NEUROPATY DIABETIK : Patogenesis, diagnosa dan pengolahannya

 NEUROPATY DIABETIK

PENDAHULUAN

Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada penderita diabetes melitus (DM). Risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND atau nefropaty diabetik antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada meningkatnya beaya pengobatan pasien DM dengan ND (Nefropaty diabetik).

Hingga saat ini patogenesis ND (Nefropaty diabetik) belum seluruhnya diketahui dengan jelas. Namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor primer. Faktor metabolik ini bukan satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap terjadinya ND, tetapi beberapa teori lain yang diterima ialah teori vaskular, autoimun dan nerve growth factor. Studi prospektif oleh Solomon dkk, menyebutkan bahwa selain peran kendali glikemik, kejadian neuropati juga berhubungan dengan risiko kardiovaskular yang potensial masih dapat dimodifikasi.

Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. Mengingat terjadinya ND merupakan rangkaian proses yang dinamis dan bergantung pada banyak faktor, maka pengelolaan atau pencegahan ND pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan diabetes secara keseluruhan.

Untuk mencegah agar ND tidak berkembang menjadi ulkus diabetik seperti ulkus atau gangren pada kaki, diperlukan berbagai upaya khususnya pemahaman pentingnya perawatan kaki. Bila ND disertai dengan nyeri, dapat diberikan berbagai jenis obat-obatan sesuai tipe nyerinya, dengan harapan menghilangkan atau paling tidak mengurangi keluhan, sehingga kualitas hidup dapat diperbaiki. Dengan demikian, memahami mekanisme terjadinya ND dan faktor- faktor yang berperan, merupakan landasan penting dalam pengelolaan dan pencegahan ND yang lebih rasional.

DEFINISI

Dalam konferensi neuropati perifer pada bulan Februari 1988 di San Antonio, disebutkan bahwa ND atau neuropaty diabetik adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan neuropati ini termasuk manifesti somatik dan atau autonom dari sistem saraf perifer.

Neuropati diabetik merupakan gangguan saraf pada penderita diabetes mellitus (DM) akibat penyakit DM tersebut, setelah kemungkinan penyebab lain neuropati dapat disingkirkan.

PREVALENSI

Berbagai studi melaporkan prevalensi ND atau neuropaty diabetik yang bervariasi. Bergantung pada batasan definisi yang digunakan, kriteria diagnostik, metode seleksi pasien dan populasi yang diteliti, prevalensi ND berkisar dai 12-50%. Angka kejadian dan derajat keparahan ND juga bervariasi sesuai dengan usia, lama menderita DM, kendali glikemik, juga fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui DM. Pada suatu penelitian besar, neuropati simtomatis ditemukan pada 28,50% dari 6.500 pasien DM. Pada studi Rochester, walaupun neuropati simtomatis ditemukan hanya pada l3% pasien DM, ternyata lebih dari setengahnya ditemukan neuropati dengan pemeriksaan klinis. Studi lain melaporkan kelainan kecepatan hantar saraf sudah didapati pada 15,2% pasien DM baru, sementara tanda klinis neuropati hanya dijumpai pada 2,3%.

Neuropati diabetik terjadi pada sekitar 50% penderita DM. Kelainan ini dapat ditemukan pada penderita diabetes tipe I yang telah menderita DM tipe I lebih dari 5 tahun, dan pada seluruh penderita diabetes tipe II (yang umum terjadi di masyarakat adalah diabetes tipe II). Neuropati diabetik pada DM tipe II ini seringkali terjadi lebih dini dalam perjalanan penyakit.

PATOGENESIS

Proses kejadian ND atau neuropaty diabetik berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah ND atau neuropaty diabetik. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kejadian ND atau neuropaty diabetik berhubungan sangat kuat dengan lama dan beratnya DM.

Faktor Metabolik
  • Proses terjadinya ND berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraselular sehingga mengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stres osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraselular menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam se1 saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf.
  • Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor penting untuk glutathion dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi niitric oxide (NO).
  • Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikernia berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosiltion end products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf, trrjadilah ND atau neuropaty diabetik. Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan kendali glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.
Kelainan Vaskular
  • Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactiye oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisasi NO, yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. 
  • Mekanisme kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis; trombosis pada arteriol intraneural; peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit; berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi.
Mekanisme lmun
  • Suatu penelitian menunjukkan bahwa 22% dari 120 penyandang DM tipe 1 memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25% DM tipe 2 memperlihatkan hasil yang positip. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berperan pada patogenesis ND. Bukti lain yang menyokong peran antibodi dalam mekanisme patogenik Neuropati diabetik adalah adanya antineural antibodies pada serum sebagian penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu adanya penumpukan antibodi dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis memperlihatkan kemungkinan peran proses imun pada patogenesis ND atau nefropaty diabetik.
Peran Nerve Growth Factor (NGF)
  • NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan daiam regulasi gen substance P dan calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP). Peptida ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu mengalami gangguan pada Neuropaty diabetik.

KLASIFIKASI

Neuropati diabetik merupakan kelainan yang heterogen, sehingga ditemukan berbagai ragam klasifikasi. Secara umum Neuropati diabetik yang dikemukakan bergantung pada 2 hal, pertama, menurut perjalanan penyakitnya (lama menderita DM) dan kedua, menurut jenis serabut saraf yang terkena 1esi.

Menurut perjalanan penyakitnya, Neuropati diabetik (ND) dibagi menjadi:
  • Neuropati fungsional/subklinis, yaitu gejala yang muncul sebagai akibat perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih reversibel.
  • Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yang reversible.
  • Kematian neuron/tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah irreversible. Kerusakan serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi distal paling banyak ditemukan, seperti polineuropati simetris distal.
Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi:
  • Neuropati Difus
    • Polineuropati sensori-motor simetris distal,
    • Neuropati otonom : Neuropati sudomotor, Neuropati otonom kardiovaskular, Neuropati gastrointestinal, Neuropati genitourinaria
    • Neuropati lower limb motor simetris proksimal (amiokopi)
  • Neuropati Fokal
    • Neuropati kranial
    • Radikulopati/pleksopati
    • Entrapmentneuropathy
Klasifikasi Neuropati diabetik di atas berdasarkan anatomi serabut saraf perifer yang secara umum dibagi atas 3 sistem yaitu sistem motorik, sensorik dan sistem autonom. Manifestasi klinis Neuropati diabetik bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinis Neuropati diabetik menjadi bervariasi, mulai kesemutan; kebas; tebal; mati rasa; rasa terbakar; seperti ditusuk; disobek, ditikam.

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis Neuropati Diabetik bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinisnya menjadi bervariasi, diantaranya
  • Mati rasa dan kesemutan pada ekstremitas
  • Dysesthesia (penurunan atau hilangnya sensasi ke bagian tubuh)
  • Diare
  • Disfungsi ereksi
  • Inkontinensia urin (hilangnya kontrol kandung kemih)
  • Ketidakmampuan
  • Wajah, mulut dan kelopak mata terkulai
  • Visi perubahan
  • Pusing
  • Kelemahan otot
  • Kesulitan menelan
  • Pidato gangguan
  • Fasciculation (kontraksi otot)
  • Anorgasmia
  • Terbakar atau nyeri listrik

DIAGNOSIS

Diagnosa didasarkan pada adanya gejala neuropati pada seorang penderita diabetes (IDDM lebih 5 tahun, dan semua NIDDM) dimana semua penyebab lain dari neuropati selain diabetes dapat disingkirkan. Sampai saat ini belum ada test klinis spesifik yang dapat memastikan neuropati diabetik.

Kriteria Diagnosa neuropati Diabetik :
Minimal didapat kelainan melalui pemeriksaan di bawah ini :
  1. Gejala klinis
  2. Pemeriksaan klinis
  3. Pemeriksaan Elektrodiagnostik
  4. Test sensoris kuantitatif (suhu dan vibrasi)
  5. Test fungsi otonom
1.Gejala Klinis
  • Berdasarkan anamnese :
    • Sensorik : rasa baal, rasa panas, rasa terbakar, rasa kesemutan, rasa kesetrum, Alodonia, gambaran seperti sarung tangan/kos kaki
    • Keluhan motorik : tungkai / lengan kurang kuat, sering jatuh, sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi, sulit buka stoples dll.
    • Keluhan otonom : gangguan berkeringat, gangguan/disfungsi seksual : gangguan ereksi, sulit orgasme, diarrhea, sulit adaptasi dalam gelap dan terang dan keluhan hipotensi ortostatik
2. Pemeriksaan Klinis
  • Inspeksi: ulserasi pada kaki dan Charcot Joint
  • Pemeriksaan Neurologik :
    • pemeriksaan motorik didapat kelemahan tipe LMN
    • Pemeriksaan sensorik didapat gambaran kos kaki/sarung tangan untuk rasa nyeri/suhu
    • Gangguan vibrasi.
3.Pemeriksaan elektrodiagnostik
  • ENMG (Elektroneuromiografi) : meliputi kecepatan hantar saraf motorik/sensorik (KHSM/KHSS)
4.Tes Sensoris kuantitatif :
  • untuk vibrasi dan suhu dikenal dengan Quantitative Sensoric testing (QST). QST adalah tehnik untuk mengukur intensitas rangsangan yang diperlukan untuk memberi persepsi sensorik khas dimana sifat fisik serta intensitas diketahui secara tepat.
5.Tes Fungsi Otonom
  • CARDIOVASKULER
    • Evaluasi hipotensi ortostatik dengan postural blood pressure testing
    • Resting heart rate
    • Valsava manouver
    • R - R variation (beat to beat heart rate variation)
  • Eye
    • Dark-adapted pupil size after total parasimpathetic testing
  • Sudomotor
    • Thermoregulatory sweat test (semikuantitatif), Penderita dibedaki dengan bedak indikator yang menjadi ungu bila basah
    • Potensial kulit, Potensial kulit dapat direkam dengan alat EMG terutama dari telapak tangan dan telapak kaki
    • Sweat imprint quantitation, Rangsangan kulit dengan pilocarpin, diperhatikan tetesan keringat baik diameter maupun distribusinya.
    • Quantitative Sudomotor Axon reflex test (QSART), Mengukur respons keringat setelah dirangsang dengan transcutaneus iontoforesis dari asetil kholin.
Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND atau neuropaty diabetik yang paling sering terjadi. DPN ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian distal yang berkembang ke arah proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup untuk mengeluarkan kemungkinan adanya neuropati.

Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap : 1). refleks motorik; 2). fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen mono Semmes-Weinstein); 3). fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu; 4). untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat dikerjakan elektromiograh.

Bentuk lain ND atau neuropay diabetik yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom (parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN).
  • Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan : 1). Tes respons denyut jantung terhadap maneuver valsava; 2). Variasi denyut jantung (interval RR) selama napas dalam (denyut jantung maksimum- minimum
  • Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan : 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik); 2). Respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).

PENGELOLAAN

Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik dibagi ke dalam 3 bagian. Strategi pertama adalah diagnosis neuropati diabetik sedini mungkin, diikuti strategi kedua dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik- baiknya, dan strategi ketiga ditujukan pada pengendalian keluhan neuropati/ nyeri neuropati diabetik setelah strategi kedua dikerjakan.

Mengingat Neuropati diabetik merupakan komplikasi kronik dengan berbagai faktor risiko yang terlibat, maka pada pengelolaan Neuropati diabetik perlu melibatkan banyak aspek, seperti perawatan umum, pengendalian glukosa darah dan parameter metabolik lain sebagai komponen tak terpisahkan secara terus menerus

Perawatan Umum/Kaki
  • Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma berulang pada neuropati kompresi.
Pengendalian Glukosa Darah
  • Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang harus dilakukan ialah pengedalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala. Disamping itu pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan.
  • Tiga studi epidemiologi besar, Diabetes Control and Complications Trial (DCCT), Kunamoto Study dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) membuktikan bahwa dengan mengendalikan glukosa darah, komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati dapat dikurangi. Pada DCCT, kelompok pasien dengan terapi intensif yang berhasil menurunkan HbAlc dari 9 ke 7%, telah menurunkan risiko timbul dan berkemban gnya kornplikasi mikrovaskular, termasuk menurunkan risiko timbulnya neuropati sebesar 60% dalam 5 tahun. 
  • Pada studi Kumamoto, suatu penelitian mirip DCCT tetapi pada DM tipe 2, juga membuktikan bahwa dengan terapi intensif mampu menurunkan risiko komplikasi, termasuk perbaikan kecepatan konduksi saraf dan ambang rangsang vibrasi. Demikian juga dengan UKPDS yang memberikan hasil serupa dengan 2 studi sebelumnya.
Terapi Medikamentosa 
  • Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada bukti kuat suatu terapi dapat memperbaiki atau mencegah neuropati diabetik. Namun demikian, untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM termasuk neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya komplikasi kronik diabetes, yaitu:
    • Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa 
    • Penghambat ACE 
    • Neurotropin 
      • Nerve growth factor 
      • Brain-derived neurotrophic factor 
    • Alpha Lipoic Acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal hidroksil, superoksida dan peroksil serta membentuk kembali glutation. 
    • Penghambat protein kinase C
    • Gangliosides, merupakan komponen utama membran sel 
    • Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekursor membran fosfolipid 
    • Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs 
    •  Human intravenous immunoglobulir, memperbaiki gangguan neurologik maupun non neurologik akibat penyakit autoimun.
Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk memahami mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain aktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran post sinaptik spinal cord dan pengeluaran substance P dari serabut saraf besar A yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri. Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar; hiperalgesia; alodinia, nyeri menjalar dll Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat memberi terapi yang lebih rasional, meskipun terapi nyeri neuropati diabetik pada dasarnya bersifat simtomatis.

Pedoman pengelolaan Neuropaty Diabetik dengan nyeri, yang dianjurkan ialah:
  • NSAID (ibuprofen 600mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari)
  • Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg malam hari, imipramin 100 mg/hari, nortriptilin 50- 150mg malam hari, paroxetine 4Omg/hari)
  • Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg4x/hari)
  • Antiaritmia (mexilletin 150-450mg/hari)
  • Topikal: capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine l mg3x/hari trans- cutaneous electrical nerve stimulation.
Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal mampu mengatasi nyeri neuropati diabetes. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan obat anti-depresan atau anti-konvulsan tergantung ada tidaknya efek samping. Dosis obat dapat ditingkatkan hingga dosis maksimum atau sampai efek samping muncul. Kadang-kadang kombinasi anti-depresan dan anti-konvulsan cukup efektif. Bila dengan rejimen ini belum atau kurang ada perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila tetap tidak atau kurang berhasil, kombinasi obat yang lain dapat dilakukan.

Edukasi
Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi, sehingga dengan kenyataan seperti itu, edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri ND. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal, dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu penjelasan tentang bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki pada setiap pertemuan dengan dokter, dan pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbulnya ND pada pasien DM.

KESIMPULAN

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi konik DN dengan prevalensi dan manifestasi klinis amat bervariasi. Dari 4 faktor (metabolik, vaskular, imun dan NGF) yang berperan pada mekanisrne patogenik ND, hiperglikemia berkepanjangan sebagai komponen faktor metabolik- merupakan dasar utarna patogenesis ND. Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan ND pada pasien DM, yang penting ialah diagnosis diikuti pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaik-baiknya. Usalia mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut. Pendekatan non-farmakologis termasuk edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit bisa dicapai.

Penyebab dan pengobatan Penyakit jantung akibat komplikasi diabetes melitus

KOMPILKASI DIABETES MELITUS TERHADAP JANTUNG

PENDAHULUAN

Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak). Penyebab aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stres oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemia dan/atau hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis.

Pada pasien DM, risiko payah jantung kongestif meningkat 4 sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat pula mempengaruhi otot jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi perubahan-perubahan berupa fibrosis interstisial, pembentukan kolagen dan hiperhofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat seluler terjadi gangguan pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan stuktur troponin T dan peningkatan aktivitas piruvat kinase. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan end-diastolic sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.

PATOFISIOLOGI

Dasar terjadinya peningkatan risiko penyakit jantung koroner pada pasien DM belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa:
  1. Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada pasien DM dibanding populasi non DM; 
  2. Pasien DM mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis, penurunan fibrinolisis dan peningkatan respons inflarnasi; 
  3. Pada pasien DM terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruhi integritas dinding pembuluh darah. 
Haffner dan kawan-kawan, membuktikan bahwa aterosklerosis pada pasien DM mulai terjadi sebelum timbul onset klinis DM. Studi epidemiologi juga menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung pada pasien DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata disebabkan karena kontrol glukosa darah yang buruk dalam waktu yang lama. Disamping itu berbagai faktor turut pula memperberat risiko terjadinya payah jantung dan strok pada pasien DM, antara lain hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperamilinemia, dislipidemia, dan gangguan sistern koagulasi serta hiperhomosisteinemia.

Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada satu individu dan merupakan suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah sindrom resistensi insnlin atau sindrom metabolik. Lesi aterosklerosis pada pasien DM dapat terjadi akibat :
  • Hiperglikemia. Hiperglikemia konik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai mekanisme antara Lain : 
    • Hiperglikemia konik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan Nitrat Oksida (NO) dan prostaglandin. 
    • Hiperglikemia meningkatkan aktivasi PKC intraselular sehingga akan menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan rnenghambat produksi NO. 
    • Overekspresi growth faclors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
    • Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol (DAG) melalui jalur glikolitik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
    • Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Disamping itu peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.
    • Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombotik dan agregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-I. Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi peningkatan aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembenftkan advanced glltcosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparan sulfat.
    • Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan disfungsi endotel, namun aktivasi koaguiasi yang berulang dapat menyebabkan stimulasi yang berlebihan dari sel-sel endotel sehingga akan terjadi disfungsi endotel.
  • Resistensi lnsulin dan Hiperinsulinemia
    • Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor terhadap insulin yaitu IGF-I dan IGF-II pada sel-sel pembuluh darah besar dan kecil dengan karakteristik ikatan yang sama dengan yang ada pada sel-sel lain. Peneliti ini menyatakan bahwa reseptor IGF-I dan IGF-II pada sel endotel terbukti berperan secara fisiologik dalam proses terjadinya komplikasi vaskular pada pasien DM. Defisiensi insulin dan hiperglikemi kronik dapat meningkatkan kadar total protein kinase C (PKC) dan diacylglycerol (DAG). Insulin juga mempunyai efek langsung terhadap jaringan pembuluh darah.
    • Pada penelitian terhadap jaringan pembuluh darah dari obese Zucker rat didapatkan adanya resistensi terhadap sinyal PI3- kinase. Temuan ini membuktikan bahwa resistensi insulin akan menimbulkan gangguan langsung pada fungsi pembuluh darah.
    • King dan kawan-kawan dalam penelitiannya menggunakan kadar insulin fisiologis mendapatkan bahwa hormon ini dapat meningkatkan kadar dan aktivitas mRNA dari eNOS sebesar 2 kali lipat setelah 2-8 jam inkubasi sel endotel. Peneliti ini menyimpulkan bahwa insulin tidak hanya merniliki efek vasodilatasi akut melainkan juga mernodulasi tonus pembuluh darah. Toksisitas insulin (hiperinsulinemi atau hiperproinsulinemi) dapat menyertai keadaan resistensi insulil/ sindrom metabolik dan stadiunt awal dari DM tipe 2. Insulin meningkatkan jumlah reseptor AI-l dan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS). 
    • Akhir-akhir ini telah dapat diidentifikasi adanya reseptor AT-1 di dalam sel-sel beta pankreas dan didalam sel-sel endotel kapiler pulau-pulau Langerhans pankreas. Jadi, hiperinsulinemi mempunyai hubungan dengan Ang-II dengan akibat akan terjadi peningkatan stres oksidatif didalam pulau-pulau Langerhans pankeas akibat peningkatan kadar insulur, proinsulin dan amilin.
  • Hiperamilinemi
    • Amilin atau disebut juga Islet Amyloid Polypeptide (IAPP) merupakan polipeptida yang mempunyai 37 gugus asam amino, disintesis dan disekesi oleh sel-sel beta pankreas bersama-sama dengan insulin. Jadi keadaan hiperinsulinemi akan disertai dengan hiperamilinemi dan sebaliknya bila terjadi penurunan kadar insulin akan disertai pula dengan hipoamilinerni. Hiperinsulinemi dan hiperarnilinemi dapat menyertai keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan DM tipe 2. Terjadinya amiloidosis (penumpukan endapan amilin) didalam islet diduga berhubungan dengan lama dan beratnya resistensi insulin dan DM tipe 2.
    • Sebaliknya , penumpukan endapan arnilin didalam sel-sel beta pankreas akan menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin. Sakuraba dan kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada pasien DM tipe 2, peningkatan stres oksidatif berhubungan dengan peningkatan pembentukan IAPP di dalam sei-sel beta pankreas. Dalam keadaan ini terjadi penurunan ekspresi enzim Super Oxide Dismutase (SOD) yang menyertai pembentukan IAPP dan penunrnan massa sel beta. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara terjadinya stres oksidatif dan pembentukan IAPP serta penurunan massa dan densitas sel-sel beta pankreas. Amilin juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah satu mediator terjadinya resistensi insulin. Baru-baru ini ditemukan pula amylin binding site didalam korteks ginjal, dimana amilin dapat mengaktivasi RAAS dengan akibat tejaadinya peningkatan kadar renin dan aldosteron. Janson dan kawan-kawan mendapatkan adanya partikel-partikel amiloid (inlermediate sized toxic amyloid particles = ISTAPs) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-se1 beta pankreas, dapat mengakibatkan apoptosis dengan cara merusak membran sel beta pankreas.
  • lnflamasi
    • Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi tidak hanya menimbulkan komplikasi sindrom koroner akut, tetapi juga merupakan penyebab utama dalam proses terjadinya dan progresivitas aterosklerosis. Berbagai pertanda inflamasi telah ditemukan didalam lesi aterosklerosis, antara lain sitokin dan growth factors yang dilepaskan oleh makrofag dan T cels. Sitokin akan meningkatkan sintesis Platelet Activating Factor (PAF), merangsang lipolisis, ekspresi molekul-molekul adhesi dan upregulasi sintesis serla ekspresi aktivitas prokoagulan didalam sel-sel endotel. Jadi sitokin memainkan peran penting tidak hanya dalam proses awal terbentuknya lesi aterosklerosis, melainkan juga progresivitasnya. Pelepasan sitokin lebih banyak terjadi pada pasien DM, karena peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi makrofag (dan pelepasan sitokin), antara lain oksidasi dan glikoksidasi protein dan lipid. 
    • Pelepasan sitokin yang dipicu oleh terbentuknya Advanced Glycosylation Endproducts (AGEs) akan disertai dengan over produksi berbagai growth factors seperti
      • PDGF (Platelet Derived Growth Factor)
      • IGF I (Insulin Like Growrh Factor I)
      • GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating Factor)
      • TGF-alfa (Transfornting Growth Factor-alfa)
    • Semua faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi sel-sel pembuluh darah. Di samping itu terjadi pula peningkatan pembentukan kompleks imun yang mengandung modified lipoprotein. Tingginya kadar kompleks imun yang mengandung modified LDL, akan meningkatkan risiko komplikasi makrovaskular pada pasien DM baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Kompleks imun ini tidak hanya merangsang pelepasan sejumlah besar sitokin tetapi juga merangsang ekspresi dan pelepasan matrix metalloproteinase-1 (MMP-1) tanpa merangsang sintesis inhibitornya. Aktivasi makrofag oleh kompleks imun tersebut akan merangsang pelepasan Tumor Necrosis Foctor-ajfa (TNF-a) , yang menyebabkan up regulasi sintesis C-reactive protetn. 
    • Baru-baru ini telah ditemukan C-reactive protein dengan kadar yang cukup tinggi pada pasien dengan resistensi insulin. Peningkatan kadar kompleks imun pada pasien DM tidak hanya menyebabkan timbulnya aterosklerosis dan progresivitasnya, melainkan juga berperan dalam proses rupturnya plak aterosklerotik dan komplikasi Jantung Koroner selanjutnya. Kandungan makrofag didalam lesi aterosklerosis pada pasien DM mengalami peningkatan, sebagai akibat dari peningkatan rekrutmen makofag kedalam dinding pembuluh darah karena pengaruh tingginya kadar sitokin. Peningkatan oxidized LDL pada pasien DM akan meningkatkan aktivasi se1 T yang akan meningkatkan pelepasan interferon-y. Pelepasan interferon y akan menyebabkan gangguan homeostasis sel-se1 pembuluh darah. Aktivasi se1 T juga akan menghambat proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah dan biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan vulnerabIe pIque, sehingga menimbulkan komplikasi Sindrom Koroner Akut.
    • Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang mengapa pada pemeriksaan patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebih fibrous dan calcified, sedangkan pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak mengandung lipid. Dalam suatu seri pemeriksaan arteri koroner pada pasien DM tipe 2 setelah sudden death, didapatkan area nekrosis, kalsifikasi dan ruptur plak yang luas. Sedangkan pada pasien DM tipe I ditemukan peningkatan kandungan jaringan ikat dengan sedikit foam cells didalam plak yang memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih stabil.
  • Trombosis/Fibrinolisis 
    • Diabetes Melitus akan disertai dengan keadaan protrombotik yaitu perubahan-perubahan proses trombosis dan fibrinolisis. Kelainan ini disebabkan karena adanya resistensi insulin terutama yang terjadi pada pasien DM tipe 2. Walaupun demikian dapat pula ditemukan pada pasien DM tipe 1. Peningkatan fibrinogen serta aktivitas faktor VII dan PAI-I baik di dalam plasma maupun didalam plak aterosklerotik akan menyebabkan penurunan urokinase dan meningkatkan agregasi platelet. Penyebab peningkatan fibrinogen diduga karena meningkatnya aktivitas faktor VII yang berhubungan dengan terjadinya hiperlipidemi post prandial. Over ekspresi PAI-I diduga terjadi akibat pengaruh langsung dari insulin dan pro insulin. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan kadar PAI-1 setelah pengobatan DM tipe 2 dengan tiazolidinedione menyokong hipotesis adanya peranan resistensi insulin dalam proses terjadinya over ekspresi PAI-I. Peningkatan PAI-I baik didalam plasma maupun di dalam plak aterosklerotik tidak hanya menghambat migrasi sel otot polos pembuluh darah, melainkan juga disertai penunrnan ekspresi urokinase didalam dinding pembuluh darah dan plak aterosklerotik. Terjadinya proteolisis pada daerah fibrous cap dari plak yang menunjukkan peningkatan alctivasi selT dan makrofag akan memicu te{adinya ruptur plak dengan akibat te{adinya sindrom koroner akut. Mekanisme yang mendasari terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada pasienDM dan resistensi insulin, masih dalam penelitian lebih lanjut.
  • Dislipidemia
    • Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatif umum terjadi pada keadaan resistensi insulin/sindrom metabolik dan DM tipe 2. Keadaan ini terjadi akibat gangguan metabolisme lipoprotein yang sering disebut sebagai lipid triad, meliputi : 1 . peningkatan kadar VLDL atau trigliserida, 2. penurunan kadar kolesterol HDL , 3. terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik. Peningkatan kadar VLDL, trigliserida dan small dense LDL kolesterol serta penurunan kadar HDL kolesterol yang bersifat anti-aterogenik, anti oksidan dan anti inflamasi akan mengurangi cadangan anti oksida alamiah. Lipoprotein mempunyai fungsi mengangkut lipid keseluruh tubuh, dimana LDL terutama berperan dalam transport apolipoprotein (Apo) B 100; VLDL berperan dalam transpor trigliserida yang mengandung Apo E, sedangkan HDL berperan dalam mengangkut kembali kolesterol yang mengandung anti inflamasi dan anti oksidan alamiah yaitu Apo A. Molekul protein dari lipoprotein ini akan, mengalami modifikasi karena proses oksidasi, glikosilasi dan glikoksidasi dengan hasil akhir akan teq'adi ' peningkatan stres oksidatif dan terbentuknya Spesies Oksigen Radikal. Di samping itu motlffied lipoprolein akan mengalami retensi didalam tunica intima yang memicu terjadinya aterogenesis.
  • Hipertensi 
    • Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin/ sindrom metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Sedangkan pada pasien DM tipe 1, hipertensi dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan mikroalbuminuri. Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Hipertensi disertai dengan peningkatan stres oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal, yang selanjutnya akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi Ang II dan penurunan aklivitas enzim SOD. Sebaliknya glukotoksisitas akan menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Penelitian terbaru mendapatkan adanya peningkatan kadar amilin (hiperamilinemia) pada individu yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi dan dengan resistensi insulin.
  • Hiperhomosisteinemia
    • Pada pasien DM baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 ditemukan polimorfisme gen dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase yang dapat menyebabkan hiperhomosisteinemi. Polimorfisme gen ini terutama terjadi pada pasien yang kekurangan asam folat di dalam dietnya. Hiperhomosisteinemi dapat diperbaiki dengan suplementasi asam folat. Homosistein terutama mangalami peningkatan bila terjadi gangguan fungsi ginjal. Peningkatan kadar homosistein biasanya menyertai penurunan laju filtrasi glomerulus. Hiperhomosisteinemi dapat menyebabkan inaktivasi nitrat oksida melalui hambatannya terhadap ekspresi glutathione peroxidase (GPx).

MANIFESTASI KLINIS

Pada individu non DM, Penyakit Jantung Koroner dapat memberikan manifestasi klinis berupa :

  • Angina Pektoris. Rasa nyeri dada dan sesak napas yang disebabkan karena gangguan suplai oksigen yang tidak mencukupi kebufuhan otot jantung. Keadaan ini terutama terjadi pada saat latihan fisik atau adanya stres.
  • Angina Pektroris Tidak Stabil. Dikatakan Angina Pektoris tidak stabil bila nyeri timbul untuk pertama kali, atau bila Angina Pektoris sudah ada sebelumnya namun menjadi lebih berat. Dan biasanya dicetuskan oleh faktor yang lebih ringan dibanding sebelumnya. Keadaan ini harus diwaspadai karena kelainan bisa berlanjut menjadi berat, bahkan rnenjadi infark miokard.
  • Infark Miokard. 1). Kerusakan otot jantung akibat blokade arteri koroner yang terjadi secara total dan mendadak. Biasanya terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis didalam arteri koroner. 2). Secara klinis infark miokard ditandai dengan nyeri dada seperti pada Argina Pektoris, namun lebih berat dan berlangsung lebih lama sampai beberapa jam. Tidak seperti pada AP yang dicetuskan oleh latihan dan dapat hilang dengan pemakaian obat nitrat di bawah lidah, pada infark miokard biasanya terjadi tanpa dicetuskan oleh latihan dan tidak hilang dengan pemakaian nitrat. 3).Kadang-kadang gejala bisa berupa sesak napas, atau sinkop (kehilangan kesadaran). 4). Biasanya disertai komplikasi seperti; gangguan irama jantung, renjatan jantung (shock card iogenic), gagal jantung kiri, bahkan kematian mendadak (sudden death).
  • Sindrom Koroner Akut : Spektrum klinis yang terjadi mulai dari angina pektoris tidak stabil sampai terjadi infark miokard akut. Pada pasien DM, terjadinya iskemi atau infark miokard kadang-kadang tidak disertai dengan nyeri dada yang khas (angina pektoris). Keadaan ini dikenal dengan Silent Myocardial Ischaemia atau Silent Miocardial Infarction (SMI). Terjadinya SMI pada pasien DM diduga disebabkan karena : 
    • Gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri
    • Penurunan kadar b endorphin
    • Neuropati perifer yang menyebabkan denervasi sensorik.

DIAGNOSIS

Diagnosis Penyakit Jantung Koroner pada pasien Diabetes Melitus ditegakkan berdasarkan:

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
  • Pada pasien DM tipe 1, yang umumnya datang tanpa disertai faktor- faktor risiko tradisional, lamanya menderita DM dapat dijadikan sebagai prediktor penting terhadap timbulnya Penyakit Jantung Koroner. Karena DM tipe 1 sering terjadi pada usia muda, Penyakit Jantung Koroner dapat terjadi pada usia antara 30 sampai 40 tahun. Sebaliknya pada pasien DM tipe 2, sering disertai dengan berbagai faktor risiko, dan PJK biasanya terjadi pada usia 50 tahun keatas. Seringkali, DM baru terdiagnosis pada saat pasien datang dengan keluhan angina, infark miokard atau payah jantung. Sedangkan pada ' pasien DM dengan SMI, gejala yang timbul biasanya tidak khas seperti mudah capek, dyspnoe d'elfort atau dispepsia.
Pemeriksaan Laboratorium.
  • Terdiri atas : 1. darah rutin, 2.kadar gila darah puasa, 3. profil lipid : kholesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL , Trigliseida 4. Enzin-enzirn jantung, 5. C-reactive protein (CRP). 6. Mikroalbuminuri atau proteinuri
Elektrokardiograh
Uji latih (treadmill test)
Pemeriksaan foto dada
Ekokardiografi
Pemeriksaan baku emas adalah angiografi koroner (kateterisasi)

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
  • Elektrokardiografi (EKG) sebagai pemeriksaan awal terhadap setiap pasien DM
  • Uji latih (Treadnill lesl) dilakukan terhadap pasien DM dengan:
  • Gejala gejala angina pektoris
  • Dyspnoe d'eforld
  • Gejala gastrointestinal
  • EKG istirahat menunjukkan tanda-tanda iskhemi atau infark miokard
  • Disertai penyakit arteri perifer atau oklusi arteri karotis
  • Disertai adanya 2 atau lebih faktor-faktor risiko kardiovaskular sebagai berikut : kolesterol total lebih dari 240 mg/dl, kolesterol LDL lebih dari 160 mg/dl, kolestelol HDL kurang dari 35 mg/dl, tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg, merokok, riwayat keluarga menderita PJK, mikroalbumir-ruria atau proteinuria

PENATALAKSANAAN

Berdasarkan rekomendasi ADA, penatalaksanaan terhadap semua pasien DM terutama ditujukan terhadap penurunan risiko kardiovaskular secara komprehensif, yaitu melipuli :
  • Pengobatan hiperglikemia dengan diet, obat-obat hipoglikemia oral atau insulin
  • Pengobatan terhadap dislipidemia
  • Pemberian aspirin
  • Pengobatan terhadap hipertensi untuk mencapai tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg dengan ACE, inhibitor, angiotensin receptor blockers (ARB) atau penyekat B dan diuretik
  • Menasihati pasien unfuk berhenti merokok.
Rekomendasi ADA tentang target yang harus dicapai dalam penatalaksanaan Diabetes Melitus dalam upaya menurunkan risiko kardiovaskular :


PENGOBATAN DAN PENYEBAB LUKA KAKI (KAKI DIABETIK) PADA DIABETES MELITUS

KAKI DIABETIK
PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya. Dari berbagai penelitian epidemiologis, seiring dengan perubahan pola hidup didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat terutama di kota besar. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian komplikasi kronik DM juga akan meningkat, termasuk komplikasi kaki diabetes, yang akan menjadi topik bahasan utama kali ini.

Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi konik DM dapat terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah). Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetes.

Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis terjadinya komplikasi DM. Di antaranya yang terkenal adalah teori jalur poliol, teori glikosilasi dan terakhir adalah teori stress oksidatif, yang dikatakan dapat menjelaskan secara keseluruhan berbagai teori sebelumnya (untflYing mechanism). Apapun teori yang dianut, semuanya masih berpangkal pada kejadian hiperglikemia, sehingga usaha untuk menurunkan terjadinya komplikasi DM harus dilakukan dengan memperbaiki, mengendalikan dan menormalkan kadar glukosa darah. Manfaat usaha menormalkan kadar glukosa darah untuk mencegah terjadinya berbagai komplikasi DM tipe 2 sudah terbukti pada berbagai penelitian epidemiologis skala besar dan lama seperti misalnya pada UKPDS.

Hiperglikemia pada DM dapat terjadi karena masukan karbohidrat yang berlebih, pemakaian glukosa di jaringan tepi berkurang, akibat produksi glukosa hati yang bertambah, serta akibat insulin berkurang jumlah maupun kerjanya. Dengan memperhatikan mekanisme asal terjadinya hiperglikemia ini, dapat ditempuh berbagai langkah yang tepat dalam usaha untuk menurunkan kadar glukosa darah sampai batas yang aman untuk menghindari terjadinya komplikasi konik DM.

Pilar pengelolaan diabetes terdiri dari penyuluhan, perencanaan makan yang baik, kegiatan jasmani yang memadai dan penggunaan obat berkhasiat menurunkan kadar glukosa darah seperti golongan sekretagogik insulin (sulfonilurea, repaglinid dan nateglinid), golongan metformin, golongan inhibitor alfa glukosidase, golongan tiazolidindion dan insulin. Dengan mengkombinasikan berbagai macam obat berkhasiat menurunkan kadar glukosa darah, akan dapat dicapai sasaran pengendalian kadar glukosa darah yang optimal untuk mencegah terjadinya komplikasi kronik DM.

KAKI DIABETES

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Hasil pengeiolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di lndonesia kaki diabetes masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal karena sedikit sekali orang berminat menggeluti kaki diabetes. Juga belum ada pendidikan khusus untuk mengelola kaki diabetes (podiatrist, chiropodist belum ada). Di samping itu, ketidak-tahuan masyarakat mengenai kaki diabetes masih sangat mencolok, lagi pula adanya permasalahan biaya pengelolaan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua menambah peliknya masalah kaki diabetes.

Dinegara maju kaki diabetes memang juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik kaki diabetes yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang kaki diabetes menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan sampai sangat rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya.

Tahun 2005 International Diabetes Federation mengambil tema Tahun Kaki Diabetes mengingat pentingnya pengelolaan kaki diabetes untuk dikembangkan. Di RSCM dr CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki diabetes. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16 % dan25 % (data RSCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3 persen akan meninggal dalam setahun pasca amputasi,dan sebanyak 37 % akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.

PATOFISIOLOGI KAKI DIABETES

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang 1uas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes (gambar patofisiologi terjadinya kaki diabetes-lampiran).

Lampiran 2. Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik


KLASIFIKASI KAKI DIABETES

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti klasifikasi Edmonds dari-Kings College Hospital London, Klasifikasi liverpool yang sedikit lebih ruwet, sampai klasifikasi Wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan juga klasifikasi Texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada pengeloiaan kaki diabetes.

Suatu klasifrkasi mutakhir dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic Foot (Klasifikasi PEDIS 2003-lihat lampiran). Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan mempermudah para peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat di muka bumi. Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan, vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat tertuju dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularnya dahulu. Sebaliknya kalau faktor infeksi menonjol (I4), tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau faktor mekanik yang dominan (insensitive foot, S2), tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.


Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan dengan pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-2005):
  • Stage I : Normal Foot
  • Stage 2 : High Risk Foot
  • Stage 3 : Ulcerated Foot
  • Stage 4 : Infected Foot
  • Stage 5 : Necrotic Foot
  • Stage 6 : Unsalvable Foot

Terapi Farmakologis

Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM. Tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki potensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM.

Revaskularisasi
  • Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau ada klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskular dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan mengerjakannya. Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovascular - PTCA. Pada keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi.
  • Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak faktor vaskular sudah lebih memadai, sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung pada berbagai faktor lain yang juga masih banyak jumlahnya. Terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka pada kaki diabetes sebagai terapi ajuvan. Walaupun demikian masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetes.
Wound Control.
  • Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat. Saat ini terdapat banyak sekali macam dressing (pembalut) yang masing-masing tentu dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka, dan juga letak luka tersebut. Dressing yang mengandung komponen zat penyerap seperti carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan luka yang masih produktif. Demikian pula hydrophilicfiber dressing atau silver impregnated dressing akan dapat bermanfaat untuk luka produktif dan terinfeksi. Tetapi jangan lupa bahwa tindakan debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan luka. Debridement yang baik dan adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi pus/ cairan dari ulkus/gangren.
  • Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara debridemen non surgikal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim.
  • Jikalau luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing seperti hydrocolloid dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari dapat digunakan. Tentu saja untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka kaki diabetes, suasana sekitar luka yang kondusif untuk penyembuhan harus dipertahankan. Yakinkan bahwa luka selalu dalam keadaan optimal dengan demikian penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan tahapan penyembuhan luka yang harus selalu dilewati dalam rangka proses penyembuhan. Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian epitelialisasi.
  • Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini dipakai di banyak sekali tempat perawatan kaki diabetes. 
  • Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan untuk wound control seperti: dermagraft, apligraft, growth factor, protease inhibitor dsb, untuk mempercepat kesembuhan luka. Bahkan ada dilaporkan terapi gen untuk mendapatkan bakteri E coli yang dapat menghasilkan berbagai faktor pertumbuhan. Ada pula dilaporkan pemakaian maggot (belatung) lalat (alat hijau) untuk membantu membersihkan luka. Berbagai laporan tersebut umumnya belum berdasar penelitian besar dan belum cukup terbukti secara luas untuk dapat diterapkan dalam pengelolaan rutin kaki diabetes.
Microbiological Control
  • Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang berbeda. Di RSCM data terakhir menunjukkan bahwa pada pasien yang datang dari luar, umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel, anaeob dan anerob. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran gram positif dan gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman Gram positif dan negatif (seperti misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol).
Pressure Control

  • Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat badan-weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar seperti luka pada kaki Charcot. Peran jajaran rehabilitasi medis pada usaha pressure control ini juga sangat mencolok. 
  • Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weight-bearing dapat dilakukan antara lain dengan:
    • Removable cast walker
    • Total contact casting
    • Temporary shoes
    • Felt padding . Cnttches
    • Weelchair
    • Electric carts
    • Craddled insoles
  • Berbagai cara surgikal dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka seperti:
    1. Dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses,
    2. Prosedur koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.
Education Control
  • Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan unhrk kesembuhan luka yang optimal. 
  • Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan untuk pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik dan kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang mugkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagi para amputee menghindari terjadinya ulkus baru. Pemakaian alas kaki/sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang terjadi berikut memberikan prognosis yang jauh lebih buruk daripada ulkus yang pertama.

Terapi Diabetes melitus tanpa obat dengan pengaturan Gizi medis dan olahraga

TERAPI NON-FARMAKOLOGI DIABETES MELITUS

PENDAHULUAN

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.


TERAPI GIZI MEDIS

Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: 1). Menurunkan berat badan; 2). Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik; 3). Menurunkan kadar glukosa darah; 4). Memperbaiki profil lipid; 5). Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin; 6). Memperbaiki sistem koagulasi darah.

Tujuan Terapi Gizi Medis
Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
  • Kadar glukosa darah mendekati normal,
    • Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
    • Glukosa darah 2 jam setelah makan kurang dari 180 mg/dl
    • Kadar Alc kurang dari 7 persen
  • Tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg
  • Profil lipid :
    • Kolesterol LDL kurangi dar 100 mg/dl
    • Kolesterol HDL lebih dari 40 mg/dl
    • Trigliserida kurang dari 150 mg/dl 
  • Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas. Pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana.

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan diabetisi antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia. Selain itu juga terdapat beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lain lain. Pada keadaan infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi, lingkungan, kebiasaan atau tradisi di dalam lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.

Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari makanan yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat melakukan perubahan pola makan ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan sehari-hari. Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.


JENIS BAHAN MAKANAN

Karbohidrat.
  • Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55-65 % dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70 % jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori. 
  • Rekomendasi pemberian karbohidrat : 
    • Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri 
    • Dari total kebutuhan kalori per hari, 60 - 70% diantaranya berasal dari sumber karbohidrat. 
    • Jika ditambah MUFAsebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal 70% dari total kebutuhan kalori per hari 
    • Jumlah serat 25-50 gram per hari 
    • Jumlah sukosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total kalori per hari 
    • Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin, aspartame, acesulfam dan sukralosa 
    • Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram./hari
    • Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari 
    • Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
Protein
  • Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15 % dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram. 
  • Rekomendasi pemberian protein : 
    • Kebutuhan protein 15 -20 % dari total kebutuhan energi per hari 
    • Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah. 
    • Pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg berat badan/hari 
    • Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kg berat badan/hari dan tidak kurang dari 40 gram 
    • Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan dari protein hewani.
Lemak
  • Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. 
  • Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. 
  • Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid : MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (poly- unsaturated fatty acid : PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurukan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL dijaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.
  • Rekomendasi pemberian lemak :
    • Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal l0% dari total kebutuhan kalori per hari.
    • Jika kadar kolesterol LDL lebih dari 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori per hari
    • Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL lebih dari 100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikomsumsi 200 mg per hari
    • Batasi asupan asam lemak bentuk trans
    • Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang
    • Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal l0% dai asupan kalori per hari.


PERHITUNGAN JUMLAH KALORI
  • Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (MT) atau rumus Brocca.
Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT
  • IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter) kuadrat. 
  • Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT :
    • Berat badan kurang yaitu sebesar 18,5 
    • BB normal yaitu sebesar 18,5 -22,9 
    • BB lebih yaitu sebesar lebih dari sama dengan 23,0
      • dengan risiko yaitu sebesar 23 - 24,9
      • obes 1 yaitu sebesar 25 -29,9
      • obes II yaitu sebesar lebih dari sama dengan 30
Penentuan Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca 
  • Petama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus: berat badan idaman (BBI kg ) = ( TB cm - 100 ) - l0%. Untuk laki-laki kurang dari 160 cm, wanita kurang dari 150 cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi l0 %.
  • Penentuan status gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100%
    • Berat badan kurang BB Yaitu sebesar kurang dari 90 % BBI
    • Berat badan normal BB Yaitu sebesar 90 - 110 % BBI
    • Berat badan lebih BB Yaitu sebesar 110 - 120 % BBI
    • Gemuk BB Yaitu sebesar lebih dari 120 % BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan, digunakan rumus Brocca

Penentuan kebutuhan kalori per hari :
  • Kebutuhan basal :
    • Laki-laki : BB idaman (kg) X 30 kalori
    • Wanita : BB idaman (kg) X 25 kalori
  • Koreksi atau penyesuaian :
    • Umur diatas 40 tahun : - 5 %
    • Aktivitas ringan (duduk-duduk, nonton televisi dll) : + l0 % 
    • Aktivitas sedang(kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter) : + 20 %
    • Aktivitas berat (olahragawan, tukang becak dll) : +30%
    • Berat badan gemuk : -20%
    • Berat badan lebih : -10%
    • Berat badan kurus : +20%
  • Stres metabolik (infeksi, operasi, stroke, dll) : + 10-30%
  • Kehamilan trimester I dan II : + 300 Kalori
  • Kehamilan trimester III dan menyusui : + 500 Kalor
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai dengan kondisi dan kebiasaan penderita.
  • Contoh : Pasien seorang laki-laki berusia 48 tahun, mempunyai tinggi 160 cm dan berat badan 63 kg, mempunyai pekerjaan sebagai penjaga toko. Perhitungan kebutuhan kalori :
    • Berat badan ideal : (TB cm - 100) kg - l0% = (160 cm - 100)kg - 10% = 60kg - 6kg = 54kc.
    • Status gizi : ( BB aktual : BB ideal ) x 100 % = (63kg : 54kg)x100% = 116 % ( termasuk berat badan lebih )
    • Jumlah kebutuhan kalori perhari :
      • kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori = 54 x30 kalori = 1620 kalori
      • kebutuhan untuk aktivitas ditambah 20% = 20% x 1620 kalori = 324 kaloi
      • koreksi karena kelebihan berat badan dikurangi 10% = l0% x 1620 = 162 kaloi
  • Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1620 kalori + 324 kalori - 162 kalori = 1782 kalori. Untuk mempermudah perhitungan dalam konsultasi gizi digenapkan menjadi 1700 kalori.
  • Distribusi makanan:
    • Karbohidrat 60% = 60% x 1700 kalori : 1020 kalori dari karbohidrat yang setara dengan 255 gram karbohidrat (1020 kalori : 4 kalori/ gram karbohidrat)
    • Protein 20% = 20% x 1700 kalori : 340 kalori dari protein yang setara dengan 85 gram protein (340 kalori : 4 kalori/gram protein) 
    • Lemak 20% = 20% x 1700 kalori : 340 kalori dari lemak yang setara dengan 37 ,7 gram lemak (340 kalori : 9 kalori/gram lemak)

LATIHAN JASMANI

Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari-hari.

Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit yang akan berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai tantangan, diwaktu lain dianggap sebagai beban. Tanggung jawab terhadap pengelolaan diabetes sehari-hari, merupakan milik masing-masing diabetisi. Mereka yang telah memutuskan untuk hidup dengan diabetes dalam keadaan sehat mempunyai satu persamaan, bahwa mereka harus melakukan kegiatan fisik.

Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih terus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan sementara dari penelitian itu ialah bahwa kegiatan fisik diabetisi (tipe I maupun 2), akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat. Kemajuan teknologi agak berseberangan dengan anjuran untuk melakukan kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang bergiat. Mengingat hal ini, maka harus dibuat suatu kegiatan fisik yang ter-rencana dengan baik dan teratur bagi diabetisi.


FISIOLOGI KEGIATAN FISIK

Bila seseorang sehat melakukan kegiatan fisik dinamik yang berat dengan melibatkan kelompok otot-otot utamanya, maka akan terjadi peningkatan ambilan oksigen sebesar 15-20 kali lipat, karena peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Kemudian akan terjadi dilatasi pada arteriol maupun kapiler dan juga terjadi pengumpulan cairan, baik intra maupun ektra selular. Ventilasi pulmoner dapat melewati angka 100L/ menit dan keluaran jantung meningkat hingga 20-30L/menit, untuk memenuhi kebutuhan otot yang aktif. Bersamaan dengan itu, akan terjadi penurunan aliran darah ke otot yang tak aktif, daerah splangnik dan ginjal. Panas yang ditimbulkan akan terkumpul pada tubuh dan sebagian besar akan terbuang lewat proses evaporasi. Pada kegiatan fisik dalam keadaan panas dan lembab, dapat dihasilkan keringat sebanyak 2 L/jam.

Kegiatan fisik pada keadaan post absorbsi makanan, maka kebutuhan energi otot yang bekerja akan dipenuhi oleh proses pemecahan glikogen intramuskular, cadangan trigliserida dan juga peningkatan sediaan glukosa hati dan asam lemak bebas dari cadangan trigliserida ekstramuskular.

Latihan jasmani pada diabetisi akan menimbulkan perubahan metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama berat latihan dan tingkat kebugaran, juga oleh kadar insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh.

Pada diabetisi dengan gula darah tak terkontrol, latihan jasmani akan menyebabkan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan benda keton yang dapat berakibat fatal. Satu penelitian mendapati bahwa pada kadar glukosa darah sekitar 332 mg/dl, bila tetap melakukan latihan jasmani, akan berbahaya bagi yang bersangkutan. Jadi sebaiknya, bila ingin melakukan latihan jasmani, seorang diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tak lebih dari 250 mg/dL

Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan istirahat membutuhkan insulin, hingga disebut sebagai jaringan insulin-dependent. Sedang pada otot aktif, walau terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tak meningkat. Mungkin hal ini disebabkan karena peningkatan kepekaan reseptor insulin otot dan pertambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan latihan jasmani. Hingga, jaringan otot aktif disebut juga sebagai jaringan non-insulin dependent. Kepekaan ini akan berlangsung lama, bahkan hingga latihan telah berakhir. Pada latihan jasmani akan terjadi peningkatan aliran darah, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka hingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.

MANFAAT, RISIKO DAN HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN BERKAITAN DENGAN LATIHAN JASMANI SEORANG DIABETISI

Pada diabetes tipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki kendali glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi HbA1c, yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan risiko komplikasi diabetes dan kematian. Selain mengurangi risiko, latihan jasmani akan memberikan pengaruh yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arterial, sensitivitas barorefleks, vasodilatasi pembuluh yang endothelium-dependent, aliran darah pada kulit, hasil perbandingan antara denyut jantung dan tekanan darah (baik saat istirahat maupun aktif, hipertrigliseridemi dan fibrinolisis.

Angka kesakitan dan kematian pada diabetisi yang aktif, 50 % lebih rendah dibanding mereka yang santai. Pada DM tipe 1, latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan metabolik, hingga kendali gula darah bukan merupakan tujuan latihan. Tetapi latihan endurance ternyata terbukti akan memperbaiki fungsi endotel vaskular.

Dari penelitian epidemiologi retro dan prospektif, juga terbukti bahwa latihan jasmani yang terahir akan mencegah komplikasi makro maupun mikrovaskular serta meningkatkan harapan hidup. Pada kedua tipe diabetes, manfaat latihan jasmani secara teratur akan memperbaiki kapasitas latihan aerobik, kekuatan otot dan mencegah osteoporosis.

RISIKO LATIHAN JASMANI

Diabetisi yang mendapat terapi insulin, hipoglikemia disertai kadar insulin yang berlebihan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian, terutama pada saat pemulihan. Bila insulin disuntikkan pada lengan atau paha, akan memperbesar kemungkinan terjadi hipoglikemia karena peningkatan hantaran insulin melalui darah akibat pemompaan oleh otot pada saat berkontraksi. Sehingga dianjurkan penyuntikan di daerah abdomen sebelum latihan jasmani. Juga dianjurkan agar latihan jasmani dilakukan setelah makan, yaitu pada saat kadar gula darah berada pada puncaknya. Latihan jasmani yang dikerjakan dalam waktu lama dan dalam keadaan metabolik yang tak terkendali, akan menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa darah dari hati, disertai peningkatan produksi benda- benda keton.

PRINSIP LATIHAN JASMANI BAGI DIABETISI

Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi, persis sama dengan prinsip latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti : frekuensi, intensitas, durasi dan jenis.
  • Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebailnya dilakukan dengan teratur 3-5 kali per minggu
  • Intensitas : ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate)
  • Durasi
  • Jenis : 30 - 60 menit : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda.
Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar. Latihan jasmani bagi diabetisi tipe 1, sebaiknya dilakukan pada pagi hari.

Untuk menentukan intensitas latihan, dapat digunakan Maximum Heart Rate (MHR) yaitu: 220 - umur. Setelah MHR didapatkan, dapat ditentukan Target Heart Rare (THR). Sebagai contoh : suatu latihan bagi seorang diabetisi berumur 50 tahun disasarkan sebesar 75%, maka THR = 7 5% X (220 - 60) = 120. Dengan demikian, diabetisi tersebut dalam melakukan latihan jasmani, sasaran denyut nadinya adalah sekitar 120/ menit.

Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  • Pemanasan (warm-up). Bagian kegiatan ini dilakukan sebelum memasuki latihan yang sebenarnya, dengan tujuan untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh seperti menaikkan suhu tubuh, meningkatkan denyut nadi hingga mendekati intensitas latihan. Pemanasan juga perlu untuk menghindari cedera akibat latihan. Pemanasan cukup dilakukan selama 5- 10 rnenit.
  • Latihan lnti (conditioning). Pada tahap ini, diusahakan denyut nadi mencapai THR, agar mendapatkan rnanfaat latihan. Bila THR tak tercapai, maka diabetisi tak akan mendapat manfaat latihan. Sedang bila lebih dari THR, rnungkin malah bisa mendapatkan risiko yang tak diinginkan.
  • Pendinginan (cooling-down). Setelah selesai melakukan latihan jasmani, sebaiknya dilakukan pendinginan.Tahap ini dilakukan untuk mencegah penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah melakukan latihan jasmani, atau pusing akibat masih terkumpulnya darah pada otot yang aktif. Bila latihan berupa jogging, maka pendinginan sebaiknya dilakukan dengan tetap berjalan untuk beberapa menit. Bila bersepeda, tetap mengayuh sepeda,tetapi tanpa beban. Pendinginan dilakukan selama kurang-lebih 5-10 menit, hingga denyut jantung mendekati denyut nadi saat istirahat.
  • Peregangan (stretching). Tahap.ini dilakukan dengan tujuan untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih teregang dan menjadikan lebih elastis. Tahapan ini lebih bermanfaat terutama bagi mereka yang berusia lanjut.
Latihan jasmani teratur, penting bagi kesehatan setiap orang, karena akan : 
  • Memberikan lebih banyak tenaga
  • Membuat jantung lebih kuat
  • Meningkatkan sirkulasi
  • Memperkuat otot
  • Meningkatkan kelenturan 
  • Meningkatkan kemampuan bernafas 
  • Membantu mengatur berat badan 
  • Memperlambat proses penuaan 
  • Memperbaiki tekanan darah 
  • Memperbaiki kolesterol dan lemak tubuh yang lain 
  • Mengurangi stress 
  • Melawan akibat-akibat kekurangan aktivitas

TERAPI DM : obat untuk pengobatan diabetes melitus

TERAPI PENGENDALIAN GLIKEMIA PADA DM

PENDAHULUAN

Kegagalan pengendalian glikemia pada diabetes melitus setelah melakukan perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit dapat menghambatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut sangat diperlukan peran serta para pengelola kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primer. Pedoman pengelolaan diabetes sudah ada dan disepakati bersama oleh para pakar diabetes di Indonesia dan dituangkan dalam suatu Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia yang mulai disebarluaskan sejak tahun 1994 dan beberapa kali mengalami revisi dan yang terakhir pada tahun 2006.

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidak sanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus.

Dengan dasar pengetahuan ini maka dapatlah diperkirakan bahwa dalam mengelola diabetes tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung pada fase mana diagnosis diabetes ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan dasar yang terjadi pada saat tersebut seperti (Gambar 1) :
  • Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
  • Kenaikan produksi giukosa oleh hati.
  • Kekurangan sekesi insulin oleh pankeas.

Gambar 1. Sebab hiperglikemia pada DM

Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan/ terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obes. Bila dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian (diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia sesuai dengan gambar 2. Pada kegawatan tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stres), pengelolaan farmakologis dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah sakit.

MACAM - MACAM OBAT ANTI HIPERGLIKEMIK ORAL

Golongan lnsulin Sensitizing Biguanid.
  • Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin bisanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan AI C sebesar l-2%. Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (keatinin lebih dari 1,3 mg/dl- pada perempuan dan lebih dari 1,5 mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada orang lanjut usia.
Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa darah
  • Mekanisme kerja. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.
  • Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek metformin diatas diduga terjadi melalui peningkatan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP acticated protein kinase (AMPK), yang merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan glukosa. Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas Acetyl Co-A karboksilase (ACC) dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekpresi ensim lipogenik.
  • Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihipergtkemik. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh sulfonilureanya. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian sulfonilurea.
  • Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan glukbsa darah yang lebih banyak. Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Pro spective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis maksimal. 
  • Kombinasi metfomrin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.
  • Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogen activator inhibitor (PAL-I).
  • Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone. Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukose darah puasa (60-70 mg/dl) dan A1C (1-2%) dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Efektivitas metformin menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
Glitazone
  • Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan AIC 1,4-2,6 persen dibandingkan dengan plasebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan metformin dan seketagok insulin.
  • Mekanisme Kerja. Glitazon (Tiazolindion), merupakan agonist peroxisome proliferativated receptor gamma (PP AR.) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin.
  • Glitazon dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT-I, GLUT 4, p85alphaPl-3K dan uncoupling protein-2 (UCP). Selain daripada itu juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin dll. Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon.
  • Penggunaan dalam klinik. Rosiglitazon dan pioglitazon saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan seketagok insulin. Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan AIC sampai 1,5 persen dibandingkan dengan plasebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dL dosis tunggal.
Golongan Sekretagok lnsulin
  • Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid.
  • Sulfonilurea.
    • Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi inzulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relatif murah. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya.
    • Mekanisme Kerja. Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes melitus tipe 1.
    • Beberapa obat golongan ini yang ada di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1. Semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi dan aktivitas metabolitnya. Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemia yang mungkin berakibat fatal. Untuk mengurangi kanungkinan hipoglikemia, apalagi pada orang tua dipilih obat yang masa kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemia juga lebih sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, ganguan fungsi hati berat dan pasien dengan masukan makan yang kurang dan jika dipakai bersama obat sulfa. Obat yang mempunyai metabolit aktif tentu akan lebih mungkin menyebabkan hipoglikemia yang berkepanjangan jika diberikan pada pasien dengan gagal ginjal atau gagal hati.
    • Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama lerbih dari 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. bahkan sampai lebih dari 20 jam pada pemakaian kronikdengan dosis maksimal). Karena itu dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali. Glibenklamid menurunkan kadar glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sesudah makan, masing-masing sampai 36% dan 2l%. Bila diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah.  Pada pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat berkurang. 
    • Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam I minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna. Segeralah periksa kadar glukosa darah dan sesuaikan dosisnya. 
    • Dosis permulaan sunfonilurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa kurang dari 200 mg/dl, SU atau sulfonilurea sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila glukosa darah puasa lebih dsari 200 m/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
    • Kombinasi sulfonilurea dengan insulin. Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja sedang atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonilurea seperti biasanya. Kombinasi sulfonilurea dan insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis insulin yang diperlukanpun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multipel
  • Glinid.
    • Sekretogik insulin yang baru, bukan merupakan sulfonifurea dan merupakan glinid. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada komplek SLIR sehingga dapat manurunkan ekuivalen AlC pada SU. Sedang Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sehinga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa puasa maka kekuatannya untuk menurunkan AlC tidak begitu kuat.
Penghambat Alfa Glukosidase
  • Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
  • Mekanisme kerja. Acarbose merupakan penghambat kuat ensim alpha glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpanjang peningkatan glukosa darah post- prandial, dan mempengaruhi respons insulin plasma. Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin dan tidak dapat menyebabkan hipoglikemia.
  • Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti; meteorismus, flatulence dan diare. Flatulence merupakan efek yang tersering terjadi pada hampir 50% pengguna obat ini- Penghambat Alfa glukosidase dapat menghambat bioavailabilitas metformin jika diberikan bersamaan pada orang normal
  • Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme didalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas ensim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.
  • Penggunaan dalam klinik. Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya l5 menit sebelum atau sesudahnya makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial. Monoterapi dengan acarbose dapat menurunkan rata-rata glukosa postprandial sebesar 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dl dan AIC 0.5-1%. Dengan terapi kombinasi bersama sulfonilurea, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak terhadap Al C sebesar 0,3 -0,5 o/o dan rata-rataglukosa postprandial sebesar 20-30 mgl dL dari keadaan sebelumnya.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemik Oral
  • Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap.
  • Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut. (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam)
  • Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
  • Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal, baru beralih kepada insulin.
  • Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.


Sasaran pengelolaan diabetes melitus bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga termasuk faktor-faktor lain yaitu berat badan, tekanan darah, dan profil lipid, seperti tampak pada sasaran pengendalian diabetes melitus yang dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di lndonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Dengan berbagai macam usaha tersebut, diharapkan sasaran pengendalian glikemia pada diabetes melitus seperti yang dianjurkan oleh pakar diabetes di Indonesia dapat dicapai, sehingga pada gilirannya nanti komplikasi kronik diabetes melitus juga dapat dicegah dan pasien diabetes melitus dapat hidup berbahagia bersama diabetes yang disandangnya.