Status Epileptikus Non Konvulsi
PENDAHULUAN
Status Epilepsi non konvulsi (NCSE) diartikan sebagai suatu kondisi dimana ditemukan berbagai gejala terutama perubahan status mental yang lama diakibatkan aktifitas bangkitan yang sedang berlangsung. Manifestasi klinis dapat bervariasi dari bingung sampai gangguan tingkah laku aneh dan psikosis serta koma. Status epilepsi nonkonvulsi tidak terdiagnosa, seringkali dianggap sebagai gangguan psikiatri.
Pada tahun 1945 Lennox menemukan gambaran EEG pada pasien dengan Status Petit Mal. Status epilepsi non konvulsi pertama ditemukan oleh Charcot pada tahun 1988 pada pasien yang somnolen akibat keracunan tripel bromide. Pada tahun 2004, kelompok dari Neuroscience mengadakan pertemuan untuk membicarakan definisi, diagnosa dan penatalaksanaan status epilepsi non konvulsi. Walaupun kedalam status epilepsi konvulsi termasuk beberapa jenis gejala yang berbeda namun ada dua hal yang tak terpisahkan yaitu kesulitan menegakkan diagnosa dan ketidak jelasan cara pengobatan yang tepat.
Gambaran EEG pada NCSE sangat heterogen, dapat berupa gelombang paku-ombak (TSW), gelombang paku multipel (MSW), dan aktifitas gelombang delta yang ritmis diselingi gelombang paku (RDIS). Walaupun bentuk NCSE cukup bervariasi namun dapat dibagi atas tiga tipe : status parsial komplek (CPSE), status absence (AS), dan hyperaritmia. Gambaran klinis bervariasi, tergantung dari bagian otak yang terkena serangan seperti gangguan tingkah laku, psikosis atau koma. Diagnosa dari ketiga tipe sangat tergantung kepada gambaran EEG, bila EEG didapatkan gambaran bangkitan, diagnosa dapat dipastikan. Prognosa dari NCSE tergantung pada penyakit yang mendasari pada letupan bangkitan yang persisten pada EEG.
DEFENISI
Status epilepsi non konvulsi adalah serangan epilepsi yang berlangsung lebih dari 30 menit ditandai dengan adanya aktifitas bangkitan yang kontinyu atau berulang pada perubahan Elektro Encephalogram (EEG) yang menyebabkan berbagai gejala klinik mencakup gangguan kesadaran, gangguan persepsi dengan tingkah laku yang abnormal. Menurut The Epilepsy Research Foundation status epilepsi non konvulsi adalah suatu rangkaian kondisi dimana ditemukan aktifitas bangkitan yang memanjang yang menyebabkan gejala klinis non konvulsi.
Bila seseorang anak diduga menderita status epilepsi non konvulsi maka EEG harus segera dilakukan. Rekaman EEG akan memudahkan dokter untuk mengkonfirmasi atau mengeklusi diagnosis status epilepsi nonkonvulsi. Idealnya EEG dilakukan sebelum anak mendapat obat anti epilepsi. EEG juga berguna untuk memonitor respon pengobatan.
Status epilepsi non konvulsi dibedakan dengan status epilepsi konvulsi karena tidak ditemukan atau sedikit ditemukannya komponen motorik. Tanda dominan dari status epilepsi non konvulsi adalah perubahan status mental yang berhubungan dengan perubahan pada EEG. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma, ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis.
Ada 3 jenis utama dari status epilepsi : status absens yang merupakan epilepsi umum dan status parsial komplek yang berasal dari bangkitan fokal dan kategori ketiga hipsaritmia terutama ditemukan pada spasme infantile atau syndrome West.
Status absent dan status parsial komplek keduanya ditandai dengan perubahan dari tingkat kesadaran dan tingkah laku, keduanya tidak ditemui atau ditemui gejala motor yang minimal. Gejala awal dapat terjadi mendadak atau perlahan-lahan, lamanya gejala bervariasi dari beberapa menit, hari atau bulan. Tidak berespon, salah satu gejala yang harus difikirkan suatu gambaran dari status absens. Absent status biasanya khas ditemukan pulihnya kesadaran, terlebih dahulu terjadi normalisasi post iktal secara berangsur-angsur.
Menurut sejarah status absens lebih banyak ditemukan dari pada status parsial komplek, tetapi dengan perbaikan dari teknik EEG membawa perubahan. Aktifitas cepat (rapid generalization) dari status parsial komplek pada EEG sering dianggap sebagai status absens.
EPIDEMOLOGI
Untuk menentukan angka kejadian dari status epilepsi non konvulsi (NCSE) dibutuhkan tersedianya EEG. Beberapa studi hanya dilaporkan dari pasien yang di rawat di rumah sakit. Lebih mudah untuk menentukan angka kejadian dari status epilepsi konvulsi umum (GCSE), karena gejala klinik mudah dikenal. De Lorenzo dkk melaporkan angka kejadian 41 per 100.000, angka kematian pada GCSE hampir 22%, dan meningkat 30% pada usia tua .
Menurut epilepsy foundation research, angka kejadian NCSE diperkirakan 6-18 kasus/ 100.000/tahun. Towne dkk, pada studi prospektif dari 236 pasien dengan koma dimana secara klinis tidak ditemukan kejang, melaporkan 8% dari pasien memenuhi kriteria NCSE pada EEG. De Lorenzo dkk mendapatkan 14% dari pasien yang kontrol sesudah mendapat GCSE. Privitera dan Strawburg melaporkan pada studi prospektif menemukan pada 198 pasien dengan perubahan tingkat kesadaran pada EEG ditemukan NCSE.
NSCE dilaporkan dapat ditemukan pada semua usia dan usia sangat muda sampai sangat tua, pada kedua jenis kelamin tanpa perbedaan. NCSE tidak membutuhkan riwayat kejang sebelumnya, dari perpustakaan dilaporkan 10-100% pasien dengan NCSE telah ditemukan riwayat kejang sebelumnya. Diperkirakan 10% dari dewasa dengan status absent didapat sekurangnya satu kali serangan absent. Pada dewasa, NCSE diperkirakan seperempat dari seluruh kasus status epilepsi. Data mengenai NCSE pada anak-anak jarang dilaporkan disebabkan oleh kurangnya konsensus untuk diagnosa dan diatas segalanya akibat tidak diketahuinya gejala sebagai kelainan patologi atau misinterprestasi sebagai problem tingkah laku, status absent dilaporkan terbanyak pada anak-anak yang akan menjadi NSCE pada waktu dewasa.
Berbagai faktor pencetus dapat terlibat pada NCSE termasuk gangguan metabolik, infeksi, intoksikasi alkohol, kehamilan, intoksikasi obat (amitriptilin, theophylin, cephalosporin, obat khemoterapi (metotroksat, ifosfemid, ciklo fostamid, ciklosporin, vinblastin, eisplastin), withdrawal anti epilepsy (AEO) dan carbamazepin, sangat jarang lamotrigin, phenobarbital, phenitoin.
PATOFISIOLOGI
Pengetahuan tentang patofisiologi dari status epilepsi non konvulsi (NCSE) sangat penting untuk penanganan kasus. Mekanisme dari mulainya kejang sama dengan jenis kejang lainnya, apakah umum atau fokal. Pada struktur kortikal tidak semua aktivasi epilepsi berasal dari gangguan keseimbangan antara pengaruh depolarisasi dan hiperpolarisasi dalam jaringan yang saling berhubungan dari neuron. Pengaruh-pengaruh ini dapat menyangkut sinaps atau sifat intrinsik membran sejalan dengan sifat-sifat regulasi ion. Paham yang lebih banyak adalah status epileptikus merupakan mekanisme yang mengembangkan kesinambungan aktifitas epilepsi, disamping kegagalan mekanisme yang menghentikan aktifitas ini dan mekanisme yang memungkinkan terpeliharanya sejumlah fungsi otak walaupun aktifitas epilepsi sedang berlangsung.
Mekanisme yang dapat menjadikan terjadinya serangan berulang ialah bangkitan epileptiform melibatkan sel-sel neuron yang dapat menghasilkan munculnya aksi potensial lambat. Melalui mediasi ion Na+ dan Ca+ saat berlangsungnya aktivasi, terutama oleh depolarisasi yang kuat atau berkelanjutan (umpamanya pada saat serangan berlangsung), yang kesemuanya ini menyebabkan cetusan berulang. Tambahan lagi terhadap faktor-faktor sinaptik, mekanisme non sinaptik mungkin memegang faktor penting dalam berlanjutnya aktifitas epilepsi. Pengaliran ion-ion ada hubungan terhadap aktifitas dari keterlibatan neuron-neuron yang mencetuskan bangkitan yang tersebar dalam ruang ekstra seluler, menginduksi eksitabilitas dari membran neuron sekitarnya melalui efek lapangan medan elektrik. Lebih lanjut lagi aktifitas neuronal yang kuat menghasilkan fluktuasi ion-ion ektra seluler terutama ion K+ yang juga cenderung mengimbas neuron berdekatan. Aktifitas epilepsi sudah diketahui dapat menginduksi suatu kaskade fisiologik dari neuron-neuron instrinsik dan mekanisme sinaps yang cenderung dapat meredakan aktifitas, sebagai hasilnya banyak serangan epilepsi yang dapat membaik dengan sendirinya. Kelumpuhan dari mekanisme penghentian serangan inilah yang mencetuskan perpanjangan bangkitan yang akhirnya menjadi status epileptikus.
GEJALA KLINIS
Menifestasi klinik dari status epilepsi non konvulsi (NCSE) mencakup perubahan status mental yang menyeluruh. Dapat diketahui dari keluarga atau teman-teman, dapat berupa delirium atau koma. Fluktuasi dari gejala dapat terjadi dengan berbagai tingkatan, sehingga dapat mengaburkan diagnosa. Aktifitas motorik biasanya normal pada sebagian besar kasus, kadang ditemukan kekakuan (clumsiness), apraksia, jerking fokal, twiching pada otot wajah (kedip-kedip mata) mengunyah atau mengecap-ngecap makanan, gerakan automatisme dalam bentuk gerak yang nyata sangat jarang seperti flexi, ekstensi dari ekstermitas, deviasi kepala.
Tabel 1. Gejala klinik dan pasien NCSE
|
- Gangguan kognisi ringan (gangguan atensi) kesulitan dalam perencanaan dari gerakan motor yang komplek secara teratur (berurutan)
- Disorientasi ringan atau bingung
- Kondisi bingung yang berkepanjangan
- Gangguan moods
- Buta kortikal
- Gangguan bicara (bicara kurang lancar, afasia, membisu)
- Ekolali
- Konfabulasi
- Tingkah laku aneh dari sebelumnya (ketawa, berdansa atau bernyanyi)
- Gejala psikotik
- Gangguan otonom (sendawa, bunyi gemuruh pada lambung, kentut)
- Gangguan sensori
- Koma
|
Diagnosa banding dari perubahan status mental harus dicari untuk dapat menentukan penyebab lain. Riwayat medis, neurologi, psikiatri, riwayat keluarga, sosial dan riwayat pengobatan merupakan komponen yang sangat penting untuk diagnostik
Tabel 2 Situasi dimana NCSE harus dipertimbangkan
|
- Periode post iktal yang memanjang (lebih dari 2 jam) sesudah kejang umum tonik klonik
- Perubahan status mental ditandai dengan twitching atau kedip kedip mata atau status mental yang berfluktuasi
- Perubahan status mental dimana etiologi tidak dapat ditentukan terutama untuk pasien yang punya riwayat kejang
- Perubahan status mental yang tidak dapat diterangkan pada usia lanjut
- Pasien stroke dimana gejala klinik memburuk tanpa dapat diterangkan penyebabnya
|
EEG PADA PASIEN STATUS EPILEPSI NON KONVULSI (NCSE)
Sekarang ini tidak ada kriteria yang jelas untuk menentukan NCSE, jika diduga NCSE dari gejala klinik segera lakukan pemeriksaan EEG untuk konfirmasi diagnosa dan penatalaksaan langsung. Pada status absent, EEG ditandai dengan aktifitas bangkitan yang kontinyu, ritmik dan bilateral sinkron, letupan spike wave dengan interval 3 per detik maksimum di daerah bifrontal, variasi EEG dapat berupa 2-3 per detik spike wave komplek dan juga gelombang lambat, gelombang paku yang ritmik atau aritmik atau aktifitas poli spike. Pada status parsial komplek ditemukan aktifitas bangkitan yang sinkron perlambatan yang ritmik, gelombang paku yang ritmik dan gelombang tajam yang ritmik serta gelombang lambat. Salah satu yang harus diwaspadai dimana gambaran EEG dapat menyokong untuk ke 2 macam NCSE, tidak ada gejala patognomosis. Jika EEG dilakukan pada onset dari bangkitan, dapat ditemukan fokus yang jelas sehingga dapat membedakan CPS dari AS. Jika bangkitan umum sekunder terjadi, akibat karena bangkitan dapat menyebar dari CPS berlangsung dalam waktu lama, akan terjadi mis klasifikasi.
Tabel 3 Kriteria EEG dari NCSE menurut
Epilepsy Research Foundation Workshop
|
- Frekuen atau kontinyu dari bangkitan fokal
- Frekuen atau kontinyu dari letupan gelombang paku yang menyeluruh
- Frekuen atau kontinyu dari letupan gelombang paku yang menyeluruh dengan perubahan yang signifikan dari intensitas atau frekuensi di banding dengan EEG dasar
- Lateralisasi periodik bilateral, adanya letupan gelombang epilepsi pada pasien koma mengalami kejang tonik klonik
- EEG abnormal frekuen atau kontinyu pada pasien dimana tidak ditemui gangguan sebelumnya
- EEG abnormal frekuen atau kontinyu pada pasien dengan epileptik encephalopathi dan juga ditemukan kelainan yang sama pada inter iktal tetapi secara gejala klinis menyokong untuk NCSE
|
Dibawah ini beberapa contoh gambaran EEG dari pasien dengan NCSE :
Pencitraan Otak (Imaging)
Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging) tidak diperlukan untuk mendiagnosa NCSE. Dapat diindikasikan tetapi tidak segera, pada situasi dimana etiologi dari bangkitan tidak diketahui atau untuk penelitian sedikit pernah dilaporkan efek dari NCSE terhadap pencitraan otak.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) umumnya normal selama serangan. Mungkin ditemukan edema pada daerah kortikal, sehubungan dengan peningkatan signal T2 dan penurunan diffuse air NCSE pada Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) terlihat penurunan puncak dari N Acetyl Aspartat disebabkan hilangnya fungsi neuron dan meningkatnya metabolisme anaerob dan meningkatnya cholin, terjadi peningkatan mobilitas cholin
Pada pemeriksaan Single Photor Emission Computered Tomography (SPECT) dengan hexamethylpropyler amin-oksin (HMPAO) dapat ditemukan peningkatan Cerebral Blood Flow (CBF) pada waktu serangan (iktal) dibanding diluar serangan (postiktal)
Pemeriksaan dengan Positor Emmession Tomography (PET) dengan memakai F – fluorodeoxyglucose (FDG) dapat ditandai peningkatan metabolisme regional berlawanan dengan hipometabolisme pada interiktal.
PENGOBATAN
Walaupun masih ditemukan banyak kontroversi tentang kapan dimulai pengobatan NCSE, secara umum prinsip dari penatalaksanaan NCSE adalah sesegera mungkin mendapatkan etiologi dan faktor pencetus dan sesegera mungkin mengoreksi faktor pencetus stres fisiologi termasuk infeksi, keracunan gangguan metabolik, interaksi obat atau with drawal dan kehamilan.
Pemberian benzodiazepin secara intravena harus dilakukan dengan monitoring EEG. Konfirmasi diagnostik EEG dibutuhkan sebelum terapi farmakologi diberikan. Dilaporkan beberapa kasus terjadi respon segera sesudah pemberian benzodiazepin secara intravena. Walaupun kadang-kadang ada tendensi NCSE untuk berulang dan diperlukan pemberian anti konvulsan tambahan. Benzodiazepin seperti diazepam lorazepam clonazepam dan midazolam, dapat diberikan sebagai monoterapi atau kombinasi. Respon dari NCSE terhadap benzodiazepin, kadang-kadang lambat, atau diikuti oleh berulangnya gejala beberapa jam atau hari kemudian, pemberian anti epilepsi long-acting mungkin dibutuhkan. Pemberian benzodiazepin harus hati-hati pada pasien yang terdapat problem medis yang banyak dimana hipotensi dan depresi pernafasan bisa terjadi. Respon terhadap benzodiazepin intravena dari status absens dan status parsial komplek (PS) berbeda, dimana pada AS respon lebih cepat dibanding PS
Bila diagnosa NCSE sudah ditegakkan, dan kejang sudah terkontrol, pemberian obat jangka panjang perlu dipertimbangkan. Tersedia berbagai macam obat antiepilepsi seperti phenitoin, asam valproat, phenobarbital. Dapat diberikan secara intravena untuk fase akut dan secara oral untuk pengobatan jangka panjang. Carbamazepin, phenitoin dan anti epilepsi generasi baru (lamotrigin, topiramate, levetirocetam) dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan jangka panjang. Asam valproat adalah obat pilihan utama untuk epilepsi absens, ethosuximid dan clonazepam juga bisa dipakai. Vigabatrin dan tiagabin tidak direkomendasikan karena diduga memegang peranan untuk terjadinya perburukan dan faktor presipitasi NCSE
KESIMPULAN
Status epilepsi non konvulsi sering ditemukan pada pasien dengan perubahan status mental yang tidak dapat ditemukan penyebabnya. Para klinisi harus waspada tentang gejala klinis yang bermacam dan ingat bahwa riwayat kejang sebelumnya tidak diperlukan untuk diagnosa, hanya bila ditemukan aktifitas motorik. Diagnosa dikonfirmasi dengan EEG, yang mana juga dibutuhkan untuk membedakan status absent dan parsial komplek.
Pengobatan dimulai dengan mengobati penyakit lain dan memakai benzodiazepin. Bila respon pengobatan lama, dapat diberikan anti konvulsan lain. Secara umum prognosa absent status dan parsial komplek status adalah baik, walaupun pada berbagai perpustakaan menyebutkan outcome adanya gangguan neuro kognitif berhubungan dengan lamanya status.
KEPUSTAKAAN