BLOKADE SYARAF PUSAT: KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGELOLAAN NYERI AKUT

KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGELOLAAN NYERI AKUT
  • Analgesia regional merupakan tehnik terbaik untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat setelah trauma pembedahan atau beberapa masalah medis yang berkaitan dengan pengelolaan nyeri akut apalagi dengan tehnik continous epidural akan dihasilkan tingkat analgesi yang baik dan efek samping minimal. Ditambahkan bahwa analgesia regional akan mengurangi perubahan-perubahan pathologis yang disebabkan oleh karena pengaruh dari pembedahan mayor. Meskipun demikian harapan yang optimis ini harus didukung oleh beberapa pengamatan klinis. 
  • Pertama, sampai saat ini hamnya ada sedikit fakta yang menyebutkan bahwa analgesia epidural post – operasi menurunkan morbiditas dan mortalitas. Kedua, analgesia epidural post-operasi yang melewati periode post-operasi yang cepat mengharuskan penilaian kembali oleh seorang ahli untuk memastikan analgesia yang optimal dengan efek yang tidak dikehendaki minimal. Yang jelas, hal ini akan menambah biaya perawatan pasien. Pada akhirnya, analgesia epidural akan menyebabkan beberapa komplikasi yang potensial terjadi, yang secara umum berhubungan dengan analgesia post-operasinya dan secara khusus berhubungan dengan tehnik epiduralnya sendiri. Sebagai seseorang yang selalu berhubungan dengan kasus medis, kita berkewajiban untuk memastikan bahwa keuntungannya akan lebih banyak daripada resikonya. Meskipun beberapa macam obat dapat diberikan secara epidural untuk analgesi, dalam praktek klinis sehari-hari digunakan bupivakain ( atau ropivakain ) dan atau opioid, biasanya fentanyl , atau morphin. Saya akan memfokuskan pada tehniknya.
KOMPLIKASI ANALGESIA EPIDURAL
  • Sistem saraf pusat 
    • Keadaan bingung setelah operasi
      • Keadaan bingung setelah operasi adalah suatu hal yang umum setelah pembedahan mayor. Pada usia muda biasanya sedang dan hilang dengan sendirinya, tetapi diantara pasien usia tua terjadi kelemahan intelektual yang berat dan berlarut-larut dan pemulihannya mungkin tidak sempurna. Delirium setelah operasi dilaporkan merupakan komplikasi yang umum dari pembedahan mayor pada usia tua, dengan insiden dilaporkan 10 – 50 % dan prognosisnya lebih buruk, termasuk meningkatnya waktu perawatan, meningkatnya mortalitas .
      • Keadaan bingung setelah operasi yang akut atau delirium adalah karakteristik oleh hilangnya/lemahnya fungsi intelektual secara global. Pada kenyataannya pasien menunjukkan kesadaran berkabut dengan karakteristik hilangnya kewaspadaan, kesadaran dan perhatian. Memori, kognisi, dan persepsi juga hilang. Pasien kadang-kadang mengalami disorientasi waktu dan tempat, bicara tidak tepat, ngawur atau inkoheren bahkan dapat tejadi ilusi maupun halusinasi. Respon emosi tumpul termasuk depresi, agitasi dan ketakutan. Aktivitas motorik sering menurun, tetapi pasien-pasien yang menderita delirium setelah operasi kadang menjadi hiperaktif dan gelisah. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain preexisting dementia, usia lanjut, komplikasi perioperativ seperti gangguan metabolisme, sepsis, gizi jelek, nyeri, hipoksemia post-operasi dan penggunaan obat psikoaktif peri atau post-operativ.
      • Dibandingkan dengan pemberian opioid perenteral, analgesia epidural mempunyai insiden yang rendah terjadinya delirium post-operasi. Pasien akan mendapatkan analgesi yang kuat dengan pemeliharaan yang lebih baik dan pemulihan fungsi respirasi yang lebih cepat, terutama setelah pembedahan besar pada abdomen atau thorak. Pasien yang menerima analgesia epidural dengan opioid saja atau dalam kombinasi dengan anestesi lokal, akan membutuhkan dosis kumulatif yang lebih kecil dari analgesia opioid, obat yang dikaitkan dengan terjadinya delirium.
      • Tergantung pada level epidural, pemilihan obat dan dermatom dari pembedahan, dosis dari opioid yang dibutuhkan tidak menjadi lebih kecil dibanding penggunaan perenteral. Hal ini terutama pada penggunaan opioid yang bersifat lipofilik seperti fentanyl. Pada penggunaan fentanyl secara epidural lumbal setelah pembedahan abdomen atas atau thorak, dosis yang dibutuhkan sama dengan pemberian fentanyl secara intravena. Pada penempatan kateter epidural pada level thorak yang tepat untuk pembedahan dengan penggunaan fentanyl saja, penurunan pada fentanyl yang diberikan kecil, tidak lebih dari 40 %, dibandingkan dengan pemberian fentanyl perenteral. Sebaliknya, jika salah satu pilihannya adalah opioiod hidrofilik yang tinggi seperti morphine untuk analgesia epidural, penurunan dalam pemberian morphine sekitar 80 %; rata-rata pemberian morphine sekitar 0,5 mg/jam dibanding dengan 2,5 mg/jam jika diberikan secara perenteral. Untuk meperidin suatu opioid dengan sifat lipofilik sedang, dosis pemberian berkisar antara 6 – 18 mg, untuk pemberian perenteral berkisar 25 mg.
      • Penurunan dosis kumulatif dari opioid yang diberikan secara epidural yang sebanding dengan pemberian secara perenteral, tidak menjamin penurunan pada pengaruhnya terhadap susunan saraf pusat, sementara pengaruh kognitif dari opioid epidural tidak hanya tergantung pada uptake dan transport sistemik ke otak melalui sirkulasi sistemik. Semua opioid epidural dipancarkan chepalad dalam cairan serebrospinal dinyatakan dengan adanya sedasi, depresi respirasi, dan gatal pada muka yang tampak beberapa jam setelah pemberian dosis kecil dari morphine (kurang dari1,0 mg) secara intrathecal. Opioid dalam cairan serebrospinal akan berdifusi kedalam jaringan saraf superfisial dan secara langsung akan mempengaruhi fungsi kognisi seperti pengaruhnya pada respirasi. Disini sebuah gradien konsentrasi dengan menurunnya konsentrasi opioid pada cairan serebrospinal secara progresif sebagai suatu gerakan yang jauh dari tempat injeksi. Pada umumnya dosis penggunaan morphin intratechal atau epidural, level serum tidak dapat dideteksi dalam beberapa jam dari suntikan dan beberapa yang mendukung atau depresi pernafasan yang terlambat dari opioid dihubungkan dengan pancaran ke chepalad dari obat pada cairan serebrospinal.
      • Beberapa pasien setelah operasi yang menerima obat bersama-sama termasuk NSAID dan benzodiazepin, dapat menghasilkan keadaan bingung pada usia tua. Sementara penurunan kebutuhan untuk opioid dan bertambahnya analgesia, perlu dipertimbangkan untuk melawan resiko dari obat tambahan.
      • Sekarang tidak ada fakta bahwa kejadian delirium setelah operasi akan turun dengan penggunaan analgesia epidural. Setelah total knee replacement pada usia tua, William-Russo dkk menemukan tidak ada perbedaan dari kejadian delirium pada penggunaan fentanyl intravena atau fentanyl epidural/bupivakain untuk analgesia. Marcantonio dkk menemukan bahwa opioid setelah operasi (terutama meperidin), benzodiazepin, dan analgesia epidural (dibandingkan dengan intravena sebagai kontrol) dihubungkan dengan meningkatnya kejadian delirium setelah operasi. Penulis lain melaporkan bahwa meperidin adalah obat yang sering diberikan melalui epidural, dan meperidin dihubungkan dengan meningkatnya kejadian delirium . Pada analisis prospektif dari 1014 pasien yang menerima bupivakain 0,1% dengan fentanyl 1,5 atau 10 g/ml, Scott dkk menemukan bahwa kejadiaan yang lebih besar dari sedasi atau kecemasan pada pasien yang menerima fentanyl 5 ug/ml dibanding dengan fentanyl 1 g/ml, hal ini diduga berhubungan dengan pengaruh dari dosis opioid. Meskipun data terbatas, tetapi jelas bahwa pemberian opioid epidural tidak terbukti melawan keadaan delirium setelah operasi.
      • Untuk mengurangi masalah ini, penekanan pada hasil analgesia yang sebaik mungkin dengan jumlah opioid sekecil mungkin. Morphine epidural pada dosis kecil bekerja sangat efektif melalui rute lumbal untuk bedah thorak. Bagaimanapun juga anestesi lokal dan opioid lipofilik lebih efektif jika diberikan pada dermatom yang tepat untuk pembedahan. Pemberian opioid akan berkurang jika pemberiannya dikombikasikan dengan anestesi lokal biasanya bupivakain. Jika menggunakan salah satu dari fentanyl 2,5 – 5 ug/ml atau morphin 50 – 100 ug/ml dalam kombinasi dengan bupivakain 0,1% - 0,125% 5 – 8 ml perjam, lebih banyak pasien akan mendapatkan analgesia yang memuaskan dengan dosis yang lebih rendah dibanding dengan pemberian perenteral. Di dalam petunjuk praktis klinis dari Departemen Kesehatan USA, direkomendasikan penggunaan tambahan NSAID. Walaupun pada penderita usia tua akan menambah pengaruh pada susunan saraf pusat
      • Diagnosa banding penyebab dari keadaan bingung setelah operasi salah satunya sepsis, hipoksia, gangguan metabolik, dan keracunan obat atau withdrawal. Apabila penyebab tidak jelas, konsultasi lebih awal dengan ahli penyakit dalam atau geriatri akan lebih bijaksana. Pasien yang mengalami agitasi, paranoid akan mempunyai respon terhadap tranquilizer mayor seperti haloperidol. Pada pasien usia tua, dosis yang sangat kecil 0,5 – 1 mg sudah efektif, sering digunakan sebagai dosis tunggal sehari diberikan pada malam hari, sedangkan dosis yang besar dapat menyebabkan sedati yang dalam.
  • Depresi pernafasan
    • Pemberian morphin secara spinal dilaporkan pada awal tahun 1901, tetapi pemberian opioid spinal tidak umum dipakai pada praktek klinis sampai tahun1980. Laporan klinis awal menyebutkan analgesia yang kuat dan durasi yang panjang pada penggunaan dosis kecil dari morphine, tetapi hal ini hampir selalu disertai dengan potensial terjadinya depresi respirasi yang mematikan. Terutama depresi respirasi dapat terjadi sepanjang 11 jam setelah pemberian sekecil dosis morphin 1 mg intratechal. Setelah dekade terakhir, opioid epidural dengan atau tanpa anestesi lokal telah populer untuk analgesia setelah operasi.
    • Fisiologi dan Farmakologi; 
      • untuk mengetahui pengaruh opioid epidural terhadap depresi pernafasan, kita perlu mengulang fisiologi dan farmakologi dari kontrol pernafasan. Irama pernafasan merupakan gerakan dari otot-otot respirasi yang berasal dari bagian dorsal dan ventral neuron pada medulla. Kontrol kimia dari pernafasan disusun dari reseptor perifer_ badan karotid yang terutama respon terhadap hipoksia dan kemoreseptor sentral yanmg respon terhadap perubahan pH yang berhubungan dengan perubahan pCO2 pada cairan serebrospinal. Tidak seperti kemoreseptor perifer, kemoreseptor sentral dan neuron respiratory medullary ditekan oleh hipoksia.
      • Berbeda dengan kelompok neuron respirasi dorsal dan ventral yang letaknya dalam melekat pada substansi dari medulla, kemoreseptor sentral letaknya lebih superfisial pada permukaan anterolateral dari medulla.Opioid intravena menekan pernafasan akibat respon terhadap hipoksia maupun karbondioksida akibat aksi mereka pada kemoreseptor sentral dan kelompok neuron respirasi dorsal dan ventral. Pemberian opioid intratechal aksi utamanya dalam cairan serebrospinal pada kemoreseptor sentral. Secara klinis artinya bahwa semua pasien yang menerima opioid spinal hanya ringan tingkat depresi respirasinya walaupun mempunyai konsentrasi opioid lebih tinggi dibanding dengan pemberian secara perenteral. Jika pasien ini menerima tambahan opioid perenteral, kelompok neuron respirasi medulla juga akan ditekan. Dengan mekanisme yang serupa, obat depresant respirasi lainnya termasuk benzodiazepine akan menyebabkan tingkat depresi pernafasan yang berat jika diberikan secara sistemik pada pasien yang menerima analgesia opioid secara spinal.
      • Depresi pernafasan yang timbulnya terlambat merupakan gambaran setelah pemberian dosis tunggal morphine intratechal dan menyertai pancaran ke chepalad dari morphine pada cairan serebrospinal. Setelah dosis tunggal 10 mg morphine pada epidural lumbal, puncak kadar dalam darah tercapai kurang dari 10 menit. Sebaliknya pada tingkat CSF cervical kadar puncak tercapai sekitar 3 jam setelah pemberian dalam konsentrasi yang meningkat sampai tujuh kali lebih tinggi dibanding kadar puncak dalam darah. Morphine merupakan opioid hidrofilik tinggi, diserap lambat dari CSF oleh jaringan syaraf dan sirkulasi; sebagai hasilnya lebih dari 45 % morphine CSF masih tersimpan di CSF lebih dari 8 jam. Meperidin. Obat lebih lipofilik lebih cepat meninggalkan CSF dan hanya 10 % tersisa sampai 8 jam setelah pemberian intratechal. Fentanyl, suatu opioid lipofilik tinggi dengan cepat diserap oleh jaringan syaraf, lemak epidural dan sirkulasi setelah pemberian epidural; kadar di CSF turun dengan cepat dan signifikan dengan depresi pernafasan yang tidak mungkin terjadi melebihi jam pertama setelah pemberian dosis tunggal.
      • Kecepatan clearance fentanyl dari CSF telah memberikan peranan yang penting pada beberapa penulis untuk memberikan pengertian bahwa penyebaran ke chepalad dari fentanyl secara epidural sangat minimal sehingga resiko klinisnya yaitu depresi pernafasan secara signifikan juga menurun. Bagaimanapun juga terdapat fakta yang meyakinkan bahwa penyebaran ke chepalad dari fentanyl epidural dapat terjadi. Gourlay dkk memberikan fentanyl secara lumbal epidural 1 ug / kg, kemudian mengambil sample CSF pada lumbal dan cervical setiap 45 menit. Pada 2 dari 6 pasien, konsentrasi pada CSF cervical meningkat (4,2 dan 5,7 ug/ml) melebihi batas analgesia antara 1 – 2 ug/ml.
      • Setelah pemberian dosis tunggal fentanyl epidural , depresi pernafasan yang lambat seperti terlihat pada pemberian morphin, tidak akan terjadi, tetapi postoperasi dengan fentanyl epidural yang diberikan secara kontinyu akan menyebabkan penyebaran ke chepalad yang nyata pada CSF. Dan juga dosis perjam dari fentanyl epidural yang biasanya 0,5 – 1,0 ug/kg/jam yang berhubungan dengan level serum dimana menyebabkan depresi pernafasan masih dibawah level untuk memberikan efek analgesia. Sebuah catatan yang berharga bahwa uptake sistemik dari pemberian opioid epidural sebanding antara pemberian secara ( im ) atau ( sc ) , pemberian opioid secara epidural pada dosis yang sebanding pada pemberian perenteral juga menghasilkan efek yang serupa. Hal ini dicontohkan dengan adanya depresi pernafasan yang berat setelah pemberian dosis tunggal atau berulang sufentanyl 50 – 75 ug secara epidural.
    • Insiden klinis depresi pernafasan
      • Kejadian depresi pernafasan yang serius setelah pemberian morphine secara epidural dilaporkan bervariasi antara 0,09% - 1,0%. Nilai – nilai ini sulit diinterpretasikan untuk beberapa alasan.Pertama, tidak ada definisi depresi pernafasan secara klinis yang dibahas secara konsisten pada literatur. 
      • Diagnosis pada umumnya dibuat berdasarkan laju nafas yang lambat atau sedasi yang berlebihan daripada analisis gas darah, sayangnya laju nafas berhubungan jelek dengan tekanan parsial dari karbondioksida arteri (pCO2). Kedua, banyak data dari pengamatan retrospektif yang dilakukan dari survey beberapa rumah sakit , jumlah data yang hilang dan tidak akurat tidak diketahui. Terakhir banyak data dari beberapa pengobatan pasien pada awal sampai pertengahan tahun 1980. Sejak saat itu praktek klinik banyak mengalami perubahan yang nyata. Khususnya dosis total dari pemberian opioid epidural menjadi lebih kecil dan kita tahu bahaya yang berhubungan dengan pemberian bersamaan dengan opioid perenteral atau obat obat sedatif lainnya . Lebih baru lagi, Ready dkk melaporkan keadaan yang aman pada pemberian berulang bolus morphin epidural setelah anestesi pada 1106 pasien yang menjalani pembedahan. Dilaporkan hanya 2 pasien ( 0,2 % ) dengan depresi pernafasan yang nyata. Depresi pernafasan pada semua pasien diketahui dengan monitoring klinis dan diobati tanpa sequelle. Hasil serupa yang bagus dilaporkan oleh de Leon-Casasola dkk. 
      • Pada 4227 pasien post-operasi yang menerima kombinasi antara bupivakain dan morphine secara epidural, hanya tiga kasus ( 0,07 % ) yang mengalami depresi pernafasan yang nyata. Pada semua pasien yang mengalami depresi pernafasan dapat diketahui dengan mengawasi gejala klinis dan diobati tanpa gejala sisa. Pada 4227 pasien yang telah menjalani operasi dengan pemberian kombinasi bupivakain dan morphin secara epidural, hanya 3 ( 0,07 % ) yang diketahui mengalami depresi pernafasan yang memerlukan pemberian nalokson.
      • Sampai saat ini terdapat kejadian yang sangat kecil yang berhubungan dengan pemberian fentanyl yang meyebabkan depresi pernafasan seperti yang disebutkan pada literatur. Beberapa penulis kemudian menganjurkan pemberian fentanyl secara epidural sebagai pengganti yang lebih aman dibanding dengan morphin epidural. Weightman melaporkan 3 pasien yang menjalani thorakotomi mengalami gagal nafas 3 – 26 jam setelah operasi. Ketiga pasien ini menerima fentanyl epidural thorax pada dosis melebihi 1,5 ug/kg/jam. Dosis ini sebanding dengan pemberian fentanyl secara perenteral dan depresi pernafasan yang terjadi tidaklah mengejutkan.Pada analisa prospektif dari 1014 pasien yang menerima fentanyl/bupivakain epidural post operasi, Scott dkk, melaporkan secara signifikan terjadinya depresi pernafasan pada 12 % pasien (1,2%), 4 diantaranya (0,4%) menerima nalokson. 
      • Kejadian ini pada 2 pasien terjadi pada hari pembedahan dan 10 pasien terjadi pada hari I – ke-6 setelah operasi. Dosis rata-rata fentanyl epidural 0,73 ug/kg/jam, tetapi 3 pasien menerima kurang dari 0,5 ug/kg/jam.
  • Pasien-pasien beresiko
    • Dari pengamatan di atas dan beberapa laporan kasus pada literatur,telah jelas bahwa depresi pernafasan terjadi pada proporsi yang kecil 0,5 % pada pasien yang menerima opioid epidural.Hal ini terjadi baik dengan morphin yang bersifat hidrofilik maupun fentanyl yang bersifat lipofilik. Semua opioid agonis murni yang lain mempunyai reaksi dengan cara yang serupa.Selanjutnya dosis tunggal bolus opioid lipofilik, depresi pernafasan yang lambat tidak akan terjadi, tetapi ketika diberikan dengan infus kontinyu, kadar serum dan cairan serebrospinal dalam otak cukup untuk mengontrol pernafasan. Bagaimanapun, sering terjadi kelupaan untuk mengidentifikasi faktor resiko pada beberapa pasien akan menyebabkan terjadinya depresi pernafasan yang mengancam kehidupan.
  • Safe practice
    • Diketahuinya jumlah populasi pasien yang mengalami kejadian depresi pernafasan, dapat memberikan tuntunan bagaimana menangani pasien yang aman seperti pada ruangan post operasi, atau ruangan – ruangan khusus seperti ICU. Hal ini sangat penting bahwa yang pertama kita dapat mengetahui masalah tentang keamanan pasien. Meskipun data terbatas, hal ini bagus bahwa kejadian depresi pernafasan yang serius yang berhubungan dengan opioid epidural kurang atau seimbang dengan apa yang dilaporkan dengan PCA ( parenteral patient-controlled analgesia), sekitar 0,5%. Untuk opioid intramuskuler, dilaporkan kejadiannya lebih besar, 0,9%. Tanpa memperhatikan cara pemberiannya, keamanan pasien setelah pemberian opioid tergantung pada tingkat pendidikan dari tenaga medis dan perawat dan pengawasan pasien yang tepat. Depresi pernafasan dengan opioid epidural jarang terjadi secara mendadak. Paling sering kejadiannya seperti sedasi yang progresif, dengan atau tanpa bradypnea, dan lebih mudah dikenali dan diobati seperti pada keadaan sebelumnya. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ini, analgesia opioid secara epidural adalah tepat untuk digunakan secara umum pada ruang perawatan setelah operasi.
    • Pengetahuan dan pengawasan pasien diperlukan untuk keamanan pasien setelah pemberian oipioid epidural. Meskipun begitu, resiko kemungkinan akan menurun jika dosis pemberian opioid juga diturunkan. Cara penghematan opioid diantaranya adalah penempatan epidural yang tepat dengan tingkat dermatom pembedahan, penggunaan opioid dalam kombinasi dengan anestesi lokal ( umumnya bupivakain ), penggunaan tambahan analgetik nonopioid, dan kemungkinan penggunaan PCA.
    • Oleh karena bersifat hidrofilik, morphin epidural tersimpan dalam cairan serebrospinal selama beberapa jam setelah pemberian bolus initial dan akan terpancar melalui neuraksis. Ketika pemberian pada tingkat lumbal,onset pada analgesia thorak atau abdomen bagian atas akan berlangsung 2 jam atau lebih tetapi pada pemberian dengan dosis yang serupa hanya sedikit lebih lama dibandingkan dengan pemberian melalui kateter epidural thorak. Rata-rata dosis untuk epidural lumbal pada orang dewasa berkisar 0,5 mg/jam, sebanding dengan 2-2,5 mg/jam jika diberikan secara (iv) – penurunan dosis 75%-80%. Untuk opioid yang bersifat lipofilik seperti fentanyl, keadaannya banyak berbeda. Saat pemberian fentanyl secara epidural lumbal, untuk pembedahan mayor pada abdomen / thorak, dosis pemberian sering serupa dengan pemberian secara intravena ( iv ), ketika diberikan melalui penempatan epidural thorak yang tepat, penurunan dosis pemberian 50% dan paling tidak sampai 25%. Opioid lipofilik lainnya mungkin memperlihatkan aktifitas yang serupa.
    • Bagaimanapun juga pemberian kombinasi dari opioid dan anestesi lokal bupivakain melalui kateter epidural pada thorak, dosis total opioid menurun secara nyata. Liu dkk melaporkan bahwa rata-rata morphin yang dibutuhkan setelah pembedahan abdomen mayor turun dari 0,5 mg/jam dengan morphin saja menjadi 0,27 mg/jam ketika dikombinasikan dengan bupivakain 0,1%. Temuan serupa dilaporkan oleh Dahl dkk, yang menampilkan tingkat analgesia yang nyaman dengan morphin 0,02 mg/mL, dalam kombinasi dengan bupivakain 0,125% pada kecepatan 10 mL/jam. Untuk kombinasi fentanyl dan bupivakain, penurunan pemberian fentanyl makin bertambah secara nyata seperti konsentrasi fentanyl diturunkan.. Scott dkk menggunakan bupivakain 0,1% dengan fentanyl 5 atau 10 ug/mL, melaporkan rata-rata pemberian fentanyl tiap jamnya sekitar 45 dan 70 ug/jam. Penggunaan bupivakain 0,125% dengan fentanyl 2-5ug/mL ,pada pengamatan lokal ( tidak dipublikasikan ) dilaporkan bahwa paling banyak pasien menerima 4-8mL /jam, atau kurang dari 20 ug/jam. Hasil serupa dilaporkan dengan penggunaan fentanyl 2 ug/mL dalam kombinasi dengan bupivakain 0,1% dan adrenalin 2 ug/mL.
    • Setelah pembedahan besar, terutama bedah orthopedi , penambahan NSAID atau acetaminofen secara nyata menurunkan pemberian analgetik opioid parenteral untuk memberikan efek analgesia. Ditambahkan, beberapa studi memberikan anggapan bahwa pasien-pasien yang menerima tambahan terapi dengan NSAID kurang memberikan efek sedasi dibanding dengan pemberian dengan hanya opioid saja secara parenteral. Setelah Radical Retropubic Prostatectomy, Grass dkk melaporkan penurunan 33%-50% pada pasien yang dikontrol dengan pemberian fentanyl epidural diantara pasien yang menerima ketorolac setelah operasi. Sampai saat ini, walaupun peneliti tidak menjelaskan tentang peran dari penambahan NSAID atau asetaminofen diantara pasien-pasien yang menerima kombinasi opioid epidural dan anestesi lokal. Walaupun fakta yang melawan ini tidak cukup, hal ini merupakan dugaan yang beralasan bahwa penambahan obat selanjutnya akan menurunkan pemberian obat secara epidural, dan penulis merekomendasikan untuk semua pasien diberikan tambahan asetaminofen setelah operasi.. NSAID mungkin seefektif asetaminofen, tetapi resiko efek samping, terutama produksi urine yang menurun pada pasien-pasien yang menerima anestesi lokal epidural merupakan kontraindikasi untuk digunakan.
    • Terdapat 4 – 6 variabilitas diantara pasien yang menerima opioid tanpa memperhatikan cara pemberiannya. Nyeri yang menyertai pembedahan tidak menetap. Pasien merasa nyaman saat istirahat tetapi akan merasa nyeri saat aktif. Nyeri akut akan berkurang sejalan dengan waktu. Maka dari itu, beberapa infus epidural yang menetap, yang diberikan secara titrasi oleh tenaga medis dan perawat terlatih mungkin tidak tepat untuk beberapa pasien sewaktu waktu selama periode pemulihan setelah operasi. Penggunaan PCEA ditujukan untuk alasan ini dan akan mengurangi jumlah opioid epidural yang diberikan. Marlowe dkk menemukan penurunan 55% pemberian hydromorphone epidural dengan penggunaan PCEA dibandingkan dengan pemberian kontinyu menggunakan titrasi infus. Boudreault dkk membandingkan pemberian fentanyl epidural dengan PCEA atau infus kontinyu terhadap pasien yang menjalani pembedahan mayor abdomen. Semua pasien dipasang kateter epidural thorak dengan tepat. Pasien pada kelompok infus kontinyu mendapatkan fentanyl 10 ug/mL dengan bupivakain0,1%, dengan kecepatan awal 0,1mL/kg/jam. Pasien pada kelompok PCEA menerima bupivakain 0,1%, pada kecepatan yang tetap 0,1mL/kg/jam ditambah PCEA fentanyl 15ug 92mL) dengan interval yang tetap selama 12 menit. Analgesia dan efek samping pada kedua kelompok serupa, tetapi kebutuhan fentanyl menurun 75% pada pasien dengan PCEA _ 0,25 melawan 1,05ug/kg/jam. Konsentrasi rata-rata fentanyl dalam serum untuk pasien dengan PCEA rendah, sekitar 0,5ug/mL, sebaliknya rata-rata konsentrasi pada pasien dengan infus kontinyu sekitar 1,5ug/mL dimana dosis normal terapeutik dari fentanyl parenteral antara 1-2 ug/mL.
    • Jika salah satu pilihan adalah PCEA, haruskah digabung dengan infus? Dengan intravena PCA sebagai penggunaan rutin, ini berbahaya , analgesia dan tidur tidak bertambah, kebutuhan opioid lebih besar dan kejadian dan beratnya efek samping terutama sedasi akan meningkat. Dua studi baru-baru ini melaporkan penemuan yang sangat mirip perbandingan antara PCEA dengan atau tanpa infus. Pada studi dimana yang satu dengan sufentanyl epidural dan yang satunya dengan hydromorphone, penambahan infus menghasilkan 33%-50% membutuhkan opioid lebih banyak, tetapi tidak menambah analgesia dan tidur. Yang terpenting, pasien yang menerima sufentanyl PCEA dengan penambahan infus terjadi sedasi yang lebih berat.
    • Kesimpulan dari diskusi di atas, tanpa memperhatikan pilihan opioid maupun cara pemberian , terjadinya depresi pernafasan kejadiannya sedikit.Opioid epidural dapat digunakan secara aman di ruang bedah dengan tenaga medis dan perawat yang terdidik dan prosedur perawatan yang tepat. Kita dapat menurunkan terjadinya bahaya depresi pernafasan, jika kita menggunakan tehnik pemberian opioid :
      1. Penempatan kateter epidural pada tingkat yang tepat dengan prosedur pembedahan terutama ketika menggunakan opiopid lipofilik atau anestesi lokal
      2. Jika fentanyl merupakan pilihan , gunakan konsentrasi larutan fentanyl 2-5ug/mL dalam kombinasi dengan bupivakain
      3. Penggunaan tambahan analgetik termasuk NSAID dan asetaminofen
      4. Penggunaan PCEA sebagai pengganti infus epidural kontinyu
Blok yang berlebihan
  • Autonom 
    • Pemberian opioid epidural tidak secara langsung menghambat aktifitas simpatis, tetapi onset dari analgesi yang efektif dengan atau tanpa efek sedasi sentral oleh karena uptake dari opioid secara sistemik yang menyebabkan timbulnya gejala hipovolemia dari pasien yang mempunyai ketergantungan yang tinggi pada peningkatan aktifitas simpatis. Hal ini pengaruhnya serupa apa yang diamati pada pasien dengan akut hipovolemia setelah pemberian opioid parenteral.
    • Sebaliknya, hipotensi adalah sesuatu yang umumnya tidak diinginkan timbul pada pemberian anestesi lokal secara epidural. Pada keadaan euvolemik pada pasien terlentang, blokade simpatis sendiri tidak nyata menurunkan venous return ke jantung dan hanya akan menyebabkan menurunnya tahanan vaskuler sistemik (10%-20%) dan tekanan darah,sedangkan cardiac output tetap terpelihara. Pada pasien hipovolemik, hipotensi terutama hipotensi orthostatik akan lebih berat. Resiko hipotensi selanjutnya akan meningkat pada penggunaan kateter epidural thorak tinggi, terjadi blokade inervasi simpatis ke jantung ( T1-T5), yang secara nyata akan menghambat reflek kompensasi normal dari jantung.
    • Laporan kejadian hipotensi berkaitan dengan bupivakain epidural sangat bervariasi mulai dari 0 – 60 %. Hipotensi lebih sering dilaporkan dengan epidural thorak dibandingkan dengan epidural lumbal. Blokade simpatis nerupakan faktor yang bermakna, tetapi hipovolemia umumnya setelah pembedahan mayor abdomen dan thorak. Tanpa memperhatikan penyebabnya, kejadian hipotensi lebih banyak dengan kateter epidural thorak dibanding dengan kateter epidural lumbal, dan lebih umumnya dengan peningkatan konsentrasi bupivakain atau ropivakain.
    • Pemeriksaan sederhana harus dilakukan untuk meminimalisasi kejadian dan beratnya hipotensi yang berhubungan dengan anestesi lokal epidural thorak. Pertama kita harus memastikan bahwa pasien telah mendapatkan terapi cairan parenteral yang adekuat. Dalam hal ini paling baik dilengkapi dengan penempatan kateter epidural yang tepat, penggunaan anestesi lokal dalm kombinasi dengan opioid epidural dan pemberian secara rutin obat tanbahan seperti NSAID atau asetaminofen. Pada beberapa pasien kadang kadang membutuhkan penghentian infus epidural dalam waktu singkat, hal ini juga menghentikan anestesi lokal epidural dan bahkan hanya diberikan opioid saja. Perawat harus mengawasi pasien ketika mereka mulai mobilisasi setelah pembedahan. Terutama yang perlu diamati untuk tanda-tanda terjadinya hipotensi orthostatik saat mereka pertama kali duduk dan berdiri setelah operasi. Jika terjadi hipotensi, sebagian besar pasien respon terhadap pengobatan konservatif seperti telah disebutkan di atas. Pemberian cairan intravena yang adekuat cukup untuk mengembalikan tekanan darah jarang sampai memberikan vasopressor.
    • Hal penting yang perlu diingat bahwa pemberian anestesi lokal epidural hanya salah satu dari beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi setelah operasi. Terutama saat terjadi hipotensi yang berat, berulang, atau tidak ada respon dengan penggantian cairan intravena , harus dicari penyebab yang lain. Dalam hal ini termasuk perdarahan selama operasi, infeksi, atau penyebab kardiopulmonal langsung dari kolap kardiovaskuler akut.
  • Oliguria. 
    • Insiden dan beratnya oliguria umumnya terjadi bersamaan dengan hipotensi dan sebagian kasus respon terhadap penggantian cairan. Pada jaman analgesia multimodal ini, pasien-pasien menerima baik anestesi lokal epidural dan tambahan analgetika lainnya terutama NSAID. Bagaimana obat-obat ini dapat berinteraksi belum dipelajari, tetapi dalam pengamatan penulis pada periode setelah operasi, pemberian epidural thorak; meperidin 0,1% dan bupivakain 0,1% dalam kombinasi ditambah dengan indomethasin perectal , beberapa pasien mengalami oliguria yang tidak berespon terhadap penggantian cairan intravena. Dalam kasus ini produksi urine akan kembali normal dengan cepat ketika bupivakain dan indomethasin dihentikan.
  • Sensoris
    • Jika seseorang memberikan anestesi lokal secara epidural dalam dosis yang cukup untuk memberikan analgetik yang efektif, diharapkan pasien menunjukkan defisit sensoris pada dermatom yang berdekatan dengan tingkat penempatan kateter epidural. Pada umumnya, daerah penurunan sensasi atau mati rasa ini dibatasi dan gejala klinis yang minimal, meskipun pada pasien yang menerima anestesi lokal epidural lumbal, defisit sensoris dapat memanjang sampai ke kaki atau daerah sakral dengan konsekuensi terjadinya kelumpuhan saraf perifer, sindroma kompartemen, luka tekan pada daerah kaki atau sakrum.
    • Horlocker dkk mencatat kejadian kelumpuhan sarah peroneal setelah total knee arthroplasty dan melaporkan kejadian diatas 2,2% (delapan dari 361 operasi).Kelumpuhan saraf peroneal terjadi pada empat dari 108 (3,7%) pasien yang menerima analgesia epidural setelah operasi (bupivakain, 0,1% - 0,25% dengan atau tanpafentanyl) dibandingkan dengan empat dari 253 (1,6%) pasien yang menerima analgesia parenteral (secara statistik tidak signifikan). Dan yang lebih penting, kelumpuhan saraf peroneal ini diketahui terlambat dan lebih berat diantara pasien-pasien yang menerima analgesia epidural setelah operasi.. Pasien-pasien yang tidak menerima analgesia epidural dilaporkan hanya defisit sensoris dan keempatnya pulih dengan sempurna. Sebaliknya pada pasien yang menerima analgesia epidural menunjukkan defisit sensoris maupun motoris dan tak satupun dari keempatnya pulih secara sempurna. Beberapa faktor yang berperan terjadinya kelumpuhan saraf peroneal ini diantaranya tekanan oleh pembalut pada saraf seperti saat menyilangkan kepala dari fibula dan tarikan dari saraf peroneal dari posisinya. Jika komplikasi ini diketahui lebih awal, pengendoran pembalut atau mengatur posisi dari kaki tidak akan mengembalikan injuri saraf yang telah terjadi tetapi akan mencegah menjadi progresif. Adanya blokade sensoris yang berlebihan, tanda-tanda dari injuri saraf akan ditutupi. Penulis menganjurkan penggunaan konsentrasi minimal dari anestesi lokal epidural dan pengawasan yang ketat. Dapat ditambahkan kasus dari injuri saraf peroneal dihubungkan dengan analgesia epidural yang menyertai tekanan yang lama dari fibula pada tempat tidur. Hal ini menarik bahwa pasien ini menerima bupivakain epidural lumbal dalam konsentrasi yang lemah 0,05%.
    • Blokade sensoris yang berlebihan saat pemberian bupivakain epidural setelah operasi juga telah disebut sebagai penyebab tingginya tekanan nyeri dan sindroma kompartemen kaki dari tekanan yang terus menerus terhadap tempat tidur. Walaupun tidak semua kasus dilaporkan pengenalan terhadap tingkat (level) epidural, hal itu menggambarkan bahwa pasien pasien itu menerima bupivakain epidural lumbal 0,1% - 0,25% melalui infus. Seperti mekanisme dari injuri pada semua kasus bahwa iskemi jaringan selama periode imobilisasi dengan analgesia yang hebat. Komplikasi yang serius ini lebih baik dihindari dengan menggunakan dosis total yang rendah dari anestesi lokal dan secara hati-hati mengawasi periode setalah operasi. Dosis anestesi lokal dapat dikurangi dengan; penggunaan anestesi lokal dalam kombinasi dengan opioid, penempatan epidural thorak daripada lumbal, dan penggunaan tambahan analgetika. Yang jelas, setelah blokade sensoris dan motoris tercapai, pemberian analgesia epidural harus dirubah untuk mengatasi masalah ini.
    • Yang terakhir, defisit sensoris dari anggota badan bagian bawah akan tampak sebagai gangguan propioseptif, jarang dibanding dengan mati rasa. Penulis menyadari ada beberapa studi yang ditujukan terhadap masalah ini, tetapi adanya pusing dan vertigo yang umumnya terjadi saat pasien pertama kali duduk atau berdiri setelah operasi, hilangnya propioseptif merupakan resiko gagalnya saat mereka mulai ambulasi.
  • Motorik
    • Salah satu harapan bahwa dengan anestesi epidural ,pasien-pasien yang mengalami pembedahan akan merasa lebih menyenangkan ; bebas dari efek-efek yang merugikan, dan keluar dari tempat tidur pada hari pertama setelah operasi, Opioid epidural tunggal akan memberiakan analgesia yang baik tetapi hal ini dihubungkan dengan kejadian efek samping yang tidak diinginkan. Dengan penambahan anestesi lokal epidural , pemberian opioid akan berkurang banyak dan efek samping dari opioid dapat dikurangi, meskipun larutan anestesi lokal epidural akan menghasilkan blokade motoris yang cukup untuk mencegah ambulasi yang lebih awal. Bagaimana selanjutnya kita mengurangi efek samping yang tidak kita inginkan ?
    • Blokade motoris secara nyata lebih sering terjadi jika menggunakan analgesia epidural lumbal atau thorakal rendah (di bawah T10). Pada dua studi yang terpisah, Badner dkk membandingkan fentanyl epidural lumbal 10 ug/mL dengan bupivakain 0,1%, 0,125%, atau 0,25% diberikan 6-9mL/jam setelah pembedahan mayor abdomen atau bedah thorak. Peneliti menemukan perbedaan yang sedikit pada pemberian fentanyl atau skor nyeri dibanding dengan fentanyl tunggal tetapi menemukan blokade motoris anggota badan bawah pada dua dari 15 pasien yang menerima bupivakain 0,1% dan empat dari 13 atau 12 pasien yang menerima bupivakain 0,125% atau 0,25%.
    • Lee dkk, melaporkan blokade motoris anggota badan bawah pada sembilan dari 28 pasien yang menerima bupivakain 0,125% dengan kecepatan 15 mL/jam dengan atau tanpa diamorphine melalui kateter T 10-11 atau T 11-12. Cooper dkk, melaporkan bahwa setelah sectio caesaria, epidural lumbal bupivakain 0,1% sekitar 9 mL/jam menghasilkan blokade motoris yang nyata pada 13 dari 18 pasien 24 jam setelah operasi. Pada studi yang sama, bupivakain 0,05% dengan fentanyl menghasilkan blokade motoris pada tiga dari 19 pasien , hal ini menggambarkan bahwa pada konsentrasi yang sangat rendah bupivakain epidural lumbal menghasilkan blokade motoris yang nyata.
    • Kejadian blokade motoris akan berkurang secara cepat sesuai dengan bergesernya kateter epidural dari lumbal ke midthorakal. Breivik dkk, menggunakan bupivakain 0,1% dengan fentanyl 2 ug/mL dan epinefrin 2 ug/mL melaporkan blokade motoris yang nyata sekitar 30% dari pasien dengan kateter lumbal menurun sekitar 5% atau kurang dari pasien dengan kateter dibawah T11. Data ini sama dengan Scott dkk yang melaporkan blokade motoris pada 30% pasien yang menerima bupivakain 0,1% dengan fentanyl melalui kateter epidural thorak. Untuk ropivakain data juga serupa bahwa blokade motoris berkurang dengan pemberian melalui thorakal.
    • Tingkat blokade motoris anggota gerak bawah berhubungan dengan banyaknya pemberian anestesi lokal dan penempatan dari kateter epidural. Tidak ada studi yang membandingkan antara efek blokade motoris dari jumlah pemberian bupivakain pada konsentrasi yang berbeda. Meskipun pada salah satu studi diantara beberapa studi yang melaporkan bahwa epidural lumbal ropivakain , tingkat blokade motoris lebih tergantung dari jumlahnya dibanding dengan konsentrasinya.Studi ini menampilkan bahwa tingkat blokade motoris meningkat cepat dengan ropivakain 0,1%, 0,2%, 0,3% pada kecepatan 10 mL/jam seperti meningkatkan volume ropivakain 0,2%. 
    • Pada kenyataannya, blokade tampak dengan 0,1% atau 0,3% pada kecepatan 10mL/jam dibanding apa yang terlihat dengan ropivakain 0,2% pada kecepatan 6 atau 14 mL/jam, berturut-turut, hal itu menunjukkan dengan jumlah obat yang serupa, konsentrasi yang tetap tetapi kecepatan berbeda. Hal ini penting untuk dicatat bahwa rata-rata dosis yang diperlukan dari ropivakain untuk menghasilkan blokade motoris dan sensoris sesuai dengan dermatompembedahan, banyak pasien masih mebutuhkan tambahan analgesia opioid, anestesi lokal saja tidak cukup. Studi-studi mengenai bupivakain tunggal juga menunjukkan hasil yang serupa.
    • Kesimpulan, kejadian dan beratnya blokade motoris anggota gerak bawah adalah lebih besar sesuai dengan peningkatan dosis anestesi lokal dan dengan kateter epidural lumbal deibanding dengan thorakal. Anestesi lokal saja ( bupivakain atau ropivakain ) tidak akan memberikan analgesia yang adekuat, hanya cukup menghasilkan blokade motoris dari anggota gerak bawah. Untuk mengurangi kejadian dan beratnya masalah ini, kombinasi anestesi lokal dengan opioid diperlukan pada sebagian besar pasien.
  • Saluran pencernaan
    • Komplikasi saluran pencernaan yang umum terjadi setelah operasi diantaranya; mual, muntah, ileus, dan konstipasi. Konstipasi paling banyak terjadi ketika pasien mulai pertama kali minum dan makan, terutama pada pasien yang menerima analgetika peroral. Konstipasi biasanya tidak akan berlangsung lebih lanjut.
    • Mual dan muntah setelah operasi berhubungan dengan faktor-faktor; umur, jenis kelamin, obesitas, riwayat muntah, tipe pembedahan, dan pilihan obat anestesi dan faktor-faktor setelah operasi termasuk di dalamnya ; nyeri, pergerakan, pusing, dan terutama opioid. Terdapat perbedaan yang kecil tentang kejadian dan beratnya mual dan muntah dengan analgesia epidural dibanding dengan pemberian opioid parenteral. Beberapa yang beranggapan bahwa morphine epidural lebih bersifat emetogenik dibanding dengan agen yang lebih lipofilik seperti fentanyl sebab jumlah obat yang dipancarkan ke rostral pada kelompok yang terakhir lebih sedikit.
    • De Leon Cassanola dkk, melaporkan suatu kejadian dari tiga atau lebih episode mual dan muntah pada 139 dari 4227 (3,3%) pada pasien-pasien bedah mayor yang menerima morphine dengan bupivakain. Scott dkk, melaporkan mual dan muntah yang berat dan menetap pada 48 dari 1014 (4,7%) dari pasien yang menerima fenytanyl dan bupivakain. Ditambahkan bahwa mual dan muntah timbul dari hipotensi orthostatik yang umumnya tampak dengan pemberian anestesi lokal secara epidural thorak.
    • Ketika mual dan muntah menetap, pertama yang harus dipertimbangkan adalah penyebab dari pembedahannya seperti lambung penuh, seperti yang terjadi pada ileus, kemudian nyeri dan hipotensi. Jika mual dan muntah diperkirakan dari pemberian opioid, langkah awal adalah diberikan terapi anti emetik. Jika mual menetap walaupun sudah diberikan salah satu obat anti emetik, cara yang tepat adalah mengurangi dosisnya.
    • Walaupun mual dan muntah setelah operasi merupakan hal yang tidak nyaman, mereka pada umumnya tidak menyebabkan morbiditas yang serius dan waktu perawatan yang memanjang. Hal ini tidak dapat disamakan dengan ileus. Ileus setelah operasi berhubungan dengan pembedahan mayor, trauma dan kondisi stress yang lain seperti sepsis, nutrisi enteral yang terlambat, berkurangnya mobilitas, dan memanjangnya waktu perawatan. Banyaak studi beranggapan bahwa lamanya ileus lebih kecil dengan anestesi lokal epidural atau opioid dibanding dengan pemberian opioid parenteral. Bagaimanapun juga pilihan dari opioid epidural atau anestesi lokal akan mempengaruhi pemulihan. Opioid akan mengganggu fungsi usus dengan aksi spinal dan supraspinal, tidak hanya aksi langsung mereka pada usus, dan blokade simpatis yang berhubungan dengan anestesi lokal epidural.
    • Terdapat substansi yang nyata bahwa opioid enteral dan parenteral menghambat motilitas usus dan menyebabkan konstipasi, terutama pengaruhnya langsung pada usus. Secara klinis dosis yang menyebabkan konstipasi dari opioid lebih kecil dibanding dengan dosis analgesia, dan hal ini didukung dengan penelitian pada binatang. Pada tikus, sebagai contoh, dosis yang melambatkan motilitas atau menyebakan konstipasi sekitar ¼ kali dosis analgesia. Penggunaan analog kuartener dari antagonis narkotik yang mana tidak dengan mudah menembus sawar darah otak, salah satunya secara luas dapat melawan penghambatan tansport saluran cerna tanpa melawan efek analgesia. Selanjutnya efek gastroinhitory dari loperamide atau diphenoxylate -anti diare meperideneyang mempunyai sedikit efek opioid sentral dapat dilawan dengan antagonis opioid.
    • Opiois epidural (dan intrathecal) menghambat motilitas saluran cerna dalam beberapa cara. Pertama, pemberian opioid epidural dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi dan pada tingkat yang sama diantar ke dalam otot. Pada keadaan ini kecuali morphine, secara epidural akan efektif pada dosis sekitar 20% yang diberikan secara parenteral, dosis dari opioid epidural yang biasanya diberikan secara tunggal yang diharapkan untuk menghasilkan pada kadar serum yang cukup untuk menghambat fungsi usus secara langsung. Hal ini terutama dengan fentanyl epidural, yang ketika digunakan dosis tunggal umumnya pemberian pada dosis seimbang antara 50%-100% dari pemberian melalui intravena. Kedua, morphine epidural atau agonist opioid lainnya, menghambat motilitas usus melalui pengaruh langsung spinal. Pada studi orang yang sehat Thorn dkk, memberikan morphine 4 mg melalui kateter epidural T6 dan mempelajari pengaruh pengaruh pada motilitas usus. Penulis memperlihatkan bahwa pengosongan lambung yang lambat dan transport orocoecal yang memanjang sebanding dengan bupivakain epidural. Motilitas duodenum meningkat menyertai pemberian morphine epidural. Sebaliknya, pemberian morphine 4 mg intramuskuler, tidak merubah pengosongan lambung, walaupun kadar dalam serum sama tanpa memperhatikan rute pemberiannya. Pada binatang tikus, reseksi nervus vagus akan menghilangkan aktifitas antidiare dari morphine intracerebroventrikuler. Mekanisme supraspinal ini terutama bermakna dengan opioid hidrofilik, khususnya morphine sejak obat ini bergerak ke sefalad dalam konsentrasi yang cukup nyata. Yang terpenting dari mekanisme supraspinal dengan opioid lipofilik seperti meperidine ( lipofilik sedang ) dan fentanyl atau sufentanyl ( lipofilik tinggi ) belum jelas. Beberapa alasan bahwa pancaran ke sefalad dari obat-obat ini dalam cairan serebrospinal adalah minimal.
    • Jika opioid epidural dapat menghambat fungsi saluran cerna, anestesi lokal epidural dapat membantu pemulihannya. Mekanisme putative dari ileus setelah operasi merupakan suatu reflek inhibisi dengan serabut aferent nosisptif abdominal dan serabut inhibisi eferent ke saluran cerna. Sebagai tambahan nyeri setelah operasi dan respon stress pembedahan ditingkatkan dengan aktifitas simpatis. Tingkatan untuk mengetahui dua mekanisme yang tumpang tindih ini belum diketahui. Sebalinya, aktifitas parasimpatis melalui aktifitas parasimpatis nervus vagus dan sakralis dapat meningkatkan motilitas saluran cerna. Dengan demikian analgesia epidural rendah atau midthorakal dengan anestesi lokal memberikan blok dan dermatom midthorak sampai midlumbal, tetapi perjalanan di sefmen sakralis, seharusnya memblok serabut aferen nosiseptif dan aferen inhibisi dan inervasi simpatis saluran cerna saat pemeliharaan aliran parasimpatis. Teorinya demikian,tetapi apakah ini bekerja? Beberapa peneliti menduga seperti tersebut di atas.
    • Setelah operasi kolon, Scheinin dkk, mengawasi kembalinya fungsi defekasi pada pasien yang mendapat oxycodone intramuskuler selain, morphine epidural, atau bupivakain epidural. Di kedua kelompok epidural sebagian besar pasien memperoleh oxycodone intramuskuler untuk menghilangkan nyeri. Konsumsi suplemen oxycodone dan analgesis disamakan di kedua kelompok epidural, tetapi fungsi defekasi kembali lebih cepat pada pasien yang mendapat bupivakain epidural. Tak ada perbedaan waktu pulihnya fungsi defekasi antara kelompok oxycodone intramuskuler dan kelompok morphine epidural. Meskipun analgesia lebih baik dan konsumsi opioid lebih sedikit pada kelompok epidural. Thoren dkk, melaporkan penemuan yang sama setelah histerektomi, namun tidak sama dengan penelitian Scheinin dkk, subyek di dua kelompok tidak menerima anestesi yang sama, kemudian membandingkan hasilnya.
    • Penelitian lebih lanjut, Liu dkk membandingkan efek pada PCA intravena fungsi defekasi dengan morphine, bupivakain epidural 0,15%, epidural bupivakain 0,1% dengan morphine 0,03 mg/mL, dan epidural morphine 0,05mg/mL. Semua pasien menerima anestesi umum yang standard dan semua pasien menerima ketorolac 30 mg intramuskuler setiap 6 jam selama 72 jam setelah operasi. Analgesia dititrasi sampai skor nyeri verbal kurang dari 5 keluar dari 10. Pasien yang mendapat bupivakain dengan atau tanpa morphine, memperoleh analgesia lebih baik dan pulihnya fungsi saluran cerna lebih awal daripada pasien yang hanya mendapat morphine, baik epidural maupun intravena. Pasien di kedua kelompok bupivakain epidural juga ditemukan keluar dari rumah sakit 34 jam lebih awal, bagaimanapun, waktu yang sebenarnya untuk keluar dari rumah sakit tidak berbeda antar kelompok. Penelitian ini mendukung argumen bahwa opioid epidural dapat menghambat pemulihan dari ileus setelah operasi dibandingkan dengan anestesi lokal epidural, tetapi keterangan alternatif menganjurkan tetap diberikan . Hal lain, analgesia dilaporkan dengan morphine epidural kurang efektif daripada dengan yang dilaporkan pada kedua kelompok bupivakain epidural. Hal ini tidak menunjukkan juga bahwa pasien yang mendapat kombinasi bupivakain dan morphine hanya membutuhkan hanya sekitar 50% dari dosis yang diberikan sebagai obat tunggal. Lagipula orang dapat berpikiran bahwa analgesia yang lebih baik, lebih jarang daripada anestesi lokal yang spesifik, mungkin merupakan faktor yang penting. Bagaimanapun, dalam penelitian Scheinin dkk, analgesia adalah sama antara kelompok bupivakain epidural masih superior daripada morphine epidural.
    • Secara keseluruhan, kedua bukti laboratorium dan klinis menduga bahwa fungsi defekasi kembali lebih awal setelah operasi dengan analgesia epidural daripada dengan analgesia parenteral, dan dengan anestesi lokalepidural, dengan atau tanpa opioid. Sebagaimana telah dibandingkan dengan pemberian opioid epidural saja. Pada dasar dari bukti terbatas ini, bahkan dosis kecil anestesi lokal dianjurkan dalam kombinasi denganopioid mungkin memulihkan fungsi saluran cerna seperti yang dibandingkan dengan pemberian opioid saja.
  • Saluran Kencing
    • Retensi urine setelah operasimerupakan masalah yang umumyang dapat menimbulkan konsekuensi yang serius. Distensi kandung kemih yang berat mungkin mengarah ke masalah yang menetap dengan kencing dan kateterisasi kandung kemih memiliki resiko infeksi saluran kencing dan kadangkala penyebaran infeksi secara hematogen ke tempat operasi.
    • Fisiologi pengaturan kencing adalah komplek. Inervasi otot-otot detrusor datang dari pleksus parasimpatis dan sakral (S2-4) dan sebagian besar dari pleksus simpatis hipogastrikus (T10-12) seperti beta - 2. Otot lurik pelvis menerima inervasi dari saraf pudendus, tetapi spincter urethra eksterna baik komponen polos maupun luriknya menerima saraf parasimpatis dan simpatis sebagian besar alfa 1, suatu persarafan efferent. 
    • Pengaturan kencing terdiri dari relaksasi dari otot dasar pelvis dan spincter urethra eksterna, mengikuti peningkatan tonus dan kontraksi dari otot detrusor. Pendekatan farmakologi untuk retensi urine setelah operasi termasuk pemberian obat-obat kolinergik seperti bethanecol untuk meningkatkan tonus kandung kencing dan antagonis alfa seperti phenoxybenzamine dan prazosin. Phenoxybenzamine tampak efektif pada pencegahan retensi setelah sectio caesaria dengan morphine epidural, tetapi berhubungan dengan hipotensi dan takikardi.
    • Morphine epidural atau intratechal secara cepat menhasilkan relaksasi otot detrusor dan meningkatkan tonus spincter urethra eksterna, efeknya dapat dilawan dengan nalokson. Pada keadaan sehat morphine 10 mg intravena mempunyai pengaruh yang kecil pada pengaturan kencing. Meskipun pada pasien-pasien pembedahan yang menerima opioid parenteral setalah operasi, insiden retensi urine meningkat 40%. Jelasnya faktor-faktor lain termasuk nyeri, sedasi, posisi supine dan termasuk obat antikolinergik. Kejadian retensi urine meningkat lebih lanjut setelah pemberian opioid epidural. Sebalinya, morphine parenteral , Bromage menemukan bahwa 6 dari 10 wanita sehat yang menerima morphine epidural 10 mg yang kemudian membutuhkan nalokson untuk mengatasi retensi. Walts dkk, melaporkan suatu kejadian dari retensi urine setelah total hip arthroplasty pada 24% dari pasien-pasien yang menerima analgesia opioid parenteral dan 62% dari pasien yang menerimamorphine epidural. Faktor lain termasuk usia, jenis kelamin dan tehnik anestesi( anestesi umum saja atau dengan blok epidural) tidaklah penting.Tidak diketahui apakah fentanyl epidural menghasilkan hal yang sama. Suatu studi menunjukkan kejadian retensi urine serupa (30%-40%) ketika fentanyl diberikan melalui intravena atau epidural lumbal. 
    • Kita harus mengerti bahwa penggunaan opioid epidural tunggal atau dengan anestesi lokal akan menyebabkan retensi urine. Setelah pembedahan mayor abdomen, ginekologi, atau daerah pelvis hal ini bermakna kecil, sementara pada pasien-pasien ini kateter perioperativ merupakan bagian yang rutin dari prosedur pembedahan.
  • Gatal
    • Gatal sering ditemukan sebagai efek samping dari pemberian opioid baik spinal maupun parenteral, tetapi lebih umum dan lebih berat setelah pemberian secara parenteral. Penyebab gatal tidak pasti, tetapi tidak berhubungan dengan histamin release atau penggunaan bahan pengawet. Onset gejala ini lambat beberapa jam setelah pemberian opioid epidural atau intrathecal dan lebih berat terjadi pada daerah muka dan dada. Kenyataan ini memberikan anggapan bahwa gatal terutama dipengaruhi oleh kadar obat di dalam otak.
    • Kejadian dan beratnya gatal tampaknya berhubungan dengan dosis dan mungkin berkurang dengan opioid yang bersifat lipofilik seperti fentanyl. Gatal merupakan masalah yang besar dalam bidang obstetri, dilaporkan kejadian 40%-100% dibandingkan dengan jenis pembedahan lainnya.Kejadian dan beratnya gatal akan berkurang ketika pemberian opioid epidural dalam kombinasi dengan anestesi lokal. Pada analisis prospektif dari 1014 pasien setelah operasi yang menerima bupivakain dan fentanyl dalam kombinasi , Scott dkk, melaporkan kejadian gatal yang mebutuhkan pengobatan hanya 10% dan hanya 1% pasien yang mengharuskan menghentikan terapi. 
    • Pada pengamatan prospektif dari 4227 pasien kanker yang menerima bupivakain dan morphine setelah operasi, De Leon Cassasola dkk, melaporkan insiden gatal 22%, tetapi gatal yang membutuhkan pengobatan hanya 4,3%. Penilaian ini lebih kecil dibanding apa yang dilaporkan pada morphine epidural digunakan sebagai obat tunggal.Beberapa pasien melaporkan gatal pada pertanyaan langsung tetapi tidak membutuhkan berbagai pengobatan atau mengganti obat epidural. Jika pengobatan diperlukan, sebagian besar pasien respon terhadap anti histamin termasuk didalamnya difenhidramin, hydroxyzine dan promethazine. Campuran obat agonis-antagonis opioid, nalbuphine 5-10 mg intravena, sering kali efektif, tetapi menghasilkan sedasi yang berlebihan. Gatal yang berat mungkin berhasil dengan pengobatan dosis kecil nalokson, awalnya bolus dan seterusnya infus intravena . Hal ini akan mengurangi gatal tetapi analgesia yang lengkap ditinggalkan. Propofol intravena 10 mg juga dilaporkan efektif untuk pengobatan gatal setelah operasi oleh morphine intrathecal. Penulis melaporkan bahwa bolus tunggal 10 mg efektif untuk 3-6jam pada 85% pasien yang diobati dan sedasi minimal. Yang terakhir, hal itu memberikan pengertian bahwa pemberian prednison epidural mungkin mengurangi kejadian gatal, jika hal itu benar, itu sulit untuk dibenarkan pemberian rutin steroid epidural.Untuk pasien-pasien yang menerima analgesia epidural dalam jangka waktu yang lama, beratnya gatal mungkin berkurang secara efektif dengan pengurangan dosis opioid epidural atau mengganti jenis opioid yang lain.
Pencegahan komplikasi
  • Sebagian besar masalah yang berhubungan dengan analgesia epidural setelah operasi berkaitan dengan dosis yang mengakibatkan efek samping dari opioid atau anestesi lokal. Oleh karena itu secara logika untuk mengembangkan strategi dengan menurunkan dosis baik obat maupun waktu yang sama untuk memelihara analgesia yang baik. Kita harus menempatkan kateter epidural dari pasien pada tingkat dermatom yang tepat. Untuk incisi pembedahan dan kemudian penggunaan opioid epidural dan anestesi lokal pada kombinasi untuk mengurangi kebutuhan dosis maupun obat.Akhirnya, penambahan analgetik termasuk NSAID dan asetaminofen yang selanjutnya akan menurunkan dosis kebutuhan dari obat-obat epidural.
  • Starndarisasi obat, bentuk sediaan dan komponen-komponen yang menurunkan resiko dari kesalahan obat. Idealnya semua obat harus di sediakan dan diolah oleh bagian farmasi pada konsentrasi dan volume yang diperlukan. Jika beberapa obat yang berbeda diperlukan dalam hal ini mungkin akan mahal dan untuk itu farmasi akan lebih praktis menyediakan sediaan obat , lebih sering berupa cairan . Pada beberapa keadaan, resiko kesalahan sediaan obat lebih berkurang ketika obat-obat disediakan oleh farmasi sentral dan seorang anestesiolog harus mendorong untuk menggunakan sediaan standard. Standard sediaan epidural (analgetika lain) harus jernih, terang dan cukup fleksibel.
  • Untuk penggunaan infus epidural, hal itu bermanfaat untuk menentukan kecepatan infus dan dosis bolus yang dianjurkan untuk analgesia. Ketika permasalahan muncul, staff keperawatan membutuhkan buku petunjuk yang secepatnya berada disampingnya. Untuk yang terakhir, di institusi penulis dikembangkan formulir analgesia epidural yang memuat instruksi dan pengelolaan komplikasi yang serius.
  • Beberapa rumah sakit merasa terganggu dengan hal-hal yang membingungkan tentang perlengkapan infus dan hal ini akan meningkatkan resiko kesalahan tehnis seperti kesalahan pemberian obat, terutama saat seorang pasien dihubungkan dengan lebih dari satu pump. Di praktek , kami menggunakan satu pump, tidak untuk digunakan keperluan lain, pada semua infus acute pain service (APS) dan PCA, dengan pipa kuning untuk epidural dan blok regional lainnya dan pipa yang bening untuk infus intravena dan PCA. Untuk mengurangi kesalahan pemberian obat, tidak ada alat yang dipakai untuk injeksi ulang.
  • Pengawasan pasien yang efektif diperlukan untuk mengetahui efek samping lebih awal. Hal ini hanya mungkin jika pasien, dokter dan terutama perawat memiliki pengetahuan didalam perawatan pasien yang menerima analgesia epidural. Secara menyeluruh, program pendidikan keperawatan disertai dengan prosedur perawatan yang jelas , dipastikan bahwa perawat-perawat akan mengetahui sesuatu yang salah dan tahu apa yang harus mereka perbuat.
Kesimpulan
  • Kurang dari dekade yang telah berlalu sejak Ready dan koleganya mengembangkan sebuah APS dasar dalam bidang anestesiologi. Dalam waktu yang pendek konsep acute pain service (APS) berkembang dari sesuatu yang aneh menjadi standard perawatan. Dengan munculnya APS, pengertian yang lebih besar tentang farmakologi opioid , analgesia epidural setelah operasi menjadi lebih populer. 
  • Untuk beberapa prosedur pembedahan mayor, epidural analgesia dan terutama analgesis epidural thorak dengan anestesi lokal dan opioid dalam kombinasi , menjadi standard emas, meskipun beberapa masalah masih ada, dari iritasi minimal seperti mual atau gatal dan potensial terjadinya depresi pernafasan. Untuk mengurangi kejadian dan beratnya masalah ini, diperlukan pengetahuan, ketrampilan, keputusan dan standard yang tinggi dari tenaga medis dan perawat.

SLIMING CAPSUL
Suplement pelangsing terbaik. Lulus Standard GMP (Good Manufacturing Practice) dan uji tes SGS. Pesan sekarang Juga!!!
sikkahoder.blogspot
ABE CELL
(Jamu Tetes)Mengatasi diabetes, hypertensi, kanker payudara, mengurangi resiko stroke, meningkatkan fungsi otak, dll.
sikkahoder.blogspot
MASKER JERAWAT
Theraskin Acne Mask (Masker bentuk pasta untuk kulit berjerawat). Untuk membantu mengeringkan jerawat.
sikkahoder.blogspot
ADHA EKONOMIS
Melindungi kulit terhadap efek buruk sinar matahari, menjadikan kulit tampak lenih cerah dan menyamarkan noda hitam di wajah.
sikkahoder.blogspot
BIO GLOKUL
Khusus dari tanaman obat pilihan untuk penderita kencing manis (Diabetes) sehingga dapat membantu menstabilkan gula darah
sikkahoder.blogspot


ADVERTISE HERE Ads by Sikkahoder
Body Whitening
Mengandung vit C+E, AHA, Pelembab, SPF 30, Fragrance, n Solk Protein yang memutihkan kulit secara bertahap dan PERMANEN!!
Sikkahoder.blogspot
PENYEDOT KOMEDO
Dengan alat ini, tidak perlu lg memencet hidung, atau bagian wajah lainnya untuk mengeluarkan komedo.
Sikkahoder.blogspot
Obat Keputihan
Crystal-X adalah produk dari bahan-bahan alami yang mengandung Sulfur, Antiseptik, Minyak Vinieill. Membersihkan alat reproduksi wanita hingga kedalam.
Sikkahoder.blogspot
DAWASIR
Obat herbal yang diramu khusus bagi penderita Wasir (Ambeien), juga bermanfaat untuk melancarkan buang air besar dan mengurangi peradangan pada pembuluh darah anus
Sikkahoder.blogspot
TERMOMETER DIGITAL
Termometer digital dengan suara Beep. Mudah digunakan, gampang dibaca dengan display LCD dan suara beep ketika selesai mendeteksi suhu.
Sikkahoder.blogspot


ADVERTISE HERE Ads by Sikkahoder