OPERASI PADA ANAK : PERSIAPAN FISIK DAN ANESTESI SEBELUM OPERASI PADA PEDIATRI

PERSIAPAN OPERASI PADA ANAK
----------------------------------------------------------------------------------------------------------


Faktor fisik dan emosional
  • Persiapan untuk anestesi dan operasi anak harus memperhatikan keadaan fisiknya, yang biasanya berkaitan pula dengan keadaan emosionalnya yang mana hal ini sering kurang mendapat perhatian. Seringkali yang diukur dan diterapi adalah kualitas fisik, jarang yang memperhatikan keadaan fisik atau emosional sehingga jarang ditemukan alat ukur bagi kondisi tersebut. Karena persiapan emosi harus dilakukan sebelum masuk ke rumah sakit maka hali ini yang menjadi bahasan lebih dahulu.
  • Selama bertahun-tahun, ahli psikiatri menegaskan adanya stres emosional yang dialami oleh anak kecil yang dirawat di rumah sakit dan dampak yang ditimbulkan setelah itu.
  • Bahasan yang sering disajikan yakni anak normal yang sehat yang diprogram untuk tonsilektomi atau hernioraphi. Tetapi adapula keadaan yang melibatkan situasi emosional anak, misalnya : (1)anak normal yang menghadapi operasi elektif tanpa komplikasi, (2)keadaan-keadaan abnormal, termasuk anak neurotik (maupun orang tuanya), anak yang harus menghadapi tindakan berulangkali (pernah ditemukan seorang anak yang menghadapi lebih dari 100 tindakan), anak dengan penyakit kronis, cacat, retardasi, gizi buruk (‘maltreated’), luka bakar, anak dengan trauma, dan (3)pasien anak-anak yang tidak beruntung karena harus menghadapi hasil akhir yang fatal akibat fibrosis kistik, lekemia, atau penyakit yang lain.
  • Pengelolaan untuk setiap individu akan sangat berbeda-beda, namun secara umum terdapat fase-fase yang melibatkan situasi emosi seperti persiapan di rumah dan pre admisi, saat masuk ke rumah sakit, perawatan preoperatif, dan induksi anestesi, yang diikuti oleh keadaan postoperatif, dan dimungkin seluruh proses tersebut harus dilakukan berulangkali.
Persiapan di rumah dan preadmisi
  • Hal menakutkan pertama yang harus dihadapi anak yang akan menjalani operasi yakni ia harus menjalani operasi. Keadaan ini sering ditemukan di ruang periksa dokter, dan ini sangat bergantung pada empati si dokter.
  • Sebaiknya anak diberitahu akan menjalani operasi sekitar 4-6 hari sebelum masuk rumah sakit. Hal ini agar anak memiliki cukup waktu untuk mengetahuinya dan menghindarkan anak dari cerita seram yang disampaikan oleh teman-teman sekolahnya tentang pengalaman mereka dioperasi. Namun hal ini bukan aturan yang baku.
  • Sedini mungkin anak dapat memperoleh apa yang dibutuhkanny. Jika anak merasa ngeri dengan tindakan operasi maka dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membujuknya, yang kadangkala harus melibatkan dokter anak atau dokter bedah atau mengajak anak mengunjungi anak-anak yang berhasil melewati suatu operasi.
  • Meskipun persiapan preadmisi seorang anak bersifat sangat individual, namun ada beberapa hal yang berlaku umum. Anak selalu berkata apa adanya. Orang tua sering memperlakukan anak secara keliru, meskipun bermaksud baik. Menyembunyikan kebenaran dari seorang anak atau membujuk anak agar tidak menangis bukanlah suatu tindakan yang tepat. Lebih baik mengatakan apa adanya kepada anak meskipun terasa tidak mengenakkan.
  • Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh rincian yang akan anda berikan tentang hal yang akan dihadapi seorang anak. Yang perlu ditekankan yakni memberi rasa senang dan aspek positif tentang keadaan di rumah sakit, termasuk adanya mainan atau TV atau pemeriksaan THT, rektal yang tidak mengerikan. Bagi beberapa anak, tinggal di rumah sakit adalah pengalaman yang menyenangkan, karena tidak harus mengerjakan PR, bisa absen dari sekolah, bisa melihat TV terus menerus, banyak orang yang memberi perhatian, banyak mainan, banyak buah tangan dari pengunjung, banyak teman menjenguk, dan munculnya perasaan sebagai pahlawan sepulang dari rumah sakit. Bahkan anak tersebut justru merasa jika sakit sedikit perlu kembali ke rumah sakit. Seorang anak usia 8 tahun yang lolos dari luka bakar 80% setelah dirawat dengan bangganya menceritakan pengalamannya selama berjuang melawan maut di rumah sakit. Tetapi tidak dapat pula dielakkan bahwa bagi sebagian anak kata rumah sakit merupakan kata-kata yang menakutkan.
  • Orang tua harus mencoba mengetahui apa yang menjadi ketakutan anak lewat penderita secara langsung. Anak yang merasa ketakutan ditinggalkan orangtuanya, seharusnya diyakinkan bahwa orangtuanya akan selalu menunggu di sampingnya. Perlu juga diketahui adakah hal-hal lain yang mengganggu anak. Seperti sajian telur yang tidak disukai anak, layanan perawat yang tidak sabar atau ramah, atau saat pengukuran termometer per rektal.
Program preadmisi rumah sakit
  • Pada beberapa rumah sakit anak tersedia program kunjungan anak ke rumah sakit sebelum mereka benar-benar masuk ke rumah sakit untuk perawatan. Melalui program itu anak dapat mengetahui kue-kue yang dapat diperoleh di rumah sakit, anak mengetahui tempat ruang bermain, atau nyamannya tempat tidur di rumah sakit; hal ini akan membangkitkan keyakinan anak berdasar fakta yang ditemuinya, dibandingkan sekedar janji-janji.
Pemeriksaan preadmisi
  • Sebaiknya check up dan pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum anak masuk ke rumah sakit, agar anak tidak muncul keinginan pulang ke rumah. Jika pemeriksaan tersebut dilakukan selama anak di rumah sakit, maka besar kemungkinan anak ingin segera pulang ke rumah. Pada pemeriksaan preadmisi ini sebaiknya ahli anestesi telah terlibat atau menemui anak.
Menjelaskan alasan tentang perawatan di rumah sakit
  • Orang tua harus menyadari kesalahpahaman yang sering muncul pada anak. Anak mudah beranggapan bahwa ia dikirim ke rumah sakit sebagai salah satu bentuk hukuman. Sehingga orang tua perlu menghilangkan anggapan tersebut.
  • Salah satu cara mengubah anggapan tersebut, misalnya dengan menyampaikan cerita pada anak bahwa anak yang sakit seperti mobil yang rusak yang harus dibawa ke bengkel untuk perbaikan. Tetapi adapula hal-hal yang sulit disampaikan melaui perumpamaan. Di sini orang tua perlu menyampaikan keadaan anak secara jujur, serta harus siap menjawab segala pertanyaan yang terlontar dari anak berkaitan dengan kondisinya. Perlu diingat bahwa jawaban atau gambaran yang diberikan tidak perlu secara rinci kepada seorang anak.
Saat masuk ke rumah sakit
  • Sebaiknya anak dibawa ke rumah sakit pada saat yang tepat tanpa perlu lagi menjalani pemeriksaan fisik, laboratorium atau konsultasi. Sebaiknya pemeriksaan tersebut dilakukan 3-5 hari sebelum anak masuk rumah sakit.
  • Usahakan anak selalu disertai orang tuanya selama proses admisi atau sampai ke ruangan.
  • Buat anamnesa secara rinci, sebaiknya meliputi pula respon emosi dan pola perilaku anak. Cantumkan pula binatang yang menjadi kesayangan maupun yang tidak disukainya. Perkenalkan anak pada anak-anak lain yang tinggal satu bangsal, lakukan visite di ruang bermain rumah sakit, mintalah penderita berbaur dengan anak yang berbeda usia maupun penderitaannya. Hal ini akan terasa sangat berfaedah terutama bagi anak yang dijadwalkan untuk menjalani operasi jantung, spinal fusi, maupun prosedur lain yang jarang ditemui anak.
  • Pada saat admisi jangan menunjukkan bahwa para profesional yang akan mengambil alih peran orang tua. Biarkan orang tua tetap berperan sebagai pengayom anak. Jika tidak demikian, akan menimbulkan kecemasan anak dan biasanya tidak diharapkan orang tua.
  • Upayakan semaksimal mungkin agar orang tua dapat tinggal dan menyertai anak selama di rumah sakit. Bahkan pada saat induksi maupun recovery anestesi. Tetapi Melish dan Koop menyatakan bahwa orang tua yang overprotektif yang mengikuti anaknya hingga kamar operasi justru mengacaukan emosi anak; sedangkan Lee dan Greene menyatakan sudah terlalu banyak upaya dilakukan untuk melibatkan orang tua dalam perawatan anak di rumah sakit. Belum ada jaminan bahwa tanpa kehadiran orang tua justru akan mengurangi stres emosi anak.
Kunjungan preanestesi
  • Kunjungan preoperatif memiliki arti yang sangat penting, terutama bagi anak kecil. Karena kondisi emosi yang berubah-ubah maka pemeriksaan dilakukan secara langsung.
Catatan Medis
  • Sebelum bertemu dengan penderita atau orang tuanya, sebaiknya melihat terlebih dahulu catatan medis yang ada dari penderita. Hal ini agar mengarahkan, menganalisa dan menghindari mengulangi pertanyaan yang tidak perlu.
  • Dari catatan medis dapat dilihat nama depan anak, hal ini membantu dalam membangun rasa bersahabat anak. BB dan usia harus diperhatikan, ini berkaitan dengan pengelolaan anestesi dan terapi cairan. Anamnesa harus mencakup gejala, diagnosis, dan operasi yang direncanakan. Riwayat persalinan untuk mengetahui apakah anak lahir secara normal, apakah lahir tanpa menangsi atau mengalami sianosis, atau tanda-tanda trauma persalinan, kelainan kongenital atau hipoksia. Perhatikan pertumbuhan dan perkembangannya, pada retardasi pertumbuhan biasanya akibat penyakit organik serius. Adakah sensitivitasi terhadap penisilin atau obat lain yang pernah diterima penderita. Adakah riwayat infeksi berat atau rekuren, hal ini menunjukkan berkurangnya resistensi akibat anemia atau agamaglobulinemia atau lesi-lesi seperti otitis, demam rematik atau infeksi ginjal derajad rendah.
  • Tanpa memperhatikan usia anak, carilah riwayat operasi sebelumnya. Bayi berusia 1 bulan mungkin saja telah menjalani beberapa prosedur besar. Anda harus mengetahui alasan dilakukannya operasi terdahulu, tipe anestesi yang digunakan dan keadaan emosi maupun fisik saat itu. Yang perlu diperhatikan yakni tanda-tanda yang membahayakan.
  • Jika anak mengalami demam tinggi setelah menggunakan agen yang mengandung halotan, hal ini perlu diperhatikan dalam memilih anestesi yang akan digunakan saat ini. Jika tidak disertai nyeri abdomen bagian atas, ikterik atau kenaikan kadar ensim, maka demam bukan kontra indikasi untuk menggunakan halotan.
  • Riwayat demam tinggi selama operasi pada penderita atau keluarganya menunjukkan adanya kecenderungan mengalami hiperpireksia malignan, maka harus menghindari penggunaan halotan maupun suksinilkolin. Anak neurotik atau hiperiritatif harus mendapat perlakuan khusus agar tidak terjadi gangguan psikis yang berkepanjangan, dan hindari penggunaan ketamin.
  • Riwayat sistemik jangan diabaikan. Hal-hal berikut ini harus mendapat perhatian :
    1. Sistem saraf pusat; riwayat hidrosefalus, retardasi mental, atau kejang perlu diperhatikan. Etiologi kejang perlu dicari, mungkin karena epilepsi, infeksi, trauma atau penyebab yang lain. Jika anak pernah menerima terapi anti konvulsan, terapi ini jangan dihentikan sebelum operasi. Obat-obatan harus dikurangi selama pre operasi guna mencegah depresi yang berlebihan.
    2. Sistem kardiovaskuler; sianosis, pingsan, perkembangan fisik yang buruk, clubbing finger, lemah, atau riwayat murmur harus diperhatikan. Yang paling menonjol yakni berkurangnya toleransi exercise.
    3. Sistem respirasi; infeksi rekuren, stridor, batuk, obstruksi pernafasan, croup, dan sianosis memiliki arti penting. Anak-anak lebih sering terserang asma dan trakheitis dibandingkan orang tua. Riwayat trakeostomi atau iritasi laringotrakheal akan mempengaruhi intubasi endotrakhea.
    4. Sistem gastrointestinal; vomitus rekuren yang disertai dengan lesi dapat berkembang menjadi dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Riwayat gizi yang buruk juga sangat berpengaruh.
  • Sejumlah penyakit memiliki obat-obat yang justru mempersulit anestesi. Anak-anak yang menerima kortison karena ‘poison ivy’, asma, demam rematik, maupun trombositopenia purpura, akan menekan sistem kortek adrenalin. Agar terhindar dari komplikasi berupa hipotensi, beberapa ahli memberi suplemen kortison bagi mereka yang menerima terapi kortikoid selama 6 bulan sebelum operasi, untuk orang dewasa 100 mg hidrokortison (IM atau IV) diberikan sehari sebelum, pada hari dan sehari setelah operasi. Meskipun hipotensi tersebut sering ditemukan, tetapi penggunaan kortison belum menjadi anjuran. Ahli anestesi harus mengetahui apakah penderita telah menerima kortison, selama mengevaluasi berbagai reaksi intraoperatif atau postoperatif.
  • Obat lain yang menimbulkan permasalahan, tetapi jarang ditemukan, yaitu klorpromazin yang digunakan misalnya untuk keganasan, vomitus yang terus menerus, cegukan, dan demam karena dapat memperkuat efek depresan anestesi. Obat-obat antihipertensi seperti rauwolfia serpentina atau reserpin (Serpasil) juga sangat berbahaya kecuali jika dihentikan 1 atau 2 hari sebelum operasi, tetapi saat ini dianggap kurang berbahaya jika dilakukan pengamatan secara ketat.
  • Obat anti neoplastik doxorubisin hidroklorida (Adriamisin) bersifat kardiotoksik poten. Jika dosis total melampaui 350 mg/m2, maka perlu dilakukan pemeriksaan jantung lengkap sebelum anestesi.
  • L-Dopa yang saat ini digunakan untuk gangguan neuromuskularis, dapat menginduksi instabilitas vasomotor. Goldberg & Whitsett dan Beven & Burn menyarankan agar menghentikan obat tersebut 2-7 hari sebelum operasi, tetapi beberapa dokter memiliki alasan tersendiri untuk tetap memberikannya selama operasi.
  • Perhatikan hasil pemeriksaan fisik yang tercantum dalam catatan medis. Meskipun pemeriksaan fisik harus dilakukan sendiri oleh ahli anestesi, namun catatan medis membantu menghindari pertanyaan atau pemeriksaan yang tidak perlu. Akan sangat membantu jika hasil pemeriksaan fisik mencantumkan secara rinci keadaan sistem saraf, kekuatan otot, atau lesi jantung. Tetapi hasil pemeriksaan pneumoencephalogram, kateterisasi jantung dan tes fungsi paru mungkin malah tidak berguna bagi penderita gangguan tertentu. Perhatikan pula konsultasi serta hasilnya dari bagian lain.
  • Hasil pemeriksaan laboratorium adalah hal lain yang perlu diperhatikan. Hemoglobin, hematokrit, hitung sel darah merah dan urinalisa perlu dilakukan sebelum anak menjalani anestesi. Saat ini sudah rutin dilakukan pemeriksaan ‘sickle cell’ pada anak berkulit hitam sebelum dilakukan anestesi.
  • Yang selalu menjadi pertanyaan yakni nilai minimal untuk hemoglobin dan hematokrit yang layak untuk operasi. Bagi orang dewasa dengan kadar hemoglobin rata-rata 15 g/dl, maka nilai minimal yang dapat diterima yakni 10 g/dl. Karena selama masa kanak-kanak dapat dikatakan identik dengan anemi (kadar hemoglobin 11 g/dl), maka ada yang menetapkan nilai minimalnya yaitu 9 g/dl.
  • Keadaan di atas benar-benar menimbulkan dilema. Beberapa faktor dapat menimbulkan anemia. Anemia tampaknya bukan merupakan hal yang penting. Anak-anak atau orang dewasa dari daerah yang miskin mampu menjalani anestesi dengan hemoglobin 6-8 g/dl; hal ini juga kami temukan di The Children’s Hospital Medical Center pada anak-anak dengan gagal ginjal kronik. Peningkatan kadar 2,3-DPG dan respon yang lain mampu mengkompensasi menurunnya kadar hemoglobin. Di sisi lain, ada laporan tentang episode hipoksia setelah serangan kejang, retardasi perkembangan atau kematian akibat anemia.
  • Jika seorang bayi yang berusia 1 bulan diprogram untuk hernioraphi inguinal dengan kadar hemoglobin 9 g/dl maka ada beberapa pilihan : 
    • (1)operasi ditunda dan anak dipulangkan untuk waktu kira-kira 2-3 minggu sambil memberikan terapi besi (masih dipertanyakan manfaatnya), 
    • (2)anak diberi transfusi, 
    • (3)operasi tetap dijalankan tanpa transfusi. Jika pilihan pertama yang diambil maka dapat terjadi strangulasi --- hal ini tidak diharapkan. Jika ditransfusi, anak akan menghadapi beberapa risiko yang lebih besar dibandingkan risiko operasi itu sendiri. Jika tanpa transfusi, maka ada beberapa anak yang akan mengalami hipoksia sementara akibat spasme glotis dan mungkin anak tidak pernah pulih kembali. Hal-hal demikian dapat menyeret seorang dokter ke pengadilan.
  • Gilles menyatakan beberapa variabel perlu diperhatikan dan kadar minimum hemoglobin bersifat elastis, serta hindari risiko yang tidak perlu.
  • Kami selalu melakukan konsultasi dengan ahli bedah jika hemoglobin anak mendekati atau di bawah 10 g/dl. Kekurangan dan keuntungan dari keadaan tersebut yang menjadi bahan diskusi. Jika operasi ditunda, maka anemia ringan dapat diatasi dengan pemberian 1 sendok the fero sulfat 2 atau 3 x sehari dalam bentuk eliksir yang mengandung 7,5 grain (370 mg) per sendok the. Jika operasi tetap dilaksanakan, maka catatlah kadar hemoglobin tersebut dalam catatan medis penderita. Tanpa memperhatikan apakah operasi akan terus dilaksanakan, ditunda atau diberi transfusi, yang penting yakni mencari penyebab anemia dan memberi terapi yang tepat.
  • Di rumah sakit kami catatan medis untuk anak-anak dengan kadar hemoglobin < 10 g/dl saat dianestesi disimpan selama 5 tahun. Sampai saat ini tidak ditemukan komplikasi intra- atau post-operatif pada anak-anak tersebut.
  • Hindari pemeriksaan rutin atau laboratorium rutin yang memerlukan darah dalam jumlah besar, atau yang membuat anak merasa tidak nyaman serta mahal. Galilah tanda-tanda klinis sedalam mungkin pada pasien anak-anak.
  • Jika ditemukan kelainan tipe atau jumlah sel darah merah atau putih, maka buatlah darah hapus. CT, BT tidak selalu diperlukan, kecuali jika ada riwayat perdarahan atau perlu tindakan operasi yang lama maka perlu diperiksa ‘template bleeding time’, PT & PTT. Saat ini sedang diteliti penggunaan aspirin.
  • Pemeriksaan elektrolit diperlukan jika terdapat gangguan asam basa dan gangguan gastrointestinal. Foto torak dapat diperlukan pada anak-anak dengan permasalahan khusus, tetapi foto torak atau EKG bukan standar pemeriksaan.
  • Perhatikan catatan suhu tubuh anak dalam beberapa hari terakhir sebelum operasi. Karena dapat ditemukan anak dengan suhu mendadak normal sebelum operasi padahal sebelumnya selalu demam tinggi.
  • Catatan keperawatan juga perlu diteliti, karena mungkin tercantum hal-hal penting yang tidak ditemukan di bagian lain. Seringkali perawat mencatat adanya batuk, serak atau muntah yang mungkin diabaikan oleh dokter. Intake dan output cairan harus diperhatikan pada pasien anak-anak, karena dapat muncul dehidrasi cepat sekalipun untuk operasi ringan seperti hernioraphy.
  • Jika hasil foto menunjukkan suatu lesi, misalnya lesi paru atau jantung, segera atasi permasalahannya atau meminta saran dari ahli yang sesuai.
  • Jika kondisi penderita buruk atau disertai penyulit maka ahli anestesi perlu menyediakan waktu yang cukup guna mengolah data yang ada, jika perlu mintalah pemeriksaan tambahan guna memastikan keadaan yang dihadapi.
Visite pasien anak
  • Jika telah memiliki data dan fakta yang cukup, maka ahli anestesi perlu mengunjungi penderita beserta orang tuanya. Karena dari pertemuan ini dapat diperoleh gambaran yang lebih lengkap dari penderita. Selain itu untuk memberi rasa aman pada penderita dan memberi jaminan kepercayaan pada orang tua penderita. Upayakan pula untuk bertemu penderita secara empat mata.
  • Koreklah apakah penderita mengetahui mengapa harus dirawat di rumah sakit. Perhatikan pula respon penderita maupun orang tuanya terjadap jawaban yang diberikan. Jika terlihat mereka memahami, maka hal-hal penting yang berkaitan dengan rencana operasi dapat disampaikan oleh ahli anestesi kepada mereka.
  • Sebagian besar anak kecil takut kepada jarum suntik, baik sebelum, selama atau setelah operasi. Sehingga sedapat mungkin menggunakan peralatan yang tidak menakutkannya. Anak-anak yang pernah dianestesi menggunakan masker anestesi akan meronta-ronta jika dihadapkan kembali. Kecemasan anak dapat ditemukan sebelum operasi. Ada yang bertanya apakah mereka dapat bangun kembali, atau akankah terjaga di tengah operasi. Tetapi adapula yang tidak menunjukkan rasa takut, yang ditunjukkan melalui rasa ingin tahunya tentang bagian mana yang akan dibuka.
  • Pada anak adolescen perlu dibangkit moral anak oleh operator, ahli anestesi apalagi jika dibantu orang tua; terutama pada saat pemberian sedatif.
  • Meskipun sedatif dapat membantu menghilangkan kecemasan pre operatif, namun pada saat anak tersadar dan menemukan dirinya harus menggunakan pipa saluran nafas di dada, atau gips membungkus kakinya atau kedua matanya tertutup pembalut sungguh-sungguh akan menimbulkan shock pada anak. Apalagi jika hal ini tidak diinformasikan kepada anak sebelumnya.
  • Jelaskan bahwa tindakan anestesi yang dilakukan tidak akan memberi efek yang terduga. Sering orang tua kurang kooperatif karena mengingat pengalaman yang pernah menimpanya ketika masa kecil saat melewati suatu operasi. Sering anak menunjukkan pemahaman yang lebih baik dan tenang dibandingkan orang tuanya.
  • Sebaiknya jangan memberi tahu kapan operasi akan dilakukan. Hindari kesan yang menakutkan anak, seperti operasi akan dilakukan malam hari dan anak akan dibawa ketika sedang tidur malam.
  • Sebaiknya anak dibawa ke ruang operasi setelah diberi sedatif sehingga anak dalam keadaan tenang. Tetapi jika anak terlihat menangis atau marah, upayakan untuk menenangkan anak terlebih dahulu. Rasa takut yang berlebihan sering ditunjukkan oleh anak. Baik itu berupa penolakan untuk makan atau memalingkan muka setiap bertemu orang-orang yang tidak disukainya. Sehingga penggunaan obat sedasi sangat baik bagi anak-anak demikian, tetapi diazepam dan hidroksisin cukup membantu namun kurang memuaskan.
  • Bagi anak-anak yang neurotik atau yang harus menghadapi stress / operasi besar seperti amputasi atau operasi yang bersifat terminal sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter psikiatri.
Membangkitkan moral anak 
  • Salah satu cara untuk membangun moral anak yakni dengan memusatkan perhatian anak tentang siapa dia dan apa yang dapat ia perbuat. Jika anak sudah mampu berbicara maka mintalah ia untuk berdoa. Atau pada anak yang sudah dewasa akan menyampaikan keluhannya kepada binatangnya atau benda-benda kesayangannya atau kepada orang-orang yang dipercayainya.
  • Memperlakukan penderita sebagai individu yang khusus dan membawanya untuk memahami tindakan anestesi adalah upaya yang penting bagi anak dan ahli anestesi karena sangat membantu dalam induksi. Bagi anak yang harus sering melakukan operasi, hubungan tersebut akan sangat membantu.
Pemeriksaan fisik
  • Luasnya pemeriksaan fisik yang harus dilakukan ahli anestesi bergantung pada keadaan. Seorang anak kecil yang harus menjalani operasi minor dan terus menerus menangis sampai tertidur sebaiknya jangan dibangunkan ketika melakukan pemeriksaan fisik. Dalam keadaan tidur dapat dilihat status gizinya, warna kulit, respirasinya, serta adakah discharge nasal. Sehingga catatan yang dibuat oleh operator cukup melengkapi apa yang telah ditulis oleh ahli anestesi. Sebaiknya catatan medis tersebut dicek kembali saat persiapan operasi.
  • Pada anak yang lebih dewasa, pemeriksaan yang diindikasikan dapat dilakukan secara lebih bebas; jika perlu orang tua mendampingi pemeriksaan anak. Periksalah jantung, paru, hidung, mulut dan tenggorokan semua penderita.
  • Pada pemeriksaan anak carilah tanda-tanda yang tidak lasim. Anak yang berusia antara 4-8 perlu dicari adakah gigi yang tanggal dan apakah tanggalnya sebelum masuk rumah sakit atau setelah di rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan aspirasi. Waspadai infeksi saluran nafas atas dengan onset cepat yang disertai batuhk, nose thrill dan tenggorok yang kemerahan. Lakukanlah pemeriksaan sesering mungkin pada anak ini. Jika ditemukan nose thrill pada bayi, maka sulit untuk mengatakan apakah ini akibat infeksi atau tangisan. Pembesaran limfonodi dan otitis sering ditemukan pada infeksi saluran nafas. Bayi yang mengalami demam dan skin rash maka suhu tubuhnya harus dipantau secara ketat. Dehidrasi yang ditandai dengan cekungnya fontanela, kulit kering, kendor, dan nafas asidosis dapat juga muncul secara tidak terduga.
  • Obstruksi respirasi sering ditemukan pada anak dan mungkin akibat infeksi, anomali anatomis atau tumor. Buatlah diagnosis pasti sebelum dilakukan anestesi. Ingatlah bahwa discharge nasal unilateral merupakan suatu yang tidak lasim dan menunjukkan adanya corpus alienum (atau atresia choana).
  • Jika anak diprogram untuk memulihkan laserasi, pengangkatan tumor atau eksisi nevus, maka ahli anestesi perlu mengetahui di mana lesinya dan seberapa besar ukurannya. Tumor dapat berukuran sebesar buah labu, sedangkan nevus mungkin berupa titik di siku anak atau menutupi separo wajahnya. Anestesi akan sulit dilakukan jika tidak mengetahui letak lesinya.
Rangkuman dari pemeriksaan penderita
  • Setelah melakukan anamnesa, ahli anestesi perlu mencatat dalam catatan medis menyangkut keluhan utama, temuan pendukung, riwayat operasi sebelumnya, anestesi yang pernah diterima, obat-obatan yang digunakan dalam 6 bulan terakhir, riwayat alergi dan sensitifitas, riwayat keluarga adanya demam intra operatif atau komplikasi yang lain. Lesi yang akan dioperasi sebaiknya juga digambarkan dan diperiksa, cantumkan ukuran, lokasi, derajad kelengkungan tulang punggung, maupun temuan khas lainnya. Catatlah semua laserasi, memar, gigi yang tanggal atua rusak, guna mengantisipasi kejadian yang tidak terduga di ruang operasi. Nilailah kecemasan anak memakai skala dari o sampai 3.
  • Buatlah diagnosis dan komplikasi yang mungkin terjadi. Ahli anestesi memiliki hak untuk menerima program yang telah dibuat, meminta penundaan operasi untuk konsultasi atau informasi tambahan atau membatalkan operasi. Jika telah disetujui maka catatlah pengelolaan anestesinya.
Pembatalan operasi
  • Penundaan operasi sering menimbulkan masalah yang serius, namun permintaan untuk membatalkan operasi akan menimbulkan kemarahan, terutama jika operasi yang dilakukan pagi hari. Jika ahli anestesi memutuskan bahwa operasi tidak bisa dilakukan, maka operator harus diberitahu sedini mungkin dan mintalah pendapat operator sebelum dibuat keputusan akhir. Meskipun terdapat kontraindikasi yang dapat menghadang operasi elektif pada penderita yang berrisiko buruk, namun keadaan tersebut dapat diabaikan jika operasi ditujukan untuk menyelamatkan atau memperpanjang hidup penderita. Dapat juga ditemukan operator akan memahami untuk menunda operasi jika operasi yang dihadapi memiliki masalah yang besar.
Sedasi dan perintah preanestesi
  • Perintah preoperatif dapat ditulis oleh operator atau ahli anestesi, dan keduanya harus mengetahui apa yang diperintahkan serta mengapa dan mengetahui efek dari terapi yang diberikan.
  • Perintah seperti pembatasan diet, aktivitas maupun pemeriksaan laboratorium dapat diberikan oleh setiap dokter. Tetapi hal-hal yang berkaitan dengan operasi sebaiknya diserahkan kepada dokter, sedangkan ahli anestesi mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan sedasi penderita. Karena sedasi preoperatif adalah bahasan yang penting dan luas, maka akan diuraikan di bawah ini.
Perintah umum : membatasi asupan oral
  • Yang utama yakni lambung anak bebas dari bahan padat sebelum operasi, dan asupan cairan yang tidak diperlukan dihentikan. Konsekuensinya, anak kecil diberi gula atau minum air sampai 4 jam sebelum operasi dan tempatkan sebagai urutan pertama dalam jadwal operasi.
  • Regimen berikut ini perlu diberikan :
    1. Sejak lahir sampai usia 6 bulan, tidak boleh makan makanan padat atau susu setelah tengah malam; berikan minum sampai 4 jam sebelum operasi.
    2. Usia 6 bulan sampai 3 tahun, tidak boleh makan makanan padat atau susu setelah tengah malam; tidak boleh minum setelah jam 2 pagi.
    3. Usia 3 tahun, apapun tidak boleh masuk mulut setelah tengah malam.
    4. Anak-anak yang dioperasi sore hari, permen / minuman manis boleh diberikan sampai 4 jam sebelum operasi; jus anggur, jus apel dan minuman cola akan memberikan masukan cairan dan kalori; susu dan jus jeruk tidak boleh diberikan.
Enema
  • Walaupun enema biasa diberikan selama bertahun-tahun, tetapi ini sangat tidak disukai oleh sebagian besar penderita dan manfaatnya masih dipertanyakan. Enema biasa diberikan pada prosedur yang berkaitan dengan perut bagian bawah.
Pemeriksaan laboratorium
  • Hitung darah lengkap, hemoglobin, hematokrit dan urinalisa merupakan pemeriksaan standar pada sebagian besar rumah sakit. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan 10 hari sebelum operasi, kecuali jika keadaan penderita berubah mendadak. Sering ditemui kesulitan mengambil sampel darah atau urin pada anak kecil, terutama sebelum operasi cito. Sehingga operasi demikian dapat dilakukan tanpa urinalisa.
  • Setiap Rumah sakit hendaknya selalu melakukan pemeriksaan sickle cell test pada anak kulit hitam, tetapi tidak harus dilakukan sebelum operasi cito. Saat ini tidak diperlukan lagi torniquet pada anak-anak penderita sickle cell, kecuali mereka yang memiliki keturunan.
  • Pemeriksaan golongan darah untuk transfusi harus dilakukan. Darah harus dipesan dan disiapkan sebelum operasi. Sedangkan pemeriksaan yang lain, foto dan medikasi disesuaikan dengan kebutuhan.
Sedatif preanestesi untuk kecemasan
  • Upaya untuk mengurangi kecemasan anak sebelum operasi yakni dengan memberikan sedatif dan vagolitik. Waters dalam tulisannya melakukan preanestesi pada anak memakai morfin dan skopolamin dalam rasio 20:1 disesuaikan usia dan/atau BB anak.
  • Kami tidak mengulas tentang sedatif yang lebih baik atau baru dibandingkan yang disampaikan oleh Waters. Di sini akan diuraikan beberapa sedatif yang memberi hasil baik.
  • Ada 3 hal yang perlu diperhatikan : (1)basal anestesi yang menginduksi tidur, (2)sedatif moderat ditujukan untuk menghasilkan ‘sedasi tanpa depresi’, (3)tanpa medikasi dengan mengalihkan perhatian anak pada hal-hal yang menyenangkan, santai sampai saat operasi.
Basal anestesi
  • Pemberian thiopental sodium (Pentothal) melalui rektum dalam dosis 20-30 mg/kg dan methohexital sodium (Brevital) 10-15 mg/kg dapat menginduksi tidur tanpa masker atau jarum suntik. Kekurangan cara ini yaitu butuh waktu untuk memasukkan obat dan 10 menit sampai muncul efek. Karena suatu induksi anestesi maka harus dilakukan oleh ahli anestesi, jangan dilakukan oleh perawat dan jangan dilakukan di ruang operasi. Kekurangan yang lain yaitu karena obat diberikan pagi hari maka anak akan merasa lapar, haus pada saat preoperatif. Selain itu anak lebih sulit dibangunkan setelah operasi.
  • Ketamin juga menginduksi basal anestesi tetapi melalui injeksi dan menimbulkan rasa sakit bagi penderita. Lebih cocok untuk anak yang lebih tahan sakit. Tribromoetanol (Avertin) populer untuk basal anestesi tetapi tidak lagi dipasarkan.
Sedasi moderat
  • Standar premedikasi selama 30 tahun yakni menggunakan beladona guna mengurangi respon vagal dan salivasi plus bersifat sedatif untuk mengurangi kecemasan dan gelisah. Tujuannya bukan membuat anak tertidur tetapi keadaan sedasi tanpa depresi.
  • Barbiturat dan narkotik paling sering digunakan untuk sedasi, tetapi tranquiliser juga memberi hasil yang sama. Metoda yang sering digunakan yaitu memberi anak dalam dosis sesuai berat badannya dan menginjeksikannya sesaat sebelum anak dikirim ke kamar operasi.
  • Berbagai kombinasi sedatif diberikan tetapi hasilnya tidak memuaskan. Paling tinggi 75% anak yang mengalami sedasi dengan baik; sebagian besar merasa ‘ditembak’ dan lidah kering, beberapa anak mengalami oversedasi dan depresi.
  • Antikolinergik, selama beberapa tahun penggunaan agen ini sebagai suatu keharusan. Atropin lebih disukai untuk premedikasi anak karena efek vagolitiknya yang unggul. Tetapi beberapa ahli lebih menyukai skopolamin karena efek kering yang lebih baik dan efek sedatif tanpa depresi respirasi.
  • Namun dalam beberapa tahun terakhir gambaran tersebut berubah. Tanpa ether, agen pengering tidak diperlukan lagi pada semua kasus. Ketamin dan obat-obat yang menyerupai neostigmin merupakan obat anestesi yang menstimulasi sekresi secara berlebihan. Agen pemblok vagal memiliki arti penting dalam anestesi anak guna mencegah bradikardi akibat stimulasi mekanis atau meningkatnya konsentrasi halotan, dan terutama sekali setelah pemberian suksinilkolin; tetapi indikasi ini bukan bersifat umum. Selain itu injeksi hipodermik dan mulut yang kering serta kaku dalam waktu lama merupakan alasan penundaan pemberian obat tersebut sampai penderita benar-benar tertidur.
  • Jika atropin digunakan untuk premedikasi, maka perlu diberikan dosis yang relatif tinggi pada anak. Kami biasanya memberikan 0,15 mg untuk neonatus, kemudian dinaikan 0,05 - 0,10 mg sampai maksimum 0,6 mg pada pasien yang telah dewasa. Sehingga formula yang kami gunakan dapat ditulis sebagai berikut : 0,15 mg + 0,01 mg/kgBB. Biasanya diberikan secara hipodermik disertai morfin 45 menit sampai 1 jam sebelum operasi.
  • Alasan pemberian atropin sebelum operasi yakni masa kerja yang cepat. Beberapa obat antikolinergik juga banyak digunakan, tetapi hingga saat ini belum ada yang mampu menggantikan atropin atau skopolamin. Salah satu agen terbaru yakni senyawa amonium kuarterner glikopirolat. Menurut Young & Sun, Franko dkk, Wyant & Kao, Salem dkk, agen tersebut bersifat aman dan efektif, memerlukan separo dosis atropin untuk memberi efek yang sama dengan atropin serta memiliki efek antikolinergik yang lebih baik untuk jangka panjang. Namun Salem dkk mengingatkan bahwa agen tersebut memicu sekret asam lambung dan sebaiknya menggunakan dosis rendah. Gillick menunjukkan bahwa obat ini tidak menembus sawar otak sehingga tidak menimbulkan iritasi atau depresi sistem saraf pusat.
  • Tetapi sampai saat ini atropin tetap menjadi pilihan untuk antikolinergik preoperatif. Sekalipun saat ini dapat diperoleh obat-obat yang lebih baru dan mahal serta seefektif atropi.
  • Hipnotikum dan narkotika, bagi anak yang normal dan sehat, sedatif seperti pentobarbital sodium (Nembutal) dapat diberikan setelah anak berusia 6 bulan guna mengendalikan gelisah tanpa menginduksi depresi respirasi. Morfin dapat diberikan setelah anak berusia 1 tahun guna meningkatkan efek transquiliser tanpa menginduksi excitement, yang kadangkala ditemukan pada pemberian barbiturat tunggal. Agar diperoleh hasil yang sangat memuaskan, berikan pentobarbital paling tidak 90 menit sebelum operasi dan morfin 30-40 menit sebelum operasi. Karena dosis yang diberikan tidak tepat sekali, maka tidak ada gunanya pemberian pentobarbital IM. Pemberian pentobarbital secara rektal lebih cocok bagi anak yang berusia kurang dari 8 tahun dan peroral untuk anak di atas 8 tahun. Dosis yang diberikan bersifat individualistik, tetapi untuk pentobarbital yang diikuti pemberian morfin yakni 4,0 mg/kgBB perrektal (maksimal 120 mg) dan 3,0 mg/kgBB peroral (maksimal 100 mg).
  • Jika anak tidak diprogram untuk operasi segera, maka pentobarbital sebaiknya diberikan pada jam 8:30 pagi guna mengurangi kecemasan selama menunggu jadwal program. Morfin sebaiknya diberikan 30 menit sebelum operasi.
  • Meskipun metoda tersebut adalah metoda standar, namun dapat ditemukan sejumlah variasi. Narkotika dan barbiturat harus dikurangi pada anak yang sakit berat. Jika anak terlihat kepanasan atau demam, dosis atropin harus dikurangi, ditunda sampai setelah dilakukan induksi anestesi, atau tidak diberikan sama sekali.
  • Sekalipun kombinasi atropin, morfin dan pentobarbital banyak digunakan, namun masih banyak alternatif yang lain. Kloral hidrat relatif aman dan efektif, meskipun lebih pahit. Stetson dan Jessup menganjurkan dikemas dalam bentuk sirup, kira-kira 5 mg/kgBB. Boyd & Manford meneliti obat yang sama, trikloroetanol (triclofos) yang diberikan peroral dalam dosis 71 mg/kgBB; ternyata lebih unggul dibandingkan diazepam maupun trimeprazine tartra.
  • Sebagian besar tranquiliser non barbiturat hasilnya mengecewakan, tidak cocok sebagai sedatif dan harganya mahal, toksik, sulit dicerna, atau tersedia dalam bentuk pil atau kapsul yang sulit ditelan oleh anak. Obat-obat tersebut telah diteliti dan yang cukup sesuai yakni meprobamate, glutehimide, hydroxyzine dan perphenazine.
  • Droperidol yang merupakan komponen sikloplegi long acting Innovar pernah diuji secara tunggal sebagai pre medikan. Werry & Davenport menemukan gangguan motorik post operatif, dan Bush menemukan bahwa obat ini tidak cocok untuk anak sehingga perlu dihentikan pada penelitian pendahuluan. Stiles menggunakannya dalam dosis 1 mg/20 Lbs (0,1 mg/kg) untuk anak di atas 1 tahun ternyata sangat cocok sekalipun anak sakit berat.
  • Yang perlu dicatat yakni kebiasaan yang digunakan di bagian anak. Bagi anak berusia di atas 1 tahun, CR Stephen di St Louis dan Downes menyukai kombinasi standar pentobarbital, morfin dan atropin, yang juga merupakan kombinasi yang paling sering kami gunakan. Di Chicago, Levin di the Children’s Memorial Hospital melaporkan penggunaan pentozocine laktat IM (Talwin) 1,2 mg/kg dan atropin. Di Los Angeles Children’s Hospital muncul gerakan untuk tidak menggunakan sedatif pada anak-anak di bawah usia 10 tahun, suatu praktek yang lama telah dilakukan di the Hospital for Sick Children di Toronto. Di Liverpool, Rees lebih menyukai trimeprazine 1,5 mg/kg peroral 4 jam sebelum operasi, sedangkan peneliti lain menggunakan diazepam (Valium) 0,2 - 0,4 mg/kg, perphenazine (Trilafon) 0,2 mg/kg, dan promethazine (Phenergan) 1 mg/kg.
  • Pada tahun 1948 Poe dan Karp memperkenalkan satu metoda yang sangat akurat untuk sedasi, yakni agen diberikan dalam dosis kecil berulang, sehingga dapat dititrasi sampai titik yang diharapkan.
  • Yang menggemberikan yaitu makin banyak upaya untuk memberikan obat secara oral. Root dan Loveland menemukan bahwa pemberian secara oral diazepam (0,3 mg/kg) dan skopolamin (0,025 - 0,5 mg/kg) memberi hasil yang paling baik, 58,7% akan terhipnotis secara moderat atau mendalam. Boyd dan Manford membandingkan triklofos (71 mg/kg) terhadap diazepam oral (0,2 mg/kg), ternyata triklofos memberi hasil yang memuaskan pada 88% penderita dan diazepam pada 77% penderita.
  • Meskipun terdapat beberapa laporan yang cukup baik, tetapi hati-hatilah dalam menilai perbandingan yang dibuat oleh Freeman dan Bachman, Cope dan Glover, Doughty, Rackow  dan Salanitre, Root dan  Loveland, Smith dan Jeffries, Keller dkk, Barker dan Nisbet. Makin akurat laporannya, maka makin baik pula pengenalan kita terhadap suatu sedatif, sehingga dapat dikatakan pemberian suatu agen dalam dosis tunggal yang berdasar usia dan berat badan dapat memberi hasil yang berbeda dan mungkin tidak memuaskan.
Tanpa medikasi
  • Ada kecenderungan untuk mengurangi penggunaan sedatif preoperatif dalam 20 tahun terakhir. Dimulai oleh beberapa individu yang memiliki minat, bakat, dan waktu; mereka menemukan bahwa anak-anak lebih baik tanpa sedatif, jarum suntik maupun efek samping. Konsep ini kemudian dapat diterima dengan baik dan disebut kebijakan ‘tanpa medikasi’ yang saat ini telah digunakan dibeberapa negara.
  • Faktor penting yang mendukung keberhasilan kebijakan ini yakni perubahan organisasi rumah sakit secara umum. Saat ini ada kecenderungan menciptakan suasana rumah sakit seperti di rumah sendiri. Yang mana pasien anak merasa bebas bermain di rumah sakit memakai pakaian harian, dan diawasi oleh perawat yang juga mengenakan pakaian bebas.
  • Prosedur yang lasim dilakukan pada metoda ini yaitu ahli anestesi mengunjungi penderita pada malam menjelang operasi, esok pagi anak dibawa ke tempat bermain yang ada di dalam ruang operasi. Dan di sana anak akan ditemani oleh ahli yang terlatih. Ketika melakukan kontak bicara dengan anak, maka ahli tersebut akan menangkap ketakutan yang muncul pada anak yang tidak diungkapkan ke dokter atau perawat.
  • Seberapa jauh keterlibatan orang tua pada saat pre operatif masih sulit untuk dikatakan; beberapa lembaga melarang orang tua terlibat pada pagi hari saat operasi, tetapi ada yang mengijinkan orang tua menyertai anak sampai ruang preoperasi, ada pula yang mengijinkan orang tua menyertai sampai induksi anestesi.
  • Saat-saat yang paling menegangkan yakni ketika anak mulai menunjukkan ketakutan dan orang tua yang jengkel. Apalagi jika melihat anaknya direngkuh untuk dibawa ke ruang operasi sambil berteriak memanggil orang tuanya, benar-benar saat yang memilukan.
  • Guna menghindari hal di atas, sebaiknya orang tua meninggalkan anak pada malam menjelang operasi atau memberi anak sedasi. Jika tidak diberikan sedasi, maka akan sulit menanganinya kecuali orang tua diijinkan untuk menyertai anaknya sampai induksi.Bagi anak-anak yang berusia kurang dari 4 tahun tidak diperlukan medikasi apapun terutama untuk operasi yang tidak berat atau orang tua diperkenankan menyertai anaknya sampai induksi. Jika diperhatikan maka kebijakan tanpa medikasi pasti akan ditentang oleh para orangtua, psikiater atau ahli yang lain.
  • Harus diperhatikan bahwa kebijakan ini tidak dapat diterapkan pada semua anak. Anak yang menghadapi operasi jantung atau operasi besar atau dengan retardasi mental, gangguan wicara atau hiperexcitabilitas, atau yang tidak kooperatif sebaiknya diberikan sedatif (basal atau moderat) sebelum menuju kamar operasi.
Beberapa kekeliruan
  • Saat ini ditemukan beberapa kekeliruan dalam pengelolaan preoperatif anak. Sebagian besar kekeliruan telah diketahui dan telah dilakukan koreksi, tetapi karena keadaannya tidak menguntungkan; maka perlu kami tunjukkan beberapa kelemahan yang ditemukan di lapangan :
    1. Belum ada bukti penyebab dasar kecemasan pada anak, sehingga sulit mengatakan seberapa jauh kecemasan berkaitan dengan pengalaman operasi
    2. Secara tradisional dosis obat sedatif didasarkan pada berat badan dan tinggi badan anak, namun dalam kondisi emosional yang terjaga
    3. Belum ada alat ukur stres atau kecemasan pada anak-anak untuk kelompok usia yang sama
    4. Sulit mengharapkan hasil yang baik dari pemberian obat dalam dosis tunggal sedatif
    5. Perbandingan dosis sedatif sudah banyak diteliti, tetapi belum ada laporan tentang sedatif yang paling efektif
    6. Penelitian tentang sedatif sering didasarkan pada apakah anak terlihat tenang atau gelisah setelah medikasi tanpa memperhatikan apakah anak terlihat tenang atau gelisah sebelum medikasi
    7. Pemberian atropin pada setiap anak yang berakibat bibir pecah dan rasa haus adalah tindakan yang tidak rasional, apalagi jika efek obat telah habis sebelum operasi dimulai
    8. Mungkin kegagalan dalam pengelolaan preoperatif anak sampai saat ini yakni penderita tidak dipandang sebagai kasus per kasus; sekalipun telah dilakukan upaya untuk memperbaiki metoda preoperatif, namun ada kecenderungan untuk menggunakan satu metoda secara terus menerus, baik itu metoda basal, moderat atau tanpa medikasi.
Usulan perubahan dalam pengelolaan anak yang dirawat
  • Setelah 35 tahun, terbukti bahwa kita tidak mampu memperbaiki aproksimasi Water baik dengan jalan mengubah tipe atau dosis sedatif atau tanpa menggunakannya. Sehingga muncul indikasi untuk mengubahnya, baik melalui pendekatan umum atau dalam penggunaan sedatif.
  • Pertama, kita harus menerima kenyataan bahwa pengelolaan stres emosi menjadi masalah yang membutuhkan perhatian besar dibandingkan 35 tahun yang lalu. Hal ini akibat pengelolaan yang menimbulkan stres bagi anak terutama pada prosedur yang lama (misalnya intubasi endotrakea yang lama), selain itu munculnya kesadaran bahwa trauma fisik dapat diatasi tetapi stres emosional lebih membahayakan suatu tindakan operasi. Keadaan tersebut ditunjukkan dengan banyaknya orang tua membawa anak mereka ke klinik yang lebih memberi perhatian pada stres emosional anak.
  • Kita harus mencari bukti bagian apakah dalam suatu operasi yang menimbulkan gangguan pada anak. Jadi tidak hanya kekeliruan yang terbatas pada fase pre operasi. Jika dilakukan induksi anestesi yang tidak menyakitkan dan pengalaman post operatif yang menyenangkan, maka anestesi akan menjadi pengalaman yang tidak menakutkan. Dalam penelitian Visintainer dan Wolfer, induksi anestesi bukan penyebab utama stres emosional bagi anak-anak yang dirawat di rumah sakit. Temuan yang sama juga dilaporkan oleh Meyers dan Muravehik yang membandingkan perilaku anak yang dirawat di rumah sakit setelah anestesi terhadap anak-anak yang tidak mendapat anestesi. Tidak adanya perbedaan menunjukkan suatu temuan yang signifikan.
  • Pada beberapa wilayah dibutuhkan hubungan yang baik antara orang tua dan tenaga profesional. Komunikasi antara orang tua, rumah sakit, dokter dan anak harus dikembangkan agar terbentuk pengertian dan rasa aman. Perkenankanlah orang tua terlibat dalam perawatan anak di rumah sakit sampai batas tertentu, jika muncul rasa kecewa atau tidak aman maka orang tua akan segera memindahkan anaknya ke rumah sakit yang lain. Kerjasama antar pihak-pihak yang terkait sangat dibutuhkan.
  • Dalam hal sedasi, harus diingat bahwa setiap anak adalah individu yang berbeda dan memiliki rasa takut maupun ambang kecemasan yang tak sama. Kami selalu berusaha mencari tahu tipe dan ambang kecemasan anak. Yang penting kami harus memperhatikan anak yang sangat hiperanxieti karena perlu penanganan khusus guna mencegah shock fisik yang berlebihan.
  • Meskipun saat ini kita mampu memperbaiki kekeliruan yang pernah terjadi, namun belum ada metoda baru yang dibakukan. Upaya perlu dilakukan dalam hal berikut ini:
    1. Hindari sedasi memakai jarum suntik
    2. Gunakan atropin jika diindikasikan, pakailah jalur infus yang telah ada atau diberikan setelah induksi anestesi
    3. Buatlah sistem evaluasi tingkat kecemasan untuk menentukan dosis sedatif
    4. Diperlukan pengelolaan khusus pada anak yang berisiko mengalami trauma emosional
    5. Jangan menutupi kecemasan maupun ketakutan yang muncul pada seorang anak maupun orang tuanya jika bisa kendalikanlah
    6. Carilah obat atau kombinasi obat yang dapat memberi sedasi dengan baik tanpa depresi atau efek samping yang lain.
  • Selama pemeriksaan preoperatif, sebaiknya ahli anestesi menentukan tingkat kecemasan anak dan nyatakan dalam skala dari 0 sampai 3. Estimasi tersebut dibuat dengan memperhatikan faktor predisposisi dan menanyakan langsung pada anak.
Panduan klasifikasi tingkat kecemasan
  • Tingkat 0
    • Tidur mendengkur
    • Saat dibangunkan terlihat rileks, responsif
    • Tampak bermain-main dengan bonekanya
    • Gembira bermain-main dengan teman-temannya
    • Nafsu makan baik
    • Mau minum obat
  • Tingkat 1
    • Mudah terjaga, sedikit gelisah
    • Cengeng bila ditinggal sendiri, butuh bantuan, terlihat gembira jika dihibur
    • Menangis jika ditinggalkan orang tua
    • Makan dalam waktu lama
    • Mampu berkomunikasi, memberi respon
    • Mau melakukan segala sesuatu seperti menggambar, dll jika dibujuk
  • Tingkat 2
    • Tidur ayam, sangat gelisah
    • Tampak tidak gembira, tidak ceria, cengeng
    • Enggan bertemu tamu, menolak diperiksa dan menolak obat
    • Sulit ditenangkan, tetapi saat tertentu memberi respon
    • Pada anak yang lebih tua terlihat hiperaktif atau menarik diri
    • Takut terhadap berbagai hal, banyak yang tidak disukai dan banyak kemauannya
    • Memiliki riwayat anestesi yang tidak menyenangkan
  • Tingkat 3
    • Menangis dan berteriak-teriak sepanjang waktu
    • Terlihat psikotik, lemah, tak berdaya
    • Benar-benar tidak kooperatif, menarik diri, dan suka menyerang orang lain
    • Sulit berbicara secara jelas atau sulit dipahami kata-katanya
    • Menolak semua pendekatan
    • Kawatir terhadap segala hal
  • Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Smith dkk, bahwa ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi munculnya kecemasan yang tinggi pada anak; yakni:
    1. Usia 1-4 tahun
    2. Kesulitan komunikasi
    3. Orang tua yang emosional atau neurotik
    4. Memiliki riwayat traumatik dengan rumah sakit
    5. Takut terhadap operasi -- amputasi, operasi jantung atau operasi besar lainnya
  • Gangguan komunikasi adalah salah satu faktor yang sangat menegangkan, karena perbedaan bahasa, retardasi mental, cerebral palsi, atau belum cukup dewasa untuk memahami anak.
  • Melalui percakapan langsung dengan anak, anda dapat dengan mudah mengklasifikasikan tingkat kecemasan anak. Panduan di atas menyajikan beberapa tanda penting yang berguna dalam mengevaluasi anak maupun bayi. Tanda yang sering terabaikan yaitu anak yang terlihat tenang atau hiperaktif atau yang terlihat normal namun sebenarnya mengalami ketegangan. Selain itu, dengan menyingkirkan rasa suka atau tidak suka pada anak maka makin baik penilaian status emosional anak.
  • Setelah dibuat penilaian anak maka pengelolaannya perlu disesuaikan dengan hasil tersebut. Kadangkala anak membutuhkan perhatian pribadi, rasa aman, kasih sayang dan komunikasi serta sedasi digunakan sebagai suplemen saja. Tetapi penggunaan sedasi akan meningkat jika anak mengalami masalah emosi yang sulit dan berat; apalagi jika berkaitan dengan penderita yang memiliki riwayat buruk dengan anestesi.
Berikut ini adalah panduan umum pengelolaan anak.
  • Pengelolaan anak pada tingkat 0. 
    • Sebagian besar berusia 7-12 tahun. Usahakan untuk berbicara atau bermain-main dengannya agar lebih akrab. Carilah kesukaannya, materi pembicaraan atau pikiran atau sesuatu yang disukainya. Ketahuilah harapannya atau kabulkanlah impiannya. Lakukan evaluasi ulang 1 jam sebelum operasi di pagi hari, dan tunjukkanlah hubungan yang akrab serta kemantapan terhadap orang tua, anak dan diri anda sendiri.
    • Sedasi boleh diberikan jika perlu, gunakan dosis minimal per oral atau rektal (pentobarbital 3 mg/kg; diazepam 0,1 mg/kg; dsb).
  • Pengelolaan anak pada tingkat 1. 
    • Tunjukkanlah rasa persahabatan dan tunjukkan kemantapan pada orang tua maupun anak. Bangkitkanlah hal-hal yang disukai anak sambil mencari hal-hal yang tidak disukai anak. Biasanya meliputi anak berusia 1-4 tahun. Perkenankanlah orang tua menyertai anak selama mungkin. Biasanya mudah ditangani, mudah dibujuk, tunjukkanlah kejujuran, lakukan pembicaraan tentang acara TV yang disukai, kelompok basket atau koleksinya.
    • Berikan sedasi ringan pada pagi hari, berikan pentobarbital 4 mg/kg per rektal atau 3 mg/kg per oral atau agen yang sama 90 menit sebelum operasi.
  • Pengelolaan anak pada tingkat 2. 
    • Biasanya anak-anak yang mudah marah sehingga butuh perhatian khusus, serta perlu bantuan orang tua atau perawat guna membujuk dan membuat anak mengerti. Dapat ditemukan riwayat di rumah sakit yang tidak menyenangkan. Sakit yang diderita dan rasa tidak nyaman dapat menjadi faktor pemberat. Diperlukan sedasi moderat jika tidak ditemukan faktor-faktor yang sulit dikoreksi melalui komunikasi atau medikasi.
    • Diperlukan sedasi dalam dosis kecil sebelum tidur malam, sedasi dalam dosis kecil diberikan kembali sebelum operasi. Lakukan visite bagi anak dengan kecemasan tingkat 2 atau 3 sebelum operasi guna menilai respon emosinya. Jika perlu tambahkan sedatif agar anak tenang.
  • Pengelolaan anak pada tingkat 3. 
    • Bagi anak kelompok ini, upayakan untuk menghindari trauma pada penderita yang sudah sensitif. Kumpulkan informasi dari orang tua, perawat dan pengawas bangsal. Konsultasikan kepada ahli psikiatri. Keadaan ini biasanya ditemukan pada anak yang sering dirawat di bagian anak, terutama anak dengan transplantasi ginjal, gangguan jantung, retardasi mental, atau keadaan yang tak lasim lainnya.
    • Sedasi harus lebih sering diberikan tetapi jangan berlebihan. Cobalah untuk memberikan sedasi 1 atau 2 hari sebelum operasi guna melihat reaksi anak serta menentukan tingkat desensitisasi hidroksisin atau fenobarbital (perlu dipertimbangkan ensim induksi).
    • Dosis pentobarbital jangan melampaui 6 mg/kg per rektal atau 5 mg/kg per oral. Respon sedasi pada pagi hari akan terlihat baik jika obat dalam dosis moderat diberikan malam hari menjelang tidur. Berikan perhatian yang lebih pada pagi hari menjelang operasi dan berikan obat suplemen jika diperlukan. Jika sulit dikelola dan butuh kontrol segera maka induksi anestesi sebaiknya dilakukan secara intravena memakai tiopental, jangan paksa anak memakai masker.
    • Sedasi untuk anak dengan keadaan yang tak lasim. Ada keadaan yang mana anak perlu dikendalikan dengan baik, misalnya anak dengan fraktur cervical yang tidak boleh bergerak. Di sini perhatian pribadi terasa lebih diperlukan disamping pemberian obat. Sedasi yang lebih kuat diperlukan, seperti pemberian droperidol atau melalui infus intravena memakai morfin dan diazepam ditambahkan dalam dosis kecil terbagi, guna membuat tenang penderita.
    • Anjuran di atas dapat dicobakan guna memperkecil jurang antara banyaknya anak yang dianestesi dan pemberian anestesi yang tidak perlu. Pemberian barbiturat, morfin dan atropin masih banyak dilakukan, mungkin cocok untuk beberapa penderita yang menjalani operasi besar dan cocok bagi mereka yang tidak mengalami stres emosional.
Rangkuman
  • Perlu disadari pentingnya persiapan fisik maupun emosional pada anak. Persiapan fisik telah dibakukan dengan baik, tetapi persiapan terhadap stres emosi anak masih belum memuaskan dan ini menjadi alasan utama penggunaan sedatif.
  • Selama ini ahli anestesi gagal mengenali kenyataan bahwa stres emosi menimbulkan penderitaan yang lebih besar dibandingkan komplikasi anestesi seperti nausea dan sakit kepala. Anak yang terus menerus menangis setelah beberapa minggu meninggalkan rumah sakit atau anak yang tidak dapat lepas dari pelukan ibunya menunjukkan adanya gangguan yang berat.
  • Komplikasi emosional dapat dikurangi melalui komunikasi secara pribadi antara pegawai rumah sakit, dokter, orang tua dan penderita serta pemberian sedatif yang disesuaikan dengan keadaannya.


TERIMA KASIH

SLIMING CAPSUL
Suplement pelangsing terbaik. Lulus Standard GMP (Good Manufacturing Practice) dan uji tes SGS. Pesan sekarang Juga!!!
sikkahoder.blogspot
ABE CELL
(Jamu Tetes)Mengatasi diabetes, hypertensi, kanker payudara, mengurangi resiko stroke, meningkatkan fungsi otak, dll.
sikkahoder.blogspot
MASKER JERAWAT
Theraskin Acne Mask (Masker bentuk pasta untuk kulit berjerawat). Untuk membantu mengeringkan jerawat.
sikkahoder.blogspot
ADHA EKONOMIS
Melindungi kulit terhadap efek buruk sinar matahari, menjadikan kulit tampak lenih cerah dan menyamarkan noda hitam di wajah.
sikkahoder.blogspot
BIO GLOKUL
Khusus dari tanaman obat pilihan untuk penderita kencing manis (Diabetes) sehingga dapat membantu menstabilkan gula darah
sikkahoder.blogspot


ADVERTISE HERE Ads by Sikkahoder
Body Whitening
Mengandung vit C+E, AHA, Pelembab, SPF 30, Fragrance, n Solk Protein yang memutihkan kulit secara bertahap dan PERMANEN!!
Sikkahoder.blogspot
PENYEDOT KOMEDO
Dengan alat ini, tidak perlu lg memencet hidung, atau bagian wajah lainnya untuk mengeluarkan komedo.
Sikkahoder.blogspot
Obat Keputihan
Crystal-X adalah produk dari bahan-bahan alami yang mengandung Sulfur, Antiseptik, Minyak Vinieill. Membersihkan alat reproduksi wanita hingga kedalam.
Sikkahoder.blogspot
DAWASIR
Obat herbal yang diramu khusus bagi penderita Wasir (Ambeien), juga bermanfaat untuk melancarkan buang air besar dan mengurangi peradangan pada pembuluh darah anus
Sikkahoder.blogspot
TERMOMETER DIGITAL
Termometer digital dengan suara Beep. Mudah digunakan, gampang dibaca dengan display LCD dan suara beep ketika selesai mendeteksi suhu.
Sikkahoder.blogspot


ADVERTISE HERE Ads by Sikkahoder