Cara diagnosis dan pengobatan penyakit alergi obat stevens jhonson syndrom

               DIAGNOSIS DAN PENGOBATAN SYNDROM STEVENS JHONSHON


DIAGNOSIS SYNDROME STEVEN JHONSON
           Diagnosa merupakan hal yang penting sehubungan dengan perawatan yang akan dilakukan. Diagnosa sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar perawatan dapat segera dilakukan sehingga hasilnya akan lebih memuaskan dan prognosis yang buruk dari sindrom Stevens-Johnson dapat dihindarkan. Penegakkan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosa Sindrom Stevens-Johnson terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang.


  • Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa penyakit. Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara dokter gigi dengan penderita atau keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Seorang dokter harus menguasai cara melakukan anamnesis yang baik sehingga dapat mengarahkan dan menganalisis jawaban-jawaban pasien untuk memperoleh suatu kesimpulan yang merupakan penegakkan diagnosis dari sindrom Stevens-Johnson. Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama, riwayat penyakit yang sedang dan pernah diderita baik penyakit umum maupun khusus, riwayat keluarga,riwayat pemakaian obat baik topikal ataupun sistemik.


  • Pemeriksaan klinis
    • Pemeriksaan klinis berupa gejala prodromal, trias kelainan kulit, mukosa,dan mata.
    • Untuk lebih jelas mengenai gejala klinis sydrome stevens jhonson, dapat anda baca pada posting saya sebelumnya,...............DI SINI
    • Pemeriksaan kulit : 
      • Lokalisasi : Biasanya generalisata, kecuali pada kepala yang bermbut.
      • Efloresensi/ sifat-sifatnya : Eritema berbentuk cincin (pinggir eritema, tengah relatif hiperpigmentasi), yang berkembang menjadi urtikaria atau lesi papular berbentuk target dengan pusat ungu, atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Purpura (petekie), vesikel dan bula, numular sampai dengan plakat. Erosi, Ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah hitam.
Selain gejala prodormal dan trias kelainan kulit, mukosa dan mata dalam pemeriksaan klinis fisik dapat pula di temukan :


Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan:
              Demam
              Ortostasis
              Takikardia
              Hipotensi
              Penurunan kesadaran
              Epistaksis
              Konjungtivitis
              Ulkus kornea
              Vulvovaginitis erosiva atau balanitis
              Kejang, koma

  • Pemeriksaan penunjang
    • pemeriksaan laboratorium
      • Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ
        • Pemeriksaan darah lengkap 
            • dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atauleukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan kemungkinan infeksi bakteri berat.
            • pemeriksaan imunologik
              • Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurundan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.
        • Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
        • mengevaluasi fungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria.
        • Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
          • Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari24 jam
        • Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani masalah lainnya.
        • Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya infeksi.
        • Bronkoskopi, esofagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.
  • Pemeriksaan Radiologi:
    • Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.
  • Pemeriksaan Histopatologi:
    • Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan merupakan prosedur ruang gawat darurat.
      • a)Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal. 
      • b)Nekrosis sel epidermal dapat dilihat
      • c)Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit
    Pada umumnya perubahan-perubahan terjadi pada bagian atas kulit berupa pelebaran atau dilatasi pembuluh darah superfisial yang dikelilingi oleh infiltrasi sel radang limfosit dari ringan sampai berat dan sejumlah sel radang yang lainnya seperti neutrofil, eosinofil, leukosit dan sel polimononuklear. Selanjutnya reaksi edematus meluas sampai epidermis, yang diikuti penetrasi sejumlah besar cairan edema sehingga menyebabkan pembentukan vakuola. Batas antara dermis dan epidermis menjadi tidak jelas dan pada akhirnya pembentukan vakuola akan menyebabkan terjadinya vesikel. Vesikel ditandai dengan adanya celah pada perbatasan antara dermis dan epidermis serta nekrosis sel epidermis bagian atas yang tebal dan padat. Vesikel selanjutnya dapat membentuk bula yang berisi eksudat fibrinosa dan sejumlah besar sel radang. Vesikel maupun bula dapat terjadi pada subepitel dan intraepitel



    DIAGNOSA BANDING SYNDROME STEVENS JHONSON
    • Toxic Epidermolysis Necroticans.
      • Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN atau NET.
      • untuk lengkapnya dapat di baca di SINI
    • Staphylococcal Scalded SkinS syndrome (Ritter disease). 
      • Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena. Penyakit pada bayi akibat kelompok tipe 2 famili 17 staphylococci yang menghasilkan eksotoksin epidermolytic. baik vesikel dan bula berbentuk dangkal dan mudah pecah, yang mengakibatkan hilangnya lembaran besar epidermis.
      • baca di SINI
    • Variola hemoragika 
      • efloresensi kulit berupa vesikel/bula dalam stadium yang sama monomorf. DISINI
    • Pemphigoid bulosa (Langlais and Miller, 2003)
      • biasanya ada akantosis dan tes nikolski positif
    • Eksantem fiksum multiple generalisata 
    • Lichen planus tipe bula.




    PENGOBATAN SYNDROM STEVEN JHONSHON
    Perawatan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan perawatan secara umum meliputi :

    • Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan
    • Rawat Inap
      • Penderita sindrom Stevens-Johnson yang mengalami masa kritis akibat ketidakseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, perhatian khusus kepada airway, penanganan lesi kulit dan kontrol nyeri dan kesadaran penderita yang menurun, serta keadaan umum yang buruk, maka rawat inap di rumah sakit sangat diperlukan. Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan penderita.
      • Infus
        • Hal yang perlu diperhatikan pada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibatadanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infus yang diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. (Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2002)
    • Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis. Beberapa ahli menyarankan pemberian kortikosteroid, antibiotik, hemodialisis dan imunoglobulin
      • Preparat Kortikosteroid
        • Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mgsehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. 
        • Setelah dosis mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari. Penurunan dosis kortikosteroid sistemik harus dilakukan oleh setiap dokter karena kortikosteroid mempunyai efek samping yang besar bagi penderita (Hamzah, 2002).
        • Pemberian Obat anabolik diberikan untuk menetralkan efek katabolik akibat penggunaan preparat kortikosteroid. Obat anabolik yang sering digunakan seperti nandrolon fenilpropionat dengan dosis 25-50 mg untuk dewasa dan dosis untuk anak tergantung berat badan
        • Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral (Mansjoer, dkk.,2000; Hamzah, 2002; Perdoski, 2003)
      • Pemberian antibiotik. 
        • Antibiotik yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2x400 mg i.v., dan klindamisin 2x600 mg i.v sehari Sebaiknya antibiotik yang diberikan berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah
      • Adenocorticotropichormon (ACTH)
        • Penderita perlu diberikan ACTH  untuk menghindari terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH  yang diberikan berupa ACTH  sintetik dengandosis 1 mg (Siregar, 1996)
    • Perawatan pada Kulit
      • Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment  berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur (Landow, 1983)
      • Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit (Siregar, 1996; Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2000)
    • Perawatan pada Mata
      • Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang kronis,suplemen air mata sering kali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal ephithelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.Konsultasi dokter gigi dengan dokter spesialis mata sangat direkomendasikan dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar kebutaan dapat dihindarkan (Lagayan, 2005)
    • Perawatan pada Genital
      • Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibaturetritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar  buang air kecil (Landow, 1983; Lagayan, 2005)
    • Perawatan pada Rongga Mulut
      • Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anestetik topikal dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Penggunaan lidokain 2% dengan cara mengoleskan secukupnya pada daerah lesi sampai merata dengan menggunakan cotton swab. 
      • Campuran 50% air dan hidrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. 
      • Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi.
      •  Balloon dilatation kadang-kadang diindikasikan untuk perawatan esophageal  strictures (Smelik, 2005)
      • Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3% (Siregar, 1996)
      • Menurut Perdoski (2003), lesi oral terutama pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topikal. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum. Rasa nyeri yang dialami penderita akibat adanya lesi oral menyebabkan penderita mengalami sukar menelan makanan atau minuman. Apabila penderita mampu minum secara peroral, maka penderita diijinkan makan makanan padat. Penderita tidak dapat menyikat gigi, maka diganti dengan obat kumur seperti sodium bikarbonat. Lesi pada mukosa bibir dapat diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin yang digunakan untuk menjaga kelembaban bibir agar tidak melekat satu sama lain(Landow, 1983)
    • Diet
      • Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan (Hamzah, 2002).
    • Vitamin
      • Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. 
        • Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. 
        • Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler (Hamzah, 2003)

    Mortalitas dan Morbiditas SSJ

                 Mortalitas secara primer ditentukan oleh banyaknya kulit yang terkelupas. Ketika pengelupasan kulit terjadi kurang dari 10%, angka kematian berkisar 1-5%. Akan tetapi, ketika pengelupasan kulit mencapai lebih dari 30%, angka mortalitas menjadi 25-35% dan mungkin mencapai 50%. 
                 Bakteremia atau sepsis juga berkontribusi terhadap kematian. Lesi akan terus bererupsi pada jasad sampai 2-3 minggu. Pembentukan pseudomembranmukosa dapat mengakibatkan scar mukosa dan kehilangan fungsi dari sistem organ yang terkena. Striktur esofagus dapat terjadi ketika terdapat manifestasi yang hebat pada esofagus. Rusaknya mukosa di trakeobronkial dapat mengakibatkan gagalnya pernapasan.Sekuele okular dapat berupa ulserasi kornea dan uveitis anterior. Kebutaan dapat terjadi sekunder terhadap keratitis berat atau panoftalmitis pada 3-10% pasien. Stenosis vaginal dan scar  penis pernah dilaporkan. 



    KOMPLIKASI
    • Sepsis
    • Pneumoni
    • Gagal ginjal.            
    • Opthalmologi : ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan.
    • Gastroenterologi : Striktur esofagus.
    • Genitourinarius : tubular renal nekrosis, gagal ginjal, vaginal stenosis.



    PROGNOSIS

    Kalau kita bertindak tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian.

    Umumnya baik, dapat sembuh sempurna bergantung pada perawatan dan cepatnya mendapat terapi yang tepat. Jika terdapat purpura, prognosis buruk. Angka kematian 5-15%. Bila terjadi purpura yang luas, prognosisnya lebih buruk daripada jika tanpa purpura. Meskipun penyakit ini berat, tetapi dengan pengobatan yang cepat dan tepat, angka kematian rendah.
    Lesi pada individu biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, jika tidak terjadi infeksi sekunder. Kebanyakan pasien sembuh tanpa adanya gejala sisa. Terjadinya gejala sisa yang serius, seperti gagal nafas, gagal ginjal, dan kebutaan tergantung pada organ yang terkena. Lebih dari 15 % pasien dengan SSJ meninggal dunia dikarenakan hal tersebut.

     gambar bayi dengan sindrom Stevens-Johnson



    ANDA DAPAT MEMBACA JUGA

    • PENYEBAB DAN EPIDEMOLOGI SYNDROME STEVENS JHONSHON.... SINI
    • PATOGENESIS DAN GEJALA KLINIS SSJ..................................................SINI
    • NET ( NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK).................................................SINI




    DAFTAR PUSTAKA

    semua daftar pustaka di bawah ini, berdasarkan pembahasan- pembahasan saya sebelumnya mengenai syndrome stevens jhonson.

    • Ananworanich, J., et al. 2005. Incidence and risk factors for rash in Thai patients randomized toregimens with nevirapine, efavirenz or both drugs. Epidemiology and Social. AIDS:Volume 19 - Issue 2 - p 185-192.
    • Balano, K. B. 2002. Adverse Reactions & Antiretroviral Therapy. Available at:http://www.hawaii.edu/hivandaids/Adverse Reactions Oct 2002.ppt. (diakses 2 Juni2009).
    • Bastuji-Garin, et al. 1993. Clinical Classification of Cases of Toxic Epidermal Necrolysis,Stevens-Johnson Syndrome, and Erythema Multiforme. Arch Dermatol 129 (1) : 92-96.
    • Bastuji-Garin, S. 2000. SCORTEN: a severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. JInvest Dermatol. 115:149-53.
    • Bricker, S.L.; R.P. Langlais; C.S. Miller. 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment Planning. 2nded. Philadelpia: A Waverly Company.
    • Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Sindrom Stevens Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit Kelamin. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.2005.p163-165
    • Siregar RS. Sindrom Stevens Johnson . Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi II. EGC. Jakarta. 2002. p.141-142
    • Barakbah, Pohan, Sukanto, Marodiharjo. Sindrom Stevens Johnson.Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Airlangga University Press. Surabaya. 2008.p.120-121
    • Orkin, Maibach, Dahl. a Lange Medical Book Dermatology. 1st edition. Appleton and Lange A Publishing Division of Pretince Hall. United States of America 1991.p.587-588
    • NN. Wikipedia Inc. Stevens- Johnson Syndrome. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/stevens-johnson-syndrome. Accessed on December 20th, 2009
    • James, Berger, Elston, Andrew’s. Disease of The Skin Clinical Dermatology.10th edition. WB Saunders Company. Canada.2006.p.140-144
    • NN. Jendela dunia. Stevens- Johnson Syndrome. Available at: http://jendela.duniaeby.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=29 . Accessed on December 20th, 2009
    • NN. DermNet NZ. Stevens- Johnson Syndrome. Available at: http://www.dermnetnz.org. Accessed on December 20th, 2009
    • NN. Medterms. Stevens- Johnson Syndrome. Available at: http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=14086. Accessed on December 20th, 2009
    • Parrilo SJ. Stevens- Johnson Syndrome. Available at: http://www.emedicine.com/emerg/topic555.htm . Accessed on December 20th, 2009
    • NN. Stevens- Johnson Syndrome. Available at: http://dermis.multimedica.de . Accessed on December 20th, 2009
    • Hidayat T, PurwakaRH, Profil Penderita Sindrom Stevens- Johnson di RSSA Malang 2000 – 2003. Medika.2005.Vol. XXXI. No.12.p.723-729
    • Dunant AA, Mockenhaupt M, Naldi L, dkk. Correlations Between Clinical Patterns and Causes of Erythema Multiforme Majus, Steven- Johnson Syndrome, and Toxi Epidermal Necrolysis. Archives on Dermatology. VOl 138. August.2002.p.1019-1024