Showing posts with label MUSKULOSKELETAL. Show all posts
Showing posts with label MUSKULOSKELETAL. Show all posts

MEKANISME KORTIKOSTEROID MENYEBABKAN OSTEOPOROSIS

Osteoporosis Akibat Steroid

PENDAHULUAN

Secara harfiah kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti berlubang atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang yang ditandai oleh menurunnya massa tulang, oleh karena berkurangnya matriks dan mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi kecenderungan tulang mudah patah. Pada osteoporosis akan terjadi abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses penyerapan tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan tulang (bone formation). salah satu penyebab terjadinya osteoporosis adalah penggunaan kortikosteroid yang berkepanjangan.

                                       VIDEO PENJELASAN TERJADINYA OSTEOPOROSIS

Kortikosteroid sangat banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit autoimun. Obat ini mempunyai banyak efek samping, salah satunya adalah menyebabkan kehilangan massa tulang yang ireversibel, bila digunakan dalam dosis yang tinggi dan jangka panjang. Efek kortikosteroid pada tulang trabekular jauh lebih besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang tercepat sampai terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung tulang panjang.

Kehilangan massa tulang tercepat terjadi pada tahun pertama penggunaan steroid yang dapat mencapai 20% dalam 1 tahun. Insidens fraktur akibat osteoporosis pada pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga dapat menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednison lebih dari 7,5 mg/hari akan menyebabkan osteoporosis pada banyak penderita.

EFEK GLUKOKORTIKOID PADA TULANG

Histomorfometri
  • Secara histomorfometri, glukokortikoid akan mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular, penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter resorpsi tulang, depresi pengerahan osteoblas dan penekanan fungsi osteoblas.
Efek pada osteoblas dan formasi tulang
  • Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus menerus akan mengganggu sintesis osteoblas dan kolagen. Replikasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam paparan dengan glukokortikoid. Selain itu juga terjadi penghambatan sintesis osteokalsin oleh osteoblas.
Efek pada resorpsi tulang
  • In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoblas dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo, berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat penghambatan absorpsi kalsium di usus oleh glukokortikoid.
Efek pada hormon seks
  • Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang pada pemberian steroid.
Absorpsi kalsium di usus dan ekskresi kalsium di ginjal
  • Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan mengganggu transport aktif transelular kalsium. Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak berhubungan dengan vitamin D. Gan asupan natrium yang tinggi dan akan menurun dengan pembatasan asupan natrium dan pemberian diuretik tiazid.
Efek pada metabolisme hormon paratiroid dan vitamin D
  • Kadar PTH dan 1,25 dihidroksivitamin D (1,25 (OH)2D) dalam serum meningkat pada pengguna glukokortikoid, walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang mengubah transport kalsium. Glukokortikoid meningkatkan sensitivitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan penghambatan aktifitas fosfatase alkali oleh PTH dan menghambat sintesis kolagen. Efek 1,25(OH)2D juga dihambat oleh glukokortikoid, walaupun kadar 1,25(OH)2D meningkat dalam darah. Hal ini diduga akibat perubahan respons membran sel dan perubahan reseptor. Ekspresi osteokalsin oleh osteoklas yang dirangsang oleh 1,25(OH)2D, juga dihambat oleh glukokortikoid.
Efek pada sitokin
  • Interleukin-1 (IL-1) dan IL-6 mempunyai efek peningkatan reseorpsi tulang dan menghambat formasi tulang. Glukokortikoid akan menghambat produksi IL-1 dan IL-6 limfosit-T. Pada penderita artritis reumatoid, pemberian glukokortikoid akan menurunkan aktifitas peradangan sehingga penurunan massa tulang juga dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat, apakah hal ini merupakan efek glukokortikoid pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.
Osteonekrosis
  • Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular), merupakan efek lain glukokortikoid pada tulang. Bagian tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput humeri dan distal femur. Mekanismenya belum jelas, diduga akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.

EVALUASI PENDERITA

Dengan dikembangkannya Dual-energy X-ray absorptiometry (DXA), kita dapat mengetahui penurunan densitas massa tulang sedini mungkin dengan lebih tepat pada tulang vertebra lumbal, proksimal femur dan lengan bawah distal. Pemeriksaan densitas massa tulang (bone mineral density, BMD) akan memberikan nilai T-score, yang merupakan perbedaan deviasi standar dibandingkan dengan puncak densitas massa tulang pada usia muda pada ras dan jenis kelamin yang sama; dan Z-score yang merupakan perbedaan dalam deviasi standar dengan kontrol sehat yang berusia sama pada ras dan jenis kelamin yang sama. Berdasarkan kriteria WHO, T-score kurang dari -1 menunjukkan osteopenia sedangkan T-score kurang dari -2,5 menunjukkan osteoporosis yang nyata.

Karena tulang-tulang trabekular lebih dulu menunjukkan kehilangan densitas pada pengguna steroid, maka perubahan awal densitas massa tulang akan mudah dilihat pada BMD vertebra, dalam hal ini tulang-tulang lumbal. Idealnya, evaluasi densitas massa tulang dilakukan pada daerah lumbal, proksimal femur dan lengan bawah distal. Tetapi bila karena keterbatasan dana dan diputuskan untuk hanya mengambil satu tempat saja, maka direkomendasikan untuk memeriksa BMD lumbal pada penderita di bawah 60 tahun dan proksimal femur pada penderita di atas 60 tahun karena BMD lumbal pada usia lanjut dapat meningkat akibat proses osteoartrosis. Sebaiknya pemeriksaan BMD dilakukan sebelum pemberian kortikosteroid jangka panjang (= 6 bulan), saat dimulai atau segera setelah dimulai.

PENCEGAHAN

Walaupun glukokortikoid berhubungan dengan penurunan massa tulang dan fraktur, tidak berarti semua pengguna glukokortikoid akan mengalami fraktur. Walaupun demikian sangat sulit untuk memprediksi, penderita mana yang akan mengalami fraktur. Oleh sebab itu, berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan pada semua pengguna glukokortikoid, terutama pada :
  1. Penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi.
  2. Penderita dengan high bone turnover, misalnya wanita pasca menopause, anak-anak dan penderita artritis reumatoid yang aktifitas penyakitnya tinggi.
Tindakan umum yang harus dilakukan untuk mencegah osteoporosis pada pengguna glukokortikoid adalah sebagai berikut :
  1. Berikan glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin.
  2. Pada penderita artritis reumatoid, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan massa tulang akibat artritis reumatoid yang aktif.
  3. Bila mungkin, anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik, misalnya berjalan 30-60 menit/hari secara teratur. Hal ini akan meningkatkan densitas massa tulang dan menguatkan otot serta koordinasi neuromuskular, sehingga dapat mencegah terjatuh.
  4. Hindari sedatif dan obat anti hipertensi yang menyebabkan hipotensi ortostatik.
  5. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin.
  6. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari rnaupun suplementasi.
  7. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/ hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 1,25(OH)2D harus dipertimbangkan.
  8. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin lebih dari 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).

PENGOBATAN

Pengobatan osteoporosis akibat glukokortikoid diberikan pada penderita-penderita :
  1. Fraktur vertebra non-traumatik, dan/atau
  2. Fraktur perifer non-traumatik, dan/atau
  3. Pada pemeriksaan densitas massa tulang didapatkan T-score kurang dari-2.
Pada penderita-penderita di atas, selain tindakan pencegahan yang sudah dijelaskan sebelumnya, juga harus diberikan pengobatan. Saat ini terapi pengganti hormonal yang terdiri dari kombinasi estrogen dan progesteron untuk wanita dan testosteron untuk laki-laki yang diketahui kadar testosteron serumnya rendah, merupakan pengobatan pilihan pada osteoporosis akibat steroid.

Pilihan lain adalah bisfosfonat, seperti etidronat, klodronat dan alendronat. Alendronat merupakan bisofosfonat pilihan, terutama pada wanita pra-menopause tanpa gangguan siklus haid dan laki-laki dengan kadar testosteron normal, karena tidak menyebabkan gangguan mineralisasi tulang, walaupun kadang-kadang menyebabkan gangguan gastrointestinal. Obat lain adalah kalsitonin, tetapi harganya mahal. Obat lain mempunyai efek tambahan lain sebagai analgesik yang kuat.

Derivat prednisolon yang diduga mempunyai efek samping terhadap tulang lebih ringan daripada steroid lain adalah deflazacort. Obat ini mempunyai efek anti-inflamasi 80% dari prednison dan menghambat absorpsi kalsium di usus dan formasi tulang, tetapi lebih lemah dibandingkan prednison.


Baca juga...
                  -          Penyebab dan proses terjadinya osteoporosis 


DAFTAR PUSTAKA
  1. Lukert BP. Glucocorticoid Drug-Induced Osteoporosis. In : Famus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 3rd edition. Lippincott-Raven Publ. 1996; 278-82.
  2. Lems WJ, Jacobs JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid-induced osteoporosis. Rheumatology in Europe. 1995; 24 (supp; 2) : 76-9.
  3. American College of Rheumatology Task Force on Osteoporosis Guidelines. Recommendations for the prevention and treatment of glucocorticoidinduced osteoporosis. Arthritis Rheum. 1996; 39 (11) : 1791-801.
  4. Harlap S. The benefits and risks of hormone replacement therapy AN epidemiologic overview. Am J Obstet Gynecol. 1988; 166 (6 pt 2) 1986-92.
  5. Isbagio H. Beberapa Aspek Perkembangan Terbaru di Bidang Reumatologi. Dalam: Sudoyo AW, Markum HMS et al (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1988. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 1998; 137-54.

Artritis pirai (gout) : gejala, diagnosis, patologi dan penatalaksanaan

ARTRITIS PIRAI ATAU GOUT ATAU 
PENYAKIT ASAM URAT

PENDAHULUAN

Artritis pirai (gout) adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di seluruh dunia. Artritis pirai merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturnasi asam urat didalam cairan ekstraselular. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolisme yang mendasarkan gout adalah hiperurikemia yang didefenisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl dan 6,0 mg/dl.

EPIDEMIOLOGI

Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa. Sebagaimana apa yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa gout jarang pada pria sebelum masa remaja (adolescens) sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause. Pada tahun 1986 dilaporkan prevelensi gout di Amerika Serikat adalah 13.6/1000 pria dan 6,4/1000 perempuan. Prevalensi gout bertambah dengan meningkatnya taraf standar hidup. Prevalensi di antara pria African American lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pria caucasian.

Di Indonesia belum banyak publikasi epidemiologik tentang artritis pirai (AP). Pada tahun 1935 seorang dokter kebangsaan Belanda bernama Van der Horst telah melaporkan 15 pasien artritis pirai dengan cacat sampai melumpuhkan anggota gerak pasien yang dilaporkan berasal dari suatu daerah di Jawa Tengah. Penelitian lain didapatkan pasien gout yang berobat rata-rata sudah mengidap penyakit selama lebih dari 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan banyak pasien gout yang mengobati sendiri (sef medication). Satu study yang lama di Massachusetts (Framingham Study) didapatkan lebih dari 1% dari populasi dengan kadar asam urat kurang dari 7 mg/100 ml pernah mendapat serangan artritis gout akut.

Hasil penelitian terlihat pada tabel 1.
Tabel 1 Prevelensi artritis gout sesuai dengan nilai kadar asam urat pada pria
Kadar Sodium Urat Serum (mg/100 ml)
Total Penderita diperiksa
Artritis Gout Yang Timbul
No
Percent
Kurang dari 6
1213
11
0,9
6-6,9
970
27
2,8
7-7,9
162
28
17,3
8-8,9
40
11
27,5
Lebh dari 9
10
9
90,0
Total
2463
86
3,5

PATOLOGI GOUT

Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir kristal monosodium urat (MSU). Reaksi inflamasi keliling kristal oleh terdiri utama dari sel mononuklir dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi disekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya prominen di Sekeliling tofi. Kristal dalam tofi berbentuk jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok kecil secara radier.

Komponen lain yang penting dalam tofi adalah lipid glikosaminoglikan dan plasma protein. Pada artritis gout akut cairan sendi juga mengandung krital monosodium urat monohidrat pada 95% kasus. Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal didalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses fagositosis.

PATOGENESIS ARTRITIS GOUT

Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang mendapat serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol yang menurunkan kadar urat serum dapat mempresipitasi serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien gout dapat terjadi fluktuasi konsentrasi serum urat.

Penurunan serum urat dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi (cristals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurikemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pemah mendapat serangan akut. Dengan dernikian gout seperti juga pseudogout dapat timbul pada pasien keadaan asimptomatik. Penelitian penulis didapat 21% pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, PH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan dapat menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal MSU pada metalarsofalangea 1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.

Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovial kedalarn plasma hanya setengah air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam cairan sendi seperti MTP-1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring akan terjadi peningkatan kadar urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan (onset) gout akut pada malam hari pada sendi yang bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat in vitro melalui pembentukan dari protonated solid phases. Walaupun kelarutan sodium urat bertentangan terhadap asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi pada penurunan pH dari 7,5 menjadi 5.8 dan pengukuran pH dan kapasitas buffer pada sendi dengan gout gagal untuk tentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH secara akut tidak signifikan pengaruhi pembentukan kristal MSU sendi.

Keradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada artritis gout utamanya gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses inflamasi adalah:
  • Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab;
  • Mencegah perluasan dari agen penyebab kejaringan yang lebih luas.
Keradangan pada artritis gout akut adalah akibat penumpukan agent penyebab yaitu kristal monosodium urat pada sendi. Mekanisme keradangan ini belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai mediator keradangan akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas komplemen (C) dan selular.

AKTIVASI KOMPLEMEN

Kristal urat dapat mengakifkan sistem komplemen melalui jalur klasik dan jalur alternatif. Melalui jalur klasik terjadi aktivasi komplemen Cl tanpa peran imunoglobulin. Pada kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatif apabila jalur klasik terhambat. Aktivasi Clq melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein dan berlanjut dengan mengaktifkan Hageman faktor (Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi. Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal yang kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh netrofil, monosit atau makrofog. Aktivasi komplemen C5 (C5a) menyebabkan peningkatan aktivitas proses khemotaksis sel neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan membrane attack complex (MAC). membrane attack complex merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang berperan dalam ion channel yang sitotoksis pada sel patogen maupun sel host. Hal ini membuktikan bahwa melalui jalur aktivasi "komplemen cascade" , kistal urat menyebabkan proses keradangan melalui mediator IL-1 dan TNF serta sel radang netrofil dan makrofag.

ASPEK SELULAR ARTRITIS GOUT

Pada artritis gout, berbagai sel dapat berperan dalam proses keradangan, antara lain sel makrofag, neutrofil, sel sinovial dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam proses keradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimia antara lain IL-1, TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colony-Srimulating Factor). Mediator ini menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel radang. Kristal urat mengakivasi sel radang dengan berbagai cara sehingga menimbulkan respons fungsional sel dan gene expression. Respons fungsional sel radang tersebut antara lain berupa degranulasi, aktivasi NADPH oksidasegene expression sel radang melalui jalur signal transduction pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription factor yang menyebabkan gen berekspresi dengan mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain. Signal transduction pathway melalui 2 cara yaitu, dengan mengadakan ikatan dengan reseptor (cross link) atau dengan langsung menyebabkan gangguan non spesifik pada membran sel.

Gambar 1. Mediator Kimiawi pada Keradangan Akut
Keterangan :
Stimulasi dapat berupa produk bakteri (polisakarida bakteri, eksotoksin), mediator kimia yang iritan antara lain Kristal urat radiasi dan molekul endogen seperti komplek imun dan fragmen komplemen. HEV= High endotelial vessel, MSU= mono sodium urate, NO= nitrid oksid,PGE= Prostaglandine E, POR= produk oksigen reactif, TNF= Tumor necrosis factor, IL-1= interleukin-1, IL6= interleukin-6, IL-8 = interleukin-8

Ikatan dengan reseptor (cross link) pada sel membran akan bertambah kuat apabila kristal urat berikatan sebelumnya dengan opsonin; misalnya ikatan dengan imunoglobulin (Fc dan IgG) atau dengan komplemen (Clq C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross link dengan berbagai reseptor, seperti reseptor adhesion molecule (Integrin), non tyrosin kinase, reseptor FC, komplemen dan sitokin. Aktivasi reseptor melalui tirosinkinase dan second messenge akan mengaktifkan transcription factor. Transkripsi gen sel radang ini akan mengeluarkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-1. Telah dibuktikan neutrofil yang diinduksi oleh kristal urat menyebabkan peningkatan mikrokristal fosfolipase D yang penting dalam jalur signal transduksi. Pengeluaran berbagai mediator akan menimbulkan reaksi radang lokal utaupun sistemik dan menimbulkan kerusakan jaringan.

MANIFESTASI KLINIK ATAU GEJALA KLINIS
  • Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut, interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat deposisi yang progresif kristal urat.
ARTRITIS GOUT AKUT
  • Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Yang biasanya bersifat monoartikuler keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat merah dengan gejala sistematik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. 
  • Lokalisasi yang paling sering pada MTP-1 yang biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena sendi lain yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut dan siku. Serangan akut ini dilukiskan oleh Sydenham sebagai sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak diobati, rekuren yang multipel, interval antar serangan singkat dan dapat mengenai beberapa sendi. Pada serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan dapat hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
  • Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan dan peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.
STADIUM INTERKRITIKAL
  • Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses keradangan tetap berlanjut walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu atau beberapa kali pertahun atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar, maka dapat timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang tidak baik, maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan pembentukan tofi.
STADIUM ARTRITIS GOUT MENAHUN
  • Stadium ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri (self medication) sehingga dalam waktu lama tidak berobat secara teratur pada dokter. Artritis gout (menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat, yang kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Pada tofus yang besar dapat dilakukan eksterpasi, namun hasilnya kurang memuaskan. 
  • Lokalisasi tofi yang paling sering pada cuping telinga, MTP-1, olekranon, Tendon Achilles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.

DIAGNOSIS

Dengan menemukan kristal urat dalam tofi merupakan diagnosis spesifik untuk gout, akan tetapi tidak semua pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostik ini kurang sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuan-penemuan dibawah ini dapat dipakai untuk menegakan diagnostik.
  • Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus pada sendi MTP-1
  • Di ikuti stadium interkritik di mana bebas simtomp
  • Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin
  • Hiperurikemia
Kadar asam urat normal tidak dapat menghindari diagnosis gout. Logan dkk mendapatkan 40% pasien gout mempunyai kadar asam urat dalam darah yang normal. Walaupun hiperurikemia dan gout mempunyai hubungan kausal, keduanya mempunyai fenomena yang berbeda. Kriteria untuk penyembuhan akibat pengobatan dengan kolkisin adalah hilangnya gejala obyektif inflamasi pada setiap sendi dalam waktu 7 hari. Bila hanya di temukan artritis pada pasien dengan hiperurikemia tidak bisa didiagnosis gout. Pemeriksaan radiografi pada serangan pertama artritis gout akut adalah non-spesifik. Kelainan utama radiografi pada long standing gout adalah inflamasi asimetris, artritis erosif, yang kadang-kadang di sertai nodul jaringan lunak.

PENATALAKSANAAN ARTRITIS GOUT

Secara umum penanganan artritis gout atau pirai adalah memberikan edukasi pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan medikasi. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi dan komplikasi lain, misalnya pada ginjal.

Pengobatan artritis gout akut bertujuan menghilangkn keluhan nyeri sendi dan keradangan dengan obat-obatan antara lain kolkisin, Obat Anti Iflamasi Non Steroid (OAINS), kortikosteroid atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti alopirinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut. Namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat,sebaiknya tetap diberikan.

Pemberian kolkisin dosis standar untuk artritis gout akut secara oral 3-4 kali 0,5-0,6 perhari dengan dosis maksimal 6mg. Pemberian OAINS dapat pula diberikan. Dosis tergantung jenis OAINS yang diberikan. Disamping sebagai anti inflamasi, obat ini juga mempunyai efek analgesik. Jenis OAINS yang banyak dipakai pada gout akut adalah Indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dilanjutkan 75-100mg/hari sampai minggu berikutnya atau sampai nyeri atau peraangan berkurang. Pemakaian kortikosteroid dan ACTH apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontraindikasi. Pemakaian kortikosteroid pada gout dapat diberikan secara oral ataupun parenteral. Indikasi pemberiannya adalah pada artritis got akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular). Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat allupurinol bersama obat urikosurik yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
HUBUNGIN PENULIS

Ankylosing Spondylitis : Gejala klinis, Diagnosis dan Pengobatan

Gambaran Klinis dan Pengelolaan 
Ankylosing Spondylitis

PENDAHULUAN

Ankylosing spondylitis adalah penyakit inflamasi kronis dengan etiologi yang belum/tidak diketahui. Penyakit ini terutama menyerang kerangka axial, akan tetapi dapat juga menyerang sendi perifer yang kadang-kadang merupakan gambaran yang cukup penting bagi ankylosing spondylitis. Pada kasus yang berat, terjadi kalsifikasi perivertebrae yang akan memberikan gambaran seperti ruas bambu (bamboo spine).

Ankylosing spondylitis adalah salah satu penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit spondyloarthropathy. Penyakit-penyakit yang termasuk dalam kelompok ini adalah ankylosing spondylitis, reactive arthritis, arthropathy of inflammatory bowel disease (Crohn disease, ulcerative colitis), psoriatic arthritis, undifferenciated spondyloarthropathy.

Istilah ankylosing spondylitis pada umumnya telah diterima dan diakui oleh para pakar kedokteran; berasal dari bahasa Yunani, dari kata ankylos, yang berarti melengkung dan spondylos yang berarti vertebra. Oleh karena ankylosing spondylitis cenderung ditemukan pada stadium lanjut dan jarang ditemukan pada kasus-kasus ringan, maka diusulkan untuk diberi nama spondylitis atau penyakit spondylitik. Penyakit ini melewati suatu proses yang menggunakan fasilitas HLA-B27.

Pada tahun 1850 Brodie mengutarakan gambaran klinik seorang penderita berumur 31 tahun yang menderita ankilosis vertebra yang kadang-kadang disertai dengan inflamasi berat pada matanya. Kemudian pada tahun 1884 Strumpel dari Jerman melaporkan 2 penderita dengan ankylose pada tulang vertebra dan juga pada persendian panggulnya. Tak lama kemudian von Bechterew dari Rusia dan Piere Marie dari Perancis melaporkan pula penyakit-penyakit yang sama. Pada tahun 1930-an telah dilaporkan tentang gambaran radiografi penderita ankylosing spondylitis dan akhirnya pada tahun 1973 telah dilaporkan bahwa penyakit ini berhubungan erat dengan HLA-B27.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis ankylosing spondylitis dapat dibagi menjadi manifestasi pada skeletal (kerangka) dan manifestasi luar skeletal.

MANIFESTASI SKELETAL
  • Nyeri dan kaku pada pinggang
    • Nyeri pinggang (low back pain) merupakan keluhan yang sering pula dijumpai pada masyarakat yang bukan penderita penyakit ini. 
    • Oleh karena itu perlu diketahui bahwa nyeri pinggang pada ankylosing spondylitis ditandai oleh :
      1. Dimulai dengan adanya rasa nyaman di pinggang dan penderita sebelum berumur 40 tahun;
      2. Permulaannya insidious (perlahan-lahan).
      3. Nyeri menetap paling sedikit selama 3 bulan;
      4. Berhubungan dengan kaku pada pinggang waktu pagi hari;
      5. Nyeri berkurang/membaik dengan olah raga.
    • Rasa sakit mula-mula dirasakan pada daerah gluteus bagian dalam, sulit untuk menentukan titik asal sakitnya dengan permulaan yang insidious. Kadang-kadang pada stadium awal nyeri dirasakan hebat di sendi sacroiliacs, dapat menjalar sampai kista, iliaca atau daerah trochanter mayor, atau ke paha bagian belakang. 
    • Nyeri menjalar ini sangat menyerupai nyeri akibat kompresei nervus ischiadicus. Rasa sakit bertambah pada waktu batuk, bersin atau melakukan gerakan memutar punggung secara tiba-tiba. Pada awalnya rasa sakit tidak menetap dan hanya menyerang satu sisi (unilateral); sesudah beberapa bulan nyeri biasanya akan menetap dan menyerang secara bilateral disertai rasa kaku dan sakit pada bagian di bawah lumbal. 
    • Rasa sakit dan kaku ini dirasakan lebih berat pada pagi hari yang kadang-kadang sampai membangunkan penderita dari tidurnya. Sakit/ kaku pagi hari ini biasanya menghilang sesudah 3 jam. Di samping itu kaku/sakit pagi hari ini akan berkurang sampai hilang dengan kompres panas, olah raga atau aktivitas jasmani lain.
    • Pada penyakit yang ringan biasanya gejala timbul hanya di pinggang saja dan apabila penyakitnya bertambah berat, maka gejala berawal dari daerah lumbal, kemudian thorakal akan akhirnya sampai pada daerah servikal : untuk mencapai daerah servikal penyakit ini memerlukan waktu selama 12-25 tahun. 
    • Penyakit ini kadang-kadang dirasakan sembuh sementara atau untuk selamanya, akan tetapi kadang-kadang akan berjalan terus dan mengakibatkan terserangnya seluruh vertebrae.
    • Selama perjalanan penyakitnya dapat terjadi nyeri radikuler karena terserangnya vertebra thorakal atau servikal dan apabila telah terjadi ankylose sempurna, keluhan nyeri akan menghilang.
  • Nyeri dada
    • Dengan terserangnya vertebra thorakalis termasuk sendi kostovertebra dan adanya enthesopati pada daerah persendian kostosternal dan manubrium sternum, penderita akan merasakan nyeri dada yang bertambah pada waktu batuk atau bersin. Keadaan ini sangat menyerupai pleuritic pain. 
    • Nyeri dada karena terserangnya persendian costovertebra dan costotranversum sering kali disertai dengan nyeri tekan daerah costosternal junction. Pengurangan ekspansi dada dari yang ringan sampai sedang sering kali dijumpai pada stadium awal. 
    • Keluhan nyeri dada sering ditemukan pada penderita dengan HLA-B27 positif walaupun secara radiologis tidak tampak adanya kelainan sendi sacroiliaca (sacroiliitis).
  • Nyeri tekan
    • Nyeri tekan ekstra-artikuler dapat dijumpai di daerah-daerah tertentu pada beberapa penderita. Keadaan ini disebabkan oleh enthesitis, yaitu reaksi inflamasi yang terjadi pada inserasi tendon tulang. 
    • Nyeri tekan dapat dijumpai pada daerah-daerah sambungan costosternal, prosesus spinosus, krista iliaca, trochanter mayor, ischial tuberosities atau tumtit (achiles tendinitis atau plantar fasciitis). Pada pemeriksaan radiologis kadang-kadang dapat ditemukan osteofit.
  • Persendian
    • Sendi panggul dan bahu merupakan persendian ekstraaxial yang paling sering terserang (35%). Kelainan ini merupakan manifestasi yang sering dijumpai pada juvenile ankylosing spondylitis. 
    • Kelainan sendi panggul sering dijumpai di negaranegara Algeria, India dan Mexico. 
    • Pada ankylosing spondylitis yang menyerang anak-anak antara umur 8-10 tahun, keluhan pada sendi panggul sering dijumpai, terutama pada penderita dengan HLA-B27 positif atau titer ANA negatif. Sendi lutut juga sering terserang, dengan manifestasi efusi yang intermitten. Di samping itu sendi temporomandibularis juga dapat terserang (10%).
MANIFESTASI EKSTRA SKELETAL

Gejala konstitusional seperti : rasa lelah, berat badan menurun dan subfebril sering dijumpai.
Manifestasi ekstra skeletal lain adalah :
  • Mata
    • Uveitis anterior akut atau iridocyclitis merupakan manifestasi ekstra skeletal yang sering dijumpai (20-30%). Permulaannya biasanya akut dan unilateral, akan tetapi yang terserang dapat bergantian. 
    • Mata tampak merah dan terasa sakit disertai dengan adanya gangguan penglihatan, kadang-kadang ditemukan fotopobia dan hiperlakrimasi. 
    • Apabila pengobatan terlambat dapat mengakibatkan glaucoma; apabila diberikan pengobatan sedini mungkin gangguan pada mata tersebut akan sembuh tanpa cacat sesudah 4-5 minggu. 
    • Kelainan mata ini sering dijumpai pada penderita dengan HLA-B27 positif.
  • Jantung
    • Secara klinis biasanya tidak menunjukkan gejala. Manifestasinya adalah : ascending aortitis, gangguan katup aorta, gangguan hantaran, kardiomegali dan perikarditis. 
    • Gangguan katup aorta terjadi pada 3,5% penderita yang telah menderita ankylosing spondylitis selama 15 tahun dan 10% pada penderita yang telah menderita selama 30 tahun. Gangguan hantaran terjadi pada 2,7% penderita yang menderita selama 15 tahun dan 8,5% pada penderita yang telah menderita selama 30 tahun. 
    • Gangguan jantung ini terjadi dua kali lebih sering pada penderita -yang terserang sendi perifernya.
  • Paru-paru
    • Terserangnya paru-paru pada penderita ankylosing spondylitis jarang terjadi dan merupakan manifestasi lanjut penyakit. Manifestasinya dapat berupa : fibrosis baru lobus atas yang progresif dan rata-rata terjadi pada yang telah menderita selama 20 tahun. Lesi tersebut akhirnya menjadi kista yang merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan aspergilus.
    • Keluhan yang dapat timbul pada keadaan ini antara lain : batuk, sesak nafas dan kadang-kadang hemoptisis. Ventilasi paru-paru biasanya masih terkompensasi dengan baik karena meningkatnya peran diafragma sebagai kompensasi terhadap kekakuan yang terjadi pada dinding dada. Kapasitas vital dan kapasitas paru total mungkin menurun sampai tingkat sedang akibat terbatasnya pergerakan dinding dada. Walaupun demikian residual volume dan function residual capacity biasanya meningkat.
  • Sistem saraf
    • Komplikasi neurologis pada ankylosing spondylitis dapat terjadi akibat fraktur, persendian vertebra yang tidak stabil, kompresi atau inflamasi. 
    • Kecelakaan lalulintas atau trauma ringan dapat mengakibatkan fraktur vertebra; yang sering terkena adalah C5- C6 dan C6-C7. Subluksasi persendian atlantoaksial dan atlanto-osipital dapat terjadi akibat inflamasi pada persendian tersebut sehingga tidak stabil. Kompresi, termasuk proses osifikasi pada ligamentum longitudinal posterior akan mengakibatkan terjadinya mielopati kompresi; lesi destruksi pada diskus intervertebra dan stenosis spinal. 
    • Sindrom cauda equina merupakan komplikasi yang jarang terjadi tetapi merupakan keadaan yang serius. Sindrom ini akan menyerang saraf lumbosakral, dengan gejala-gejala incontinentia urine et alvi yang berjalan perlahan-lahan, impotensi, saddle anesthesia dan kadang-kadang refleks tendon achiles menghilang. Gejala motorik biasanya jarang timbul atau sangat ringan. Sindrom ini dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan CT scan atau MRI. Apabila tidak ditemukan lesi kompresi, maka perlu dipikirkan kemungkinan adanya arachnoiditis atau perlengketan pada selaput arachnoid. 
  • Gangguan ginjal
    • Nefropati (lgA) telah banyak dilaporkan sebagai komplikasi ankylosing spondylitis. Keadaan ini khas ditandai oleh kadar 1gA yang tinggi pada 93% kasus disertai dengan gagal ginjal 27%.

PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan jasmani, pada awalnya tidak menunjukkan kelainan yang jelas, selama perjalanan penyakitnya akan terlihat mulai dari perubahan gerak dan postur tubuh.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan jasmani adalah sebagai berikut :
  • Sikap/postur tubuh
    • Selama perjalanan penyakitnya, sikap tubuh yang normal akan hilang. Lordosis lumbal yang menghilang umumnya merupakan tanda awal. 
    • Apabila vertebra cervical terserang, maka pergerakan leher akan terbatas serta menimbulkan rasa nyeri. Leher penderita mengalami pergeseran ke depan dan hal ini dapat dibuktikan dengan cara : penderita diminta berdiri tegak, apabila terjadi pergeseran maka occiput tidak dapat menempel pada dinding.
  • Mobilitas tulang belakang
    • Tulang belakang merupakan bagian tubuh yang harus diperiksa dengan seksama. Pertama kali yang diperiksa adalah apakah ada keterbatasan gerak. Biasanya ditemukan adanya keterbatasan gerak pada tulang vertebra lumbal, yang dapat dilihat dengan cara melakukan gerakan fleksi badan ke depan, ke samping dan ekstensi.
    • Tes Schober atau modifikasinya, berguna untuk mendeteksi keterbatasan gerak fleksi badan ke depan. Caranya : penderita diminta untuk berdiri tegak, pada prosesus spinosus lumbal V diberi tanda (titik), kemudian 10 cm lurus di atasnya diberi tanda ke dua. Kemudian penderita diminta melakukan gerakan membungkuk (lutut tidak boleh dibengkokkan). Pada orang normal jarak kedua titik tersebut akan bertambah jauh; bila jarak kedua titik tersebut tidak mencapai 15 cm, hal ini menandakan bahwa mobilitas tulang vertebra lumbal telah menurun (pergerakan vertebra lumbal mulai terbatas). Di samping itu fleksi lateral juga akan menurun dan gerak putar pada tulang belakang akan menimbulkan rasa sakit.
  • Ekspansi dada
    • Penurunan ekspansi dada dari yang ringan sampai sedang, sering dijumpai pada kasus ankylosing spondylitis stadium dini dan jangan dianggap sebagai stadium lanjut. 
    • Pada pengukuran ini perlu dilihat bahwa nilai normalnya sangat bervariasi dan tergantung pada umur dan jenis kelamin. Sebagai pedoman yang dipakai adalah : ekspansi dada kurang dari 5 cm pada penderita muda disertai dengan nyeri pinggang yang dimulai secara perlahan-lahan, harus dicurigai mengarah ke adanya ankylosing spondylitis. 
    • Pengukuran ekspansi dada ini diukur dari inspirasi maksimal sesudah melakukan ekspirasi maksimal. 
  • Enthesitis
    • Adanya enthesitis dapat dilihat dengan cara menekan pada tempat-tempat tertentu antara lain : ischial tuberositas, trochanter mayor, processus spinosus, costochondral dan manubriosternal junctions serta pada iliac fasciitis plantaris juga merupakan manifestasi dari enthesitis.
  • Sacroiliitis
    • Pada sacroiliitis penekanan sendi ini akan memberikan rasa sakit, akan tetapi hal ini tidak spesifik karena pada awal penyakit atau pada stadium lanjut sering kali tanda-tanda ini tidak ditemukan. 
    • Pada stadium lanjut tidak ditemukan nyeri tekan pada sendi sacroiliaca oleh karena telah terjadi fibrosis atau, bony ankylosis.

DIAGNOSIS

Manifestasi klinis ankylosing spondylitis dimulai pada waktu dewasa dan sedikit sekali yang dimulai sesudah umur 40 tahun. Anamnesis dan pemeriksaan jasmani yang teliti amat bermanfaat dalam menegakkan diagnosis ankylosing spondylitis.

Dari anamnesis yang perlu diperhatikan adalah :
  1. Adanya kaku dan nyeri pinggang inflamasi
  2. Adanya riwayat keluarga dengan ankylosing spondylitis.
Nyeri pinggang merupakan hal yang sering dijumpai dalam masyarakat dan pada umumnya disebabkan oleh karena noninflamasi atau faktor mekanis yang tidak spesifik. Akan tetapi nyeri pinggang pada ankylosing spondylitis mempunyai ciri-ciri yang khas yaitu :
  1. Permulaan rasa tidak nyaman pada punggung dimulai sebelum umur 40 tahun.
  2. Permulaan timbulnya secara perlahan-lahan.
  3. Menetap paling sedikit selama 3 bulan.
  4. Disertai dengan rasa kaku pagi hari.
  5. Membaik dengan latihan/olah raga.
Adanya riwayat nyeri punggung inflamasi dapat dipakai sebagai alat/sarana diagnostik. Nyeri pinggang inflamasi telah dilaporkan mempunyai sensitivitas 95%, dan spesifisitas antara 85-90% untuk diagnosis ankylosing spondylitis.

Adanya riwayat keluarga dengan ankylosing spondylitis membantu menegakkan diagnosis. Diagnosis definitif dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan radiologis, yaitu adanya sacroiliitis bilateral akan tetapi sacroiliitis yang ringan atau sedang sering sukar dilihat.

Pemeriksaan laboratorium, biasanya laju endap darahnya tinggi, tanpa kelainan biokimia yang lain, dan sering ditemukan HLA-B27 positif. Untuk memudahkan menegakkan diagnosis telah dibuat kriteria-kriteria tertentu; umumnya berdasarkan atas gejala klinis dan pemeriksaan radiologis.

Kriteria diagnostik pertama yang dibuat adalah kriteria Roma yang dibuat pada tahun 1961, kemudian disusul dengan munculnya kriteria New York pada tahun 1966 dan akhirnya muncul kriteria yang terakhir yaitu kriteria New York yang mengalami modifikasi pada tahun 1984.
Modifikasi kriteria New York (1984) terdiri dari :
  1. Nyeri pinggang paling sedikit berlangsung selama 3 bulan, membaik dengan olah raga dan tidak menghilang dengan istirahat.
  2. Keterbatasan gerak vertabra lumbal pada bidang frontal Maupun sagital.
  3. Penurunan relatif derajat ekspansi dinding dada terhadap umur dan jenis kelamin.
  4. Sacroiliitas bilateral grade 2-4.
  5. Sacroiliitis unilateral grade 3-4.
  • Diagnosis ankylosing spondylitis definitif apabila terdapat sacroiliitis unilateral grade 3-4 atau sacroiliitis bilateral grade 2-4 disertai dengan salah satu gejaia klinis di atas.

PERMASALAHAN DIAGNOSTIK

Ankylosing spondylitis merupakan penyakit yang awal mulanya terjadi secara perlahan-lahan dan kadang-kadang tidak menunjukkan gejala khas. Oleh karenanya sering kali kita menghadapi permasalahan dalam menegakkan diagnosis, antara lain, apabila :
  • Pada pemeriksaan rontgen tidak ditemukan sacroiliitis
    • Pada umumnya para dokter enggan membuat diagnosis ankylosing spondylitis bila pemeriksaan rontgen tidak terbukti adanya sacroiliitis. Perlu diketahui bahwa pada kenyataannya sanak-saudara penderita ankylosing spondylitis yang menunjukkan gejala khas kadang-kadang dalam jangka waktu yang lama pada pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan sacroilliitis.
    • Adanya sacroiliitis pada pemeriksaan rontgen sering ditemukan pada penderita ankylosing spondylitis, akan tetapi hal ini bukan berarti manifestasi dini atau manifestasi yang harus ada pada penyakit ini.
    • Mau dkk (1988) menemukan bahwa 27% penderita dengan kemungkinan ankylosing spondylitis, dengan sendi sacroiliaca normal pada awal penelitian, akan menjadi ankylosing spondylitis definitif disertai kelainan sendi sacroiliaca (sacroiliitis) pada pemeriksaan radiologis, 5 tahun kemudian.
  • Nyeri dada tanpa kelainan lain
    • Kadang-kadang penderita penyakit ini mengalami nyeri dinding dada yang berulang tanpa kelainan sendi sacroiliaca pada pemeriksaan radiologis atau tanpa adanya tanda-tanda nyeri lumbal inflamasi. 
    • Nyeri dinding dada akan bertambah pada waktu batuk atau bersin dan keadaan ini sangat menyerupai dan khas untuk nyeri pleura (pleuritic pain).
  • Umur
    • Walaupun ankylosing spondylitis jarang timbul pada umur 50 tahun, akan tetapi late onset of ankylosing spondylitis dapat terjadi. Penyakit dengan permulaan yang terlambat ini pada awal penyakitnya secara klinis kerangka aksial (axial skeleton) mungkin tidak terserang, akan tetapi terjadi oligoartritis dengan jumlah sel yang sedikit pada cairan sendinya disertai pitting edema pada ekstremitas bawah.
    • Disamping itu juvenile onset of ankylosing spondylitis juga tidak jarang ditemukan. Kasus ini sering menunjukkan artritis perifer dan enthesitis. Pada penderita usia muda pada umumnya ditemukan laju endap darah yang tinggi, anemia dan hipergamma- globulinemia dibanding dengan penderita usia dewasa. Artritis perifer pada kasus ini sering kali berat dan mengakibatkan cacat.

PENGELOLAAN

Pengelolaan pada penyakit ankylosing spondylitis dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
  • Ankylosing spondylitis tanpa keluhan nyeri dan kaku
    • Kebanyakan penderita penyakitnya ringan, tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari. Dalam hal ini obat-obatan belum diperlukan, akan tetapi olah raga harus dilakukan secara rutin untuk memelihara kelenturan persendian dan mencegah terjadinya osifikasi sendi.
    • Manifestasi ektra skeletal yang paling sering adalah uveitis atau iridosiklitis. Keadaan ini biasanya dapat dikendalikan dengan steroid tetes mata untuk mengendalikan inflamasi yang terjadi dan perlu obat untuk melebarkan pupil untuk mencegah timbulnya glaukoma.
  • Ankylosing spondylitis disertai keluhan rasa nyeri dan kaku
    • Tujuan/sasaran pengobatan pada ankylosing spondylitis adalah : menghilangkan rasa sakit/kaku, capai dan memelihara sikap tubuh dan fungsi jasmani. Hal ini dapat dicapai dengan cara memberikan obat-obatan, latihan dan penyulahan/ penerangan.
    • Obat-obatan
      • Obat-obatan terutama untuk mengobati keluhan atau gejala yang ada dan keluhan penderita telah teratasi atau hilang, obat-obatan dapat dihentikan. Jadi obat-obatan diberikan untuk menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat melakukan mobilitas atau latihan dengan baik dan teratur.
      • Obat-obatan yang diberikan antara lain adalah :
        • Obat-obatan anti inflamasi non steroid.
          • Obat-obatan yang tergolong dalam kelompok ini sangat luas dipakai untuk mengatasi rasa sakit. Hasilnya pada umumnya cukup memuaskan. 
          • Salah satu obat OAINS yang telah lama dipakai dan konon dalam pemakaian jangka lama dapat menghambat terjadinya osifikasi skeletal adalah phenylbutazon, akan tetapi pemakaian dalam jangka waktu yang lama harus hati-hati karena efek samping hematologik yang dapat terjadi.
          • Pada kasus-kasus dengan keluhan kaku sendi pagi hari, pada umumnya pemberian OAINS ditingkatkan pada sore atau malam hari atau dapat ditambah dengan obat lain.
        • Sulfasalazin
          • Pemakaian sulfasalazin pada ankylosing spondylitis berdasarkan atas hubungan yang erat antara inflammatory bowel disease dengan spondyloarthropathy, dan sulfasalazine terbukti cukup efektif untuk pengobatan inflammatory bowel disease.
          • Sulfasalazin telah dicoba untuk mengobati penderita ankylosing spondylitis dan ternyata cukup berhasil dalam mengurangi/ menghilangkan kaku pagi hari, rasa sakit dan menurunkan kadar lgA dalam darah serta dapat mencegah terjadinya uveitis yang berulang.
    • Latihan
      • Antara tahun 1920-1930-an, ankylosing spondylitis dianggap sebagai variant dari artritis reumatoid, maka terapi yang diberikan adalah istirahat dan plaster jackets atau brace, dengan asumsi bahwa proses inflamasi tersebut akan berhenti apabila sendi yang sakit termasuk tulang punggung diistirahatkan. Akan tetapi kenyataannya hal ini akan membawa petaka, tulang punggung maupun sendi lain yang terserang akan lebih cepat menjadi anakylose, kaku dan tidak dapat dipakai secara efektif.
      • Salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan ankylosing spondylitis adalah mobilitas, padahal penderita pada umumnya mengalami pergerakan yang sangat terbatas karena rasa sakit dan kaku. Oleh karena itu sangat perlu diberikan obat-obatan untuk menekan rasa sakit agar penderita dapat melakukan latihan-latihan dengan baik dan teratur. 
      • Latihan yang dianjurkan adalah berenang (hidroterapi) atau latihan berkelompok yang dipimpin oleh seorang fisioterapist untuk menjaga agar mobilitas vertebra thoracolumbal tetap baik. Di samping itu olah raga yang lainnya dapat pula dilakukan seminggu paling sedikit 2 kali selama 3 jam tiap kali olah raga
    • Radioterapi
      • Telah dicoba pemakaian radioterapi untuk ankylosing spondylitis, ternyata menimbulkan efek samping lekemia atau kanker kulit. Dengan ditemukannya dosimetri, dilaporkan bahwa komplikasi ini jarang terjadi.
    • Penerangan/penyuluhan.
      • Penderita harus diberi penerangan tantang sifat dan perjalanan penyakit agar program pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan baik dan penuh kesadaran, sehingga tidak menimbulkan cacat jasmani. Dengan demikian penderita dapat melakukan kegiatannya sehari-hari tanpa memerlukan bantuan orang lain dan percaya dirinya akan besar, sehingga mampu untuk mencari nafkah baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
  • Ankylosing spondylitis disertai gangguan fungsi
    • Apabila sendi panggul terserang dan menimbulkan cacat jasmani yang sangat menganggu penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari, maka perlu dilakukan tindakan operasi. Demikian pula apabila terjadi deformitas lain misalnya deformitas fleksi yang mengakibatkan penderita tidak dapat melihat lurus ke depan, perlu tindakan operasi untuk membetulkan deformitas tersebut.

KESIMPULAN
  • Ankylosing spondylitis adalah penyakit inflamasi kronis dengan etiologi yang belum diketahui, dan menyerang terutama pada persendian kerangka aksial dan juga sendi perifer.
  • Penyakit ini mempunyai manifestasi skeletal dan ekstra skeletal. 
    • Manifestasi skeletal berupa : nyeri/kaku tulang belakang, nyeri dada, nyeri tekan pada tempat tertentu, nyeri sendi lutut dan bahu, sedang 
    • Manifestasi ekstra skeletal dapat tetjadi pada organ jantung, paru-paru, sistem saraf dan ginjal. 
  • Perlu anamnesis untuk mencari adanya nyeri pinggang inflamasi dan riwayat keluarga. Pemeriksaan jasmani yang perlu diperhatikan adalah postur tubuh, mobilitas tulang punggung, ekspansi dinding dada, adanya enthesitis dan sacroiliitis.
  • Untuk menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis pemeriksaan jasmani yang dibantu dengan pemeriksaan radiologis untuk menentukan apakah data tersebut memenuhi kriteria New York tahun 1984. Masalah dapat terjadi dalam menegakkan diagnosis bila tidak ditemukan sacroiliitis pada pemeriksaan radiologis; nyeri dada tanpa kelainan yang lain; umurnya terlalu muda atau terlalu tua.
  • Pengelolaan pada penyakit tanpa keluhan : olah raga secara rutin tanpa obat, dan bila dengan keluhan: obat-obatan, latihan secara teratur dan penerangan; dan bila telah terjadi gangguan fungsi : operasi.
Anatomi pinggang

    KEPUSTAKAAN

    1. Van der Linden S, Ankylosing Spondylitis. In: Kelly W, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB. Eds. Textbook of Rheumatology. 5th ed, Philadelphia-London-Toronto-Sydney-Tokyo : WB Saunders Co 1997;pp : 969-82.
    2. Parker CW. Seronegative HLA related arthritis. In : Parker CW Ed. Clinical Inununology Vol II. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders 1980; pp : 753-73.
    3. Haslock I. Ankylosing spondylitis. In : Dippe PA, Bacon PA, Bamji AN, Watt 1 Eds. Atlas of clinical rheumatology. Gower Medical Publisher, London, New York : 1986 ; pp: 12.1-12,12
    4. Van der Linden S, Khan MA, Rentsch HU. Chest pain without radiographic sacroiliitis in relatives of patients with ankylosing spondylitis. J Rheumatol, 1988; 15 : 836-9.
    5. Mander M, Sikupson JM, Mclellan A. Studies with an enthesis index as a method of clinical assessment in ankylosing spondylitis. Ann Rheum M, 1987; 46 : 197-202.
    6. Burgos-Vargas R. Naranjo A, Castillo J. Ankylosing spondylitis in the Mexican Mestizo : Patten of disease according to age at onset. J Rheumatol 1989 ; 16 : 186-91.
    7. Graham DC, Smythe HA. The carditis and aortitis of ankylosing spondylitis. Bull Rheum Dis 1958; 9 : 171-4.
    8. Boushea DK, Sundstrom WR. The pleuropulmonary manifestation of ankylosing spondylitis Semin Arthritis Rheum 1989; 18 : 277-81.
    9. Hart FD. Practical problem in rheumatology. Singapore, Hongkong : PG Publishing Pte Ltd 1984.
    10. Lai KN, Li PKT, Hawkins B, et al. IgA nephropathy associated with ankylosing epondylitis. Occurrence in women as well as in men. Ann Rheum Dis, 1989; 48 : 435-7.
    11. Calin A, Porta J, Fries JF, Schurman DJ. Clinical history of a screen test for ankylosing spondylitis. JAMA 1977; 237 : 2613-4.
    12. Van der Linden SM, Fahrer H. Occurrence of spinal pain syndrome in a group of apparently healthy and physically fit sportsmen (orienteers). Scand J Rheumatol 1988; 17 : 475-81.
    13. Mau W, Zeidler H, Mau R, et al. Clinical feature and prognosis of patients with possible ankylosing spondylitis : Results of a 10 year follow-up. J Rheumatol, 1980 ; 1109-14.

    SINDROMA GUILLAIN – BARRE : PENYEBAB. GEJALA KLINIS DAN PENGOBATAN

    SINDROMA GUILLAIN – BARRE

    PENDAHULUAN

    Nama lain dari penyakit ini yaitu Postinfectious Polyneuritis atau Acute Demyelinating Polyneuropathy. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Landry pada tahun 1859, ia menggambarkan pada penyakit ini terdapat paralisis flaksid pada ekstremitas yang terus menjalar ke atas, paralisis bulbar dan meninggal dalam satu minggu. Guillain Barre syndrome (GBS) merupakan sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis.

    Pada tahun 1916 Guillain Barre dan Sthrol membuat deskripsi tentang penyakit ini yaitu suatu sindroma kegagalan motorik, penurunan refleks tendon, sedikit gangguan sensorik dengan hiperalbuminosis cairan cerebrospinal tanpa reaksi sitologik yang jelas.

    GBS merupakan kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
    Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin (material yang membungkus saraf) pada saraf tepi,. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. 

    Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.

    Guillain Barre Syndrom merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan polineuropati akut, yang mana ditandai dengan adanya paralisis motorik yang berlangsung sangat progresif yang menjalar dari tungkai ke badan dan otot – otot pernafasan. Juga dapat menyebar ke otot wajah dan bulbar. Keadaan ini disebut paralysis ascending Landry.

    PENYEBARAN PENYAKIT

    Insidens penyakit ini per tahun yaitu 1,8 per 100.000 populasi dengan angka kejadian lebih banyak menyerang pria dibanding wanita, yaitu dengan ratio pria:wanita = 2,3 : 1,2. Perubahan musim dan cuaca tidak mempengaruhi banyaknya angka kejadian. Namun peningkatan usia akan meningkatkan rasio terkenanya penyakit ini, yaitu dari 0,8 pada usia kurang dari 18 tahun, menjadi 3,2 pada usia diatas 60 tahun. Rasio penyakit ini juga meningkat seiring waktu, yaitu dari 1,2 pada tahun 1935-1956 menjadi 2,4 pada tahun 1970-1980. Penyakit ini tidak hanya menyerang Negara tertentu, tetapi menyebar hampir diseluruh Negara di dunia.

    PENYEBAB

    Sampai saat ini penyebab pasti Sindrom Guillain Barre masih menjadi bahan perdebatan. Dengan melihat keadaan klinis yang mendahului penyakit ini banyak teori yang dikaitkan dengan penyakit ini seperti:

    Infeksi
    • 50% dari penderita mengalami infeksi dalam waktu 10-14 hari sebelum timbulnya gejala, biasanya pasien mengalami infeksi traktus respiratorius bagian atas atau gangguan gastrointestinal yang umumnya disebabkan oleh virus. Bisa juga terjadi pada pasien – pasien yang terinfeksi measles, mumps, rubella, varicella, Cytomegalo virus , Coxsackie virus, Echo virus, Ebstein barr virus, herpes simpleks, adeno virus, virus Influenza, hepatitis B, Mycoplasma, Salmonella, Campylobacter.
    Tindakan bedah
    • 5-10% kasus terjadi setelah tindakan pembedahan, juga setelah anestesi spinal atau epidural.
    Penyakit keganasan
    • Dikaitkan dengan penyakit limfoma Hodgskin dan limfoma non hodgskin.
    Vaksinasi
    • 3% penderita dengan sindrom ini, 8 minggu sebelumnya mengalami vaksinasi. Jenis vaksinasi yang dilaporkan sebagian besar yaitu influenza. juga bisa disebabkan setelah vaksin rabies, polio virus.

    PATOLOGI

    Secara makroskopik tidak ditemukan adanya perubahan pada saraf pasien penderita GBS. Namun secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel mononuclear di perivenula dan ditemukan adanya demielinisasi segmental di susunan saraf tepi.

    Meskipun penyakit ini sering didahului oleh bermacam – macam penyakit, namun patologi yang ditemukan sama pada semua pasien GBS. Infiltrasi perivenula terdiri atas limfosit berukuran kecil sampai sedang, makrofag dan sedikit sel PMN pada stadium awal penyakit. Namun pada stadium lanjut ditemukan adanya sel plasma dan sedikit sel mast. Limfosit yang berukuran kecil sampai sedang akan mudah untuk keluar dari vena masuk ke dalam parenkim saraf. Limfosit yang berukuran besar akan mengalami transformasi secara aktif melalui fagositosis oleh makrofag.

    Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan terjadi demielinisasi segmental. Pada mulanya yang terlihat hanya limfosit saja, tapi setelah 2-3 minggu, dengan berkembangnya penyakit, yang mendominasi adalah sel makrofag.

    Makrofag berperan penting dalam terjadinya destruksi myelin. Makrofag menyebabkan lamella myelin terpisah dan mencerna membran yang terpisah. Destruksi myelin berlangsung progresif ke arah lokasi sentral nucleus sel schwann. Dengan mikroskop cahaya dapat terlihat myelin yang terputus dan berbentuk ovoid juga makrofag yang mencerna myelin.

    Peningkatan aktivitas asam posphatase dan asam proteinase menandakan aktivasi lisosom dalam makrofag. Lesi inflamasi yang hebat menyebabkan terjadinya demielinisasi sampai mengakibatkan terputusnya akson dan degenerasi wallerian. Leukosit PMN juga tampak pada lesi yang hebat, mungkin sebagai respons dari jaringan yang nekrotik. Pada kasus dengan degenerasi wallerian yang luas, dalam sel cornu anterior dapat terlihat central chromatolysis. Sedang pada keadaan degenerasi axonal dapat terlihat atrofi serabut otot akibat denervasi.

    PROSES TERJADINYA SINDROM GUILLAIN BARE

    Patogenesis Sindroma Guillain Barre sampai saat ini masih belum jelas. Tetapi beberapa penelitian mempunyai kecenderungan peranan dasar patogenesa yang bersifat imunologik, Infeksi viral atau infeksi gabungan virus dan bakteri yang mendahului penyakit ini sering memberi kesan adanya respons yang diperantarai oleh sel.

    Patologi GBS yaitu inflamasi sel T di perivenula, mendukung patogenesis GBS diperantarai sel. Respons yang diperantarai sel dimulai dengan presentasi antigen spesifik dan berhubungan dengan kompleks major histocompatibility – antigens. Sel T tidak dapat berproliferasi atau mengaktivasi makrofag tanpa adanya antigen. Kompleks MHC – antigen mengaktifkan T helper untuk menghasilkan gamma interferon dan TNF yang akan mengaktifkan makrofag, dengan akibat destruksi sel schwann. T-helper juga menghasilkan interleukin-2 yang mengaktivasi pertumbuhan sel B sehingga menghasilkan antibodi. Kompleks antigen dan antibodi tersebut akan mengaktivasi komplemen sehingga menyebabkan lisisnya sel schwann, aktivasi dan kemotaksis makrofag, peningkatan permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast. Jadi dalam keadaan ini aktivasi komplemen berpartisipasi secara langsung atau secara tidak langsung dalam merusak myelin.

    Pathofisiologi GBS

    Bukti – bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
    1. Didapatnya antibodi atau adanya respons kekebalan seluler terhadap agen infeksi pada saraf tepi.
    2. Adanya auto antibodi atau kekebalan seluler terhadap system saraf tepi.
    3. Didapatnya penimbunan kompleks antigen antibodi pada pembuluh saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.

    GEJALA KLINIS

    Penyakit ini menyerang semua umur, tetapi lebih banyak menyerang pria. Kasus yang terjadi dapat digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu primer bila tidak didahului oleh sakit dan sekunder bila terjadi setelah timbulnya infeksi, tetapi yang sekunder frekwensinya sangat sedikit, karena sering terjadi infeksi dengan gejala subklinis sehingga diagnosa sulit untuk ditegakkan.

    Periode laten dari mulai infeksi sampai timbulnya gejala neurologi bervariasi dari 1-28 hari dengan rata-rata 9 hari. Kebanyakan pada mulanya, pasien mengeluhkan paresthesia pada ekstremitas bawah, tetapi 1/3 kasus juga menggambarkan kelemahan otot sebagai gejala awal. Kelemahan otot, biasanya diikuti dengan cepat paralisis flaksid pada otot perifer ekstremitas. Kelumpuhan yang terjadi simetris, dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar naik ke badan, dan ekstremitas atas. Juga dapat melibatkan saraf kranial. Saraf kranial yang banyak terkena yaitu saraf VII, biasanya bilateral. Selain itu juga dapat menyerang nervus 1,2,3,4,6 dan saraf perifer. Papiledema mungkin ditemukan ketika terjadi peningkatan yang nyata kadar protein dalam LCS. Gangguan otonom, terlihat pada 25% kasus, biasanya terjadi retensio urin dengan distensi vesica urinaria, takikardi, tekanan darah yang tidak beraturan.

    Gejala sensoris biasanya tidak begitu berat bila dibanding dengan gejala motorik, dan biasanya terdiri dari paresthesia pada kedua tungkai yang kemudian menyebar ke ekstremitas atas. Juga dijumpai adanya rasa nyeri tekan otot dan sensitivitas saraf terhadap tekanan. Pada keadaan yang berat, bisa terjadi kegagalan respirasi sebagai komplikasi yang utama, yang memerlukan tracheostomi dan bantuan pernafasan.

    Pada perjalanan penyakitnya terdapat 3 periode yaitu:
    1. Periode progresif dimana gangguan fungsi motorik berlangsung progresif baik distribusi maupun derajat kelumpuhan keadaan klinis berlangsung lebih kurang 9 hari.
    2. Periode stabil selama 2-4 minggu.
    3. Periode penyembuhan bisa berlangsung 3-4 minggu bahkan lebih.  Penyembuhan sempurna terjadi bila tidak ada kerusakan yang berat dan terjadi pada usia muda.

    DIAGNOSIS

    Kriteria diagnosa GBS yang ditetapkan oleh ad hoc committee of the National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1978 yaitu:
    1. Kelemahan progresif motorik ekstremitas atas dan atau bawah. Kelemahan mungkin didahului oleh timbulnya kelemahan refleks tendon dalam.
    2. Tidak ada atau berkurangnya refleks tendon dalam.
    Ciri – ciri yang mendukung kearah diagnosa yaitu:
    1. Kelemahan progresif motorik yang berlangsung cepat, dengan keadaan stabil dicapai dalam 4 minggu.
    2. Distribusi kelemahan relatif simetris.
    3. Gejala sensoris tidak begitu hebat
    4. Dapat mengenai saraf cranial, seperti terjadi kelumpuhan otot wajah bilateral, kelumpuhan otot ekstraokular, bulbar palsy.
    5. Perbaikan, biasanya terjadi 2-4 minggu setelah penghentian progresif.
    6. Disfungsi otonom.
    7. Tidak adanya demam pada saat timbulnya gejala neurologi.
    8. Pada LCS terdapat peningkatan protein dengan atau tanpa pleositosis (albuminocytologic dissociation), terlihat setelah 1 minggu timbul gejala.
    9. Dijumpai 10 atau sedikit leukosit mononuclear per mm3 LCS.
    10. Abnormal gelombang F , perlambatan atau hambatan konduksi motor – nerve.
    Keadaan yang meragukan diagnosa yaitu:
    1. Kelemahan yang tidak simetris dan menetap.
    2. Disfungsi vesica urinaria dan usus yang menetap.
    3. Didahului oleh timbulnya disfungsi vesica urinaria dan usus.
    4. Pada LCS ditemukan leukosit mononuclear lebih dari 50 per mm3.
    5. Adanya leukosit PMN pada LCS.
    6. Adanya gejala neurologi yang nyata.

    DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

    Polineuropati defisiensi vitamin.
    • Perjalanan penyakit progresif lambat (berbulan – bulan), gejala sensorik yang menonjol, kelemahan otot bagian distal, jarang mengenai otot pernafasan, saraf kranialis atau saraf otonom. Pada LP tidak ada kenaikan protein liquor.
    Miastenia gravis
    • Kelemahan otot terutama yang sering digunakan seperti otot bola mata, otot – otot untuk menelan, berbicara. Tidak ada keluhan sensorik. Tes prostigmin membaik. Didapatkan pembesaran tymus.
    Paralisis periodic hipokalemia
    • Kelemahan otot pada pagi hari sehabis bangun tidur. Tidak ada keluhan sensorik yang diakibatkan oleh kadar kalium serum yang rendah. Dengan infuse KCl dalam larutan elektrolit akan membaik gejalanya.
    Transverse Myelitis
    • Kelemahan otot terjadi setinggi lesi ke bawah dan tidak pernah mengenai otot wajah dan orofaring. Biasanya refleks menghilang bila terjadi spinal shock. Gejala sensoris biasanya segmental sesuai dengan lesi. Terjadi inkontineasia urin yang persisten. Tetapi jarang terjadi gangguan pernafasan.
    Antibiotic induced paralysis
    • Terjadi beberapa jam sampai beberapa hari setelah minum obat. Ganguan pernafasan terjadi sebelum timbulnya kelemahan otot. Juga sering terjadi ptosis dan internal ophthalmoplegia. Protein LCS biasanya normal.
    Polymyositis
    • Sering terjadi kelemahan pada leher dan tubuh,namun tidak dijumpai adanya gangguan sensorik. Refleks biasanya normal tapi bisa sedikit menurun. Tidak ditemukannya disfungsi otonom juga jarang melibatkan saraf cranial. Sering dijumpai fenomena Raynauds dan terjadi rash. Tidak ada kenaikan protein LCS. Pada EMG ditemukan fibrilasi.
    Vasculitis Neuropathy
    • Terjadi demam, gejala sensoris yang terjadi asimetris begitu juga kelemahan yang terjadi asimetris. Jarang mengenai saraf cranial, tapi bila mengenai saraf tersebut biasanya asimetris. Tidak ada kenaikan protein dalam LCS.
    Poliomyelitis
    • Kelemahan otot tidak simetris dan sering terdapat atrofi otot. Dijumpai adanya demam tapi jarang terjadi gangguan sensorik. Pada LCS ditemukan pleositosis.
    Rabies
    • Ada demam dan gangguan sensoris biasanya unilateral. Otot kaki lemas tetapi asimetris. Refleks pada tangan normal. Paresis bulbar tipe spasme, asimetris dan terjadi hydrophobia. Sering terjadi gangguan pernafasan dengan tipe pernafasan periodic, irregular. Pada LCS ditemukan pleositosis.

    PEMERIKSAAN PENUNJANG
    1. Jumlah sel darah putih dan kecepatan sedimentasi dalam batas normal, kadang – kadang meningkat akibat efek penyakit terdahulu.
    2. Ditemukannya peningkatan jumlah protein dalam LCS setelah 10 hari timbul gejala neurologist, tetapi hitung jenis sel normal atau meningkat sedikit, tetapi kurang dari 50/mm3. sel yang dominant yaitu mononuclear (limfosit).
    3. Pemeriksaan EMG menunjukkan penurunan kecepatan hantar saraf dan gelombang F yang abnormal.

    TATALAKSANA PERAWATAN DAN PENGOBATAN

    A. Perawatan
    • Perawatan yang baik dan intensif adalah hal yang paling penting dan perlu mendapat perhatian khusus, sebab dengan perawatan yang intensif dan fisioterapi yang baik, maka komplikasi dapat dikurangi serta cacat dapat dibatasi dan kesembuhan diusahakan cepat terjadi.
    • Perawatan umum:
      • Penderita mempunyai keterbatasan dalam pergerakan dan terpaksa berada dalam posisi tidur yang lama, yang harus diperhatikan adalah:
        • Mencegah timbulnya luka baring / bed sores dengan perubahan posisi tidur.
        • Pengamatan terhadap kemungkinan deep veins trombosis.
        • Pengeluaran secret dari saluran nafas.
        • Pergerakan sendi – sendi secara pasif.
        • Pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena penderita sering mengalami retensi cairan dan hiponatremi disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
    • Perawatan khusus:
      • Pernafasan:
        • Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit, kapasitas vital lebih akurat memprediksi gagal nafas daripada analisa gas darah. Pasien dengan kapasitas vital ,15ml/kg BB disertai peningkatan PCO2 lebih dari 60%, penurunan PO2 kurang dari 70% mutlak perlu alat Bantu nafas. Pasien ini harus dirawat di ICU.
      • Kardiovaskuler:
        • Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Hipotensi dan hipertensi yang berlangsung sementara tidak perlu diobati, tetapi hipotensi yang menetap dan mengganggu perfusi ginjal dan otak harus diatasi dengan pemberian cairan. Hipertensi yang diakibatkan oleh peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat diberikan propanolol. Gangguan irama jantung bisa berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, atrial flutter, atrial fibrilasi, bahkan sinus arrest.
      • Cairan, elektrolit, nutrisi:
        • Ileus paralitik tekadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini. Pada sindrom ini juga sering terjadi gangguan sekresi ADH sehingga perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit.
      • Sedativa dan analgesic:
        • Pada penderita yang tidak memakai alat Bantu nafas, obat – obat sedative harus dihindari karena akan memperburuk fungsi pernafasan. Untuk mengatasi nyeri sering digunakan obat golongan NSAID.
      • Antibiotika:
        • Pada pasien yang berbaring lama dan menggunakan alat bantu nafas, frekwensi timbulnya pneumonia cukup tinggi, sehingga dibutuhkan antibiotika yang disesuaikan dengan hasil kultur dan resistensi kuman.
    B. PENGOBATAN
    Pengobatan meliputi:
    • Pengobatan dengan steroid
      • Kortikosteroid mungkin mempercepat waktu untuk mulainya perbaikan tetapi tidak untuk mengurangi beratnya penyakit. Dosis tinggi steroid belakangan ini banyak digunakan pada pasien yang tidak bisa melakukan pergantian plasma, misalnya pada kelainan kardiovaskuler yang berat. Dapat digunakan methylprednisolone 500mg per hari untuk 5 hari tanpa adanya efek samping.
    • Pengobatan dengan imunosupresan
      • Imunosupresan adalah obat yang bekerja pada supresi sensitisasi sel limfosit yang tidak normal yang mengakibatkan reaktivitas imunologik yang merugikan. Obat yang digunakan azatioprin, siklopospamid, klorambusil, anti limfosit globulin (ALG). Azatioprin bekerja melalui hambatan resepator humoral dan seluler sedangkan siklofosfamid menghambat replikasi sel terutama limfosit B. klorambusil bekerja pada tempat yang sama dengan ALG, berperan dalam menghambat secara kuat respon imunologik seluler.
    • Plasma peresis
      • Digunakan pada fase akut. Prinsipnya yaitu pertukaran plasma dan pemisahan komponen plasma yang mengandung antibodi – antigen, kompleks immune secara kontinu dengan teknik limfositoferesis. Hasil plasma peresis berhasil memperbaiki gejala klinis secara cepat. 
      • Sebelum dilakukan plasma peresis perlu dipertimbangkan derajat penyakit, umur, kondisi umum pasien. Keberhasilan plasma peresis terutama pada usia muda dan dilakukan pada fase progresif awal sebelum terjadi kerusakan saraf tepi, yaitu pada awal 2 minggu timbulnya onset dilakukan tiap hari selama 5 hari berturut-turut. Pergantian plasma ini juga aman untuk anak – anak dan tanpa komplikasi pada kehamilan. 
      • Kontra indikasi relatif tindakan ini adalah pada penderita gagal hati, kelainan elektrolit yang berat, dan perdarahan yang aktif. Kontra indikasi mutlak pada hipotensi yang tidak bisa ditanggulangi dengan pergantian cairan, infark miokard yang baru (dalam 6 bulan), penderita yang dicurigai akan terjadi infark miokard, gagal ginjal dan hati yang berat.
    • Immunoglobulin
      • Pemberian immunoglobulin dapat mempercepat penyembuhan. Intravenous gamma globulin diberikan dengan dosis 0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari secara terus menerus.
      • Reaksi (hipotensi, flushing wajah, sakit kepala, keram otot, demam, dan mual) cenderung ringan, terjadi pada awal dan biasanya berhubungan dengan kecepatan infuse. Infuse distop atau dilambatkan untuk 30 menit, biasanya pemberian IVIG bisa dimulai lagi dengan kecepatan yang tinggi. Dapat terjadi anafilaksis, tetapi jarang sekali, terutama terjadi pada orang yang defisiensi IgA.

    PROGNOSIS
    80% pasien sindoma Guillain Barre membaik meskipun memakan waktu berbulan – bulan. Faktor yang memperburuk prognosa adalah gangguan otonom, gangguan otot pernafasan, adanya kelemahan pada EMG, usia pasien yang tua. Pada EMG jika didapatkan kecepatan konduksi saraf yang abnormal tetapi tidak ada potensial fibrilasi selama perjalanan penyakit, maka perbaikan akan berlangsung cepat. Mortalitas sindrom Guillain Barre adalah 3-5%. Penyebab kematian pada GBS yaitu pneumonia, adult respiratory distress syndrome akibat aspirasi, sepsis, infark miokard, dan emboli pulmonal.

    DAFTAR PUSTAKA
    1. Fowler, T.J ; Marsden, C.D. Disease of the Peripheral and Cranial Nerves. In: Clinical Neurology. Editor: Hobsley, M ; Saunders, K.B ; Fitzsimons, J.T. Edward Arnold Advision of Hodder and Stoughton. 1989. London. P688-90.
    2. Pranatha, H. Syndroma Guillain Barre Akut. In: Pengenalan dan Penatalaksanaan Kasus – kasus Neurologi. Departemen Saraf RSPAD Gatot Soebroto. 2001. Jakarta pusat. P43-9.
    3. Editor: Gilroy, J ; Meyer, J.S. Peripheral Neuropathy. In: Medical Neurology. Third edition. Macmillan Publihing Co., Inc. 1991. New York. P129-31.
    4. Editor: Hassan, R ; Alatas, H. Neurology. In: Buku Kuliah 2 Ilmu Lesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Jakarta. P883-4.
    5. Lindsay, K.W. Localised Neurological Disease and Its Management C. Peripheral Nerve and Muscle. In: Neurology and Neurosurgery Illustrated. Second edition. ELBS with Churchill Livingstone Educational Low-Priced Books Scheme funded by the British Government. 1991. P422.
    6. Tenorio, G ; Ashkenasi, A ; Benton, J. W. Guillain – Barre Syndrome. In: Infections of the Central Nervous System. Editor: Scheld, W. M. ; Whitley, R. J. ; Durack, D. T. Raven Press, Ltd. 1991. New York. P259-275
    7. Ropper, A. H. ; Wijdicks, E. F. M. ; Truax, B. T. Neurobiologic Basis of Guillain – Barre. In: Guillain – Barre Syndrome. F. A. Davis Company. 1991. Philadelphia. P31-53.
    8. Ropper, A. H. ; Wijdicks, E. F. M. ; Truax, B. T. Laboratory Investigation and Differential Diagnosis. In: Guillain – Barre Syndrome. F. A. Davis Company. 1991. Philadelphia. P175-227.
    9. Ropper, A. H. ; Wijdicks, E. F. M. ; Truax, B. T. Treatment and Rehabilitation. In: Guillain – Barre Syndrome. F. A. Davis Company. 1991. Philadelphia. P228-81.
    SLIMING CAPSUL
    Suplement pelangsing terbaik. Lulus Standard GMP (Good Manufacturing Practice) dan uji tes SGS. Pesan sekarang Juga!!!
    sikkahoder.blogspot
    ABE CELL
    (Jamu Tetes)Mengatasi diabetes, hypertensi, kanker payudara, mengurangi resiko stroke, meningkatkan fungsi otak, dll.
    sikkahoder.blogspot
    MASKER JERAWAT
    Theraskin Acne Mask (Masker bentuk pasta untuk kulit berjerawat). Untuk membantu mengeringkan jerawat.
    sikkahoder.blogspot
    ADHA EKONOMIS
    Melindungi kulit terhadap efek buruk sinar matahari, menjadikan kulit tampak lenih cerah dan menyamarkan noda hitam di wajah.
    sikkahoder.blogspot
    BIO GLOKUL
    Khusus dari tanaman obat pilihan untuk penderita kencing manis (Diabetes) sehingga dapat membantu menstabilkan gula darah
    sikkahoder.blogspot


    ADVERTISE HERE Ads by Sikkahoder
    Body Whitening
    Mengandung vit C+E, AHA, Pelembab, SPF 30, Fragrance, n Solk Protein yang memutihkan kulit secara bertahap dan PERMANEN!!
    Sikkahoder.blogspot
    PENYEDOT KOMEDO
    Dengan alat ini, tidak perlu lg memencet hidung, atau bagian wajah lainnya untuk mengeluarkan komedo.
    Sikkahoder.blogspot
    Obat Keputihan
    Crystal-X adalah produk dari bahan-bahan alami yang mengandung Sulfur, Antiseptik, Minyak Vinieill. Membersihkan alat reproduksi wanita hingga kedalam.
    Sikkahoder.blogspot
    DAWASIR
    Obat herbal yang diramu khusus bagi penderita Wasir (Ambeien), juga bermanfaat untuk melancarkan buang air besar dan mengurangi peradangan pada pembuluh darah anus
    Sikkahoder.blogspot
    TERMOMETER DIGITAL
    Termometer digital dengan suara Beep. Mudah digunakan, gampang dibaca dengan display LCD dan suara beep ketika selesai mendeteksi suhu.
    Sikkahoder.blogspot


    ADVERTISE HERE Ads by Sikkahoder