Malaria berat : gejala klinis, pengobatan dan proses terjadinya

MALARIA BERAT

PENDAHULUAN

Malaria masih merupakan masalah kesehatan utama terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia, karena diseluruh dunia penyakit ini merengut sekitar 1 juta nyawa pertahunnya. Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, yang disebabkan oleh infeksi protozoa genus plasmodium. Di Indonesia angka mortalitas dibeberapa daerah masih cukup tinggi sekitar 20,9 – 50 %.

Terdapat 4 jenis spesies parasit yang berbeda, yaitu Plasmodium falsiparum, P.Vivax, P. Ovale dan P. Malariae. Malaria Tropika yang disebabkan oleh P. falsiparum, merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Plasmodium falsiparum sering dapat menyebabkan malaria berat. Sebagian besar kematian disebabkan komplikasi malaria berat yang umumnya disebabkan infeksi oleh spesies plasmodium falsiparum. Oleh sebab itu kita perlu mengenal gejala dan tanda malaria berat dengan baik, supaya dapat mendiagnosis dengan cepat dan mengobati secara dini dan adekuat, yang merupakan upaya penting untuk menurunkan angka malaria berat yang masih tinggi.

Orang yang berisiko kematian terkena malaria berat adalah pada daerah endemis stabil (intensitas infeksi malaria tinggi terus menerus terjadi sepanjang tahun , bukan musiman) malaria berat umumnya diderita anak-anak usia beberapa bulan sampai kurang dari 5 tahun, jarang pada anak usia lebih besar dan pada orang dewasa. Pada penduduk daerah dengan endemisitas rendah malaria berat dapat terjadi pada semua umur baik anak maupun dewasa. Kaum transmigran, pekerja asing/migrant, dan pelancong non-imun sangat berisiko mengalami malaria berat bila terinfeksi.

Berdasarkan kriteria WHO yang disebut dengan malaria berat adalah ditemukan plasmodium falsiparum aseksual disertai dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :
  1. Malaria serebral : koma yang tidak dapat dibangunkan (unrousable coma) dengan Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 11/15 atau 9/11 (3 respons mata, 5 respons motorik, 3 respons bicara), koma yang menetap lebih dari 30 menit setelah kejang ; yang tidak disebabkan oleh penyakit lain.
  2. Malaria dengan gagal ginjal akut : urin kurang dari 400 ml/24 jam atau kurang dari 12 ml/Kg BB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, dengan kreatinin lebih besar dari 3 mg% )
  3. Malaria dengan anemia : Hb kurang dari 5 gr% atau hematokrit kurang dari 15 % dengan hitung parasit lebih dari 10.000/uL.
  4. Malaria dengan hipoglikemia : kadar gula darah kurang dari 40 mg/dl
  5. Malaria dengan edema paru /acute respiratory distress syndrome (ARDS)
  6. Malaria algid : gagal sirkulasi atau syok yaitu tekanan darah sistolik kurang dari 70 mmHg (anak umur 1-5 tahun kurang dari 50 mmHg); disertai dengan keringat dingin, atau perbedaan temperature kulit –mukosa lebih besar dari 10C
  7. Malaria dengan hiperparasitemia : hitung parasit lebih dari 5% pada daerah hipoendemik atau daerah endemis tak stabil.
  8. Malaria dengan perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna (hematemesis/melena), dan/atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler diseminata .
  9. Malaria dengan ikterik (bilirubin lebih besar dari 3 mg%)
  10. Malaria dengan hemoglobinuria makroskopik /black water fever oleh karena infeksi malaria akut, bukan karena hemolisis akibat pemakaian obat antimalaria pada defisiensi G-6-PD.
  11. Malaria dengan asidosis metabolik ( pH darah < 7,25 atau bikarbonat plasma kurang dari 15 mmol/L )
  12. Malaria dengan kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam setelah pendinginan pada hipertermia.
  13. Malaria dengan hiperpireksia (temperature rectal lebih besar dari 40 derajat Celcius pada dewasa/anak)
  14. Malaria dengan gangguan kesadaran ringan (GCS kurang dari 15 ), di Indonesia sering dalam keadaan delirium dan somnolen.
  15. Kelemahan otot (tak bias duduk/berjalan ) tanpa kelainan neurologik
  16. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler jaringan otak.

ETIOLOGI ATAU PENYEBAB

Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptile dan mamalia. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit. Vektor atau hewan yang menularkan parasit plasmodium adalah nyamuk anapheles sp. tepatnya nyamuk anaopeles yang betina, sedangkan anopheles yang jantan tidak menularkan plasmodium karena nyamuk anapeles yang jantan tidak mengisap darah, melainkan makanannya berupa buah-buahan ataupun mengisap darah hewan. Selain dari gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara langsung melalui transfuse darah atau jarum suntik yang tercemar ataupun dari ibu hamil kepada bayinya.

Malaria Berat biasanya disebabkan oleh Plasmodium Falsiparum, jarang disebabkan oleh Plasmodium Vivax. Plasmodium falciparum, penyebab penyakit malaria tropika atau falcifarum, parasit ini paling berbahaya, karena malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh

PATOGENESIS ATAU PERALANAN PENYAKIT MALARIA BERAT

Pemahaman patogenesis malaria berat telah berkembang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir, meskipun demikian belum seluruhnya diketahui jelas dan masih banyak hal yang menjadi bahan perdebatan di antara para ahli. Sebagian besar penelitian patogenesa malaria berat dilakukan pada binatang percobaan, sedang pada manusia sering dilakukan terhadap kelompok-kelompok rentan terutama anak-anak dan orang dewasa dengan imunitas rendah. Malaria berat terjadi pada sekitar 1 – 2 % kasus malaria. Sebagian besar penelitian tentang malaria berat mengambil model malaria serebral. Titik perhatian dalam patogenesis malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit yang berisi parasit dalam mikrovaskular organ vital. Faktor lain seperti induksi sitokin oleh toksin parasit dan produksi nitrit oksida diduga mempunyai peranan penting dalam patogenesis malaria berat

PATOGENESIS UMUM MALARIA BERAT

Gambaran klinis seseorang yang terinfeksi malaria apakah akan menderita malaria berat atau malaria ringan tanpa komplikasi bahkan infeksi asimptomatik ditemukan oleh berbagai faktor meliputi faktor parasit, faktor inang (host), dan faktor sosial dan demografi (Bagan 1.)

Dikutip : Miller LH, Baruch DI, Marsh K, Doumbo OK. The pathogenic basis of malaria. Nature 2002, 415 : 673

Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopeles betina menggigit manusia, akan masuk kedalam sel hati dan terjadi skizogoni ektsra eritrosit. Skizon hati yang matang akan pecah dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra eritrosit, menyebabkan eritrosit mengalami perubahan seperti pembentukan knob, sitoadherens, sekuestrasi dan rosseting
Secara umum patogenesis malaria berat melibatkan 3 aspek utama yaitu
  1. Sitoadheren eritrosit terinfeksi parasit pada endotel vaskuler, yang menyebabkan sekuesterisasi parasit di mikrosirkulasi terutama di venula postkapiler dan kapiler, dapat menimbulkan obstruksi dan iskemik di mikrosirkulasi. 
  2. Kerusakan sel akibat respons imun dan sitokin yang berlebihan, yang dapat menimbulkan hipoksia sel.
  3. Destruksi eritrosit baik yang terinfeksi parasit maupun yang tidak terinfeksi.
Sitoadheren yaitu ikatan antara eritrosit terinfeksi parasit dengan endotel vaskuler, terjadi karena pada eritrosit terinfeksi parasit akan timbul tonjolan-tonjolan pada permukaannya yang disebut Knob. Pada tonjolan tersebut terdapat berbagai protein seperti HRP-1, PfEMP-1, PfEMP-2 ( MESA ). Protein PfEMP-1 pada knob dan / atau pfalhesin / sekuesterin akan berikatan dengan molekul adhesi pada endotel pembuluh darah yaitu CD 36, ICAM-1, ELAM-1 ( E-selektin ), VCAM-1, trombospondin, kondroitin sulfat (CSA) . Selain itu eritrosit terinfeksi parasit melalui protein rosetin, HSP-1 atau PfEMP-1 juga dapat saling berikatan dengan protein complement receptor 1 (CR1), CD 36, atau glikoprotein golongan darah A pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi parasit untuk membentuk roset, prosesnya disebut roseting. Rosetting adalah perlekatan antara satu buah Eritrosit Parasit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Rosetting berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular.

Proses sitoadherens dan mungkin roseting akan menyebabkan sekuesterisasi parasit di jaringan perifer, dan dapat menyumbat aliran darah di pembuluh darah kapiler, menimbulkan gangguan mikrosirkulasi hingga dapat menyebabkan hipoksia dan iskemik sel, dengan akibat akhir adalah kerusakan sel dan gangguan fungsi organ.

Sekuesterisasi juga terjadi pada pasien malaria tanpa komplikasi, walau sering dalam jumlah yang lebih sedikit. Faktor apa yang menyebabkan perubahan dari malaria ringan menjadi malaria berat masih belum diketahui. Diduga kemampuan parasit untuk mengekspresikan molekul tertentu guna membuat ikatan dengan molekul adhesi tertentu, dapat menimbulkan pola sekuesterisasi khusus yang mungkin berdampak patologis. Contoh pada malaria dengan kehamilan, ditemukan PfEMP-1 yang hanya dapat berikatan dengan CSA saja, tidak dapat berikatan dengan CD 36 yang merupakan reseptor utama sitoadheren pada umumnya. Selain itu banyak ahli menduga parasit yang mampu secara serentak (simultan) berikatan dengan berbagai reseptor/molekul adhesi , mungkin dapat menyebabkan malaria berat. Demam dapat meningkatkan sekuesterisasi, karena suhu yang tinggi dapat meningkatkan pergerakan EMP-1 menuju permukaan eritrosit, hingga dapat meningkatkan sitoadheren.



Pada aspek kedua eritrosit terinfeksi parasit yang pecah sewaktu proses skizogoni mengeluarkan berbagai toksin ( diduga GPI, hemozosin, atau mungkin antigen parasit lain seperti MSP-1, MSP-2, RAP-1 ). Toksin tersebut akan merangsang makrofag dan limfosit T helper menghasilkan berbagai sitokin proinflamasi ( TNF-alfa, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, IFN-gama ) dalam jumlah banyak yang akan memacu ensim inducible nitric oxide synthase ( iNOS ) pada sel endotel vaskuler menghasilkan nitrit oksid ( NO ). Nitrit oksid dalam jumlah banyak diduga akan mengganggu fungsi sel dan fungsi organ. Kadar sitokin proinflamasi akan meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada endothel sehingga akan meningkatkan sitoadherens dan sekuesterisasi parasit.

Sebagai tambahan penelitian Toshihiro Horii dkk. menemukan bahwa P. falsiparum dapat menghasilkan prostaglandin D2, E2, F2 alfa yang secara langsung dapat menyebabkan pireksia, penurunan kesadaran, imunosupresan, hingga mungkin ikut berperan menimbulkan gejala malaria berat. Penelitian ini adalah bukti pertama bahwa parasit dapat menghasilkan suatu molekul yang secara langsung merugikan inang ( host ), namun hal ini masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut.

Kerangka dasar model patogenesis malaria berat adalah sekuesterasi merupakan peristiwa pertama, disusul dengan ruptur skizont dan pelepasan sitokin, selanjutnya toksin memacu pelepasan sitokin, sitokin memacu peningkatan molekul adhesi yang akan memacu lebih banyak lagi sekuesterisasi. Faktor penyerta penting adalah pelepasan NO dan radikal bebas lain akibat rangsangan sitokin dan toksin parasit, yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan disfungsi organ

Peranan Sitokin
  • Kadar TNF-alfa di daerah perifer meningkat secara nyata pada penderita malaria terutama malaria berat. Kadar IFN-gamma, IL-1, IL-6, LT dan IL-3 juga meningkat pada malaria berat. Sitokin-sitokin ini saling berinteraksi dan menghasilkan efek patologi Sitokin yang terutama dihasilkan oleh makrofag merupakan respons imun non-spesifik yang ditujukan untuk menghambat pertumbuhan parasit secara tak langsung dengan mengaktifkan leukosit untuk menghasilkan radikal bebas yang akan mematikan parasit. 
  • Di samping itu sitokin berfungsi mengaktifkan sel-sel imun lainnya seperti makrofag, limfosit T dan B, sel NK untuk berproliferasi dan menghasilkan lebih banyak mediator guna bekerjasama mengatasi infeksi. Dilain pihak sitokin mempunyai efek biologis seperti hipoglikemia, menimbulkan pireksia, dan memicu reaksi radang, dan dalam kadar tinggi / berlebihan dapat merusak sel terutama endotel, bahkan dapat menguntungkan pertumbuhan parasit karena meningkatkan sitoadherens ( melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi pada endotel ). Di sini terlihat peran ganda sitokin seperti “pedang bermata dua”, dimana pada kadar yang tepat bersifat protektif namun pada kadar yang berlebihan justru berefek patologis
  • Berdasarkan jenis sitokin yang dihasilkannya, limfosit T helper dibagi menjadi Th-1 yang menghasilkan sitokin proinflamasi TNF-alfa dan beta, INF-gama, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, berfungsi mengaktifkan imunitas seluler dan non-spesifik ; serta Th-2 yang menghasilkan sitokin antiinflamasi IL-4, IL-10, mengaktifkan imunitas humoral. Terdapat pengaturan silang dan bersifat antagonis antara sitokin Th-1 dan Th-2 tersebut, dimana IL-10 akan menghambat TNF serta IFN dan sebaliknya. 
  • Timbulnya komplikasi malaria berat ditentukan oleh keseimbangan antara kadar sitokin proinflamasi dan antiinflamasi tersebut berupa rasio IL-10 rendah. Penelitian May dkk menemukan bahwa rasio IL-10 : TNF-alfa kurang dari 1 beresiko mengalami malaria serebral dan anemia berat, sebaliknya rasio lebih dari 1 sering ditemukan pada pasien hiperparasitemia. Hal ini menyokong pendapat peran ganda sitokin terutama TNF dimana kadar tinggi berefek patologis, namun pada kadar rendah efek antiparasitnya berkurang. Ketidakseimbangan ini mungkin ditentukan oleh faktor genetik ( misal individu dengan gen TNF2 cenderung menghasilkan lebih banyak TNF pada paparan dengan antigen / toksin ), dan / atau faktor parasit ( toksin / antigen tertentu yang dilepaskan parasit pada awal infeksi lebih merangsang subset Th-1 atau Th-2, dan menentukan jenis sitokin yang dihasilkan ). 
  • Penelitian pada model binatang mengerat ( masih belum jelas apakah dapat diterapkan pada manusia ) menunjukkan pada fase awal infeksi ( parasitemia primer ) sel Th-1 lebih aktif dengan sitokin dominan IFN-gama, sedangkan pada tahap lanjut infeksi sel Th-2 leibh aktif dengan peningkatan kadar IL-4 dan IL-10 disertai penurunan kadar IFN-alfa. Sel Th-1 diperlukan untuk mengatasi parasitemia awal, sedang Th-2 untuk membersihkan sisa parasit dan mencegah rekrudesens. Hal ini mungkin menerangkan mengapa malaria berat lebih sering terjadi pada infeksi pertama individu non-imun, dikarenakan Th-1 dominan dengan kadar sitokin TNF-alfa dan IFN-gama yang tinggi.
  • Efek patologis sitokin terutama TNF tidak semata-mata ditentukan oleh kadarnya di dalam darah, karena hal ini tidak selalu menggambarkan kadar TNF yang biologis aktif. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efek patologis sitokin terutama TNF lebih ditentukan kecepatan penggantiannya ( turn-over ) dan kapasitas produksinya daripada kadar absolutnya di dalam darah. Selain itu efek patologis sitokin hanya terjadi lokal di daerah sekuesterisasi saja, sehingga memeriksa kadar sitokin di perifer atau sirkulasi bukan indikator yang baik untuk menilai kadarnya di mikrovaskuler otak. Selain itu terdapat saling tumpang tindih ( overlapping ) / kemiripan dan sinergis antara efek biologis berbagai sitokin terutama TNF, IL-1, IL-6, hingga gejala klinis berat dapat terjadi pada kadar TNF rendah / normal namun kadar IL-1 dan atau IL-6 tinggi.
  • Berhubung berbagai hasil penelitian efek TNF terhadap malaria berat pada manusia sering saling bertentangan, maka masih belum jelas apakah kadar sitokin yang tinggi merupakan penyebab malaria berat atau justru mencerminkan upaya proteksi tubuh terhadap infeksi berat (“innocent bystander”). Sebagian ahli cenderung memilih jalan tengah yaitu TNF protektif pada kadar sedang, namun pada kadar yang tinggi menjadi patogenik.
Peranan Nitrit Oksid
  • Nitrit Oksid (NO) yang merupakan produk sel endotel, makrofag dan mungkin sel imun lain, serta hepatosit, dapat dengan cepat berlangsung berdifusi masuk membran sel termasuk sawar darah-otak. Gas ini mungkin ikut berperan dalam patologi malaria berat dan dalam mekanisme perlindungan. Jadi seperti halnya dengan sitokin juga mempunyai peran ganda ; pada kadar sedang dan tepat bersifat protektif, namun pada kadar tinggi patologis. 
  • Proses pembentukan NO melalui ensim NOS yang akan mengubah asam amino arginin menjadi NO. Dikenal 3 macam ensim NOS yaitu endothelial NOS ( eNOS / NOS III ), neuronal NOS ( nNOS / NOS I ), dan iNOS ( NOS II ). Baik eNOS maupun nNOS normal terdapat pada semua sel dan menghasilkan NO basal dengan pola pulsatil dan hanya berlangsung singkat, aktifasi ensim ditentukan oleh peningkatan kadar kalsium di dalam sel yang masuk melalui saluran N-methyl-D-aspartate ( NMDA ). NO basal ini diduga berperan mengatur tonus pembuluh darah (vasodilatasi) dan berperan pada pengaturan fungsi sinaps sistim saraf. Dilain pihak iNOS umumnya tidak aktif pada keadaan normal, namun dapat diaktifkan segera oleh rangsangan sitokin proinflamasi dan hipoksia. Berbeda dengan produksi NO dari eNOs dan nNOs yang berpola “ on – off “, produksi NO dari iNOS lebih lambat namun berkesinambungan dan bertahan dalam waktu lama sehingga akan dihasilkan NO dalam jumlah banyak. Kadar NO berperan sebagai jalur umpan balik negatif bagi aktifitas eNOS dan nNOS yang menutup saluran NMDA sehingga kalsium tidak dapat masuk sel dan tidak dapat mengaktifkan eNOS dan nNOS, sebagai tambahan aktifitas iNOS tidak memerlukan ion kalsium namun diaktifkan oleh sitokin dan / atau hipoksia.
  • Diduga NO berperan penting untuk menghambat pertumbuhan parasit, dalam jumlah sedang dapat menghambat efek patologis TNF pada endotel dengan mengurangi ekspresi molekul adhesi, namun pada kadar yang tinggi justru meningkatkan ekspresi molekul adhesi sehingga meningkatkan sitoadherens dan sekuesterisasi parasit. Di samping itu kadar NO yang tinggi dapat berikatan dengan radikal bebas H2O2 ( dihasilkan oleh neutrofil dan makrofag ) membentuk peroksinitrit yang toksik bagi sel ; selain itu dapat menimbulkan vasodilatasi berlebihan yang mengakibatkan hipotensi dan gangguan perfusi jaringan, mengganggu transmisi neuron yang mungkin berperan pada patogenesis malaria berat.
  • Data terakhir hasil penelitian pada anak-anak di Afrika, dan orang dewasa di Indonesia menunjukkan kadar arginin yang rendah berkaitan dengan komplikasi malaria berat dan peningkatan mortalitas, diduga melalui penurunan kadar NO sehingga sekuesterisasi meningkat.Selain itu pada kadar arginin yang rendah akan terbentuk radikal bebas superoksid yang bila berikatan dengan NO akan terbentuk peroksinitrit yang toksik bagi sel.

FAKTOR RISIKO MALARIA BERAT

Beberapa faktor berperan menimbulkan malaria berat meliputi faktor parasit, faktor inang (host), dan faktor lingkungan.

Faktor parasit
  • Intensitas transmisi
    • Tingkat parasitemia yang terjadi selama puncak transmisi adalah 14 x lebih tinggi dibandingkan saat tingkat transmisi rendah. Rendahnya parasitemia pada saat transmisi disebabkan oleh karena adanya imunitas yang telah diperoleh saat puncak transmisi. Sedangkan tingginya parasitemia saat puncak transmisi disebabkan karena meningkatnya jumlah gigitan nyamuk infeksius.
  • Densitas parasit
    • Hubungan antara tingkat parasitemia dan mortalitas akibat malaria falsiparum pertama kali dilaporkan oleh Field dan Niven. Mortalitas meningkat pada parasitemia 100.000/μL. Tingkat parasitemia dapat digunakan untuk menilai beratnya penyakit. Meskipun demikian, pada daerah endemis malaria, parasitemia yang tinggi sering ditemukan pada individu yang asimptomatik. Dilain pihak terdapat kasus kematian akibat malaria dengan tingkat parasitemia yang rendah. Beratnya penyakit lebih ditentukan oleh jumlah parasit yang bersekuestrasi ke dalam jaringan dari pada jumlah parasit dalam sirkulasi.
  • Virulensi parasit
    • Virulensi parasit ditentukan oleh daya multiplikasi parasit, strain parasit, kemampuan melakukan sitoadherens dan rosseting.
    • Diketahui adanya strain-strain plasmodium yang lebih ganas daripada strain lainnya, misalnya strain dari Italia dikenal sering menimbulkan dampak klinis yang berat dibanding strain plasmodium yang didapat dari tempat lain. Penelitian in-vitro Chotivanich dkk menunjukkan parasit pasien malaria berat mempunyai kemampuan multiplikasi 3 kali lebih besar dibanding parasit yang didapat dari pasien malaria tanpa komplikasi, disamping itu berpotensi untuk terus menerus menginfeksi eritrosit sedangkan parasit malaria tanpa komplikasi hanya mampu menginfeksi 30 – 50 % eritrosit. Diduga strain virulen mempunyai kemampuan berbiak dan menginfeksi eritrosit yang besar, disamping itu mampu menghasilkan toksin dalam jumlah banyak atau menghasilkan toksin yang sangat kuat hingga dapat menginduksi produksi sitokin dalam jumlah banyak. Selain itu strain virulen mampu membentuk roset atau sekuesterisasi dalam jumlah besar karena mampu mengekspresikan ligand untuk sitoadheren dalam jumlah besar, juga strain dengan kemampuan melakukan variasi antigenik yang besar misal pada molekul PfEMP-1 akan dapat lolos dari penghancuran oleh sistim imun sehingga sekuesterisasi tidak dapat dihambat.
Faktor Host
  • Faktor inang yang berperan menimbulkan malaria berat meliputi umur, genetik, nutrisi, imunitas. Didaerah endemis stabil, malaria berat terutama malaria serebral umumnya diderita anak-anak umur 1 – 4 atau 5 tahun, setelah itu hanya ditemukan anemia sampai usia pubertas, sedang setelah dewasa umumnya infeksi asimptomatik. Hal ini mungkin disebabkan respons imun terhadap malaria pada anak terbentuk lebih lambat. Didaerah endemis tidak stabil malaria berat dapat ditemukan pada semua umur. Selain itu ada laporan bahwa orang dewasa non-imun lebih peka terhadap malaria berat dibanding anak-anak non-imun, tetapi orang dewasa non-imun mampu membentuk imunitas klinis dan parasitologis lebih cepat daripada anak-anak non-imun.
  • Beberapa kelainan genetik pada eritrosit atau hemoglobin dapat menghambat perkembangan malaria dan mencegah malaria berat, diantaranya adalah HB S ( sickle cell ), HB C, Hb E, thalasemia, defisiensi G6PD, ovalositosis herediter. Beberapa tipe HLA tertentu seperti HLA-Bw53, HLA-A2, HLA-B17, HLA-DRB1*1502, *0701, *1301, *1032, DQB-1202, 0501, diduga memiliki efek perlindungan terhadap malaria berat. Penelitian Dieye dkk di Senegal menemukan HLA-DR13 berkaitan dengan risiko malaria berat. Faktor genetik lain non-HLA yang juga dilaporkan memiliki efek perlindungan terhadap malaria adalah polimorfisme gen spektin, gen eritrosit-band 3, golongan darah ABO ( suatu penelitian di Gambia melaporkan bahwa malaria berat lebih sering terjadi pada pasien golongan darah A dan B dibanding golongan darah lain ), gen glikoporin A dan B, dan suatu gen yang melindungi terhadap infeksi schistosoma mansoni ( gen SM-1 yang terletak di kromosom 5q31-33 ) dilaporkan juga melindungi terhadap malaria berat. Polimorfisme gen promotor iNOS juga bersifat protektif. Dilain pihak polimorfisme gen promotor TNF-alfa( TNF2, penggantian basa nukleotida guanin dengan adenin pada posisi 308 dari mulai transkripsi ) justru membuat pasien lebih peka terhadap malaria berat.
  • Faktor nutrisi mungkin berperan menentukan kepekaan terhadap malaria berat, dilaporkan malaria berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak malnutrisi. Defisiensi besi, riboflavin, para-amino-benzoic acid (PABA) mungkin mempunyai efek protektif terhadap malaria berat, karena menghambat pertumbuhan parasit.
  • Faktor imunitas berperan penting menentukan beratnya infeksi, dibuktikan pada penduduk daerah endemis sering ditemukan parasitemia berat namun asimptomatik, sebaliknya pasien non-imun dari daerah non-endemis lebih mudah mengalami malaria berat. Terdapat laporan bahwa pasien yang terinfeksi malaria pertama kali 27 kali lebih beresiko mengalami malaria berat dibanding pasien yang terinfeksi 5 kali, juga pasien yang pernah terinfeksi seandainya terjadi malaria berat akan timbul 1-2 hari lebih lambat dibanding pasien yang baru pertama terinfeksi. Hal ini mungkin dikarenakan pada individu imun sudah terbentuk antibodi protektif yang dapat membunuh parasit atau menetralkan toksin parasit misal antibodi anti-GPI, antibodi yang membatasi sekuesterisasi parasit atau pembentukan roset, atau tubuh mampu mengekspresikan banyak molekul adhesi terlarut ( misal soluble-ICAM ) yang akan mengikat eritrosit terinfeksi di sirkulasi sehingga mencegah berikatan dengan endotel ( mencegah sekuesterisasi ), atau melepaskan sekuesterisasi yang telah terbentuk ( desekuestrasi ). Demikian pula dengan reseptor TNF terlarut ( sTNF-R ) yang akan mengikat TNF disirkulasi sebelum sempat berikatan dengan reseptor TNF di jaringan sehingga aktifitas biologisnya berkurang. Bukti lain adalah baik binatan maupun manusia yang mengalami splenektomi sangat peka terhadap malaria berat bila terinfeksi dan sering berakibat fatal, demikian pula pengobatan dengan steroid yang akan menekan sistim imun dilaporkan sering memperberat infeksi.

PATOGENESIS MALARIA BERAT PADA BEBERAPA ORGAN

Patogenesis Malaria Serebral
  • Patogenesis malaria serebral walaupun paling banyak diteliti secara mendalam, namun justru sangat membingungkan. Dikenal berbagai hipotesis seperti The “ sludging “ hypothesis dimana malaria serebral terjadi karena sumbatan mikrosirkulasi serebral oleh eritrosit terinfeksi parasit dan toksin yang dihasilkan parasit. 
  • Hipotesis permeabilitas menunjukkan bahwa edema serebri yang sering ditemukan pada otopsi disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler akibat berbagai mediator terutama kinin hingga plasma bocor keluar dari vaskuler. Namun hipotesa ini kini diragukan karena jarang ditemukan edema papil dan pengukuran tekanan cairan serebrospinal seringkali normal, juga adanya kebocoran plasma diragukan karena rasio kadar albumin didarah dengan cairan serebrospinal ternyata sama. Adanya edema serebri diduga karena peningkatan aliran darah serebral.
  • Hipotesis mekanis menyatakan malaria serebral terjadi akibat sumbatan mekanis pada mikrosirkulasi akibat penurunan kemampuan deformitas eritrosit terinfeksi sewaktu melewati kapiler karena sel menjadi kaku, namun pendapat ini sekarang sudah tidak dianut lagi karena banyak kelemahannya. Sekarang diyakini obstruksi mikrosirkulasi terjadi akibat sekuesterisasi parasit karena sitoadherens. Obstruksi ini menyebabkan hipoksia dan iskemia yang akan mengganggu fungsi otak.\
  • Hipotesis imunologis menyatakan bahwa kelainan neurologis terjadi karena reaksi sistim imun berlebihan di otak karena paparan dengan antigen parasit menyebabkan vaskulitis karena penimbunan kompleks imun.
  • Hipotesis sitokin menyatakan bahwa kadar sitokin yang tinggi terutama TNF dapat merusak dinding vaskuler dan sel endotel hingga menimbulkan nekrosis, dan mengganggu fungsi saraf termasuk koma melalui induksi iNOS untuk menghasilkan NO dalam jumlah banyak.
  • Pendapat lain menyatakan keadaan koma sebenarnya merupakan upaya protektif neuron-neuron untuk melindungi dirinya agar terhindar dari kerusakan dengan mengurangi kebutuhan energinya sekaligus fungsinya jika dihadapkan dengan pasokan nutrisi dan oksigen yang tidak adekuat, dan keadaan metabolik lingkungan sekitarnya yang tidak menguntungkan.
  • Penelitian Dobbie dkk menunjukkan pada pasien malaria serebral terdapat peningkatan kadar asam quinolinik yang merupakan eksitotoksin endogen ( toksik yang bersifat eksitasi / merangsang ) yang dihasilkan oleh mikroglia ( turunan sel makrofag / monosit di jaringan otak ) akibat rangsangan sitokin. Toksin ini merupakan agonis reseptor glutamat NMDA, perangsangan reseptor berlebihan dapat menyebabkan kejang, pembengkakan neuron reversibel karena influks natrium, dan disintegrasi neuron karena influks kalsium yang berlebihan ; mungkin hal ini dapat menerangkan mekanisme gejala malaria serebral pada anak yaitu konvulsi, edema serebri reversibel dan kerusakan / sekuele neurologik permanen
  • Kevin Marsh berpendapat bahwa penyebab koma pada malaria serebral anak-anak Afrika adalah heterogen, dapat merupakan dampak paska-kejang yang berkepanjangan, kelainan metabolik berat seperti asidosis metabolik dan hipoglikemia, status epileptikus yang tidak kentara, dan berbagai kelainan neurologis primer.
Patogenesis anemia
  • Anemia berat sering ditemukan pada anak-anak terutama pada umur sampai 3 tahun, namun juga ditemukan pada 10 – 30 % pasien dewasa. Penyebabnya multifaktorial dan kompleks meliputi 2 hal utama yaitu penghancuran eritrosit baik yang terinfeksi parasit maupun yang tidak terinfeksi parasit ( hemolisis ), dan gangguan produksi eritrosit di sumsum tulang (diseritropoesis). 
  • Diseritropoesis disebabkan TNF dan IFN dapat mengganggu produksi eritrosit, selain itu terdapat bukti bahwa sinusoid di sumsum tulang terisi oleh parasit yang mungkin menyebabkan gangguan pembentukan eritrosit. 
  • Hemolisis disebabkan kerusakan eritrosit sewaktu proses skizogoni, kerusakan eritrosit terinfeksi parasit oleh sistim imun, atau hemolitik imun karena eritrosit baik yang terinfeksi maupun tidak terinfeksi diselubungi oleh antibodi IgG yang kemudian dihancurkan di limpa. 
  • Selain itu penelitian Burgmann dkk menemukan bahwa produksi eritropoetin pada pasien malaria berat tidak adekuat yang mungkin berperan menyebabkan anemia yang berkepanjangan.
Patogenesis gagal ginjal akut
  • Sebagian besar kelainan ginjal akibat infeksi plasmodium falsiparum disebabkan kelainan prerenal akibat hipovolemia. 
  • Kelainan renal yang paling sering ditemukan adalah gagal ginjal akut ( GGA ) akibat akut tubular nekrosis ( ATN ). 
  • Kelainan glomeruler seperti sindrom nefrotik atau nefritik sangat jarang dijumpai, walaupun kadang ditemukan gambaran patologis glomerulonefritis ringan dengan gejala proteinuria dengan sedimen urin aktif ringan. 
  • Kelainan ginjal lain yang jarang ditemukan adalah GGA akibat hemoglobinuria, methemoglobinuria, mioglobinuria. Selain itu mungkin sitokin inflamasi akan mengaktifkan iNOS yang berakibat menghambat eNOS ( pada vaskuler ginjal normal berfungsi mengatur tonus arteriola renal ) sehingga terjadi vasokonstriksi intrarenal yang dianggap merupakan mekanisme sentral terjadinya GGA pada infeksi plasmodium falsiparum.
Patogenesis Kelainan Organ Lain
  • Mekanisme terjadinya hipoglikemia disebabkan hiperinsulinemia karena kina atau kinidin, peningkatan konsumsi glukosa oleh sel inang maupun parasit, dan gangguan glukoneogenesis dan glikogenolisis akibat pengaruh sitokin dan aktifasi iNOS. 
  • Mekanisme terjadinya edema paru non-kardiak masih belum jelas, sebagian karena pemberian cairan yang berlebihan, namun dapat pula karena peningkatan permeabilitas kapiler mengakibatkan kebocoran plasma. 
  • Penyebab pasti ikterus pada malaria belum diketahui pasti, dapat disebabkan hemolisis, disfungsi hepar, kolestatik intrahepatal, atau hemolitik mikroangiopatik akibat koagulasi intravaskuler diseminata ( jarang ). Diduga kuat disfungsi hepar terjadi karena penurunan aliran darah hepar akibat sumbatan mekanis oleh sekuesterisasi parasit pada sinusoid daerah portal atau hepatal ; mungkin pula disebabkan vasokonstriksi pembuluh darah portal.
Gambaran utama malaria berat terutama pada orang dewasa adalah perbedaan pola keterlibatan organ diantara pasien. Malaria serebral sering disertai / diikuti GGA, disfungsi hati, edema paru, dll. Perbedaan pola disfungsi organ ini mencerminkan lokasi anatomis sekuesterisasi. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan aktifitas ensim ( contoh gamma-glutamyl-transpeptidase ) dan ekspresi molekul adhesi antara endotel diberbagai organ. Suatu penelitian histokimia menemukan adanya perbedaan distribusi molekul ICAM-1, CD-36, dll, diantara bahkan didalam jaringan vaskuler otak, limpa, ginjal, paru.

MANIFESTASI KLINIK MALARIA BERAT

Manifestasi malaria berat sangat bervariasi, karena ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya adalah umur, endemisitas setempat, dan status imun. Di daerah hipoendemis malaria serebral sering ditemukan dari anak-anak sampai dewasa. Pada usia dewasa lebih bervariasi seperti malaria dengan gagal ginjal akut (GGA), malaria dengan ikterus, dan gangguan metabolik. Sedangkan didaerah holoendemik komplikasi yang banyak ditemukan adalah anemia berat terutama pada anak-anak, sedangkan bentuk lainnya jarang, juga jarang ditemukan komplikasi malaria berat pada orang dewasa.

Gambaran klinis malaria serebral
  • Malaria serebral terjadi pada sekitar 2 % penderita malaria non-imun, atau 10 % penderita malaria falsiparum berat yang dirawat di rumah sakit, dan merupakan 80 % kasus malaria yang fatal. Merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien malaria ; Di Minahasa Sulawesi Utara angka kematian malaria serebral sekitar 30,5 % ; mortalitas malaria serebral dengan GCS 9 – 14 sebesar 28 %, bila GCS 3-8 mortalitasnya meningkat menjadi 67 %.
  • Definisi malaria serebral saat ini adalah unrousable coma (GCS 9 atau kurang ), pada pasien dengan bukti ditemukan disebabkan plasmodium falsiparum bentuk aseksual pada pemeriksaan darah tepi, yang bukan ensefalopati lainnya terutama meningitis bakterial, ensefalitis viral. 
  • Pada praktek klinis setiap pasien malaria dengan penurunan kesadaran (GCS kurang dari 15 ), dan tanda-tanda disfungsi serebral lainnya dapat dianggap sebagai malaria serebral. Di Indonesia sering berupa delirium dan somnolen. 
  • Tanda-tanda yang sering ditemukan pada malaria serebral adalah 
    • Umumnya kesadaran menurun setelah demam beberapa hari, namun kadang koma dapat timbul cepat/mendadak, sering didahului kejang umum. Dilaporkan di Thailand, kejang terjadi pada 20 – 50 % kasus malaria serebral, namun di Indonesia lebih jarang. Umumnya kejang general, namun pernah dilaporkan kejang tipe Jacksonian atau kejang parsial. 
    • Didalam praktek klinis sehari-hari penderita malaria terutama malaria falsiparum dengan penurunan kesadaran ringan seperti apati, somnolen, delirium / gaduh gelisah, perubahan tingkah laku seperti penderita tidak mau bicara, harus diterapi sebagai malaria serebral. Meskipun demikian, jangan lupa untuk menyingkirkan penyebab lain penurunan kesadaran misal gangguan elektrolit, hipoglikemia, intoksikasi obat, meningitis, sepsis bakterial berat ,dll. Penurunan kesadaran yang menetap lebih dari 30 menit ( dengan atau tanpa kejang ) , tidak sementara panas atau hipoglikemia, sangat menyokong malaria serebral. 
    • Kaku kuduk jarang ditemukan , kecuali pada kasus yang sangat berat dapat ditemukan kekakuan ringan dan hiperekstensi leher. 
    • Reflek kornea dan pupil normal.Disconjugate gaze sangat sering ditemukan.
    • Pada pasien dewasa sering posisi mata divergen dengan okulosefalik (“doll eye phenomen” ) normal. Sering pula mata deviasi keatas dan lateral. Sering ada bruxism ( gigitan pada rahang dan kerutan pada gigi).
    • Tonus otot dan reflek tendon sering meningkat ( dapat juga menurun ).
    • Reflek abdominal dan kremaster negatif, refleks Babinski abnormal pada 50 % pasien.
    • Klonus patella dan pergelangan kaki positif. 
    • Sering ditemukan posisi dekortikasi (lengan fleksi dan tungkai ekstensi), atau deserebrasi (lengan dan tungkai ekstensi) 
    • Pada pemeriksaan funduskopi jarang ditemukan papiledema, namun kadang ditemukan perdarahan retina. 
    • Pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) : cairan tampak jernih ; tekanan normal ( kurang dari 200 mmHg) ; leukosit  kurang dari  10/uL ; protein sedikit meningkat ; rasio glukosa darah / glukosa CSS normal ; kadar asam laktat meningkat lebih dari 2,2 mmol/l (19,6 mg/dl), bila kadar asam laktat lebih dari  6 mmol/L mempunyai prognosis yang sangat jelek umumnya fatal.
    • Lama koma pada dewasa umumnya 2-3 hari , pada anak 1 hari. Setelah sadar dari koma, pada dewasa umumnya tanpa sekuele neurologis. Kadang dapat ditemukan psikosis reaktif singkat berupa agitasi, kacau (confusion), delirium, reaksi paranoid, yang hanya berlangsung beberapa hari saja.
Malaria dengan gagal ginjal akut
  • Gagal ginjal akut (GGA) merupakan komplikasi malaria berat yang sangat sering ditemukan, dan seringkali fatal. Umumnya hanya ditemukan pada dewasa, sangat jarang pada anak. Komplikasi GGA sering terjadi pada pengobatan yang terlambat atau pasien terlambat dirujuk ke RS/sarana kesehatan.
  • Definisi GGA pada malaria adalah kadar kreatinin serum lebih dari 3 mg/dl dengan urin output kurang dari 400 ml/24 jam , dan ditemukan P. falsifarum bentuk aseksual pada pemeriksaan darah tepi. GGA dapat berupa pre-renal karena hipovolemia/dehidrasi (lebih dari 50%), dan renal (nekrosis tubuler akut ) pada 10 % kasus yang sering merupakan kelanjutan dari pre-renal azotemia.
  • Gagal ginjal akut sering ditemukan bersama komplikasi lainnya terutama ikterik, hipoglikemia, malaria serebral, edema paru, anemia. Faktor risiko timbulnya komplikasi GGA meliputi pasien dengan hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, dan hemoglobinuria.
  • Mortalitas GGA pada malaria sekitar 45 %. Data di Minahasa, Sulut menunjukkan mortalitas pasien malaria dengan GGA tanpa dialisis sebesar 48 %.
  • Pemeriksaan laboratorium penting pada pasien malaria dengan GGA adalah kadar ureum dan kreatinin serum ; urinalisis; natrium urin; elektrolit serum terutama natrium dan kalium ; produksi urin/jam, per 24 jam ; bila mungkin analisa gas darah. Pemeriksaan laboratorium paling penting, yang harus dilakukan pada setiap pasien malaria berat adalah pemeriksaan kadar kreatinin serum setiap hari.
Malaria dengan ikterus
  • Komplikasi malaria yang sering ditemukan, terutama pada orang dewasa. Merupakan manifestasi malaria berat yang paling sering ditemukan di Minahasa Sulut. Malaria dengan ikterik sering berkaitan dengan malaria serebral, GGA, edema paru, renjatan, asidosis laktat, dan terpenting hipoglikemia.Gagal hati akut hampir tidak pernah ditemukan, bila terjadi besar kemungkinan adanya komorbid dengan hepatitis virus.
  • Ikterus ringan umumnya disebabkan hemolisis dengan predominan bilirubin unconjugated, namun kadar bilirubin sangat tinggi menunjukkan adanya disfungsi hepar dengan peningkatan baik bilirubin unconjugated maupun conjugated. Tanda penting adanya disfungsi hepar adalah kadar albumin yang rendah atau menurun. Kadar SGOT dan SGPT sering meningkat, namun jarang melebihi 10 kali nilai normal ( tidak setinggi pada hepatitis viral ).
  • Beberapa pedoman untuk membedakan malaria dengan ikterus dengan hepatitis viral adalah : pada malaria ikterus tinggi sewaktu demam tinggi, sedadng pada hepatitis viral ikterus timbul setelah panas mereda ; kadar transaminase pada malaria dengan ikterus jarang melebihi 200 gr/dl, pada hepatitis viral akut umumnya lebih dari 200 gr/dl bahkan sampai lebih dari 1000 g/dl ; pada malaria dengan iktrus bila respons terapi adekuat, kadar bilirubin menurun dengan sangat cepat menjadi normal, pada hepatitis viral penurunan lebih lambat.
Hipoglikemia
  • Komplikasi hipoglikemia sering terjadi baik pada dewasa maupun pada anak, dan terlebih pada ibu hamil terutama primigravida. Hipoglikemia dapat terjadi akibat penyakitnya sendiri (penurunan glukoneogenesis, komsumsi oleh parasit, akibat sitokin ), atau akibat efek samping terapi malaria berat dengan kina parenteral ( dapat terjadi dalam 3 jam setelah infuse kina). Pada orang dewasa hipoglikemia sering terjadi akibat penggunaan kina, sedang pada anak dan terlebih ibu hamil sering karena penyakitnya sendiri atau karena efek samping kina.
  • Kita harus waspada akan komplikasi ini karena sering luput terdiagnosis, berhubung gejalanya sering tertutup oleh manifestasi klinis malaria berat misal pada pasien yang tidak sadar karena malaria serebral. Hampir semua gejala-gejala hipoglikemia juga dapat ditemukan sebagai gejala dari malaria berat itu sendiri, karena itu hipoglikemia sering tidak terpikirkan, selain itu beberapa gejala khas hipoglikemia sering tidak muncul pada malaria berat.
  • Gejala hipoglikemia pada pasien yang sadar adalah gelisah/cemas, sesak napas/napas pendek, rasa dingin, rasa lapar, nyeri kepala, pandangan mata gelap, pusing.Tanda hipoglikemia adalah tremor, takikardia, berkeringat dingin berlebihan. Bila hipoglikemia berat pasien akan mengalami penurunan kesadaran mula-mula bingung, tingkah laku abnormal, sampai koma. Pada koma karena hipoglikemia akibat malaria berat sering ditemukan kelainan postur tubuh ( misal rigiditas deserebrasi atau dekortikal, spasme otot, dan opistotonus ) ; sering pula terjadi kejang umum.
  • Pada pasien malaria dengan penurunan kesadaran, kita harus mencurigai adanya hipoglikemia bila kesadaran pasien semakin menurun, dan/atau terjadi kejang, postur tubuh ekstensi dan perubahan respirasi. Bila ditemukan tanda-tanda tersebut kita harus segera memeriksa kadar gula darah.
  • Angka kejadian hipoglikemia pada malaria berat cukup tinggi, di Thailand dilaporkan terjadi pada 12,5 % pasien malaria serebral ; sedang di Minahasa dilaporkan 17,4 % - 21,8 %. Angka mortalitas akibat hipoglikemia pada malaria berat di Minahasa adalah 45 %.
Malaria dengan hemoglobinuria (Black water fever )
  • Black water fever adalah suatu sindrom dengan gejala serangan akut hemoglobinemia dan hemoglobinuria akibat hemolisis intravaskuler, disertai hipotensi dan gagal ginjal. Pada pasien sering tidak ditemukan parasit atau hanya sedikit parasit, dan umumnya tanpa demam atau demam ringan. Gejala berupa nyeri pinggang, muntah, diare , poliuria diikuti oliguria dengan kencing berwarna hitam ( warna coca cola ) . Pada pemeriksaan fisik ditemukan anemia, ikterik, hepatosplenomegali.
  • Penyakit ini dahulu sering dilaporkan terjadi pada pasien non-imun yang menderita infeksi P. falsiparum berulang-ulang, dan menggunakan kina secara tidak teratur baik untuk profilaksis maupun untuk pengobatan. Berhubung parasitemia umumnya absent dan adanya hubungan dengan penggunaan kina, maka diduga mekanisme hemolisis disebabkan respons imun terhadap eritrosit yang tersensitisasi dengan kina atau terbentuknya antibodi terhadap kina. Saat ini hemoglobinuria jarang ditemukan setelah meluasnya penggunaan klorokuin menggantikan kina.
  • Diagnosis banding pasien malaria dengan hemoglobinuria harus dipikirkan proses hemolisis akibat efek oksidan obat antimalaria ( primakuin ) pada eritrosit defisiensi G-6-PD. Selain kina, obat antimalaria yang pernah dilaporkan berkaitan dengan hemoglobinuria adalah halofantrine dan artemether.
Malaria algid
  • Malaria algid adalah malaria disertai dengan renjatan, dimana tekanan darah sistolik kurang dari 80 mmHg disertai tanda-tanda penurunan sirkulasi perifer yaitu kulit dingin, lembab, sianotik, pucat vena-vena perifer konstriksi.Tanda lain pernapasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah sistolik maupun diastolik rendah, seringkali tekanan darah diastolik tak terukur. Kelainan ini sering berkaitan dengan edema paru, asidosis metabolik, sepsis bakteri gram negatif, setelah perdarahan saluran cerna masif. Gambaran malaria algid klasik sering ditemukan pula nyeri epigastrium , muntah hebat, dan diare yang mirip kolera dan ikterik, parasitemia berat dan sering ditemukan bentuk skizon didarah tepi.
  • Perlu diingat hipotensi pada pasien malaria dapat pula disebabkan dehidrasi berat disertai oliguria karena demam tinggi berkepanjangan dan asupan cairan inadekuat selama beberapa hari, atau karena muntah/diare berat. Selain itu, data dari Thailand dan tempat lain menunjukkan gambaran klinis malaria algid sangat mirip dengan renjatan septik, dan seringkali dapat ditemukan adanya bakteriemia pada pasien tersebut.Oleh karena itu pada setiap pasien malaria algid mutlak perlu pemeriksaan kultur darah.
Malaria dengan edema paru
  • Komplikasi edema paru ini sering ditemukan pada pasien dewasa dan jarang pada anak ; merupakan komplikasi yang paling berat dan sering berakibat fatal. Edema paru biasanya timbul dengan cepat setelah 1 atau 2 hari pengobatan.
  • Terdapat 2 tipe edema paru pada malaria. Tipe pertama edema paru timbul berkaitan dengan kelebihan cairan, ditandai dengan peningkatan tekanan vena sentral dan pulmonary artery wedge pressure, dan balans cairan positif berlebihan. Tipe kedua edema paru terjadi pada pasien dengan balans cairan normal atau bahkan negative, dengan pulmonary artery wedge pressure dan tekanan vena sentral normal atau menurun. Tipe kedua ini menyerupai adult respiratory distress syndrome (ARDS), diduga terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler paru. ARDS didefinisikan sebagai gagal respirasi berat yang ditandai dengan PaO2 yang sangat rendah ( kurang dari 70 torr) selama pemberian intermitten positive pressure breathing (IPPB) dengan FiO2 50 %. Faktor predisposisi terjadinya edema paru pada malaria adalah hiperparasitemia, gagal ginjal dan kehamilan/post-partum, hipoglikemia, asidosis metabolic, malaria serebral, kelebihan cairan. Tanda penting pertama ancaman (impending) edema paru adalah peningkatan frekwensi pernapasan, biasanya gejala ini timbul mendahului tanda-tanda fisik di paru. Bila frekwensi pernapasan lebih dari 35 kali permenit menunjukkan prognosis yang jelek. Pada pemeriksaan radiology dijumpai gambaran infiltrate interstisiel atau alveolar difus bilateral. Pada fase akhir akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea. Pada hipoksia berat dapat ditemukan kejang dan penurunan kesadaran, dan gagal sirkulasi karena gangguan fungsi jantung. Sesak napas pada pasien malaria, selain disebabkan oleh edema paru/ARDS dapat pula disebabkan pneumonia aspirasi ( dibedakan dengan foto torak ), dan asidosis metabolik ( dibedakan dengan pemeriksaan fisik dada normal ). Malaria dengan perdarahan Manifestasi perdarahan pada malaria umumnya berkaitan dengan komplikasi malaria berat lainnya terutama malaria berat, edema paru, ikterik, dan hiperparasitemia. Perdarahan ditemukan pada sekitar 10 – 25 % pasien malaria berat diatas. Data dari Thailand menunjukkan tendensi perdarahan karena koagulasi intravaskuler diseminata (KID) hanya ditemukan pada kurang dari 10 % kasus. Perdarahan umumnya berupa perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis, petekie, perdarahan subkonjungtiva. Seringkali ditemukan anemia berat, trombositopenia dan koagulopati. Selain itu Warrel dan Hoffman melaporkan perdarahan saluran cerna sering ditemukan pada pemakaian kortikosteroid. Manifestasi perdarahan disertai parasitemia berat dan uremia mempunyai prognosis yang jelek. Trombositopenia ringan maupun berat sering ditemukan baik pada malaria falsiparum maupun pada malaria vivax, walaupun trombositopenia berat (kurang dari 20.000/ml) lebih sering terjadi pada malaria berat falsiparum. Umumnya trombositopenia sendiri tidak berkaitan dengan KID, dan jarang menyebabkan perdarahan. Hiperparasitemia Hiperparasitemia yang dianggap sebagai malaria berat adalah bila hitung parasit > 5% ( lebih dari 250.000/uL). Terdapat hubungan antara derajat hiperparasitemia dengan mortalitas terutama pada pasien non-imun. Umumnya parasitemia lebih dari 20 % hamper selalu menyebabkan kematian. Bila terjadi hiperparasitemia sering dijumpai bentuk skizon didarah tepi. Hiperparasitemia sering berkaitan hipoglikemia, asidosis metabolik, malaria serebral, ikterik yang dalam, anemia dan gagal napas akut.
  • Perlu diingat bahwa pasien tanpa hiperparasitemia (hitung parasit rendah) tidak berarti prognosisnya baik, dan tidak berisiko mengalami malaria berat. Hal ini dikarenakan dengan adanya sekuesterisasi parasit di mikrovaskuler menyebabkan pemeriksaan penghitungan jumlah parasit didarah tepi tidak sesuai dengan jumlah parasit sebenarnya didalam jaringan.
Asidosis metabolik
  • Asidosis metabolic ditandai dengan hiperventilasi (pernapasan Kussmaul) dengan auskultasi paru normal, peningkatan kadar asam laktat, pH serum rendah ( kurang dari 7,25), kadar bikarbonat rendah (kurang dari 15 mmol/L). 
  • Komplikasi ini biasanya menyertai manifestasi malaria berat lain seperti edema paru, hiperparasitemia, syok, gagal ginjal dan hipoglikemia. Hiperpireksia Komplikasi ini paling sering dijumpai pada malaria falsiparum. 
  • Tanda fisik berupa kulit kering, panas, ekstremitas sianosis. Sering disertai kejang (terutama pada anak), delirium, dan bila suhu lebih dari 41 oC menimbulkan koma. 
  • Pada pemeriksaan darah tepi sering menunjukkan hiperparasitemia. Anemia Anemia sering terjadi pada malaria, di Thailand sekitar 30 % kasus anemia memerlukan transfusi. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada anak-anak didaerah holoendemik. Kriteria anemia sebagai manifestasi malaria berat dan perlu transfusi dari WHO adalah bila kadar hemoglobin kurang dari 5 gr% atau hematokrit kurang dari 15 % dengan jumlah parasit lebih dari 10.000/mm3. Derajat anemia berkorelasi dengan parasitemia, skizontemia, serum bilirubin total, serum kreatinin.
Infeksi sekunder dan sepsis
  • Infeksi sekunder bakteri yang mengancam nyawa dapat terjadi pada pasien malaria berat terutama pneumonia aspirasi pada pasien dengan kejang, infeksi saluran kemih pada pasien yang menggunakan kateter, ulkus dekubitus terinfeksi pad pasien dengan koma yang berkepanjangan, dan infeksi karena kateter intravena.
  • Sering ditemukan sepsis bakteri gram negatif tanpa diketahui fokus infeksinya, pada pasien malaria falsiparum berat. Bakteri penyebab tersering adalah E. koli, pseudomonas aeruginosa, salmonella , dan streptokokus. Oleh Karena itu sepsis harus selalu dipikirkan, didiagnosis dan diterapi dengan adekuat pada setiap pasien malaria berat. Kita harus mempertimbangkan adanya sekunder infeksi bakteri bila ditemukan febris yang berkepanjangan walaupun parasit didarah tepi sudah negatif, pada syok/hipotensi menetap, terlebih bila disertai leukositosis terutama neutrofilia.

DIAGNOSIS BANDING MALARIA BERAT
  • Diagnosis malaria berat tergantung manifestasi organ yang terlibat. Malaria serebral harus dibedakan dengan penyebab ensefalopati lainnya seperti infeksi bakteri, virus, jamur, metabolik, serebrovaskuler (stroke), intoksikasi alkohol/obat lainnya, trauma kepala. Pada umumnya dengan anamnesa dan pemeriksaan cairan serebrospinal dapat membedakan penyakit tersebut.
  • Diagnosis banding malaria dengan ikterus adalah leptospirosis, hepatitis tifosa, sepsis, kolesistitis. Hipotensi selain disebabkan malaria algid, dapat terjadi pada sepsis bakterial berat, infark miokard akut, dehidrasi berat, perdarahan tersembunyi. Edema paru pada malaria berat harus didiagnosa banding dengan pneumonia aspirasi, kelebihan cairan, dan intoksikasi obat.

DIAGNOSA MALARIA

Seperti pada penyakit infeksi pada umumnya, diagnosa penyakit malaria didasarkan dengan ditemukannya parasit (plasmodium) dalam darah tepi penderita. Diagnosa malaria perlu ditegakkan segera dan dilakukan penanganan yang tepat sebab bila tidak ditangani akan berlangsung berat dan mengakibatkan kematian.

Diagnosa yang tepat dan cepat merupakan bagian yang penting dalam penanganan kasus malaria sehingga penyakit malaria dapat segera diobati dan kematian dapat dicegah. Bukan Cuma itu juga penyebaran penyakit malaria dapat segera dihentikan dan penggunaan obat yang tidak perlu dapat dihindarkan.

Diagnosa malaria didasarkan atas criteria klinis ( clinical diagnosis) di lengkapi/ ditunjang dengan pemeriksaan darah untuk deteksi malaria ( parasitological diagnosis) Diagnosa klinis spesifisitasnya rendah dan diagnosis parasitologik mempunyai spesifisitas yang tinggi tetapi sering tidak tersedia. Karenanya perlu dicari alat lain untuk membantu menegakkan diagnosis yang mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. ( Rapid Diagnosis Test = RDT )

Rekomendasi WHO untuk diagnosa klinis :
  1. Daerah dimana risiko malarianya rendah, diagnosa malaria uncomplicated (ringan) harus didasarkan atas kontak malaria dan adanya riwayat demam 3 hari tanpa ada tanda penyakit lain
  2. Daerah yang risiko malarianya tinggi, diagnosa klinis didasarkan adanya demam dalam 24 jam terakhir dan/ atau adanya anemia ( pucat di tangan )
Beberapa pertimbangan dalam diagnosa yang perlu diketahui ialah :
  1. Tidak ada gejala klinis maupun gejala komplikasi yang khas untuk perlangsungan penyakit malaria, semua manifestasi klinis dapat merupakan gejala dari penyakit lain.
  2. Ditemukannya parasit dalam darah TIDAK selalu merupakan penyebab dari gejala penyakit yang terjadi waktu tersebut. Banyak individu di daerah endemik dengan parasitemia tidak memberikan gejala-gejala malaria.
  3. Pada malaria berat sering tidak ditemukan parasit di darah tepi karena adanya sekuestrasi parasit ke jaringan. Keadaan ini sering juga terjadi para penderita dengan pengobatan profilaktis dan pengobatan yang tidak adekuat.
Diagnosa parasitologik:
  • Tetes darah tebal
    • Tetes darah tebal bila diperiksa oleh tenaga yang terlatih dapat mendeteksi adanya parasit 5 - 10 parasit/ uL Bila diperiksa 100 lapang pandangan dengan minyak emersi ( 6x okuler dan 100 x objektif  menjadi 600 kali) setara dengan pemeriksaan 0,25 uL darah.
    • Syarat pemeriksaan tetes tebal :
      • Tehnik pembuatan baik: (slide bersih, penusukan benar, teknik pembuatan baik, tebal/ tipisnya, pengecatan baik )
      • Pembaca slide perlu pengalaman dan latihan.
    • Hitung parasit pada tetes tebal : dihitung berdasar leukosit ( eritrosit sudah lisis )/ 200 leukosit atau per 500 leukosit
      • Contoh : 
        • 1500 parasit/ 200 leuko
        • Bila leukosit 8000/ uL, hitung parasit : 8000/ 200 x 1500 par. = 60.000/uL
      • Penilaian : Htung parasit kurang dari 100.000/ uL , mortalitas kurang dari 1% Hitung parasit lebih dari 500.000/ uL, mortalitas lebih dari  50 %
      • Catatan :
        • Baik untuk parasitemia rendah
        • Kurang baik bila parasit padat
        • Bila waktu tidak tepat hasil negatif
        • Perlu diulang tiap 4 - 6 jam, bila sudah 3 - 5 kali pemeriksaan hasilnya negative, bukan penyakit malaria.
        • Adanya bentuk sizon pada darah tepi juga menunjukkan infeksi berat
        • Kemoprofilaktik/ partial terapi menurunkan parasitemia dibawah level deteksi sehingga sulit di deteksi parasit nya
        • Bila sulit ditemukan parasit, dapat dicari pigmen malaria pada monosit
        • Artefact sering dikelirukan sebagai parasit
        • Deteksi parasit pada BMP dapat dipertimbangkan sebagi metode khusus.( intradermal aspirasi/ kerokan kulit )
        • Provokasi dengan adrenalin sudah tidak digunakan karena tidak dipercaya dan mengandung bahaya.
Hapusan darah tipis :
  • Digunakan sebagai sarana untuk identifikasi species parasit, bentuk dan stadium dari plasmodium akan tampak lebih jelas. Pada parasitemia yang rendah sulit dikerjakan. Pada parasitemia yang tinggi dapat dipakai untuk melakukan hitung parasit berdasarkan jumlah eritrosit. Dilakukan per 1000 eri atau per 10.000 eritrosit.
  • Pengecatan pada kedua jenis sediaan dapat dengan Giemsa ( 15-30 menit) atau Fileds(5-20 menit). Contoh ; hasil malaria dilaporkan 50 parasit/ 1000 eritrosit ( parasitemia 5 % )
Beberapa jenis pemeriksaan serologik ialah :
  • Deteksi Antigen
    • Deteksi antigen secara qualitative yaitu histidine rich protein II (HRP-II). Merupakan tes strip yang mengandung antibodi spesifik terhadap HRP-II. Bila pada sampel ada antigen malaria (HRP-II) akan timbul warna merah. Parasight F hanya akan mendeteksi P. falsiparum dan tidak plasmodium spesies lain ( vivax, ovale etc). Sensitivity 95,7 % dan spesificity 86,6%. Waktu pemeriksaan 7 menit, dapat dilakukan pada klinik yang sederhana atau studi lapangan, tanpa intrument dan semua reagen dan strip dalam satu kit. Sensitivitas deteksi parasit 10 parasit/ uL. 
    • Saat ini telah direkomendasikan oleh WHO untuk sarana yang tidak ada fasilitas mikroskopik atau untuk RS di Unit Gawat Darurat untuk menggunakan tes berbasis antigen ini yang dikenal sebagai Rapid Diagnostic Test ( RDT). Kit tes ini bermacam-macam seperti PF test, Paracheck, ICT dll. Test ada yang hanya khusu untuk P. falsiparum , ada yang untuk 2 plasmodium ( Falcip + viviks) dan ada yang 3 plasmodium atau 4 plasmodium.
  • Test lain yaitu parasit LDH menggunakan 3-acetyl pyridine NAD (APAD) sebagai co-enzym dalam membentuk APADH yang diukur secara spektrofotometri. Semua ke-4 jenis spesies dapat dideteksi dengan sensitivitas tertentu : ovale, malariae, vivax dan falsiparum yaitu 1000, 1700, 1900 dan 10.800 parasit/ uL. Tes ini dikenal sebagai OPTIMAL test
Beberapa catatan untuk tes RDT :
  1. Tes RDT hanya tes antigen yaitu bagian dari plasmodium. Tes ini dapat dipakai sebagi tes awal/ skrening test dan dapat dipakai untuk pedoman pengobatan ( ACT). Tes ini kurang bermanfaat atau positif semu pada orang sehabis menderita malaria , karena setelah sembuh/ hilangnya parasit, tes RDT dapat masih positif sampai 2 minggu.
  2. Semua tes RDT sebaiknya dilakukan konfirmasi tes mikroskopik pada laboratorium yang ditunjuk.
  3. Tes RDT tidak dapat dipoakai untuk melakukan follow up apakah pasien sudah sembuh atau belum dari penyakit malaria.

PENANGANAN PENDERITA MALARIA BERAT

Penanganan malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan dalam melakukan diagnosa seawal mungkin. Sebaiknya penderita yang diduga menderita malaria berat dirawat pada bilik intensif untuk dapat dilakukan pengawasan serta tindakan-tindakan yang tepat.

Prinsip penanganan malaria berat ialah :
  • Terhadap parasitemianya yaitu dengan:
    • Pemberian Obat Anti Malaria
    • Exchange transfussion (transfusi ganti)
  • Pemberian Cairan / Nutrisi
  • Penanganan terhadap gangguan fungsi organ yang mengalami komplikasi.
TERHADAP PARASITEMIA :
Pemberian Obat Anti Malaria (OAM).
Pemberian obat anti malaria(OAM) pada malaria berat berbeda dengan malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama didarah untuk segera menurunkan derajat parasitemi. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat per parenteral ( intravena per infus/ intra musuler) yang berefek cepat dan kurang terjadinya resistensi.
  • Derivat ARTEMISININ : Merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu) yang memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain yang multi resisten. Ada 3 jenis:
    • Artesunate 
      • Artesunate dalam bentuk puder, dikemas dengan pelarutnya dapat diberikan secara i.v dan ada yang diberikan i.m; Baik i.v maupun i.m pada study di Afrika pada anak-anak memberikan klirens parasit yang sama adekuat. Pada beberapa studi dalam jumlah kasus terbatas untuk membandingkan dengan kina mempunyai efek klirens parasit lebih cepat walaupun perbedaan mortalitas tidak berbeda bermakna. Keuntungan ialah efek hipoglikemi yang kurang dan efek kardiotoksik yang juga minimal. Masih sedang dilakukan uji klinis dalam skala besar untuk menilai efek mortalitas dalam jangkauan angka statistic yang bermakna.
      • Dosis pemakaian artesunate ialah : 2,4 mg/kg BB pada hari pertama dibagi 2 dosis tiap 12 jam, kemudian dilanjutkan dosis 1,2 mg/kg BB pada hari ke-2 – 6/ 24 jam. Pada beberapa penelitian dipakai 7 hari pengobatan ataupun dengan menambahkan doksisiklin/ tetrasiklin untuk mencegah terjadinya recrudensi.
      • Bila penderita sadar pengobatan diganti artesunate oral 2 mg/kg BB sampai hari ke-7(dihitung sejak mulai pemberian parenteral). Sebaiknya dikombinasikan dengan doksisiklin 2 x 100 mg/ hari selama 7 hari untuk mencegah rekrudensi. Untuk ibu hamil/ anak-anak, doksisiklin diganti dengan clindamycin.
    • Artemeter
      • Artemeter dalam larutan minyak dan diberikan i.m. Dalam penelitian di beberapa tempat di Indonesia artemeter untuk malaria berat memberikan respon yang cukup baik yang tidak berbeda dengan pengobatan kina, hanya pada penggunaan artemeter kurang dijumpai hipoglikemia.
      • Dosis : Artemeter 3,2 mg/kgBB i.m sebagai dosis loading dibagi 2 dosis ( tiap 12 jam), diikuti dengan 1,6 mg/kgBB/ 24 jam selama 4 hari. Pada dua penelitian yang paling akhir meliputi skala besar di Vietnam dan Afrika, dilaporkan dengan pengobatan artemeter i.m dapat mempercepat hilangnya parasit tetapi memperpanjang masa koma dan tidak berbeda mortalitasnya dibandingkan dengan pengobatan kina.
    • Artemisinin dalam bentuk suppositoria, yang ada ialah artesunat, dihidroartemisinin dan artemisinin. Bentuk suppositoria dapat dipakai sebagai obat malaria berat khususnya pada anak-anak, kasus muntah-muntah atau keadaan lain dimana tidak memungkinkan pemakaian parenteral. Beberapa studi di Thailand maupun Afrika, penggunaan artesunate suppositoria sama efektif dengan pengobatan parenteral.
  • Kina (kina HCI/dihidro-klorida/kinin Antipirin)
    • Kina merupakan obat anti-malaria yang sangat efektif untuk semua jenis plasmodium dan efektif sebagai schizontocidal maupun gametocytocidal . Dipilih sebagai obat utama untuk malaria berat karena masih berefek kuat terhadap P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin.dapat diberikan dengan cepat (i.v) dan cukup aman.
    • Cara pemberian dan dosis:
      • Dosis loading dengan 20 mg/kgBB Kina HCl dalam 100-200 cc cairan 5% Dextrose ( atau NaCl 0,9%) selama 4 jam, dan segera dilanjutkan dengan 10 mg/Kg B.B dilarutkan dalam 200 cc 5 % dektrose diberikan dalam waktu 4 jam, selanjutnya diberikan dengan dosis yang sama diberikan tiap 8 jam. Apabila penderita sudah sadar, kina diberikan peroral dengan dosis 3x 400 - 600 mg selama 7 hari dihitung dari pemberian hari I parenteral.(10 mg/KgBB/ 8 jam ). Dosis loading tidak dianjurkan untuk penderita yang telah mendapat kina atau meflokuin 24 jam sebelumnya. Hati-hati pada penderita dengan Q-Tc memanjang ataupun pada usia lanjut.
      • Kina dapat diberikan secara intramuskuler bila melalui infus tidak memungkinkan. Dosis loading 20 mg/Kg BB diberikan i.m terbagi pada 2 tempat suntikan, kemudian diikuti dengan dosis 10 mg/Kg BB tiap 8 jam sampai penderita dapat minum per oral.
    • Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian kinin:
      • Kina tidak diberikan intra-vena (i.v) bolus karena efek toksik pada jantung dan saraf. Apabila harus diberikan i.v caranya dengan mengencerkan dengan 30-50 ml cairan isotonis dan diberikan i.v lambat (dengan pompa infus) selama 30 menit.
      • Pemberian Kina dapat diikuti dengan terjadinya hipoglikemi karenanya perlu diperiksa gula darah / 4-8 jam.
      • Pemberian dosis diatas TIDAK BERBAHAYA bagi wanita hamil.
      • Bila pemberian sudah 48 jam dan belum ada perbaikan, dan/ atau penderita dengan gangguan fungsi hepar/ ginjal dosis dapat diturunkan setengahnya (30-50%).
      • Pemberian dosis diatas memerlukan pengamatan yang cermat, penggunaan mikrodrip untuk menyesuaikan dengan kebutuhan cairan.
    • CARA PEMBERIAN ALTERNATIF YANG SEDERHANA
      • Digunakan dosis tetap 500 mg Kina HCl ( dihitung BB rata-rata 50 Kg) dilarutkan dalam cairan 5% Dextrose dan diberikan selama 6 - 8 jam berkesinambungan tergantung kebutuhan cairan tubuh. Pada penelitian di Minahasa ternyata dosis awal 500 mg/ 8 jam per infus memberikan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dosis awal 1000 mg.
  • Kinidin
    • Bila kina tidak tersedia maka isomernya yaitu kinidin cukup aman dan efektif. Dosis loading 15mg basa/kg BB dalam 250 cc cairan isotonik diberikan dalam 4 jam, diteruskan dengan 7,5mg basa/kg BB dalam 4 jam tiap 8 jam, dilanjutkan per oral setelah sadar, kinidin efektif bila sudah terjadi resistensi terhadap kina, kinidin lebih toksik terhadap jantung dibandingkan kina dan Kinidin juga menimbulkan hipoglikemia.
  • Klorokuin
    • Klorokuin masih merupakan OAM ( obat anti malaria) yang efektif terhadap P. falciparum yang sensitif terhadap klorokuin. Keuntungan tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak mengganggu kehamilan.
    • Dosis loading : klorokuin 10 mg basa/Kg B.B dilarutkan 500 ml cairan isotonis diberikan dalam 8 jam, dan dilanjutkan dengan dosis 5 mg basa/ Kg BB per infus selama 8 jam diulang 3 kali ( dosis total 25 mg/Kg BB selama 32 jam)
    • Bila cara i.v per infus tidak memungkinkan dalam diberikan secara intra muskuler atau sub-kutan dengan cara: 3,5 mg/ Kg BB kloroluin basa tiap 6 jam interval dan  2,5 mg/ Kg BB klorokuin basa tiap 4 jam.
    • Bila penderita sudah dapat minum oral segera pengobatan parenteral dihentikan biasanya setelah 2 x pemberian parenteral.
  • Fansidar
    • Injeksi kombinasi sulfadoksin-pirimetamim (fansidar) yaitu Ampul 2 ml : 200 mg S-D + 10 mg pirimetamin dan Ampul 2,5 ml : 500 mg S-D + 25 mg pirimetamin
Exchange Transfusion (transfusi ganti)
  • Tindakan exchange transfusion dapat mengurangi parasitemi dari 43 % menjadi 1 %. Darah yang dipakai berkisar 5- 12 liter. Tindakan ini berguna mengeluarkan eritrosit yang berparasit, menurunkan toksin parasit, serta memperbaiki anemia.
  • Indikasinya bila parasit lebih dari 10 % dan mempunyai gejala komplikasi yang berat seperti hemoglobinuri , koagulasi intravaskuler, dan memburuknya gejala neurologik atau parasitemia lebih dari 30 % tanpa komplikasi atau parasit lebih dari 10 % yang gagal dengan pengobatan.
  • Transfusi ganti juga dapat memperbaiki anemianya, mengembalikan faktor pembekuan darah, trombosit dan albumin. Berdasarkan patogenesis malaria berat tindakan ini juga bermanfaat dalam mengurangi toksin, mediator yang terjadi (TNF, IL-1, IL-6) dan juga free radical (NO). 
PEMBERIAN CAIRAN DAN NUTRISI
Pemberian cairan merupakan bagian yang penting dalam penanganan malaria berat. Pemberian cairan yang tidak adekuat (kurang) akan menyebabkan timbulnya tubuler nekrosis ginjal akut. Sebaliknya pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru. Pada sebagian penderita malaria berat sudah mengalami sakit beberapa hari lamanya sehingga mungkin intake sudah kurang, penderita juga sering muntah-muntah, dan bila panas tinggi akan memperberat keadaan dehidrasi. Ideal bila pemberian cairan dapat diperhitungkan secara lebih tepat, misalnya:

Maintenence cairan diperhitungkan berdasar BB, misal untuk BB 50 kg dibutuhkan cairan 1500 cc.
Derajat dehidrasinya: dehidrasi ringan ditambah 10 %, dehidrasi sedang ditambah 20% dan dehidrasi berat ditambah 30%. Setiap kenaikan suhu 10 ditambah 10% kebutuhan maintenence. Monitoring pemberian dilakukan dengan pemasangan CVP line. Cara diatas tidak selalu dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat Puskesmas/ RS Kabupaten. Sering kali pemberian cairan dengan perkiraan , misalnya 1500 - 2000 cc/ 24 jam dapat sebagai pegangan.Cairan yang sering dipakai ialah 5% Dextrose untuk menghindari hipoglikemi khususnya pada pemberian kinin. Bila dapat diukur kadar elektrolit (natrium) perlu dipertimbangan NaCl bila diperlukan.

PENANGANAN KERUSAKAN ATAU GANGGUAN FUNGSI ORGAN

Tindakan/ pengobatan tambahan pada Malaria Serebral
  • Pemberian Steroid pada Malaria serebral
    • Kortikosteroid seperti deksametason baik dengan dosis sedang ataupun dosis tinggi tidak terbukti menurunkan mortalitas pada malaria serebral, karena itu seyogyanya TIDAK DIPERGUNAKAN LAGI. Penggunaan steroid justru memperpanjang lamanya koma dan menimbulkan banyak efek samping seperti pneumoni dan perdarahan gastro-intestinal.
  • Heparin, dextran, cyclosporine, epinephrine dan hiperimunglobulin tidak terbukti berpengaruh dengan mortalitas.
  • Anti-TNF dan pentoxifylline dan desferioxamine, prostacyclin, acetylcystein merupakan obat-obat yang pernah dicoba untuk malaria serebral dan tidak terbukti manfaatnya.
  • Anti-Konvulsan ( diazepam, paradelhid, klormetiazol, fenitoin)
    • Kejang merupakan salah satu komplikasi dari malaria serebral. Penanganan/pencegahan kejang penting untuk menghindarkan aspirasi.Penanganan kejang:
      • Diazepam : i.v 10 mg; atau intra -rektal 0,5-1,0 mg/ Kg BB.
      • Paradelhid : 0,1 mg/Kg BB
      • Klormetiazol ( dipakai untuk kejang berulang-ulang) Dipakai 0,8 % larutan infus sampai kejang hilang, atau
      • Fenitoin : 5 mg/Kg BB i.v diberikan selama 20 menit
      • Fenobarbital: Pemberian fenobarbital 3,5 mg/Kg BB ( umur diatas 6 tahun) mengurangi terjadinya konvulsi.
Tindakan/pengobatan pada gagal ginjal akut
  • Cairan : Bila terjadi oliguri (dehidrasi) infus N.Salin untuk rehidrasi sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan , kalau produksi urin kurang dari 400 ml/24 jam, diberikan furosemid 40-80 mg. Bila tak ada produksi urin maka kebutuhan cairan dihitung dari jumlah urin + 500 ml cairan/24 jam.
  • Protein: Kebutuhan protein dibatasi 20 gram/hari dan kebutuhan kalori diberikan dengan diet karbo-hidrat 200 gram/hari.
  • Diuretika : Setelah rehidrasi bila tak ada produksi urin , diberikan furosemid 40 mg. Setelah 2 - 3 jam tak ada urin diberikan furosemid lagi 80 mg, ditunggu 3-4 jam, dan bila perlu furosemid 100-250 mg dapat diberikan i.v. pelan-pelan.
  • Dopamin :  Bila diuretika gagal memproduksi urin dan penderita hipotensi, dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5-5,0 ugr/kg/menit .
  • Dialisis : Hemo-dialisis lebih baik dari peritoneal-dialisis karena efek samping perdarahan dan infeksi. Bila kreatinin makin meningkat atau gagal dengan pengobatan diuretika dialisis harus segera dilakukan. Indikasi dialisis yang lain ialah asidosis, hiperkalemia, kelebihan cairan)
  • Tindakan terhadap hiperkalemi ( serum kalium lebih dari 5,5 meq/L ) : Diberikan regular insulin 10 unit i.v/ i.m bersama-sama 50 ml dekstrose 40 % dan monitor gula darah dan serum kalium. Sebagai pilihan lain dapat diberikan 10 -20 ml kalsium glukonat 10% i.v pelan-pelan. Alternatif lain yaitu resonium A 15 gr/8 jam per oral atau resonium enema 30 gr/8 jam. Bila pemeriksaan kadar kalium darah tak tersedia dapat dilakukan monitoring dengan pemeriksaan elektrokardiografi.
  • Hipokalemi : Hipokalemi terjadi 40 % dari penderita malaria serebral. Bila kalium 3,0 - 3,5 meq/L diberikan KCL per infus 25 meq. kalium 2,0 - 2,9 meq/L diberikan KCL per infus 50-75 meq. Pemberian KCl tidak melebihi 100 meq/ hari dan tidak diberikan i.v bolus.
  • Hiponatremi : Hiponatremi dapat memberikan penurunan kesadaran. Pada malaria serebral hiponatremi dapat terjadi karena kehilangan elektrolit lewat muntah dan diare ataupun kemungkinan terjadinya sindroma abnormalitas hormon anti diuretik (SAHAD). Akan tetapi kelebihan hormon vasopresin hanya terjadi 1 diantara 17 penderita malaria falsiparum. Kebutuhan Natrium dapat dihitung: = B.B (kg) x 60 % x Na. defisit (meq/L). Satu liter N.Salin = 154 meq; 1 gr NaCl puyer = 17 meq.
  • Asidosis ; Asidosis (pH kurang dari 7,15 ) merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering bersamaan dengan kegagalan fungsi ginjal. Pengobatannya dengan pemberian bikarbonat
Tindakan terhadap malaria biliosa
Penyembuhan fungsi hati terjadi 1-3 minggu, keadaan ini sering disertai gagal ginjal, sehingga diperlukan penanganan gagal ginjal juga . Penanganan malaria biliosa adalah sbb:
  1. Pemberian kinin dosis awal 20 mg/kgBB boleh diberikan bila 24 sebelumnya tidak memakai kina. Bila setelah 48 jam keadaan umum belum membaik, kuning bertambah/ bilirubin meningkat dosis kinin diturunkan setengahnya. Apabila riwayat pengobatan sebelumnya tidak jelas pemberian kina dengan dosis awal 10 mg/kgBB lebih aman.
  2. Bila ikterik disebabkan karena intravaskuler hemolisis, kinin dihentikan dan diganti klorokuin, dengan dosis 5 mg/kg B.B.
  3. Bila anoreksi berat berikan 10 % glukose i.v, atau makanan sonde. Lemak harus dibatasi, diet terutama karbo-hidrat,buah-buahan dan protein. Vitamin diberikan untuk yang kekurangan gizi, vitamin K 10 mg bila ada hipoprotrombinemi .
  4. Pada gangguan fungsi hati sebaiknya dihindarkan suntikan intra muskuler karena bahaya perdarahan/hematom/DIC.
  5. Vitamin K dapat diberikan 10 mg/ hari i.v selama 3 hari untuk memperbaiki faktor koagulasi yang tergantung vit. K. Gangguan faktor koagulasi lebih sering dijumpai pada penderita dengan ikterik yang berat.
  6. Hati-hati dengan obat-obatan yang mengganggu fungsi hati parasetamol, tetrasiklin.

Penanganan Hipoglikemi
Periksa kadar gula darah secara cepat dengan glukometer pada setiap penderita malaria berat ( malaria serebral, malaria dengan kehamilan, malaria biliosa )
Bila kadar gula darah kurang dari 40 mg%, maka:
  1. Beri 50 ml Dekstrose 40 % i.v dilanjutkan dengan
  2. Glukosa 10 % per infus 4 - 6 jam
  3. Monitor gula darah tiap 4 - 6 jam, sering kadar gula berulang-ulang turun.
  4. Bila perlu obat yang menekan produksi insulin seperti diazoxide , glukagon atau somatostatin analogue.
Penanganan blackwater fever
  1. Istirahat ditempat tidur, karena hemolisis memudahkan terjadinya kegagalan jantung
  2. Menghentikan muntah dan sedakan, dengan menghisap es, sedatif atau trankuiliser ( klorpromazin 50-100 mg i.m ; diazepam 10 mg 2 x sehari) .
  3. Bila terjadi kegagalan sirkulasi perifer, segera infus dengan cairan plasma/ darah. Kebutuhan cairan disesuaikan dengan produksi urin.
  4. Transfusi darah bila Hb kurang dari 6 gr% atau hitung eritrosit kurang dari 2 juta/mm.
  5. Pengobatan anti-malaria jarang diperlukan semasa krisis hemolitik, akan tetapi bila parasitemi tinggi dipergunakan klorokuin atau amodiakuin. Bila diduga parasit resisten klorokuin, diberikan sulfadoksin+pirimetamin. Kinin tidak boleh dipergunakan pada blackwater fever .
  6. Monitor produksi urin, ureum dan kreatinin. Bila ureum lebih besar 200mg% dipertimbangkan dialisis.
Penanganan Malaria Algid
Tujuan dalam penanganan malaria algid/ malaria dengan syok yaitu memperbaiki gangguan hemodinamik. Beberapa tes perlu dilakukan yaitu: analisa gas darah, serum elektrolit. kadar gula darah, ureum dan kreatinin darah, hemoglobin dan hematokrit, leukosit, urin osmolaritas.
  1. Pemberian cairan infus untuk mengembalikan volume darah (1 L cairan mengandung dekstran/ plasma diberikan dalam 1 jam )
  2. Bila belum ada perbaikan tekanan darah dan debar jantung, di berikan lagi 1 L cairan isotonis.
  3. Hipotensi biasanya berespon terhadap cairan. Bila tak berhasil dapat dipakai dopamin. Dosis 2-4 amp ampul dopamin ( 1amp = 200 mg) dalam 500 cc Dextrose 5%, dengan tetesan infus mulai 1-2 microgr/Kg/min. Tetesan sampai 10 microgr/Kg/min dopamin menyebabkan vasodilatasi dan memperbaiki sirkulasi ginjal. Pada dosis besar menyebabkan vasokonstriksi oleh karenanya perlu dikombinasikan dengan dobutamine.
Penanganan Edema Paru
Edema paru merupakan komplikasi yang fatal, oleh karenanya pada malaria berat sebaiknya dilakukan penanganan untuk mencegah terjadinya edema paru. Atau setidak- tidaknya mengenali tanda awal dari kelainan foto pada permulaan insufisiensi paru akut.
  1. Pemberian cairan dibatasi, sebaiknya menggunakan monitoring dengan CVP line . Pemberian cairan melebihi 1500 ml cenderung memberikan edema paru.
  2. Bila ada anemi , transfusi darah diberikan perlahan-lahan.( 1 unit darah dalam 4 jam )
  3. Mengurangi beban jantung kanan dengan tidur setengah duduk, memberikan diuretika ( furosemid / bumetadin ) atau venaseksi 250 ml darah.
  4. Dapat dicoba pemberian vasodilator (nitro-prussid) atau nitro-gliserin
  5. Perbaiki hipoksia dengan memberikan oksigen konsentrasi tinggi, dan bila mungkin dengan IPPR ( intermittent positive pressure respiration ).
Penanganan anemi
Bila anemi kurang dari 5 gr % atau hematokrit kurang dari 15 % diberikan tranfusi darah whole blood atau packed cells. Darah segar lebih baik dibanding darah biasa. Transfusi sebaiknya pelan-pelan, kalau perlu dengan monitoring CVP line atau dengan memberikan furosemid 20 mg sebelum transfusi.

Penanganan terhadap infeksi sekunder/ sepsis
Infeksi sekunder yang sering terjadi yaitu pneumonia karena aspirasi; sepsis yang berasal dari infeksi perut; infeksi saluran kencing karena pemasangan kateter. Antibiotika yang dianjurkan sebelum diperoleh hasil kultur ialah kombinasi ampisilin dan gentamisin, atau bila mungkin sefalosporin generasi ke III ( ceftizoxim, ceftriaxone atau ceftazidime).

TINDAKAN UMUM (Tindakan Perawatan di bilik perawatan intensif (ICU)
  1. Pertahankan fungsi vital : sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi.
  2. Hindarkan trauma : dekubitus, jatuh dari tempat tidur
  3. Hati-hati komplikasi: kateterisasi, defekasi, edema paru karena over hidrasi
  4. Monitoring : temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap 1/2 jam. Perhatikan timbulnya ikterus dan perdarahan.
  5. Monitoring : ukuran dan reaksi pupil, kejang, tonus otot.
  6. Baringkan/ posisi tidur sesuai dengan kebutuhan
  7. Sirkulasi: hipotensi-- dengan posisi Tredenlenburg's perhatikan warna dan temperatur kulit
  8. Cegah hiperpireksi dengan tidak pernah memakai botol panas/ selimut listrik, kompres air/ air es/ alkohol, kipas dengan kipas angin/ kertas, baju yang tipis/ terbuka, cairan cukup
  9. Pemberian cairan : oral, sonde, infus, maksimal 1500 ml. dimana cairan masuk diukur jumlah per 24 jam, cairan keluar diukur per 24 jam, kurang cairan akan memperberat fungsi ginjal dan kelebihan cairan menyebabkan edema paru
  10. Diet : porsi kecil  dan  sering, cukup kalori,karbohidrat dan garam.
  11. Perhatikan kebersihan mulut
  12. Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptik kateterisasi.
  13. Kebersihan kulit : mandikan tiap hari dan keringkan .
  14. Perawatan mata : hindarkan trauma, tutup dengan kain/ gaas lembab.
  15. Perawatan anak :
    1. hati-hati aspirasi, hisap lendir sesering mungkin.
    2. letakkan posisi kepala sedikit rendah.
    3. posisi dirubah cukup sering.
    4. pemberian cairan dan obat harus hati-hati.

PROGNOSIS
  • Prognosis pasien malaria berat ditentukan oleh banyaknya organ yang terlibat dan beratnya disfungsi organ tersebut. Penelitian di Minahasa menunjukkan keterlibatan hanya 1 oragn mortalitasnya 10,5 %, komplikasi pada 2 organ mortalitasnya 47,6 %, sedang komplikasi pada 3 organ atau lebih mortalitasnya 88,9 %. Selain itu prognosis juga ditentukan oleh kecepatan diagnosis dan pengobatan yang adekuat. Prognosis pasien malaria berat umumnya dinilai indikator klinis dan laboratoris.
Indikator klinis
  • Setiap derajat penurunan kesadaran akan meningkatkan mortalitas. Mortalitas malaria serebral ( unrousable coma ) sekitar 20 % pada orang dewasa, dan 15 % pada anak-anak. Prognosis malaria serebral akan lebih memburuk bila disertai GGA.
  • Komplikasi GGA mempunyai prognosis yang buruk, terlebih bila disertai ikterus. Prognosis malaria berat bila tanpa manifestasi malaria berat lainnya adalah baik. Data terakhir menunjukkan derajat asidosis ( diperiksa dengan napas Kussmaul; pH arteri; defisit basa; kadar bikarbonat plasma; kadar asam laktat arteri, vena, cairan serebrospinal ) berkaitan dengan prognosis.
  • Pada anak-anak gangguan pernapasan yang mencerminkan asidosis berat, edema paru, atau pneumonia aspirasi, mempunyai prognosis yang buruk. Adanya perdarahan juga meningkatkan risiko kematian. Malaria dengan ikterus mempunyai prognosis jelek hanya bila disertai komplikasi malaria berat lainnya. Selain itu pasien splenektomi, kehamilan, pasien pemakai kortikosteroid atau obat sitostatika, pasien imunosupresi mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Indikator laboratorium
  • Indikator laboratorium prognosis buruk pada malaria berat meliputi hiperparasitemia, skizontemia perifer, leukositosis perifer (lebih dari 12.000/uL). Kadar asam laktat cairan serebrospinal yang tinggi, kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah ; kadar antitrombin III yang rendah ; kreatinin lebih dari 3 mg/dL ; blood urea nitrogen lebih dari60 mg/dL ; hematokrit kurang dari 20 %, atau kadar Hb kurang dari 7,1 g/dL ; kadar gula darah kurang dari 40 mg/dL ; kadar asam laktat vena lebih dari 6 mmol/L, kadar bikarbonat serum ; kadar transaminase serum meningkat lebih dari 3 kali nilai normal.