Anasthesia dan Asma bronkhiale
PENDAHULUAN
- Penyakit paru merupakan penyakit penyerta yang sering ditemukan pada penderita yang akan dilakukan pembedahan. Penyakit paru obstruktif merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan gangguan fungsi paru. Asma bronkial sendiri merupakan penyakit paru obstruktif, yang ditandai dengan penyempitan akut atau sub akut jalan nafas, berupa bronkospasme yang disertai dengan bertambahnya sekret. Semua ini menyebabkan naiknya tahanan jalan nafas. Keadaan ini timbul karena reaksi alergi, rangsangan bahan-bahan kimia, aktifitas fisik dan infeksi.
- 1. Peningkatan sensitifitas jalan nafas terhadap berbagai stimuli.
- 2. Penyumbatan jalan nafas yang reversibel.
- 3. Edema mukosa jalan nafas.
PATOFISIOLOGI
- Definisi asma menurut The American Thoracic Society ( 1962 ) adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luans dan derajatnya dapat berubah – berubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
- Secara klinis asma diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :
- 1. Asma ekstrinsik atau alergik.
- 2. Asma intrinsik atau idiopatik.
- 3. Asma campuran.
- Asma ekstrinsik atau alergik ditemukan pada sejumlah kecil orang dewasa, dan disebabkan oleh alergan yang diketahui dan terdapat peningkatan Ig E dalam semua jenis serum. Ini biasanya dimulai dari masa kanak – kanak dengan riwat keluarga yang mempunyai penyakit atopik.
- Asma intrinsik atau idiopatik, sering tidak ditemukan faktor – faktor pencetus yang jelas. Faktor non spesifik seperti flu, latihan fisik atau emosi memicu serangan asma.
- Asma campuran paling banyak menyerang pasien, yang mana terdiri dari komponen asma intrinsik dan ekstrinsik atau dengan kata lain merupakan jenis asma gabungan antara asma ekstrinsik dan asma intrinsik.
Perubahan dimulai dengan adanya alergen Ig E yang mengaktifkan mast cell untyuk mengeluarkan mediator vasoaktif, antara lain histamin. Adanya antigen yang terinhalasi untuk pertama kali akan membentuk antibody dari kelompok Ig E. Apabila antigen yang sama terinhalasi, maka akan terjadi reaksi antigen – antibodi pada permukaan mast cell, keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya degranulasi dan membebaskan substansi vasoaktif seperti histamin, thromboxane leukotrienin, platelet aggregating faktor. Pengeluaran substansi vasoaktif tersebut menyebabkan terjadinya spasme otot polos bronkus, sehingga timbulah asma.
TANDA DAN GEJALA ASMA BRONKIAL
- Gejala klinis asma yang sering ditemukan adalah wheezing, batuk dan sesak nafas.
- Wheezing, gejala atau tanda yang sering ditemukan pada penderita dengan asma akut, merupakan istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan suara ekspirasi yang ditimbun oleh aliran udara turbulen yang melewati saluran pernafasan yang menyempit. Batuk, dari nom produktif sampai produktif dengan dengan sputum yang berlebihan yang secara tipikal bersifat mukoid dan sangat sering tertahan.
- Sesak nafas berhubungan dengan berat ringannya penyempitan jalan nafas. Adanya penyempitan jalan nafas menyebabkan perubahan pada volume parui, peak flow rate, gerakan dinding dada yang selanjutnya merubah distribusi ventilasi – perfusi, keadaan ini akan menyebabkan hipoksemia, hiperkarbi dan perubahan fungsi kardiovaskuler.
- Volume ekspirasi paksa yang diukur dalam detik pertama ( FEV 1 ) dan laju aliran maksimal tengah ekspirasi ( FEF ) merupakan suatu petunjuk penting yang berhubungan dengan obstruksi saluran nafas yang didapat dari ekspirasi paksa
- Pada penderita asma bronkial ringan tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida normal, dengan bertambah beratnya asma keduanya akan menurun. Pada serangan asma sedang sampai berat terjadi penurunan tekanan parsial oksigen dan eningkatan tekanan parsial karbon dioksida, kapasitas residu fungsional ( FRC ) dapat meningkat sebanyak 1 sampai 2 liter, sementara kapasitas paru – paru total ( TLC ) masih dalam batas normal.
- Anestesi umum pada penderita asma bronkial dapat menurunkan kapasitas residu fungsional (FRC) dan volume paru akibat depresi sentral respirasi oleh obat sedasi, narkotik analgetik. Pola pernafasan pada penderita teranestesi juga berubah, FRC menurun sampai 20 % pada pernafasan spontan dan 16 % pada pernafasan kontrol. Dibanding dengan pernafasan spontan, ventilasi dengan tekanan positif seringkali menimbulkan gangguan ventilasi-perfusi, karena pada keadaan ini paru-paru yang non dependen menerima lebih banyak ventilasi tetapi aliran darah ke daerah itu berkurang dibandingkan dengan bagian paru yang dependen yang menerima ventilasi sedikit tetapi aliran darahnya cukup besar, sehingga pada ventilasi dengan tekanan positif ruang rugi fisiologis dan shunting lebih besar daripada pernafasan normal. Dengan demikian anestesi umum pada penderita asma bronkial dapat memperberat keadaan hipoksemia dan hiperkarbinya
PENANGANAN ASMA BRONKIAL SECARA UMUM
- Tujuan utama dari pengobatan asma bronkial adalah :
- - Oksigenasi.
- - Bronkodilator.
- - Anti inflamasi.
- Oksigenasi diberikan bertujuan untuk memperbaiki perfusi ke jaringan tubuh, dimana saturasi oksigen lebih dari 96 %, pada umumnya dimonitor dengan pulse oksimetri. Disamping itu perlu pula hidrasi yang baik ( pemberian cairan peroral / parenteral ), hal ini penting untuk mengurangi produksi mukus kental yang dapat menyumbat jalan nafas yang sudah menyempit. Selain hidrasi, humidifikasi juga bisa dilakukan untuk mengencerkan dahak.
- Obat – obat bronkodilator yang digunakan dalam pengobatan asma meliputi β – 2 agonist, aminophilin dan antikolinergik.
- β – 2 agonist
- Merupakan bronkodilator paling efektif, dengan merangsang enzim adenylate cyclase dan selanjutnya dan selanjutnya mengurangi tonus otot polos. Albuterol ( salbutamol ) merupakan β – 2 agonist selektif yang digunakan untuk pengobatan standart asma serta bronkospasme pada umumnya sediaanya berupa aerosol.
- Epinefrin dan isoproterenol selain menyebabkan bronkodialtasi, juga merangsang β – 1 cardiac reseptor yang dapat menyebabkan disritmia terutama pada keadaan hipoksemia dan hiperkarbi. Isoetharine, metaproterenol, albuterol ( salbutamol ) dan terbutalin kurang menimbulkan efek pada jantung.
- β – 2 agonist dapat menyebabkan hipokalemia oleh karena terjadinya redistribusi kalium intrasel. Obat – obat ini harus diberikan secara hati – hati pada ibu hamil karena dapat melemahkan kontraksi uterus.
- Aminophilin
- Merupakan garam ethylenediamina dari theophylline, dan sebagai obat standar bronkospasme. Obat ini dapat diberikan secara intravena dengan dosis permulaan 5 mg/kg BB yang diberikan selama ± 15 menit, yang diikuti dengan pemberian per infus 0,5 – 1 mg/kg BB sebagai infus yang berkelanjutan. Kelemahan dari obat ini adalah bila konsentrasi palsma lebih dari 20 mg / L dapat menimbulkan kejang-kejang dan gangguan kardiovaskuler berupa aritmia. Beberapa kondisi seperti infeksi infeksi virus yang akut, gangguan jantung kongestif, penyakit hepar dan pemberian seperti cimetidin dapat meningkatkan kadar aminophilin dalam darah, sehingga dianjurkan mengurangi kecepatan infus aminophilin selama teranestesi.
- Aminophilin dengan mudah dapat melewati sawar plasenta dan dapat menyebabkan toksisitas pada bayi yang ibunya mendapat obat ini selama persalinan. Resiko ini lebih tampak pada bayi prematur karena lebih banyak aminophilin yang diubah menjadi kafein. Perubahan kedalaman anestesi perlu dipertimbangkan karena pada pasien asma, bronkospasme dapat terjadi karena pasien teranestesi secara dangkal.
- Antikolinergik
- Kurang disukai karena kadang-kadang dapat menyebabkan iritasi endobronkial dan edema dinding bronkus, yang akhirnya justru memperberat bronkokonstriksi.
- Anti inflamasi
- Inflamasi yang kronis tampaknya penting dalam patogenesis asma, maka perlu penggunaan obat anti inflamasi seperti kortikosteroid dan cromolyn untuk menekan inflamasi. Obat-obat ini dipandang sebagai profilaksis, karena obat ini tidak memberi efek bronkodilator yang cepat.
- Kortikosteroid
- Dapat diberikan denagn cara inhaler. Tetapi obat ini jarang digunakan karena penggunaan β – 2 agonist lebih cepat berefek bronkodilatornya. Secara luas obat ini dipergunakan untuk eksaserbasi akut dan juga digunakan untuk rumatan pada asma yang asimtomatis. Efek obat ini dapat mengurangi pelepasan histamin dari mast cell, makrofag dan eosinofil berdasar efek stabilitas membran sel.
- Cromolyn
- Obat ini dapat diberikan secara inhaler dengan dosis yang telah terukur, dan merupakan obat anti inflamasi piliahn pada anak-anak, sementara kortikosteriod lebih terpilih untuk pasien dewasa. Mekanisme aksi obat ini ang pasti tidak diketahui, tetapi mungkin dengan cara mencegah pelepasan mediator kimia dari mast cell, makrofag dan eosinofil berdasar efek stabilitas membran.
PENANGANAN ANESTESI PADA ASMA BRONKHIALE
- Penanganan anestesi untuk penderita asma memerlukan pemahaman tentang patofisiologi dan farmakologi obat-obat yang digunakan untuk pengobatan penderita asma.
- Evaluasi sebelum pembedahan.
- Riwayat frekwensi eksaserbasi dan hebatnya serangan menunjukkan berat ringannya penyakit. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan sebelum dilakukan operasi, karena dapat menyebabkan iritabilitas jalan nafas. Terapi asma agar dilanjutkan sampai menjelang operasi.
- Tidak adanya wheezing dan sesak nafas menunjukkan pasien tidak sedang mengalami serangan asma. Pengamatan jumlah eosinofil darah berhubungan dengan tingkat inflamasi an sensitifitas jalan nafas yang dapat memberikan gambaran mengenai keadaan penyakit pasien tersebut.
- Tes faal paru sebelum dan sesudah terapi bronkodilator dapat dilakukan pada pasien yang menderita asma bronkial yang akan melakukan operasi elektif.
- Fisioterapi, hidrasi sistemik, pemberian antibiotik yang tepat serta terapi bronkodilator dapat memperbaiki komponen-komponen asma yang beersifat menetap sebelum dilakukan operasi. Foto thorak dibandingkan dengan foto thorak sebelumnya dapat digunakan untuk membandingkan status dari proses penyakit. Analisa ags darah diindikasikan apabila ada permasalahan tentang ketepatan oksigenasi.
- Premedikasi
- Tidak ada penelitian yang menegaskan obat atau kombinasi yang disukai pada penderita asma. Pemakaian obat antikolinergik perlu dipertimbangkan secara individual, mengingat bahwa obat ini dapat menyebabkan kenaikan viskositas dari sekret, sehingga menyulitkan untuk menghilangkannya dari jalan nafas.
- Banyak obat-obatan yang dapat diberikan sebagai premedikasi, seperti diazepam, pethidin, prometasin, atropin, namun tidak ada satupun yang dianggap paling baik. Tidak ada keterangan pemberian opioid dapat menyebabkan bronkokonstriksi atau menstimuli vasoaktif dari mast cell . Salah satu pertimbangan memberikan opioid adalah kemungkinan mendepresi sistem pernafasan.
- Obat-obat bronkodilator yang digunakan untuk pengobatan asma haus dilanjutkan sampai menjelang operasi, biasanya diberi aminopilin peroral atau suposituria 1 jam sebelum operasi.
- Induksi dan Rumatan
- Tujuan induksi dan rumatan anestesi pada penderita asma adalah menekan reflek jalan nafas dengan obat-obat anestesi untuk menghindari terjadinya bronkokonstriksi sebagai akibat stimulasi mekanik.
- Endobronkial intubasi potensial menyebabkan problem pada pasien asma. Anestesi yang dangkal munkin menyebabkan keadaan yang buruk seperti bronkospasme, terutama bila ada stimulasi fisik di trakhea, karina atau bronkus karena pipa endotrakhea atau karena udara dingin, Inhalasi anestesi yang menyebabkan jalan nafas kering. Semua keadaan ini dapat dicegah dengan memberikan lidokain 2 % 1,5 mg / kg BB intravena diikuti dengan anestesi yang daalm. Bisa juga dengan pemberian lidokain spray sebelum dilakukan intubasi, dan pemberian obat-obat atropin untuk mencegah reflek vagal. Jangan melakukan hiperventilasi pada asien ini karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbi dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi dalam dianjurkan pada apsien dengan asma walaupun hal ini tidak terlau penting.
- Regional anestesi merupakan pilihan pada pada operasi yang superfisialdan pada daerah ekstremitas, seandainya kita harus melakukan anestesi umum penggunaan LMA dapat dijadikan pilihan jika ingin menghindari dilakukannya intubasi trakhea.
- Induksi anestesi dengan barbiturat, benzodiazepin, propofol dan etomidate dapat diterima, tetapi harus diingat obat-obat ini tidak dapat menekan reflek jalan nafas secara tepat, atau bahkan menambah kemungkian terjadinya bronkospasme. Setelah oksigenasi,ketamin 1 – 2 mg / kg BB yang mempunyai efek bronkodilator dan simpatomimetik dapat sebagai pilihan untuk mencegah terjadinya kenaikan resistensi jalan nafas dibandingkan dengan theopental. Untuk mencegah hipersalivasi dapat diberikan atropin.
- Bila terjadi serangan asma sebelum pasien diinduksi, maka tindakan pertama adalah memberikan obat bronkodilator. Bila operasi elektif maka harus ditunda untuk persiapan yang lebih baik, jika keadaan emergensi induksi dilakukan setelah serangan teratasi dan pengobatan dilanjutkan selama operasi. Segera setelah reflek bulu mata hilang, langsung diberikan campuran gas dengan volatile anestesi untuk mencapai stadium anestesi yang dalam, oleh karena light anestesi dukan pilihan untuk dilakukan intubasi.
- Halotan paling banyak dipilih oleh karena mempunyai efek bronkodilatasi , namun demikian halotan bukan merupakan obat yang ideal. Efek meningkatkan sensitivitas otot jantung akibat stimulasi β seperti β agonist dengan pemberian aminophlin dapat menyebabkan disritmia jantung. Enfluran dan isofluran dapat sebagai alternatif untuk menghindari disritmia tersebut diatas. Enfuran an isofluran sama efektifnya denagn halotan dalam pemulihan bronkospasme yang disebabkan oleh alergen. Penggunaan lidokain 2 % 1,5 mg / kg BB dapat diberikan kurang lebih 1 menit sebelum intubasi, untuk menekan reflek jalan nafas pada saat intubasi.
- Pelumpuh otot yang dapat digunakan adalah vecuronium. Obat pelumpuh otot yang menimbulkan histamin release seperti suksinilkolin, pancuronium, atracurium dan d – tubocurarin sebaiknya dihindari. Pada akhir operasi reverse dari pelumpuh otot non depolarisasi dengan anti kolinesterase dapat menimbulkan bronkospasme, untuk menghindarinya dianjurkan menggunakan pelumpuh otot yang disesuaikan dengan kebutuhan dan lama operasi.
- Intra operatif untuk mempertahankan oksigenasi arterial dapat dilakukan dengan ventilasi kontrol. Inspiratory flow rate yang lambat menyebabkan distribusi ventilasi lebih optimal dan waktu yang cukup untuk ekshalasi untuk mencegah terjadinya air trapping, dengan demikian possitive end expiratory pressure bukan tehnik yang ideal pada jalan nafas yang menyempit. Diberikannya campuran gas yang lembab dan hangat melalui humidifier, juga cairan yang cukup selama operasi akan lebih baik. Ekstubasi dilakukan bila anestesi masih dalam atau asien dalam keadaan sadar penuh.
- Pasca operasi
- Pemberian analgetik yang adekuat atau infiltrasi lokal pada sekitar luka irisan operasi dapat diberikan untuk menghindari nyeri yang dapat menimbulkan stress pada pasien. Demikian juga oksigenasi pasca operasi dan hidrasi yang cukup harus diperhatikan.
BRONKOSPASME INTRA OPERATIF
- Bronkospasme intra operatif biasanya dapat disebabkan oleh karena berbagai faktor selain asma, penyebabnya antara lain.
- - Penyumbatan ET oleh akrenatertekuk, sekret atau herniasi dari cuff ET .
- - Light anestesi yang merupakan penyebab tersering.
- - Endobronkial intubasi
- - Aspirasi cairan lambung.
- - Edema paru.
- - Pneumothorak.
- Bronkospasme yang terjadi intra operatif maka penanganan yang paling logis adalah mendalamkan anestesi dengan volatile dan obat pelumpuh otot , lalu naikkan FiO2. Bronkospasme yang diseabkan oleh asma biasanya membaik denagn mendalamkan anestesi. Apabila denagn mendalamka anestesi gagal atau tetap terjadi bronkospasme,pemberian β – 2 agonist harus dipertimbangkan
- Albuterol ( salbutamol ) dapat dimasukkan kedalam jaan nafas dengan cara menempatkan inhaler dosis terukur dengan menggunakan T konektor atau dengan menggunakan small bore catheter yang ditempatkan pada ujung distal ET. Selanjutnya hilangkan stimulasi mekanik, lakukan suctioning, dan pastikan ET tidak tertekuk. Balon ET dikempeskan, tarik 0,5 – 1 cm, lalu balon dikembangkan kembali. Kadang-kadang ET terlalu masuk sehingga merangsang karina, hal ini yang menyebabkan bronkospasme pada keadaan anestesi yang dangkal. Rangsangan bedah yang menyebabkan vagal reflek dihentikan sebentar.
- Intervensi mediakmentosa selanjutnya diberikan bila hal tersebut diatas tidak memperbaiki bronkospasme. Aminophilin IV dapat diberikan denagn dosis 5 mg / kg BB disuntikkan selam 15 menit, dilanjutkan pemberian perinfus 0,5 – 1 mg / kg BB.
- Bila tidak ada respon terhadap terapi diatas dan pasien menjadi sianotik, dapat dipastikan sudah terjadi asidosis oleh karena retensi CO2 dan laktat asidosis oleh karena hipoksia jaringa. Natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengoreksi keadaan asidosis, oleh karena aminophilin maupun β agonist tidak bekerja efektif dalam keadaan asidosis.
RINGKASAN
- Asma bronkial adalah suatu penyakit paru obstruktif yang diderita oleh 3 – 5 % populasi. 65 % gejala timbul pada usia kurang dari 5 tahun, dan penderita pria lebih banyak dari wanita. Penyakit ini seringkali dihadapi oleh dokter anestesi, dan dapat menimbulkan penyulit pada waktu preoperatif, intra meupun pasca operatif.
- Sebenarnya penyebab penyakit asma ini sangat heterogen dan sukar untuk menentukan penyebab yang pasti, tetapi pada dasarnya keadaan umum yang terjadi adalah terdapatnya hiperiritabilitas yang non spesifik dari traktus trakheobronkial. Secara klinin asma diklasifikasiakn menjadi 3 kelompok : alergi, idiopatik dan campuran.
- Terapi bronkodilator harus optimal dan tetap diberikan sampai menjelang induksi. Regional anestesi dapat dipilih untuk menghindari perangsangan jalan nafas. Anestesi umum harus diingat bahwa anestesi yang dangkal ( light anestesi ) harus dihindari, selain itu kitajuga harus menghindari obat-obat yang menyebabkan histamin release. Untuk rumatan ( maintenance ), halotan, enfluran dan isofluran sama efektifnya dalam mencegah dan mengatasi bronkospasme. Bronkospasme intra operatif dapat diatasi dengan : mendalamkan anestesi, hilangkan rangsangan mekanik, terapi dengan obat bronkodilator.