NEFROPATY DIABETIK
PENDAHULUAN
Pada umumnya, nefropati diabetik didefnisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria (adanya alumin dalam urin) menetap (lebih dari 300 mg/24 jam atau leih dari 200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, di sertai adanya penurunan progresif laju filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan tekanan darah arteri
Nefropati Diabetika merupakan komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45% penderita diabetes militus terutama pada DM tipe I.
Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe I karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes melitus, dan penyebab kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular. Secara epidemiologis, ditemukan perbedaan terhadap kerentanan untuk timbulnya nefropati daibetik, yang antara lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin serta umur saat diabetes timbul.
KLASIFIKASI
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes melitus lebih bany'ak dipelajari pada diabetes melitus tipe I dari pada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan (Tabel1).
Tabel 1 tahapan nefropaty diabetik
| ||||||
Tahap
|
Kondisi Ginjal
|
AER
|
LFG
|
TD
|
Prognosis
| |
1
|
Hipertrofi Hiperfungsi
|
Normal
|
Naik
|
Naik
|
reversible
| |
2
|
Kelainan struktur
|
Normal
|
Naik
|
Naik atau normal
|
Mungkin reversible
| |
3
|
Mikroalbuminemia persisten
Makroalbuminemia
|
20-200 mg/menit
Lebih dari 200 mg/menit
|
Naik atau normal
|
Naik
|
Mungkin reversible
| |
4
|
Proteinuria
|
Tinggi
|
Rendah
|
Hipertensi
|
Mungkin bisa stabil
| |
5
|
Uremia
|
Rendah
|
Kurang dari 10ml/menit
|
Hipertensi
|
Kesintasan 2 thn ± 50%
| |
Keterangan : AER: Albumin Excretion Rate, LFG: Laju Filtrasi Glornerulus (GFR), N - nonnal, TD - Tekanan Darah.
| ||||||
- Tahap l. Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat.
- Tahap 2. Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks mesangium).
- Tahap 3. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20 - 200 ig/menit (30 - 300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
- Tahap 4, Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 mL/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
- Tahap 5. Timbulnya gagal ginjal terminal. Disamping klasifikasi dari Mogensen, ada beberapa pembagian - pembagian lain seperti oleh National Kidney Foundation (NKF) (dalam kelompok Diabetic Kidney Disease), kementerian kesehatan Jepang dan lain-lain yang umumnya bertujuan untuk menyeragamkan serta mempermudah diagnosis dan tatalaksana.
MIKROALBUMINURIA
Mikroalbuminuria umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per hari dan dianggap sebagai prediklor penting untuk timbulnya nefropati diabetik (Tabel 2).
Tabel 2 Laju ekskresi Albumin urin
| ||||||||||||||||
Laju Ekskresi Albumin Urin
|
Internationol Society of Nephrology (ISN) menganjurkan penggunaan perbandingan albuurin - kreatinine (albumincreatinine ratio -ACR) untuk kuantifrkasi proteinuria serta sebagai sarana follovrup.
Perlu diingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria di samping diabetes. Beberapa penyebab proteinuria lain yang juga sering ditemukan adalah tekanan darah tinggi, serta umur lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang sangat tinggi. stress, infeksi sistemik atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut. demam, latihan berat dan gagal jantung dapat meningkatkan laju ekskresi albumin urin.
Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya mikroalbuminuria (Gambar 1). Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuria, antara lain: 1). mikroangiopati diabetik; 2). penyakit kardiovaskular; 3). hipertensi, 4). hiperlipidemia karena itu jika ditemukan mikroalbuminuria, maka perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan lain (Gambar 2).
PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisrne patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjaadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-I , Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-B yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amho dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-Product.s (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononukleat, juga pada terjadinya hipertroti sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Penelitian pada herwan diabetes menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin/angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerolus.
Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah :
- Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa lebih dari 140 160 mg/dl [7,7-8, mmol/l]); AlC lebih dari 7-8%
- Faktor-faktor genetis
- Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju glomerulus, peningkatan tekanan intraglomemlus)
- Hipertensi sistemik
- Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)
- Keradangan
- Perubahan permeabilitas pembuluh darah
- Asupan protein berlebih
- Gangguan metabolik (kelainan metabolisme po1yol, pembentukan advanced glycation end products, peningkatan produksi sitokin)
- Pelepasan growth foctors
- Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein
- Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus)
- Gangguan ion pumps (peningkatan N a* -H* pump dan penurunan Ca2*- ATPase pump)
- Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
- Aktivasi protein kinase C
PATOLOGI
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstraseluler penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan/atau difus (Kimmelstiel-Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo-interstisial (Tabel 3 ).
Tabel 3 karakteristik nefropati diabetik
| ||||||
|
TATALAKSANA
Evaluasi. Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Associallor (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens keatinin (Tabel 4). Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockoft-Gault yaitu:
Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah diabetik nefropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah kepada penyakit-penyakit glomerulus nondiabetik (hematuria makroskopik, cast sel darah merah dll), atau kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak ditemukannya retinopati (terutama pada diabetes melitus tipe 1), atau pada kasus proteinuria yang timbul sangat mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasus-kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi ginjal (Gambar 4).
Tabel 4. Pemantauan fungsi ginjal pada penderita diabetes melitus
| ||||||||||||
|
Terapi
Tatalaksana nefiopati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, tetapi pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui : I ). pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes); 2). pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi); 3). perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian Angiotensin Converling Ensime Inhibitor [ACE-II dan/ atau Angiotensin Receptor Blocker [ARB]), 4). pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas dll).
Terapi non farmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat meliputi olah raga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol. Olah raga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam adalah 4-5 g/hari (atau 68-85 meq/ hari) serta asupan protein hingga 0,8 g/kg/berat badan ideal/hari.
Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah kurang dari 130/80 mmHg (Tabel 5). Obat antihipertensi yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB, sedangkan pilihan lain adalah diuretika, kemudian beta-blocker atau calcium-channel blocker.
Tabel 5. Pengobatan pasien diabetes dengan atau tanpa mikroalbuminuria atau dengan nefropaty diabetik yang jelas
| ||||||||||||||||||||||||
| ||||||||||||||||||||||||
* jika tekanan darah pasien diabetes diketahui sebelumnya dan kurang dari 120- 130/80- 85 mmHg, nilai ini dipakai sebagai end-point terapi
↑ jika pasien mendapat ACE-I, asupan diet bisa lebih tinggi (0,8-1,0 g/kg/hari) [ADA]
|
Walaupun pasien nefropati diabetik memiliki tekanan darah normal, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pemberian ACE-I dan ARB dapat mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini dicapai akibat penurunan tekanan darah, penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal, penurunan proteiuuria, efek natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi matriks, sitokin dan sintesa growth factor. disamping hambatan aktivasi, proliferasi dan migrasi makrofag, serta perbaikan sensitivitas terhadap insulin.
Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai 10 - 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin kurang dari 15 ml/menit atau serum kreatinin lebih dari 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis), walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi pengganti ginjal ini dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah cangkok ginjal, dan pada kasus nefropati diabetik di negara maju sudah sering dilakukan cangkok ginjal dan pankreas sekaligus.
Rujukan
Baik ADA maupun ISN dan NKF menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli dalam perawatan nefropati diabetik jika laju filtrasi glomerulus mencapai kurang dari 60 ml/men/l,73m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai kurang dari 30 ml/men/l,73m2,atau lebih awal jika pasien berisiko mengalami penumnan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan.
REFERENSI
1. American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes (Position statement). Diabetes Care, 2004 27(Suppl. l):S15.
2. American Diabetes Association: Nephropathy in diabetes (Position statement). Diabetes Care, 2004; 27(Suppl. 1):579.
3. Brownlee N4: Mechanisms of hyperglycemic dan'rage in diabetes, in: Kahn CR (ed): Atlas ofdiabetes. Science Press Ltd;2000, p.121
4. Car SJ: Management of end-stage renal disease in diabetes, in Johnson RJ et al (eds: Comprehensive Clinical Neplrol, 2'd ed. St Louis:Mosby; 2001. p.451.