HIPOGLIKEMIK IATROGENIK
PENDAHULUAN
Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe I (DMT l) dan diabetes tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Dokter dan tenaga kesehatan yang lain harus memahami benar tentang hal ini dan pasien diabetes serta keluarganya harus diberi informasi tentang masalah hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempumaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman.
Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma.
Dalam keadaan puasa dan makan, istiahat dan aktivitas jasmani, masuknya glukosa ke sirkulasi serta ambilan dari sirkulasi sangat bervariasi. Untuk mempertahankan kadar glukosa plasma dalam rentang batas yang sempit terdapat mekanisme yang sangat peka dan terkolaborasi. Kadar glukosa plasma yang tinggi mengganggu keseimbangan air di jaringan, menimbulkan glukosuria dan meningkatkan glikosilasi jaringan, sebaliknya kadar yang terlalu rendah menyebabkan disfungsi otak, koma dan kematian. Pada individu normal yang sehat, hipoglikemia yang sampai menimbulkan gangguan kognitif yang bermakna tidak terjadi karena mekanisme homeostasis glukosa endogen berfungsi dengan efektif. Secara klinis masalah hipoglikemia timbul karena pada diabetes dan akibat terapi mekanisme homeostasis endogen tersebut terganggu.
DEFINISI, DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Definisi dan Diagnosis
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bhwah harga normal. Walaupun kadar glukosa plasma puasa pada orang nomal jarang melampaui 99 mg%(5,5 mmo/L), tetapi kadar kurang dari 108 mg% (6 mmol./L) masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan (whole blood) karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relatif lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena, sedang kadar glukosa darah kapiler di antara kadar arteri dan vena.
Pada individu normal sesudah puasa semalam kadar glukosa darah jarang lebih rendah dari 4 mmoL/l, tetapi kadar kurang dari 50 mg% (2,8 mmol/L) pernah dilaporkan dijumpai sesudah puasa yang berlangsung lebih lama. Hipoglikemia spontan yang patologis mungkin terjadi pada tumor yang mensekresi insulin atau insulin-like growth factor (IGF). Dalam hal ini diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar gukosa kurang dari 50 mg% (2.8 mmol/L) atau bahkan kurang dari 40 mg% (2 mmol/L). Walaupun demikian berbagai studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi pada kadar glukosa darah 55 mgo/o (3 mmo/l). Lebih lanjut diketahui bahwa kadar glukosa darah 55 mgo/o (3 mmoVl-) yang terjadi berulangkali merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat. Respon regulasi non-pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah 63-65 mg% (3,5-3,6 mmol/l). Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma kurang dari sama dengan 63 mg% (3,5 mmol./L).
Klasilikasi Pada diabetes, hipoglikemia juga sering didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Wipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a. keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b. kadar glukosa darah yang rendah (kurang dari 3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c. hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi. Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinoma) dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat (Tabel 1).
TABEL 1. KLASIFIKASI KLINIS HIPOGLIKEMIK AKUT
| |||||
1
|
Ringan
|
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata
| |||
2
|
Sedang
|
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata
| |||
3
|
Berat
|
Sering (tidak selalu) tidak simtomatik, karena gangguan kognitif pasien tidak mampu mengatasi sendiri
|
EPIDEMIOLOGI
Karena definisi yang digunakan berbeda perbandingan kekerapan kejadian hipoglikemia dari berbagai studi harus dilakukan dengan hati-hati. Sangat bermanfaat untuk mencatat kekerapan kejadian hipoglikemia agar pengaruh berbagai regimen terapi terhadap timbulnya hipoglikemia dan ciri-ciri klinik yang menyebabkan pasien berisiko dapat dibandingkan. Dalam the Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang dilaksanankan pada pasien diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien/tahun pada kelompok yang mendapat terapi insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang mendapat terapi konvensional. Sebaliknya, dengan kriteria yang berbeda kelompok the Duusseldorf mendapat kejadian hipoglikemia berat didapatkan pada 28 dengan terapi insulin intensif dan 17 dengan terapi konvensional. Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali hanya dianggap sebagai konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak dapat dihindari. Walaupun demikian, hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan, karena potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia yang lebih berat.
PENYEBAB HIPOGLIKEMIA
Pada pasien diabetes hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Oleh sebab itu dijumpai saat-saat dan keadaan tertentu di mana pasien diabetes mungkin akan mengalami kejadian hipoglikemia. Sampai saat ini pemberian insulin masih belum sepenuhnya dapat menirukan (mimicking) pola sekresi insulin yang fisiologis. Makan akan meningkatkan kadar glukosa darah dalam beberapa menit dan mencapai puncak sesudah 1 jam. Bahkan insulin yang bekerjanya paling cepat (insulin analog rapid-acting) bila diberikan subkutan belum mampu menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak tersebut dan berakibat menghasilkan puncak konsentrasi insulin 1-2 jam sesudah disuntikkan. Oleh sebab itu pasien rentan terhadap hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktu makan yang berikutnya. Oleh sebab itu waktu dimana risiko hipoglikemia paling tinggi adalah saat menjelang makan berikutnya dan malam hari.
Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin, dan sebagian besar pasien yang mendapat sulfonilurea, pernah mengalami keadaan di mana kadar insulin di sirkulasi tetap tinggi sementara kadar glukosa darah sudah di bawah normal. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani terhadap kadar glukosa darah, tanda-tanda dini hipoglikemia dan cara penanggulangannya. Risiko hipoglikemia terkait dengan penggunaan sulfonilurea dan insulin dapat dilihat dalam gambar 1.
Pada pasien diabetes tipe 2 kejadian hipoglikemia berat jauh lebih sedikit. Dari the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), pada kadar HbAlc yang setara dengan DCCT dalam 10 tahun pertama kejadian hipoglikemia berat dengan terapi klorpropamid timbul pada 0,4 persen, glibenklamid 0,6 persen dan insulin 2,3 persen (Gambar 1). Kejadian hipoglikemia berat juga meningkat dengan penggunaan insulin yang makin lama.
TABEL II . Berbagai faktor yang merupakan predisposisi atau mempresipitasi hipoglikemia adalah:
| |||||
1 .
|
Kadar insulin berlebihan
| ||||
2.
|
Peningkatan sensitivitas insulin
| ||||
3.
|
Asupan karbohidrat kurang
| ||||
4.
|
Lain-lain
|
PROTEKSI FISIOLOGIS MELAWAN HIPOGLIKEMIA
Mekanisme Kontra Regulator, Giukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot. Gliserol hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan baku Precursor glukoneogenesis hati (Gambar 2).
Epinefrin juga meningkatkan glukoneogengsis di ginjal, yang pada keadaan tertentu merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang berat, Walupun kecil hati juga menunjukkan kemampuan otoregulasi. Kortisol dan growth hormon berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung 1ama, dengan cara melawan kerja insulin dijarigan perifer (lemak dan otot) serta meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hormone (panhipopituitarisme) dan kortisol (penyakit Addison) pada individu menimbulkan hipoglikemia yang umumnya ringan
Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar glukosa setelah hipoglikemia yang diinduksi insulin (insulin-induced hipogIikemia) berkurang sekitar 40%. Bila sekresi glukagon dan epineffin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak terjadi. Se1 beta pankreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi insulin dan turunnya kadar insulin di dalam sel beta berperan dalam sekresi glukagon oleh sel alfa
Studi eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respons fisiologi utama terhadap hipoglikemia terletak di neuron hipotalamus ventromedial (VMH). Neuron-neuron di VMH responsif terhadap glukosa, sebagian menjadi aktif bila kadar glukosa meningkat, sebagian responsif terhadap hipoglikemia. Neuron-neuron tersebut diproyeksikan ke area yang bekaitan dengan aktivasi pituitari-adrenal dan sistim simpatis. Tampaknya respon fisiologi utama terhadap hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang sensitif terhadap giukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan sistim saraf otonomik dan melepaskan hormon-hormon kontra regulator Gambar 3.1.
KELUHAN DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA
Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus-menerus. Gangguan (interruption) asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistim saraf pusat (SSP), dengan gejala gangguan kognisi, bingung (confusion), dan koma. Seperti jaringan yang lain, jaringan saraf dapat memanfaatkan sumber energi altematif, yaitu keton dan laktat. Pada hipoglikemia yang disebabkan insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energi alternatif.
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologis terhadap penurunan glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan metabolisme glukosa, tetapi juga manghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar mengenal keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk karbohrdrat'refned' yang lain. Kemampuan mengenal gejala awal sangat penting bagi pasien diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati normal. Terdapat keragaman keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertenfu, sesuai dengan komponen fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda (Tabel 3).
Tabel 3. Keluhan dan gejala hipoglikemik akut pada pasien DM yang sering dijumpai
| ||
Otonomik
|
Neuroglikopenik
|
Malaise
|
- Berkeringat
- Jantung berdebar
- Tremor
- Lapar
|
- Bingung (confusion)
- Mengantuk
- Sulit berbicara
- lnkoordinasi
- Perilaku yang berbeda
- Gangguan visual
- Parestesi
|
- Mual
- Sakit kepala
|
Pada pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan gangguan sistim saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih menonjol dan biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh neroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan merupakan keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan otonomik cenderung berkurang atau menghilag. Ha1 tersebut menunjukkan kegagalan yang progresif aktivasi sistem saraf otonomik.
Pengenalan Hipoglikemia. Respons pertama pada saat kadar glukosa darah turun di bawah normal adalah peningkatan akut sekresi hormon caunter-regulatory (glukagon dan epinefrin); batas kadar glukosa tersebut adalah 65-68 mg% (3,6-3,8 mmol/L). Lepasnya epinefrin menunjukkan aktivasi sistem simpatoadrenal. Bila glukosa darah tetap turun sampai 3,2 mmo/L, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi kognisi, yang diukur dengan kecepatan reaksi dan berbagai fungsi psikomotor yang lain, mulai terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/l. Pada individu yang masih memiliki kesiagaan (awareness) hipoglikemia, aktivasi sistem simpatoadrenal terjadi sebelum disfungsi serebral yang bermakna timbul. Pasien-pasien tersebut tetap sadar dan mempunyai kemampuan kognitif yang cukup untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.
HIPOGLIKEMIA YANG TTDAK DISADARI (UNAWARENESS)
Kegagalan Respons Proteksi Fisiologis dan Timbulnya Hipoglikemia yang Tidak Disadari.
Walaupun dengan derajat yang berbeda-beda, hampir semua pasien diabetes yang mendapat terapi insulin mengalami gangguan pada mekanisme proteksi terhadap hipoglikemia yang berat. Pada pasien DMT 2 gangguan tersebut umumnya ringan. Pada saat diagnosis DM dibuat, respons glukagon terhadap hipoglikemia umumnya norrnal. Pada pasien DMT 1 mulai turun sesudah menderita diabetes 1-2 tahun, dan sesudah 5 tahun hampir semua pasien mengalami gangguan atau kehilangan respon. Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tetapi tampaknya tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali glukosa darah yang ketat. Sel a secara selektif gagal mendeteksi adanya hipoglikemia dan tidak dapat menggunakan hipoglikemia sebagai rangsangan untuk mensekresi glukagon, walaupun sekresi yang glukagon masih dapat dirangsang oleh perangsang lain seperti alanin. Hipotesis yang paling meyakinkan adalah gangguan tersebut timbul akibat terputusnya pdracrine-insulin cross-tolk di dalam islet cell, akibat produksi insuLin endogen yang turun. Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respon simpatoadrenal yang berkurang walaupun dengan tingkat gangguan yang bervariasi. Respons epinefrin terhadap rangsang yang 1ain, seperti latihan jasmani tarnpaknya nonnal. Seperti pada gangguan respons glukagon, kelainan tersebut merupakan kegagalan mengenal hipoglikemia yang selekif. Pasien diabetes dengan respon glukagon dan epinefrin yang berkurang paling rentan terhadap hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari karena hilangnya glucose counter regulation dan gangguan respons simpatoadrenal.
Hipoglikemia yang Tidak Disadari. Hipoglikemia yang tidak disadari merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin. Segi epidemiologis melaporkan sekitar sekitar 25 persen pasien DMT I mengalami kesulitan mengenal hipoglikemia yang menetap atau beselang-seling (intermittent). Kemampuan mengenal hipoglikemia mungkin tidak absolttte, dan keadaan hipoglikemia unawareness yang parsial juga dijumpai. Dari sekitar 25 persen pasien yang sebelumnya menyatakan dirinya tidak mengalami hipoglkemia unawareness ternyata waktu menjalani tes gagal mengenal hipoglikemia. Bila didapatkan hipoglikemia yang tidak disadari kemungkinan pasien mengalami episode hipoglikemia yang berat 6-7 kali lipat; peningkatan tersebut juga terjadi pada terapi standar. Pada pasien-pasien tersebut selayaknya tidak diberi terapi intensif, tidak diijinkan untuk memiliki ijin mengemudi, dan mungkin juga tidak diperkenankan untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Keluarga pasien selayaknya juga diberitahu tentang kemungkinan terjadinya hipoglikemia berat dan cara penanggulangannya. Berbagai keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari dapat dilihat dalam tabel 4.
Tabel 4. Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemik yang tidak disadari
| ||
Keadaan klinis
|
Kemungkinan
| |
Diabetes yang lama
|
Tidak diketahui
Hipoglikemia yang berulang merusak neuron yang glukosensitif
| |
Kendali metabolik yang ketat
|
Regulasi transport glukosa neuronal yang meningkat
Peningkatan kartisol dengan akibat gangguan utama jalut transmisi neuron
| |
Alkohol
|
Penekanan respon anatomi perifer
Gangguan kognisi
| |
Episode noktural
|
Tidur menyebabkan gejala hipoglikemik yang tidak disadari
Posisi berbaring mengurangi respon simpatoadrenal
Kemampuan abstrak belum cukup
| |
Usia muda
|
Perubahan perilaku
Gangguan kognisi
| |
Usia lanjut
|
Respon anatomik berkurang
Sensitifitas adrenergik berkurang
|
Alkohol. Pasien dan kerabatnya harus diberi informasi tentang potensi bahaya alkohol. Alkohol meningkatkan kerentanan terhadap hipoglikemia dengan cara menghambat glukoneogenesis dan mengurangi hipoglikemia awareness. Episode hipoglikemia sesudah minum alkohol mungkin lebih lama dan berat, dan mungkin karena dianggap mabuk hipoglikemia tidak dikenali oleh pasien atau kerabatnya.
Usia Muda dan Usia Lanjut. Pasien diabetes anak remaja dan usia lanjut rentan terhadap hipoglikemia. Anak umumnya tidak dapat mengenal atau melaporkan keluhan hipoglikemia dan kebiasaan makan yang kurang teratur serta aktivitas jasmani yang sulit diramalkan menyebabkan hipoglikemia menjadi masalah yang'besar bagi anak. Otak yang sedang tumbuh sangat rentan terhadap hipoglikemia. Episode hipoglikemia yang berulang, terutama yang disertai kejang dapat mengganggu kemampuan intelektual anak di kemudian hari. Keluhan hipoglikemia pada usia lanjut sering tidak diketahui, dan mungkin dianggap sebagai keluhan-keluhan pusing (dizzy spelt) atau serangan iskemia yang sementara (transient ischemic attact).Hipoglikemia akibat sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang bekerja lama seperti glibenklamid. Pada usia lanjut respons otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang. Pada otak yang menua gangguan kognitif mungkin terjadi pada hipoglikemia yang ringan. Pada anak dan usia lanjut sasaran kendali glikemia sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh sebab itu dosis insulin perlu disesuaikan. Lebih lanjut disarankan agar sulfonilurea yang bekerja lama tidak digunakan pada pasien DMT 2 yang berusia lanjut. Obat penghambat beta (beta-blocking agents) yang tidak selektif sebaiknya tidak digunakan karena menghambat lepasnya glukosa hati yang dimediasi oleh reseptor B2, penghambat B yang selektif dapat digunakan dengan aman
TERAPI HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES
- Glukosa Oral.
- Sesudah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler, 10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idialnya dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorbsi giukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g karbohidrat kompleks. Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian madu atau gel giukosa lewat mukosa rongga mulut (buccal) mungkin dapat dicoba.
- Glukagon Intramuskular.
- Glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga nonprofesionai yang terlatih dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja glukagon tersebut sama dengan pemberian glukosa infavena. Bila pasien sudah sadar pemberian giukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemia yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efektifitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.
- Glukosa Intravena.
- Glukosa intravena harus diberikan dengan berhati- hati. Pemberian glukosa dengan konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20% atau 150-200 ml gtukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi glukosa 50% dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.
KESIMPULAN
- Untuk mencegah timbulnya komplikasi menahun, ancaman timbulnya hipoglikemia merupakan faktor Limitasi utama dalam kendali glikemi pada pasien DMT I dan DMT 2 yang mendapat terapi insulin. Dengan mengenal gejala awal hipoglikemia pasien dan keluarga dapat mencegah kejadian hipoglikemia yang lebih berat. Ketidakmampuan pasien mengenal gejala dini hipoglkemia (hipoglikemia unawareness) menyebabkan pasien rentan terhadap tcejadian hipogtike mia. Hipoglycemia unawareness timbul akibat gangguan respon fisiologis simpatoadrenal dan sekresi glukagon yang sering didapatkan pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin. Hipoglikemia akut harus segera diterapi dengan pemberian glukosa oral 10-20 g dalam bentuk larutan. Bila glukosa oral tidak dapat diberikan, pemberian glukagon I mg i.m atau 75-100 m1 larutan glukosa intravena 20 persen merupakan terapi yang efektif.