sitrat. Seperti sukralfat, obat ini pada pH asam (kurang dari 5) membentuk lapisan pelindung yang selektif di dasar ulkus (berupa kompleks bismuth glikoprotein) dan bertindak sebagai barier terhadap difusi asam, pepsin dan empedu. 
    • Obat ini juga mempunyai efek sitoproteksi pada mukosa lambung melalui pembentukan PG endogen. Baru-baru ini ditemukan efek tambahan, yakni bakterisidal terhadap Campylobacter pylori, yang sering ditemukan di mukosa lambung (daerah antrum) dan metaplasia lambung di duodenum pada sebagian besar penderita ulkus peptikum (lebih banyak pada ulkus duodenum dari pada ulkus lambung), Kolonisasi H. pylori pada mukosa lambung berhubungan erat dengan gastritis, tetapi peranannya dalam etiologi ulkus belum jelas, karena 
      • kuman tersebut jarang ditemukan pada ulkusnya sendiri 
      • kuman ini masih terdapat di daerah antrum dalam densitas yang sama dengan sebelum pengobatan walaupun ulkusnya telah sembuh dengan H2 bloker, sukralfat atau anolog PGE
      • etelah ulkus sembuh dan kuman ini dibasmi dengan garam bismuth, penderita tetap remisi meskipun H. pylori telah berkolonisasi kembali
      • sukralfat tidak mempengaruhi kuman ini, tetapi masa remisinya juga panjang. Salah satu kemungkinan mekanisme kerja H. pylori dalam menimbulkan gastritis dan ulkus peptikum adalah mencernakan lapisan mukus dengan enzim-enzim protease dan glikosilhidrolase yang dihasilkan oleh kuman ini.
    • Bismuth koloidal (120 mg 4 x sehari atau 240 mg 2 x sehari pada perut kosong) juga sebanding efektivitasnya dengan simetidin untuk menyembuhkan ulkus duodenum maupun ulkus lambung. Bahkan obat ini dapat menyembuhkan ulkus duodenum yang resisten terhadap simetidin 1,6 g/hari. Di samping itu obat ini menghasilkan masa remisi yang lebih panjang setelah disembuhkan ulkus duodenumnya dibanding dengan H2 bloker. Hal ini dihubungkan dengan kemampuan garam bismuth ini untuk membasmi H. pylori, tetapi mungkin juga karena efek sitoproteksinya.
    • Merokok nampaknya tidak mempengaruhi angka kesembuhan ulkus peptikum yang diobati dengan bismuth koloidal. Demikian juga angka kekambuhan setelah terapi dengan obat ini tampaknya tidak dipengaruhi oleh rokok Bismuth bersifat neurotoksik (ensofalopati), terutama bila diberikan pada penderita dengan riwayat gagal ginjal. 
    • Selain itu dapat terjadi pewarnaan (hitam) pada lidah, gigi dan feses yang reversibel. Juga dapat terjadi konstipasi dan melena. Oleh karena itu, obat ini tidal( boleh digunakan dalam terapi jangka panjang. 
    • Obat ini diberikan 2-4 kali sehari, tidak boleh bersama antasida, susu ataupun makanan, selama tidak lebih dari 8 minggu dan dengan interval minimal 2 bulan. Untuk eradikasi H. pylori, yang disertai dengan angka kekambuhan yang lebih rendah, obat ini harus diberikan 4 kali sehari.
  • Setraksat
    • Setraksat, yang merupakan ester dari asam traneksamat, adalah salah satu obat untuk proteksi mukosa lambung yang bekerja lokal meningkatkan aliran darah mukosa atau memperbaiki mikrosirkulasi mukosa di tepi ulkus dan di mukosa yang bebas ulkus. Obat ini juga meningkatkan pembentukan PG endogen di mukosa, meningkatkan produksi mukus dan menghambat difusi balik ion hidrogen sehingga menghambat konversi pepsinogen menjadi pepsin. Akibatnya terjadi percepatan regenerasi sel-sel mukosa, dengan demikian percepatan penyembuhan ulkus, mungkin akibat peningkatan suplai darah ke tepi ulkus.
    • Setraksat (200 mg 4 x sehari sesudah makan dan sebelum tidur atau 400 mg 2 kali sehari) lebih efektif dibanding dengan plasebo untuk penyembuhan ulkus lambung maupun duodenum dalam waktu 8 minggu. Kombinasi setraksat dan simetidin lebih efektif dibanding simetidin saja untuk penyembuhan ulkus dalam waktu 4 maupun 8 minggu. 
    • Dalam dosis 200 mg 2-3 x sehari, setraksat lebih efektif dibanding dengan antasid atau plasebo untuk terapi jangka panjang untuk mencegah kambuhnya ulkus lambung maupun duodenum selama 6-13 bulan. 
    • Angka kekambuhan ulkus (lambung atau duodenum) setelah 6 bulan sembuh dengan setraksat lebih rendah dibandingkan dengan simetidin (8% vs 17,2%) dan tidak berbeda bermakna dengan kombinasi simetidin dan setraksat (10,7%).
    • Setraksat (200 mg 4 x sehari) bersama antasid lebih efektif dibandingkan antasid saja untuk menyembuhkan gastritis akut (erosif dan hemoragik) dalam waktu 2 minggu. Setraksat sendiri lebih cepat/lebih efektif untuk menyembuhkan gastritis akut maupun kronik dibanding antasid atau plasebo. 
    • Pemberian seraksat (200 mg 4 x sehari) bersama NSAID selama 2 minggu pada penderita osteoartritis ternyata dapat mengurangi kerusakan mukosa lambung maupun duodenum (hiperemi, erosi dan ulkus) akibat NSAID. Efek setraksat bermakna untuk lambung, tetapi tidak bermakna untuk duodenum.
    • Efek samping setraksat ringan dan praktis hanya berupa gangguan saluran cerna, yang paling sering hanyalah konstipasi ringan pada 1-2% penderita.