Komplikasi Kronik DM : Mekanisme terjadinya, Diagnosis dan pengolahannya

KOMPLIKASI KRONIS DIABETES MELITUS


PENDAHULUAN

Dari berbagai penelitian epidemiologis sudah jelas terbukti bahwa insidensi diabetes melitus (DM) meningkat menyeluruh di semua tempat di bumi kita ini. Penelitian epidemiologis yang dikerjakan di Indonesia dan terutama di Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesia juga jelas menunjukkan kecenderungan serupa. Peningkatan insidensi diabetes melitus yang eksponesial ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus.

Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah. Retinopati merupakan sebab kebutaan yang paling mencolok pada penyandang diabetes melitus. Penyandang diabetes melitus semakin banyak memenuhi ruang dialisis dibanding dengan beberapa dekade sebelumnya. Demikian pula halnya dengan penyakit jantung koroner. Tentu saja pengaruh terhadap kesehatan masyarakat terutama jika ditinjau dari sudut biaya yang perlu dikeluarkan untuk mengelola komplikasi konik tersebut akan sangat membengkak. Berbagai penelitian baik di negara maju maupun negara berkembang seperti di Republik Rakyat Cina jelas menunjukkan peningkatan biaya yang harus dikeluarkan jika komplikasi kronik diabetes sudah terjadi.
 Video medis Komplikasi Diabetes & Asosiasi
Mengelola penyandang diabetes merupakan tugas yang akan menjadi semakin penting pada pelayanan kesehatan saat ini. Pengelolaan diabetes melitus akan banyak dilaksanakan pada tingkat pelayanan kesehatan primer sebagai mini klinik diabetes. Demikian pula berbagai rumah sakit dengan sarana pengelolaan yang lebih canggih akan disibukkan dengan rujukan untuk kasus yang lebih kompleks. Baik apabila para penyandang diabetes melitus tersebut di kelola pada tingkat pelayanan kesehatan primer maupun kemudian di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap peralatannya, jelas tidak diragukan lagi perlunya identifikasi dini orang yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi dan kemudian perlunya ditegakkan diagnosis dini komplikasi kronik DM. Semua hal tersebut diharapkan akan dapat mengurangi beban biaya yang harus dipikirkan masyarakat dibandingkan dengan mengelola komplikasi yang sudah terjadi.

Walaupun jelas akan terjadinya beban komplikasi konik DM yang semakin menggunung di depan kita, saat ini agaknya nasib para penyandang DM mungkin akan lebih cerah. Dari berbagai penelitian berskala besar sudah dapat dibuktikan bahwa dengan cara pengelolaan yang modern, disertai dengan pemantauan yang juga lebih baik akan dapat dicapai pengendalian keadaan metabolik yang lebih baik lagi. Demikian pula halnya dengan pengaruh yang jelas nyata dan baik dari pendidikan dan penluiuhan, semuanya bersama secara bermakna akan dapat mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM, setidaknya mengurangi laju perburukan komplikasi DM yang sudah terjadi.

Mengingat adanya berbagai kemajuan dalam bidang ilmu biologi kedokteran dan juga teknologi informasi, para klinisi dan para peneliti ditantang untuk selalu menambah khasanah pengetahuannya dan menerapkan apa yang diketahuinya sedemikian rupa sehingga bermanfaat untuk efisiensi dan keberhasilan pengelolaan kesehatan terutama untuk penyandang diabetes. Diabetes memberikan pengaruh terhadap terjadinya komplikasi kronik melalui adanya perubahan pada sistem vaskular. Pada penyandang diabetes melitus terjadi berbagai macam perubahan biologis vaskular dan perubahan-perubahan tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya baik mengenai mekanisme terjadinya, metoda deteksi dini maupun strategi pengelolaannya menjadi penting untuk dimengerti dan diketahui.

MEKANISME TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK DIABETES MELITUS

Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (terganggunya sirkulasi darah karena pembuluh darahnya terhambat). Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Kelainan dasar tersebut sudah dibuktikan terjadi pada para penyandang diabetes melitus maupun juga pada berbagai binatang percobaan. Perubahan dasar/disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes.

Pada retinopati diabetik proliferatif, didapatkan hilangnya sel perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma (pembengkakan yang menyerupai balon kecil karena pembesaran pada pembuluh darah kapiler yang memasok darah ke retina mata). Di samping itu juga terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan meyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Sel retina kemudian merespons dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothelial Growth Factor: VEGF dan selanjutnya memacu terjadinya neovaskularisasi pembuluh darah atau pembentukan pembuluh darah baru.

Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya glomerulosklerosis (pengerasan glomerulus di ginjal, yaitu pengerasan pembuluh darah pada glumerolus).

Terjadinya plak aterosklerosis pada daerah subintimal pembuluh darah yang kemudian berlanjut pada terbentuknya penyumbatan pembuluh darah dan kemudian sindrom koroner akut semuanya sudah dibicarakan dengan lebih rinci pada berbagai kesempatan lain. BACA DISINI

Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi terjadinya imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua rnacam sel tersebut juga berespons terhadap berbagai susbtansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin II. Di pihak lain adanya hiperirsulinemia seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pun juga pemberian insulin eksogen temyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun faktor metabolik berperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskular diabetes.

Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik diabetes (jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari tingkungan sekitar ke dalam sel tanpa harus memerlukan insulin (insulin independent), agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut dipakai untuk energi di.otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadinya down regulation dari sistem transportasi glukosa yang non-insulin dependen ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia.

Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kernudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi lanjut inhaselular.

Jalur Reduktase Aldosa
  • Pada jalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa, dengan adanya coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida teroksidasi (NAD*), sorbitol akan dioksidasi menjadi fruktosa. Sorbitol dan fruktosa keduanya tidak terfosforilasasi, tetapi bersifat sangat hidrofrlik, sehingga lamban penetrasinya melalui membran lipid bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol intraselular, dan sel akan kembang, bengkak akibat masuknya air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai akibat lain keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans metabolit yang secara keseluruhan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel terkait. 
  • Aktivasi jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya turn over NADPH, diikuti dengan menurunnya rasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP*. Rasio sitosol NADPH terhadap NADP+ ini sangat penting dan kritikal untuk fungsi pembuluh darah. Menurunnya rasio NADPH sitosol terhadap NADP* ini dikenal sebagai keadaan pseudohipoksia. Hal lain yang penting pula adalah bahwa sitosolik NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defens antioksidans. Glutation reduktase juga me-merlukan sitosolik NADPH untuk menetralisasikan berbagai oksidans intraselular. Menurunnya rasio NADPH terhadap NADP+ dengan demikian menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang lebih besar. Terjadinya hipergliksolia melalui jalur sorbitol ini juga memberikan pengaruh pada beberapa jalur metabolik lain seperti terjadinya glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi protein kinase C.
Jalur Pembentukan Produk Akhir Glikasi Lanjut
  • Proses glikasi protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ekstraselular. Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stres oksidatif yang meningkat akibat berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan dan perubahan pada sifat sel melalui terjadinya cross linking protein yang terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan fungsi sel secara langsung, dapat juga secara tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya sendiri.
  • Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh reseptor AGE (RAGE : Receptor for Advanced Glycation End Product) mungkin merupakan hal yang pcnting untuk kemudian terjadinya komplikasi konik diabetes. Segera setelah perikatan antara RAGE dan ligandnya, akan terjadi aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK) dan transformasi inti dari faktor traskripsi NF-kB, sehingga terjadi perubahan transkripsi gen target terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan.
Jalur Protein Kinase
  • Hiperglikemia intraselular (hiperglisolia) akan menyebabkan meningkatnya diasilgliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya peningkatan protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut kemudian akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivitas melalui keadaan meningkatnya endotelin I dan menurunnya e-NOS. Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti TGF Beta dan VEGF. Protein kinase C juga akan berpengaruh menurunkan aktivitas fibrinolisis. Semua keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada proses angiopati diabetik.
Jalur Stres Oksidatif
  • Stres oksidatif terjadi jika ada peningkatan pembentukan radikal bebas dan menurunnya sistem penetralan dan pembuangan radikal bebas tersebut. Adanya peningkatan stres oksidatif pada penyandang diabetes akan menyebabkan terjadinya proses autooksidasi glukosa dan berbagai substrat lain seperti asam amino dan lipid. Peningkatan stres oksidatif juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang kemudian berlanjut dengan meningkatnya produk glikasi lanjut. Peningkatan stres oksidatif pada gilirannya akan menyebabkan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan terjadinya peroksidasi membran lipid, aktivasi faktor transkripsi (NF-KB), peningkatan oksidasi LDL dan kemudian juga pembentukan produk glikasi lanjut.
  • Memang didapatkan saling pengaruh antara produk glikasi lanjut dan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spesies = ROS). Produk glikasi lanjut akan memfasilitasi pembentukan spesies oksigen reaktif, sebaliknya spesies oksigen reaktif akan memfasilitasi pembentukan produk glikasi lanjut. Spesies okigen reaktif akan merusak lipid dan protein melalui proses oksidasi, cross linking dan fragmentasi yang kemudian memfasilitasi meningkatnya produksi AGE. Sebaliknya produksi AGE juga akan memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan struktural dan perubahan fungsi protein (pembuluh darah, membran sel dsb) 
  • Seperti telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah berbagai jalur biokimiawi yang mungkin berperan pada pembentukan komplikasi konik DM melibatkan berbagai proses patobiologik seperti proses inflamasi, prokoagulasi dan sistem renin angiotensin. PPAR ((peroxisome proliferators activated receptor) juga dikatakan mungkin terlibat pada proses patobiologik terjadinya komplikasi kronik DM.
lnflamasi
  • Dari pembicaraan di atas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar mungkin berperan dalam terbentuknya komplikasi kronik DM yaitu antara lain aktivasi jalur reduktase aldosa, stres oksidatil terbentuknya produk akhir glikasi lanjut atau prekursornya serta aktivasi PKC, yang semuanya itu akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, mengganggu dan mengubah sifat berbagai protein penting dan kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta faktor pertumbuhan seperti TGF- B dan VEGF. Berbagai macam sitokin seperti molekul adhesi (ICAM, VICAM, E-selectin, P-selectin dsb.) dengan jelas sudah terbukti meningkat jumlahnya pada penyandang DM. Prototipe petanda adanya proses inflamasi yaitu CRP dan NF-kB pada penyandang DM juga jelas meningkat seiring dengan meningkatnya kadar A1c. Jelas bahwa proses inflamasi penting pada terjadinya komplikasi kronik DM.
Peptida Vasoaktif
  • Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh darah, dan disangka mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin merupakan peptida pengatur yang terutama mengatur kadar glukosa darah. Insulin juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada kadar yang biasa didapatkan pada penyandang DM dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi sel seperti sel otot polos pembuluh darah. lnsulin juga mempunyai pengaruh lain yaitu sebagai hormon vasoaktif. Insulin secara fisiologis melalui NO dari endotel, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Pengaruh ini bergantung pada banyaknya insulin dalam darah (dose dependent). Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan menurun
  • Peptida vasoaklif yang lain adalah angiotensin II, yang dikenal berperan pada patogenesis terjadinya pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskular dan jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin II dapat terjadi melalui 2 macam reseptor yaitu reseptor AT1 dan reseptor AT2. Sebagian besar respons fisiologis terhadap angiotensin berjalan melalui reseptor AI1. Penghambatan terhadap kerja angiotensin II memakai Ace inhibitor terbukti dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit kardiovaskular.
Prokoagulan

  • Segera setelah terjadi aktivasi PKC akan terjadi penurunan fungsi fibrinolisis dan kemudian akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan pembuluh darah. Pada penyandang DM dengan adanya hiperglikemia melalui berbagai mekanisme akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengaturan berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan menambah kemungkinan terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM. Dengan demikian jelas adanya peran faktor prokoagulasi pada kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM.
PPAR
  • Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagai jaringan vaskular dan berbagai kelainan vaskular, terutama pada sel otot polos, endotel dan monosit. Ligand terhadap PPAR alpha terbukti mempunyai efek inflamasi. Pada tikus percobaan yang tidak mempunyai PPAR alpha didapatkan respons inflamasi yang memanjang jika tikus tersebut distimulasi dengan berbagai stimulus. Pada sel otot polos pembuluh darah, asam fibrat, (suatu ligand PPAR) terbukti dapat menghambat signal proinflamatori akibat rangsangan sitokin dari NF-kB dan AP1. Dari beberapa kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPAR terkait juga dengan terjadinya komplikasi konik DM.

Setelah melihat berbagai kemungkinan jalur mekanisme terjadinya komplikasi kronik DM serta selanjutnya keterlibatan berbagai proses patobiologik lain, tampak bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian lebih lanjut progresi komplikasi vaskular diabetes adalah hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin dan substrat vasoaktif. Tampak pula bahwa apa pun jalur mekanisme yang terjadi dan proses lain yang terlibat yang terpenting adalah adanya hiperglikemia kronik dan selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia). Apakah dengan menurunkan dan memperbaiki keadaan hiperglikemia ini kemudian dapat terbukti akan menurunkan komplikasi kronik DM ?

Beberapa penelitian epidemiologis dalam skala besar dan jangka lama seperti UKPDS telah dapat membuktikan dengan sangat baik bahwa dengan memperbaiki hiperglikemia melalui berbagai cara dapat secara bermakna menurunkan komplikasi kronik DM, terutama komplikasi mikrovaskular, yang merupakan komplikasi kronik khas DM akibat hiperglikemia. Sedangkan untuk komplikasi makrovaskular walaupun jelas didapatkan penurunan tetapi penurunan tersebut tidak bermakna. Kemungkinan besar karena untuk terjadinya komplikasi makrovakular banlak sekali faktor lain selain hiperglikemia yang juga berpengaruh, seperti faktor tekanan darah dan juga faktor lipid. Pada UKPDS jelas didapatkan bahwa menurunkan tekanan darah tinggi dapat memberikan pengaruh yang nyata bermakna terhadap penurunan komplikasi makrovaskular DM. Berbagai faktor lain terkait komplikasi konik DM, termasuk merokok tentu saja harus diperhatikan dalam usaha menurunkan tingkat kejadian berbagai komplikasi kronik DM. Pada pembicaraan berikut akan dikemukakan hal-hal yang perlu dikerjakan untuk berbagai faktor terkait komplikasi DM tersebut, yaitu untuk diagnosis dini dan strategi pengelolaannya.

CARA DIAGNOSIS DINI

Mencegah jauh lebih baik dari mengobati. Ungkapan itu juga sangat tepat untuk diterapkan pada komplikasi kronik DM. Biaya yang diperlukan akan sangat membengkak sekiranya sudah terjadi komplikasi konik DM. Oleh karena itu mengenal berbagai faktor risiko terjadinya komplikasi vaskular kronik DM dan kemudian usaha menegakkan diagnosis dini menjadi sangat penting maknanya.

Retinopati
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin. Pada praktik pengeloaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan keadaan kelainan retinanya.
Ada beberapa cara untuk memeriksa retina:
  • Cara Langsung dengan memanfaatkan oftalmoskop standard
  • Oftalmoskopi Indirek dengan stillamp bio-microscope
  • Fotografi Retina (cara penjaringan yang paling dianjurkan)
Kelainan yang ada pada retina sangat bervariasi. Beberapa keadaaan memerlukan rujukan pada ahli penyakit mata.
  • Rujukan harus sesegera mungkin: retinopati proliveratif, rubeosis iridis/glaukoma neovaskular, perdarahan vitreous, retinopati lanjut
  • Rujukan sedini mungkin: Perubahan-perubahan pre-proliveratif, Makulopati, Menurunnya tajam penglihatan lebih dari 2 baris pada kartu Snellen
  • Rujukan Rutin: katarak, retinopati diabetikum proliferatif yang tidak mengancam makula/ fovea
Nefropati
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan dengan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang beberapa kali untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Beberapa keadaan dapat memberikan hasil positif palsu, seperti misalnya latihan jasmani, infeksi saluran kemih, hematuria, minum berlebihan, cara penampungan yang tidak tepat dan juga semen.

Ditemukannya mikroalbuminuria mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor risiko lain untuk terjadinya kompiikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok. Penyandang DM dengan mikroalbuminuria seyogyanya dikelola oleh dokter yang berpengalaman dan mumpuni dalam memodifikasi berbagai faktor risiko terkait terjadinya komplikasi konik DM. Penyandang DM dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kreatinin kurang dari 30 ml/menit seyogyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk menjajaki kemungkinan dan untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan ginjalnya, baik nantinya berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.

Penyakit Jantung Koroner
Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner atau pun riwayat keluarga DM yang kuat. Jika ada kecurigaan seperti misalnya ketidak- nyamanan pada daerah dada harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan parjaring yang teliti untuk mencari dan menangkap kemungkinan adanya penyakit pembuluh darah koroner, paling sedikit dengan pemeriksaan EKG saat istirahat, kemudian dilanjutkan dangan pemeriksaan EKG dengan beban, serta sarana konfirmasi diagnosis lain untuk deteksi dini CAD (cardiovascular desease). Pada penyandang DM, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada penyandang DM.

Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, dll.), neuropati dan adanya penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang harus selalu dicari dan diperhatikan pada praktik pengelolaan DM sehari-hari. Penyuluhan pada para penyandang DM mengenai diabetes melitus pada umumnya serta perawatan kaki pada khususnya harus digalakkan. Memberdayakan penyandang diabetes agar dapat mandiri mencegah dan mengelola berbagai hal sederhana terkait terbentuknya ulkus kaki diabetes maupun berbagai komplikasi kronik DM lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilewatkan begitu saja. Penggunaan monofilamen SemmesWeinstein yang sangat mudah dan sangat sederhana perlu digalakkan untuk mendeteksi insensitivitas pada kaki yang potensial rentan untuk menyebabkan terjadinya masalah kaki diabetes dan ulkus diabetes.

Demikian juga pengukuran rutin indeks ankle-brachial merupakan hal yang harus dilakukan pada setiap pengunjung poliKlnik DM. Pendekatan multidisipliner dengan mengaktifkan tim multidisiplin pengelola kaki sangat penting dikembangkan di setiap sarana pengelola DM. Setiap penyandang DM seyogyanya mendapatkan pencerahan dan kemudahan untuk mendapat layanan tim multidisipliner tersebut. Pemeriksaan kaki lengkap berkala setiap tahun merupakan hal yang perlu dikerjakan untuk mencegah terjadinya kaki diabetes/ulkus-gangren diabetes yang merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti para penyandang DM maupun para pengelola DM.

STRATEGI PENGELOLAAN BERBAGAI KOMPLIKASI KRONIK DM

Dengan mengetahui berbagai faktor risiko terkait terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus secara umum maupun faktor risiko khusus kompikasi kronik diabetes melitus yang tertentu seperti mikroalbuminuria untuk nefropati atau pun deformitas kaki untuk penyakit pembuluh darah perifer, kemudian dapat segera dilakukan berbagai usaha umum untuk pencegahan kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus.

Pengendalian Kadar Glukosa
  • Saat ini pilar utama pengelolaan DM meliputi penyuluhan, pengaturan makan, kegiatan jasmani dan pemakaian obat hipoglikemia oral maupun insulin, baik sendiri maupun dengan cara kombinasi berbagai obat hipoglikemia. Usaha menggabungkan berbagai sarana pengelolaan tersebut sudah terbukti dapat dengan bermakna menurunkan insidensi komplikasi kronik DM, seperti yang sudah dibuktikan pada studi UKPDS, dan studi Kumamoto pada DM tipe 2 serta studi DCCT pada penyandang DM tipe l. Banyak sekali ditemui berbagai algoritma dan petunjuk praktis pengelolaan DM, termasuk yang diajukan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia pada tahun 2002. Mengenai sasaran pengelolaan kadar glukosa darah untuk dapat menghasilkan pencegahan komplikasi kronik yang maksimal juga banyak didapatkan pada berbagai buku dan sumber/ bacaan lain.
Tekanan Darah
  • Untuk mendapatkan tekanan darah yang sebaik-baiknya guna mencegah komplikasi konik DM, sudah banyak buku petunjuk dan algoritma yang dikemukakan, juga oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Obat penghambat sistem renin angiotensin (Inhibitor ACE, ARB atau pun kombinasi keduanya) dapat dipergunakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya dan kemungkinan semakin bertambah beratnya mikroalbuminuria. Cara menurunkan tekanan darah dan sasaran tekanan darah yang harus dicapai pada penyandang DM juga sudah dibicarakan dengan lebih rinci pada bagian lain buku ini.
Pengendalian Lipid
  • Mengenai pengelolaan lipid pada penyandang diabetes melitus juga sudah dibicarakan secara ekstensif. Pada pengelolaan dislipidemia, DM dianggap sebagai faktor risiko yang setara dengan penyakit jantung koroner, sehingga adanya DM pada dislipidemia harus dikelola secara lebih agresif dan sasaran pengelolaan lipid untuk penyandang DM seyogyanya lebih rendah daripada orang yang normal, non-DM, yaitu kadar kolesterol LDL kurang dari 100 mg/dL. Dianjurkan unhrk menurunkan kadar kolesterol LDL sampai 70 mg/dl, pada pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner yang disertai DM atau dengan berbagai komponen sindrom metabolik lain seperti kadar kolesterol HDL yang rendah, dan kadar trigliserida yang tinggi. Demikian juga dengan adanya faktor risiko lain yang kuat, seperti misalnya pada perokok berat.
Faktor Lain
  • Pola Hidup Sehat : 
    • Pengubahan pola hidup ke arah pola hidup yang lebih sehat merupakan dasar penting utama usaha pencegahan dan pengelolaan komplikasi kronik DM. Pola hidup sehat harus selalu diterapkan dan dibudayakan sepanjang hidup. Walaupun belum ada bukti yang meyakinkan, merokok dikatakan dapat mempercepat timbulnya mikroalbuminuria dan kemudian perkembangan lebih lanjut ke arah makroproteinuria. Merokok juga sudah dengan sangat jelas berperan penting pada terjadinya kelainan makrovaskular pada penyandang DM. Oleh karena itu berhenti merokok merupakan satu anjuran yang harus digalakkan bagi semua penyandang DM dalam rangka pencegahan terjadinya komplikasi konik DM secara umum.
  • Perencanaan Makan : 
    • Perencanaan makan yang sesuai dengan anjuran pelaksanaan pola hidup meliputi anjuran mengenai jumlah masukan kalori secara keseluruhan maupun persentase masing komponen diet baik makronutrien maupun mikronutriennya yang tercakup secara keseluruhan dalam anjuran gizi seimbang bagi penyandang DM. 
    • Walaupun hubungan antara masukan protein tinggi dengan risiko terjadinya mikroalbuminuria maupun perburukan lebih lanjut mikroalbumiuria belum secara konklusif terbuktl pada metanalisis sudah dapat ditunjukkan bahwa paling sedikit pada penyandang DM tipe I yang disertai nefropati, restriksi masukan protein terbukti dapat memperlambat perburukan laju filtrasi glomerular. Saat ini dianjurkan untuk memberikan masukan protein sebanyak 0,8 g /kg berat badan idaman bagi penyandang DM dengan nefropati.  Dianjurkan untuk memberikan protein dengan nilai biologis yang tinggi. 
    • Sebagai pencegahan primer terjadinya komplikasi kronik DM, Aspi-rin sebanyak 75-162 mg terbukti bermanfaat dan dianjurkan pada semua penyandang DM di atas umur 40 tahun yang mempunyai risiko tambahan untuk terjadinya komplikasi seperti riwayat keluarga yang kuat, adanya hipertensi, dislipemia, merokok dan mikroalbuniuria. Alfa tokoferol, asam alfa lipoik, dan asam askorbat merupakan zat yang dikatakan dapat mengurangi efek negatif stres oksidatif dan inflamasi pada penyandang DM.

CARA KHUSUS PENCEGAHAN DAN PENGELOLAAN BERBAGAI KOMPLIKASI KRONIK DM

Di samping usaha pencegahan primer komplikasi kronik DM secara umum seperti yang sudah dikemukakan di atas, berbagai usaha khusus dapat dikerjakan untuk masing-masing komplikasi kronik DM, baik berupa pencegahan primer komplikasi kronik maupun usaha memperlambat progresi komplikasi kronik yang sudah terjadi.
Retinopati
  • Pengobatan koagulasi dengan sinar laser terbukti dapat bermanfaat mencegah perburukan retina lebih lanjut yang kemudian mungkin akan mengancam mata. Fotokoagulasi dapat dikerjakan secara pan-retinal. Tindakan lain yang mungkin dilakukan adalah vitrektomi dengan berbagai macam cara. Demikian pula tindakan operatif lain seperti perbaikan ablasio retinanya dapat dilakukan untuk menolong mencegah perburukan fungsi mata.
Nefropati
  • Setelah berbagai cara pencegahan konservatif tidak berhasil menghambat laju perburukan filtrasi glomerular, dan kemudian sudah mencapai tahap gagal ginjal-penyakit ginjal tahap terminal, dapat dilakukan pengelolaan pengganti untuk membantu fungsi ginjal baik berupa hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Di samping kedua modalitas tersebut di atas, transplantasi ginjal merupakan pilihan lain terapi pengganti fungsi ginjal yang dapat dilakukan pada penyandang DM dengan gagal ginjal.
Penyakit Pembuluh Darah Koroner
  • Pengelolaan konservatif untuk penyakit pembuluh darah koroner dapat diberikan kepada penyandang DM. Berbagai obat tersedia untuk keperluan ini. Saat ini banyak cara baik semi-invasif maupun invasif yang dapat dipakai untuk menolong penyandang DM dengan penyakit pembuluh darah koroner. Tindakan melebarkan pembuluh darah koroner secara peniupan dengan balon dan pemasangan gorong-gorong (stent) merupakan cara yang banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi pembuluh darah koroner jantung. Beberapa kasus lain memerlukan tindakan operatif bedah pintas koroner untuk memperbaiki fungsi jantungnya.
Penyakit Pembuluh Darah Perifer
  • Usaha mencegah tejadinya ulkus dan gangren kaki diabetik sering gagal dan penyandang DM jatuh ke keadaan terjadinya ulkus bahkan kemudian disertai gangren yang dapat merenggut nyawa. Usaha untuk menyelamatkan kaki dengan mengoptimalisasikan pengelolaan kaki menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Pada pengelolaan ulkus/gangren kaki diabetik harus selalu diperhatikan bahwa berbagai aspek pengelolaan harus dicermati dengan baik kendali metabolik, kendali infeksi, kendali vaskular, keharusan untuk mengistirahatkan kaki untuk tidak mendapat beban, penyuluhan agar penyandang DM dengan ulkus dan gangren DM dapat bekerja sama mencapai tujuan untuk menyelamatkan kaki, semua harus dikerjakan secara menyeluruh. Pendekatan pengelolaan dengan memanfaatkan kerja sama tim akan sangat membantu tercapainya keberhasilan usaha penyelamatan kaki diabetes ini.
Neuropati
  • Adanya keluhan dan kemudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik mengharuskan kita untuk berusaha mengendalikan kadar glukosa darah sebaik mungkin. Pengelolaan keluhan neuropati umumnya bersifat simtomatik, dan sering pula hasilnya kurang memuaskan. Pada keadaan neuropati perifer yang disertai rasa sakit, berbagai usaha untuk pencegahan dan pengelolaan DM serta berbagai faktor risikonya harus juga dikerjakan. 
  • Berbagai obat simtomatik untuk nyerinya dapat pula diberikan, namun umumnya tidak banyak menjanjikan hasil yang baik. Saat ini didapatkan berbagai sarana yang dapat diberikan untuk mengatasi keluhan rasa nyeri yang hebat pada penyandang neuropati DM dengan nyeri ini. Berbagai obat untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan, Demikian pula obat berupa obat gosok seperti krim Capsaicin (Capzacin) dapat dipakai pada penyandang DM dengan neuropati yang menyakitkan. Dengan adanya pengetahuan baru mengenai terjadinya komplikasi kronik DM, dan berbagai cara baru untuk mendeteksi dan kemudian mengelola komplikasi kronik DM dapat dimungkinkan keberhasilan usaha untuk mencegah, memperbaiki, atau paling sedikit mengurangi berbagai akibat komplikasi kronik DM ini. Nasib penyandang DM diharapkan akan lebih cerah.

KESIMPULAN DAN SARAN
  • Insidensi DM dan komplikasi kronik akibat DM meningkat dengan pesat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia
  • Mekanisme terjadinya komplikasi kronik DM sangat kompleks, mencakup beberapa jalur mekanisme biokimiawi dan beberapa proses patobiologik
  • Deteksi dini berbagai komplikasi kronik DM seyogyanya merupakan bagian rutin praktik pengelolaan DM sehari-hari
  • Usaha pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM seyogyanya dilakukan dengan cermat dan sedini mungkin,yaitu dengan melakukan pengelolaan DM sedemikian rupa sehingga tercapai sasaran pengendalian metabolik DM secara komprehensif dan holistik (mencakup bukan hanya mengenai kadar glukosa darah, tetapi juga mengenai tekanan darah, lipid, kegemukan dan mencegah merokok serta berbagai faktor risiko terjadinya komplikasi DM yang lain)
  • Kemungkian terjadinya komplikasi kronik DM harus diantisipasi sedini mungkin dengan usaha deteksi dini, dan kemudian komplikasi yang sudah timbul segera dikelola sebaik-baiknya dengan memanfaatkan berbagai sarana dan cara yang mungkin dilakukan baik cara yang non invasif maupun kemudian juga berbagai cara yang invasif .