DETOKSIFIKASI OPIAT DENGAN NALTREKSON (NTX)

DETOKSIFIKASI OPIAT ULTRA CEPAT DAN TERAPI RUMATAN NALTREKSON (NTX)

Pendahuluan
  • Berita terakhir di surat kabar melaporkan bahwa perang terhadap NAPZA (narkotika, psikotropika, zat-zat adiktif) di Indonesia telah gagal. Selama perang yang telah berlangsung sejak 1970 ini, pemakai obat meningkat sekitar 150 kali lebih banyak. Diperkirakan ada 1,3 hingga 2 juta pemakai obat di Indonesia, namun angka kenyataannya mungkin jauh lebih tinggi lagi. Seorang pemakai mengkonsumsi obat seharga sekitar 50 hingga 250 ribu rupiah per harinya. Maka total pengeluaran setiap harinya dapat dihitung sebesar 200 milyard rupiah.
  • Opiate detoxification adalah salah catu cara untuk menghilangkan opiate dari dalam tubuh panderita kecanduan opiat (putau). Banyak pecandu opiat berkeinginan bahkan mencoba menjalani proses detoksifikasi, metodologi gejala putus obat tradisional, yang melibatkan pengurangan bertahap konsumsi dosis metadon, namun sering mengalami kegagalan. 
  • Pada umumnya, rehabilitasi orang-orang yang kecanduan opioid hanya dapat dimulai setelah periode awal pantangan yang beragam. Gejala putus obat seringkali sangat tidak menyenangkan, bahkan dapat fatal, sehingga membuat para pasien enggan untuk menjalani proses detoksifikasi. 
  • Metode-metode detoksifikasi konvensional melibatkan pengurangan bertahap dosis obat-obat agonis substitut serta penggunaan antagonis reseptor opioid µ. Waktu yang dibutuhkan adalah tiga hingga 21 hari. Mungkin diperlukan pula rawat inap untuk pemantauan. Laju penurunan awal berkisar antara 30% hingga 91%.  
  • Detoksifikasi opiat cepat (Rapid Opiate Detoxification, ROD) mengharuskan pemberian sedikit antagonis-antagonis narkotika saat sadar. Penambahan klonidin untuk mengubah gejala-gejala putus obat pertama kali digambarkan sekitar 15 tahun yang lalu. Tingkat keberhasilannya sama buruknya, terutama karena rasa nyeri yang hebat yang dialami selama proses berlangsung.
  • Detoksifikasi opiat ultra cepat (Ultra Rapid Opiate Detoxification, UROD) melibatkan pemberian anestesia umum sebelum pemberian antagonis narkotika. Detoksifikasi dengan cara ini umumnya berhasil 100% dan memungkinkan tercapainya tingkat terapeutik antagonis aksi-lama. Pada hakekatnya, gejala putus obat dipicu agar timbul dan tiap-tiap komponen ditangani secara agresif. Namun, proses tersebut bukannya tanpa ketidaknyamanan. Dan di beberapa area, penggunaannya kontroversial, terutama karena pemasaran. Istilah lain untuk tujuan serupa UROD adalah Intensive Narcotic Detoxification, One Day Detoxification Programs, Accelerated Neuroregulation of Opiate Dependency, Rapid Induction Onto Naltrexon.
  • Penanganan pecandu narkotika pada dasarnya mudah, karena semua obat yang diperlukan telah tersedia. Waismann menggunakan antagonis aksi-lama yang mempertahankan blokade reseptor. Penelitiannya dimulai pada tahun 1990. Ini kemudian memungkinkannya untuk mengubah prosedur secara drastis. Dia berhenti menggunakan istilah “detoksifikasi” dan menciptakan konsep neuroregulasi. Istilah ini berarti neuroregulasi dipercepat yang membalikkan ketergantungan fisis dan psikologis, sementara istilah detoksifikasi hanya berarti membersihkan tubuh dari narkotika.
Keterangan tentang istilah yang paling sering dipakai dalam adiksi obat-obatan dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel. Daftar istilah yang berhubungan dengan adiksi obat

  • Toleransi  adalah Penurunan respons terhadap obat setelah pemberian dosis yang berulang. Bila timbul toleransi, diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai efek yang sama dengan yang telah dicapai pada dosis yang lebih rendah.
  • Toleransi-Silang adalah Penggunaan obat secara berulang dalam satu kategori memberikan toleransi tidak hanya pada obat tersebut namun juga terhadap obat lainnya dalam kategori struktur dan mekanistik yang sama.
  • Ketergantungan Fisis adalah Keadaan yang timbul sebagai akibat adaptasi yang dihasilkan oleh pengaturan ulang mekanisme homeostatis sebagai respons terhadap penggunaan obat secara berulang.
  • Gejala putus obat adalah Timbulnya pola tanda-tanda dan gejala-gejala sebagai respons terhadap penghentian tiba-tiba obat-obat yang menyebabkan ketergantungan dan perangsangan susunan saraf pusat (SSP) karena adaptasi ulang terhadap ketiadaan obat.
  • Detoksifikasi adalah Penghilangan obat yang meracuni baik melalui pengurangan bertahap lambat ataupun melalui pengurangan cepat.
  • Relaps adalah Memulai kembali pemakaian obat yang disalahgunakan sesudah suatu masa bebas obat.
  • Sobriete adalah Tidak memakai sama sekali obat yang disalah gunakan
  • Ketergantungan Substansi Zat (Adiksi) adalah Pemakaian obat yang terus menerus dan kompulsif yang sifatnya merusak diri sendiri disertai dengan pengambilan risiko secara ekstrim dan perilaku antisosial.
  • Penyalahgunaan Zat adalah Pola konsekuensi medis dan sosial yang tidak diinginkan karena pemakaian obat secara berulang

Patofisiologi kecanduan narkotik
  • Berkat kemajuan bioteknologi, kini para dokter dapat memahami lebih baik apa yang tidak diketahui tiga puluh tahun yang lalu. Narkotika seperti heroin, opium, morfin, kodein dan metadon dapat menyebabkan kelainan susunan saraf pusat dan penyakit neurologis. Kelainan tersebut adalah berupa bertambahnya jumlah reseptor opiat µ yang menjadi aktif di otak, sesuai dengan jumlah opiat yang ada di dalam darah. 
  • Proliferasi reseptor ini dapat mencapai 600 kali lipat. (lihat gambar 1) Hal ini diketahui berkat adanya alat canggih Positron Emission Tomogram Scan. Jumlah reseptor yang banyak ini mengakibatkan timbulnya craving (sugesti, rasa rindu pada narkotik). 
  • Tidak hanya para dokter, namun masyarakat awam pun dapat bermain-main dengan banyak obat. Seseorang dapat mengkonsumsi heroin sekali, dua kali, tiga kali, lima kali barangkali, dan semuanya tampak baik-baik saja. Kehidupan berjalan normal, sampai pada suatu hari, orang tersebut bangun di pagi hari dan mendapatkan dirinya tidak lagi seperti biasanya, mengalami diare dan muntah yang merupakan permulaan tanda-tanda kecanduan/ketagihan. Sejak itu, konsumsi heroin merupakan keharusan, kalau tidak mau menderita nyeri. Tidak ada pilihan lain, dan mulailah mereka menyembunyikan problemnya, berbohong dan mau melakukan apa saja untuk mendapatkan heroin.

Gambar 1. Reseptor opiat µ pada orang normal yang menjadi pecandu narkotika dan proses membalikkannya

Keterangan gambar

Pada orang normal jumlah reseptor normal

Pada pecandu reseptor mengalami proliferasi dan ditempati narkotika eksogen

Reseptor diblok NTX selama terapi rumatan NTX; sampai dosis tertentu narkotika  eksogen tidak dapat memasuki reseptor (pasien tidak akan merasakan efek narkotika). Karena tidak ditempati narkotika, maka secara bertahap jumlah reseptor menyusut sampai menjadi normal kembali.
  • Selama ini, problema kecanduan narkotika ditangani oleh dokter psikiater dan ahli psikologi, namun menurut Waismann, apa yang mereka derita bukanlah primer problema psikologis. Sesungguhnya, ini adalah problema neurologis yang mengakibatkan efek psikologis sekunder.
  • Pasokan narkotika eksogen (dari luar) yang kontinyu menimbulkan kerusakan sistem yang sangat mendasar dan sangat halus dari keseimbangan alami zat-zat mirip narkotika yang dihasilkan otak. Zat-zat tersebut mengatur nyeri, cairan, pola tidur, tekanan darah dan fungsi-fungsi penting lainnya. Narkotika bekerja setelah terikat pada reseptor miu di otak. Dengan penggunaan kronik, otak beradaptasi terhadap narkotika yang ada. Sekali terjadi pengaturan baru yang berdasarkan jumlah narkotik eksternal, penghentian tiba-tiba pasokan narkotika akan menyebabkan distres berat pada tubuh. 
  • Bila kemudian pasokan narkotika dihentikan, timbullah ketidakseimbangan biokimiawi. Khususnya, bagian otak yang disebut lokus seruleus berubah menjadi hiperaktif dan menghasilkan hormon stres noradrenalin. Ini memicu nyeri, spasme otot dan diare, yang menjadikan gejala putus obat (sakau) ini disebut cold turkey karena adanya merinding / bulu roma berdiri akibat spasme otot sekitar folikel rambut, kicking the habit karena adanya gerakan tungkai yang tidak disadari. 
  • Penghentian konsumsi narkotika menyebabkan muntah, diare, nyeri perut, nyeri tulang seluruh tubuh, berkeringat, hidung meler dan susah tidur. Kondisi kacau ini akan berlangsung selama 7-10 hari. Itulah sebabnya, separo pecandu heroin tidak tahan akan proses ini. Meskipun tidak ada pasokan dari luar, tubuh masih mempunyai cadangan dalam tulang dan jaringan lemak. Karenanya, diperlukan waktu lama sampai seluruh persediaan narkotika dalam tubuh habis. Bila sudah tidak ada lagi kandungan heroin, tubuh memulai proses neuroregulasi. (Lihat gambar 2)
  • Endorfin mengalir ke otak dan ditampung oleh reseptor-reseptor opioid. Begitu pula, heroin juga ditampung oleh reseptor-reseptor yang sama. Dalam metodenya Waismann memblok reseptor-reseptor ini dan berapapun jumlah heroin dalam tubuh, heroin tersebut tidak dapat lagi mencapai otak. Dengan begitu, pasien menjadi ‘bersih’ seketika. 
  • Blokade reseptor dimulai 20 menit setelah pemberian NTX (naltrekson) per oral/sonde lambung. Karena pasien menjadi bersih begitu cepat, semua penderitaan yang dialami pasien sangatlah parah, namun tidak berlangsung selama 10 hari, hanya 4 jam. Kendatipun periode ini relatif sangat pendek, pasien haruslah diberi sedasi berat agar tidur selama proses berlangsung.
  • Kecanduan obat, meski dengan berbagai perilaku negatif tidak dapat disembuhkan secara efektif oleh ahli psikologi. Mereka yang kecanduan heroin menderita rasa nyeri yang hebat dan mulai berperilaku aneh-aneh. Karena perubahan perilaku ini, mereka diserahkan kepada para psikiater. Pola sosial ini perlu ditinjau kembali, karena sesungguhnya ada korelasi antara reseptor opioid, kecanduan, cara kerja dan segala penyakitnya. Dengan membalik proses ini, kita memulihkan pasien dari ketergantungan opiat.
  • Blokade reseptor dilakukan dengan tablet antagonis (penawar) narkotika yang membuat otak menjadi bersih. Kala otak menjadi bersih, pasien akan mengalami gejala putus obat yang paling berat, sehingga pasien perlu dibius. Penawar narkotika sudah dipakai selama 30 tahun untuk menawarkan narkotika. Ini dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi dalam profesi mereka sehari-hari. Namun, baru belakangan ini dimanfaatkan dalam bidang penyembuhan kecanduan narkotika.
  • Seorang psikiater akan berbicara panjang lebar untuk mendefinisikan ‘adiksi’. Waismann mendefinisikannya sebagai neuroadaptasi. Apabila elemen baru dimasukkan ke dalam daur hayati (biology cycle) seseorang, otak akan beradaptasi terhadap pendatang baru ini dan elemen baru ini menjadi bagian daur hayati orang tadi. Manakala elemen ini dikeluarkan, tubuh akan menderita. Nyamuk, laba-laba dan sebagainya akan mati jika lingkungan berubah, namun manusia dapat beradaptasi. Narkotik eksogen yang dikonsumsi akan masuk ke otak dan mengubah dinamik kesehatan tekanan darah, denyut jantung dan regulasi rasa nyeri dan penderitaan akan berat jika zat narkotik tersebut dikeluarkan. Dengan konsep ini Waismann dapat membuktikan bahwa apa yang dinamakan ‘kepribadian pecandu’ tidak ada.


Dasar Pemikiran
  • Dalam ilmu kedokteran tingkat lanjut, kita hendaknya mengetahui bahwa setiap disfungsi tubuh akan menimbulkan distres fisis dan psikologis. Dalam tingkatan klinis, kita tidak dapat mengabaikan satupun di antara keduanya. Dan mungkin hendaknya kita menangani sekaligus kedua aspek tersebut. Perlu pula dipertimbangkan efek satu aspek terhadap lainnya
  • Ketidakseimbangan kimiawi akibat ketergantungan opiat menimbulkan kerusakan SSP yang dapat menyebabkan distres fisis dan psikologis sekunder yang berat. Reseptor-reseptor opioid akan memegang peranan dalam kedua aspek peyakit ini.
  • Dalam dekade terakhir, bioteknologi moderen telah memungkinkan kita untuk lebih memahami peristiwa-peristiwa regulasi reseptor opioid. Spesialis anestesiologi telah menggunakan medikasi yang berbeda untuk merangsang reseptor-reseptor tersebut agar dapat mencapai tujuan klinis yang berbeda. Sayangnya, pengetahuan yang ada mengenai regulasi reseptor opioid belum digunakan secara benar dan efektif dalam bidang ketergantungan opiat.
  • Dalam menangani ketergantungan opiat metode Waismann berfokus pada penanganan tingkat reseptor. Metode ini memblok reseptor-reseptor opiat dalam otak untuk mencetus sidroma putus obat. Ini dicapai melalui cara pengobatan yang melibatkan zat-zat anestetik yang memungkinkan terjadinya peristiwa gejala putus obat saat pasien tidak sadar selama prosedur pelaksanaan. Metode Waismann/neuroregulasi yang dipercepat menghindari penggunaan anestesia umum yang biasa dipakai pada kebanyakan metode detoksifikasi cepat.
Antagonisme Opiat
  • Selama bertahun-tahun metadon menjadi sandaran utama substutusi opiat. Dasar pemikirannya adalah memberikan obat aksi yang lebih lama dengan legal per oral. Para peserta program harus mengambil obat setiap hari pada tempat resmi. Biaya metadon sekitar US$400 per bulan. Metadon terikat kuat pada protein jaringan, berakumulasi jauh lebih tinggi daripada heroin, dan memiliki masa paruh yang panjang. Jadi, detoksifikasi metadon bisa lebih sukar dibanding detoksifikasi heroin.
  • Sebaliknya NTX (Naltrekson) merupakan antagonis opioid murni. Regulasi menurun (toleransi farmakodinamik) SSP merupakan adiksi opiat yang diterima, sedangkan pemberian antagonis seperti NTX menyebabkan regulasi naik. Metadon hanya berfungsi untuk memperkuat regulasi menurun. Selain itu, sebagai medikasi tak-berjadwal, NTX (naltrekson) jauh lebih murah dibanding metadon. Program-program rawat jalan telah menggunakan NTX, klonidin, dan medikasi ajuvan lainnya untuk detoksifikasi pasien selama periode satu pekan, dan selanjutnya mengubah pasien ke pemakaian NTX sebagai pengobatan pemeliharaan. 
  • Lebih kini lagi, UROD telah dikembangkan sebagai cara untuk mencapai gejala putus obat dari opiat dalam beberapa jam dan menghindari gejala-gejala klinis fisis segera yang merusak dengan menggunakan anestesia umum.
  • Teknik UROD dirancang untuk memendekkan proses detoksifikasi hingga periode 4-6 jam dengan mencetuskan gejala putus obat melalui pemberian antagonis opioid. Konsep ini didemonstrasikan oleh Rasmussen dkk, yang memperlihatkan pada tikus yang kecanduan morfin bahwa parameter-parameter perilaku, biokimiawi dan elektrofisiologik puncak gejala putus obat opioid (terutama melibatkan nukleus lokus koeroleus) dan pemulihan ke nilai dasar dalam enam jam setelah pemberian antagonis opioid dosis tinggi. Karena gejala-gejala putus obat seringkali berat, dan bahkan bisa mengancam nyawa, pemberian sedasi dalam atau anestesia umum dipakai untuk mengurangi atau mencegah kesadaran pasien akan nyeri fisis. Pemantauan status kardiorespiratori detak per detak dan deteksi setiap perubahan memungkinkan spesialis anestesiologi untuk segera melakukan koreksi yang tepat.
  • Setiap antagonis seperti nalokson, NTX atau nalmefen dapat digunakan untuk detoksifikasi. Namun, semua antagonis mempunyai koefisien ikatan yang sangat tinggi dibanding dengan agonis (mis, NTX terikat 34 kali lebih kuat dibanding morfin). Salah satu teknik detoksifikasi ialah dengan menggunakan nalmefen yang diinfuskan sampai 4mg selama dua jam.
  • Beberapa pertanyaan telah diajukan berkenaan dengan risiko edema paru dengan penggunaan nalokson pada pasien-pasien ketergantungan opiat. Perkiraan penyebab edema tersebut adalah krisis adrenergik dengan pelepasan masif katekolamin, efek yang telah diperlihatkan dengan baik dalam studi Kienbauum dkk. Namun klonidin menyebabkan tidak timbulnya peningkatan katekolamin plasma, dan tidak juga timbul perubahan-perubahan kardiovaskular yang bermakna.
  • Detoksifikasi juga dikaitkan dengan peningkatan yang berarti pada laju pernafasan, ventilasi semenit, konsumsi oksigen, dan produksi karbondioksida. Untuk alasan-alasan inilah beberapa spesialis anestesiologi telah memilih untuk mengendalikan ventilasi dengan blokade neuromuskular minimal pada TOF (train-of-four).
Indikasi
  • Satu-satunya indikasi untuk detoksifikasi adalah ketergantungan opiat yang terbukti dari pemeriksaan darah, urin, atau rambut. Untuk menghindari sindrom Munchausen, atau Munchausen oleh wali (yaitu orang tua yang memaksa anak remajanya untuk menjalani detoksifikasi sekunder terhadap ketakutan tanpa alasan akan penyalahgunaan obat). 
  • Uji positif hendaknya didokumentasikan sebelum penjadwalan prosedur. Pengujian obat juga bermanfaat, baik untuk identifikasi obat-obat lain yang secara potensial dapat disalahgunakan oleh pasien dan untuk evaluasi kredibilitas pasien (misalnya, ketika informasi tambahan dari teman atau kerabatnya menunjukkan bahwa pasien tidak memberitahukan kepada dokter tentang penyalahgunaan kokain atau amfetamin).
Indikasikontra
  • Terdapat beberapa situasi di mana UROD tidak diindikasikan sebagai metode detoksifikasi pilihan. Misalnya, kehamilan, hepatitis akut (lebih dari lima kali nilai kontrol untuk aspartat transaminase [AST] dan gamma-glutamil-transferase [GGT]), menelan kokain akut, psikosis, tidak ada persetujuan setelah mendapat informasi, infarkt miokard dalam enam bulan, kecelakaan serebrovaskular dalam dua bulan, semuanya merupakan indikasikontra relatif bagi penggunaan terapi ini. 
  • Jika seorang pasien dengan nyeri kronik berkeinginan untuk menjalani detoksifikasi dan ingin terbebas dari ketergantungan narkotika, maka harus ada interval-interval bebas nyeri atau lagi-lagi, prosedur ini diindikasikontrakan. Detoksifikasi pasien yang tidak memiliki interval bebas-nyeri mengakibatkan penderitaan nyeri luar biasa di mana satu-satunya mekanisme peredanya adalah melalui blok dan lisis saraf.
Proses
  • Pasien menjalani pemeriksaan psikologis dan medis secara komprehensif sebelum dimulai prosedur, yang dilakukan di ICU rumah sakit. Untuk prosedur ini, pasien diperkirakan dirawat selama 24 hingga 36 jam penuh, termasuk 6 jam proses medikasi pra-prosedur. 
  • Selama prosedur, pasien menjalani anestesia umum untuk blokade reseptor opiod, mengatasi craving, dan memungkinkan pasien menjalani perawatan tanpa ketidaknyamanan karena sadar. Pasien menghabiskan sisa waktunya di rumah sakit di bawah pengawasan medis dan biasanya dipulangkan keesokan paginya. 
  • Saat keluar rumah sakit, pasien diberi resep NTX (naltrekson), suatu medikasi yang tidak menimbulkan kecanduan dan tidak mengubah suasana hati, sehingga menjamin pasien menjaga abstinensi dari opiat. Obat-obat yang dipakai untuk premedikasi adalah salbutamol (inhalasi), vit C, klonidin, diazepam, ranitidin, omeprazol, loperamid, ondansetron, guanfasin, heparin, famotidin, diberikan per oral dan oktreotid (SK) dan antibiotika IV. Obat-obat yang dipakai selama anestesia adalah propofol, midazolam, tiopental, nalokson, naltrekson, nalmefen, klonidin, ranitidin, secara IV atau sevofluran perinhalasi dan oktreotid (SK).
Tinjauan Medis
  • Dalam beberapa tahun yang terakhir para dokter dari berbagai penjuru dunia menggambarkan beberapa metode ROD/UROD (dalam jurnal medis dan media umum) sebagai prosedur terobosan untuk pembalikan ketergantungan opiat. 
  • ROD/UROD adalah metode yang menggunakan antagonis opiat, terutama NTX (naltrekson), untuk secara efektif mencetuskan gejala putus obat pada pasien ketergantungan opiat, dikombinasikan dengan anestesia umum untuk mencegah pasien menderita efek-efek samping yang merugikan.
  • Hasil prosedur telah menunjukkan bahwa mayoritas pasien mengalami gejala putus obat yang bermakna setelah pulih dari anestesia. Gejala-gejala ini meliputi diare, muntah-muntah, rasa cemas, efek psikologis dari gejala-gejala ini, dan craving. Medikasi seperti klonidin dan obat-obat penenang diberikan untuk meredakan gejala-gejala putus obat pasca anestesia.
  • Meskipun pasien mengalami gejala putus obat, blokade reseptor masif akan mencegah efek opiat yang diharapkan meredakan gejala-gejala ini. Jika pasien memilih untuk menggunakan heroin segera setelah prosedur, mereka tidak akan merasakan efeknya.
  • Blokade yang dilakukan selama prosedur dan segera sesudahnya pada kebanyakan kasus mencegah pasien dari relaps tanpa menghiraukan efek-efek yang merugikan dari gejala putus obat, dan memberi peluang kepada dokter untuk membantu pasien mengatasi beratnya gejala putus obat. Meskipun pasien mungkin merasakan sangat tidak nyaman sesudah prosedur perawatan, mereka mempunyai pilihan untuk melanjutkan pengobatan setiap hari untuk menekan gejala putus obat pasca anestesia, bersama-sama dengan penggunaan NTX (naltrekson) hingga gejala putus obat berakhir.
  • Setelah prosedur, tim medis, yang mencakup psikiater dan psikolog mengerahkan segala usaha untuk membantu pasien mengatasi ketidaknyamanan gejala putus obat pasca anestesia selama dua, tiga, empat hari dan terkadang sepekan sambil mengingatkan pasien dan keluarganya akan pentingnya pemakaian dosis harian NTX. (Jika kita memberikan medikasi untuk menekan sindroma putus obat, dan memberikan dukungan psikologis yang cukup untuk kepatuhan pemakaian NTX, baru dan hanya setelah itu kita dapat memulai tahap rehabilitasi yang disebut sebagai terapi rumatan NTX).
  • Setiap kali pasien meminum NTX, dokter memperoleh satu setengah hari untuk melanjutkan penanganan efek-efek merugikan ini, meskipun efek ini akan menghilang dengan sendirinya pada waktunya. Dalam tahap terapi ini, NTX mengambil peran sebagi perangkap.
  • Melalui prosedur UROD/ROD ini, tujuan kita untuk membebaskan pasien dari ketergantungan opiat akan tercapai. Pasien akan dapat mengatasi gejala putus obat, namun prosesnya akan penuh dengan komplikasi-komplikasi dan ketidaknyamanan.
  • Di seantero dunia, pasien-pasien yang dirawat melalui prosedur serupa telah dilaporkan kepada Waismann bahwa mereka mengalami ketidaknyamanan yang berlebihan segera setelah prosedur, menolak untuk meminum NTX (naltrekson) dan akibatnya kembali menggunakan opiat. Melalui pengalamannya dalam merawat lebih dari 4000 pasien sejak periode itu, Waismann telah meninjau ulang dan memperbaiki metode-metode ini dan menghasilkan serta mengajukan beberapa kesimpulan.
  • Pertama-tama, kita harus menilai apakah teknik yang digunakan selama prosedur benar-benar bisa disebut sebagai ‘detoksifikasi cepat’. Detoksifikasi tidak dicapai dengan memberikan blokade NTX (naltrekson). Anda tidak mendetoksifikasikan tubuh, melainkan hanya mengganti opiat-opiat dalam reseptor otak dengan antagonis-antagonis (NTX). Uji urinalisis mengungkapkan opiat-opiat bebas di dalam sistem seorang pasien beberapa hari setelah prosedur ini. Mengingat hal ini, mungkin sesuatu yang lebih tepat secara medis hendaknya dipertimbangkan untuk menjelaskan prosedurnya sendiri. Beberapa dokter menggambarkan teknik ini sebagai blokade reseptor opioid masif dengan anestesia, yang mengklasifikasikan teknik ini secara lebih khusus.
  • Tujuan utama prosedur UROD/ROD hendaknya ditinjau kembali. Konsep pemberian anestesia kepada pasien kecanduan opiat sehingga pasien tersebut setuju mendapat terapi dengan kesan menghindari ketidaknyamanan ekstrim gejala putus obat dan bangun dalam keadaan bersih merupakan hal yang menarik, namun tidak sepenuhnya akurat. Tujuan pertama memakai anestesia jelas untuk membuat pasien tertidur. Pasien yang tertidur tidak akan merasakan ketidaknyamanan, tidak akan berusaha untuk melarikan diri dari prosedur dan karenanya blokade reseptor opioid dapat dilaksanakan. Langkah selanjutnya adalah menilai alasan-alasan menggunakan zat-zat untuk blokade. Blokade yang berhasil akan mencetuskan gejala putus obat. 
  • NTX (naltrekson), ketika masuk ke dalam lambung pasien, akan diserap ke dalam sistem dan terikat kepada reseptor opioid. Sayangnya, anestesia umum secara bermakna melambatkan penyerapan zat-zat blokade (NTX) melalui pipa lambung. 
  • Klonidin berfungsi untuk menekan beberapa gejala putus obat hingga tingkatan tertentu. Akibat penekanan sistem ini, khususnya ketika tekanan darah mencapai tingkatan yang sangat rendah, beberapa zat blokade (NTX ) tidak akan terserap. Proses gejala putus obat menjadi tidak sempurna dan pasien dibiarkan menderita mayoritas gejala-gejala putus obat setelah prosedur, sementara sudah sadar penuh. Lagi pula, banyak tanda-tanda dan gejala putus obat yang terjadi selama pasien dibius tertutupi dan karenanya tidak terdeteksikan dan tidak tertangani secara tepat.
  • Fakta-fakta ini membuat Waismann meninjau ulang sasaran utama prosedur dan alasan-alasan menggunakan medikasi tersebut. Klonidin masih tetap menjadi bagian premedikasi, sampai ke tingkat di mana tekanan darah pasien tidak turun kurang dari 20-25% dari standard-standard nilai dasar. Anestesia murni diganti dengan zat anestetik aksi-pendek yang digunakan pada tingkatan-tingkatan minimal sesuai kebutuhan. 
  • NTX akan digunakan selama dua tahapan yang terpisah karena dua alasan: pada tahap pertama, NTX digunakan untuk mencetuskan gejala putus obat dengan menggunakan dua dosis terpisah sebanyak 50-75mg dengan interval 90 menit di antara keduanya. Selama tahap kedua, yang disebut terapi pemeliharaan NTX, pasien menerima 50mg (NTX) untuk 10 hari pertama setelah perawatan dan, dalam banyak kasus, 25mg (NTX) untuk periode 10-12 bulan. Dalam fase pasca anestesia, medikasi spesifik dapat diberikan untuk mengatasi gejala-gejala khusus, hanya jika diperlukan.
  • Selama prosedur UROD/ROD, efek-efek anestesia umum akan menyembunyikan tanda-tanda dan gejala putus obat dan menghambat kemampuan dokter untuk menentukan laju absorbsi zat blokade (NTX). Banyak laporan yang menyebutkan bahwa pasien diberi 300mg NTX selama prosedur, lagi-lagi dengan memperhitungkan bahwa kebanyakan NTX itu tidak terserap ke dalam sistem ketika pasien dalam keadaan tidak sadar. Dosis sebesar ini menekan sistem pasien dan menambah ketidaknyamanan setelah perawatan yang secara potensial menyebabkan efek samping seperti kejang, diare, rasa mual, muntah dan letih.
  • Gejolak-gejolak gejala putus obat pertama dan yang paling intensif akan terjadi sekitar 20 menit setelah pemberian NTX. Dengan anestetik aksi-pendek ini, Waismann mampu mengikuti puncak-puncak dan gejolak gejala putus obat, dan secara efektif dapat mengimbangi gejala-gejala ini dengan mendalamkan tingkat anestesia. Setelah puncak gejala putus obat mereda, anestesia diturunkan. Dengan menggunakan zat-zat anestetik aksi-pendek di sepanjang prosedur, sistem pasien tetap cukup reseptif sehingga dapat diamati pengobatan yang diberikan melalui lambung, dan proses gejala putus obat dapat diselesaikan tanpa membahayakan atau membuat ketidaknyamanan pasien.
  • Akhir prosedur akan ditentukan ketika tingkat anestetik yang digunakan untuk menjaga agar pasien tetap tertidur jumlahnya minimal mendekati sama atau bahkan lebih sedikit dari yang digunakan saat memulai prosedur. Pada saat ini, ketika pasien tidak lagi memiliki gejala putus obat, dia merasa yakin bahwa setelah pasien sadar akan mengalami ketidaknyamanan yang minimal atau tidak sama sekali (dari gejala putus obat sisa). Karenanya, pasien mencapai ‘neuroregulasi’ tujuan utama terapi. 
  • Neuroregulasi adalah keadaan di mana pasien telah mengatasi gejala putus obat dan tubuhnya tidak lagi memiliki tanda-tanda klinis putus obat. Ketergantungan opiat dibalikkan dan pasien tersebut terregulasikan. Setelah istirahat semalam dan pasien tersebut telah pulih dari efek-efek anestesia, ia mulai menjalani terapi antagonis opiat atau terapi rumatan NTX.
  • Dari uraian di atas, jelas bahwa prosedur ini bukanlah proses detoksifikasi, melainkan ‘neuroregulasi’, yaitu blokade reseptor-reseptor opiat, mencetuskan dan mempertahankan gejala putus obat pada pasien untuk mencapai keseimbangan neurologis. Dengan memusatkan perhatian pada regulasi sistem neurologis pada pasien yang ketergantungan opiat, Waismann menghilangkan kebutuhan akan klonidin dan zat-zat supresif pasca anestesia lainnya, dan pemulihan dimulai segera sesudah prosedur. Interaksi yang konsistan dengan pasien selama perawatan, menjamin penyerapan NTX ke dalam sistem dan mengimbangi gejala putus obat, maka tidak diperlukan obat penenang yang hanya akan membingungkan pasien. Keletihan, kemalasan untuk melakukan apapun, kurangnya nafsu makan, ketidak mampuan untuk berfungsi dan berfikir jernih, melemahkan keyakinan pasien untuk pulih secara independen. Meskipun efek samping opioid dapat dicegah, sebagian atau secara penuh, gejala putus obat pasca anestesia dan pengobatan berikutnya untuk menekan gejala-gejala ini sangat mengganggu dan secara ekstensif memanjangkan periode penyembuhan.
  • Isu seperti efek jarum dan kebiasaan akan menyebabkan craving. Isu ini, ditambah dengan gejala putus obat pasca anestesia yang bermakna dan ketidaknyamanan, juga memicu dan mempercepat tingkat craving yang berakibat tidak patuhnya pasien terhadap terapi rumatan NTX. 
  • Laporan-laporan menunjukkan bahwa banyak pasien yang mendapat terapi UROD/ROD kembali kepada pemakaian heroin dalam 1-2 hari untuk mencoba dan menutupi efek-efek samping merugikan dari gejala putus obat. Ini berakibat komplikasi yang sangat serius, termasuk kematian karena kelebihan dosis.
  • Tujuan terapi adalah membawa pasien ke tempat di mana dia dapat memahami kebutuhannya, problemanya, sensibilitas dan fungsi-fungsi tubuhnya sehingga dia dapat mengatasinya. Setiap gejala-gejala medis sesudah terapi dapat ditangani secara khusus, dan tindak lanjutnya menjadi lebih mudah. Neuroregulasi memberikan peluang pasien untuk merasakan menyadari dirinya, dan menyeimbangkan pasien secara fisis dan psikologis untuk mengurangi craving terhadap opiat sebanyak-banyaknya. Ia menjadi lebih percaya diri dan mampu memulai pemulihan. Sejak dipakainya prosedur ‘neuroregulasi’ (dan bukannya detoksifikasi), Waismann tidak lagi menjumpai kasus ketidakpatuhan pasien terhadap terapi rumatan NTX segera sesudah prosedur dengan kasus kekambuhan selama sepuluh hari pertama sesudah terapi.
  • Ringkasnya, dengan memahami tujuan utama untuk mencapai ‘neuroregulasi’ pada pasien-pasien yang kecanduan opiat – dengan menggunakan secara tepat alat-alat farmasi ini, dengan memahami apa yang kita inginkan dengan masing-masing alat, serta secara aktif berinteraksi dengan pasien selama prosedur – dokter akan mencapai hasil yang lebih unggul dibanding UROD/ROD.
Perkembangan terakhir terapi ketergantungan opiat
  • Peningkatan jumlah pecandu narkotika mengharuskan kita mencari metode penyembuhan yang baik. NTX (NALTREKSON) biasa dianggap sebagai antagonis efektif pertama dalam terapi adiksi farmakologis. Yang belakangan ini semakin popular adalah pemakaian anestesia umum selama fase akut gejala putus obat opioid yang ditimbulkan oleh antagonis. Namun belum banyak dilakukan studi terkontrol teknik-teknik tersebut. Khususnya, data tindak lanjut dari sampel acak pasien yang mengalami induksi cepat ke terapi rumatan naltrekson (rapid induction onto naltrexon, RION) tidak cukup tersedia. Ini merupakan isu kritis karena dilaporkan kematian yang berkaitan dengannya memerlukan analisis risiko/manfaat.
  • Currie dkk melakukan RCT untuk membandingkan teknik-teknik detoksifikasi opiat: induksi antagonis cepat (rapid antagonist induction, RAI). Mereka membandingkan kemanjuran klinis, keamanan, dan keefektifan beaya (cost effectiveness) RION dengan bantuan anestesia (aa-RION) vs RION dengan bantuan sedasi (sa-RION). Kedua teknik RION tersebut juga dibandingkan dengan induksi ke rumatan NTX sesudah detoksifikasi konvensional rawat inap atau ambulatori (CONV) menggunakan kohort pasien naturalistik. Juga dinilai pengaruh RION vs teknik induksi CONV pada hasil akhir jangka panjang dari program rumatan abstinensi dengan bantuan NTX selama 12 bulan sesudah induksi. 
  • Laju induksi rumatan NTX yang berhasil: aa- RION = 98%; sa-RION = 99%; CONV (rawat inap) = 37%; CONV (ambulatori) = 17% (p kurang dari 0,001). Beaya relatif tiap induksi ke NTXyang berhasil lebih rendah pada teknik RION (A$2000) daripada teknik CONV (A$6000-$7000). 
  • Hasil akhir pada 12 bulan: 
    • Tidak bergantung pada opiat (dipastikan dengan tantangan NTX dengan supervisi): pemakai heroin (H)=59%; pemakai metadon (M)=62% 
    • Memulai rumatan metadon: H=16%; M=25%; jadi 
    • Sisa total dalam terapi medis: H=75%; M=87%; 
    • Diketahui atau dianggap kambuh menggunakan heroin: H=25%; M=13%. 
  • Pasien yang tinggalnya di daerah rural yang terisolasikan secara geografis mempunyai laju kambuh yang lebih tinggi dari pasien metropolitan. (80% vs 25% kambuh; p = 0,001). Kesimpulannya: Untuk pasien-pasien yang akan menjalani terapi dengan model berdasarkan abstinensi, teknik aa-RION dan sa-RION aman, sangat efektif, efisien beaya dan sangat akseptabel bagi pasien sehingga merupakan metode yang efektif-beaya untuk memulai rumatan abstinensi dengan bantuan NTX. sa-RION sama efektif seperti aa-RION. Setelah induksi ke NTX berhasil dicapai, hasil akhir klinis jangka panjang tidak bergantung pada metode yang dipakai untuk mencapai induksi tersebut, sehingga merupakan refleksi kualitas program rumatan abstinensi, bukan metode induksi ke NTX. 
  • Maksoud  melaporkan telah melakukan induksi antagonis cepat lebih dari 7000 kasus. Protokolnya mencakup premedikasi dengan lofeksidin oral dan oktreotid SK/IV. Sedasi dicapai dengan tiopental IV tanpa pipa endotrakeal atau intubasi nasogastrik. NTX diberikan oral beberapa menit sebelum mulai sedasi, kemudian dilanjutkan selama kira-kira 4 jam. Dengan protokol sederhana ini, tidak dilaporkan komplikasi yang lebih serius dari bradikardia reversibel dan ternyata tidak ada seorang pasien pun yang memerlukan intubasi endotrakeal. Tiopental murah dan kerjanya yang relatif lama dibandingkan dengan propofol dapat mengurangi ketidak-nyamanan selama periode awal pascadetoks. Biasanya pasien kembali ke perawatan familinya sesudah 2-3 hari rawat inap. Struktur famili Timur Tengah memudahkan terapi naltrekson oral dengan supervisi, namun implan NTX dimasukkan subkutaneus selama prosedur pada kebanyakan kasus. 
  • Penelitian pendahuluan tanpa kontrol menyarankan bahwa pra terapi dengan tramadol menghasilkan pemulihan yang lebih cepat dan kurang nyeri baik pada protokol induksi putus obat cepat maupun lambat. Seri yang besar ini menunjukkan bahwa prosedur detoksifikasi opiat cepat hendaknya jangan dianggap sebagai berbahaya secara intrinsik.
  • Ada cara baru detoksifikasi oleh Pereira 23 yaitu dengan pemberian sedasi IV yang mudah dibangunkan dan NTX implan untuk membangkitkan detoksifikasi sementara gejal-gejala putus obat dikendalikan. Sesudah dirawat di rumah sakit, dicatat skor hemodinamik dan gejala putus obat dan kemudian diberikan sedasi. Obat-obat anti gejala putus obat diberikan dan selanjutnya dimasukkan implan NTX. Lima menit kemudian timbullah beberapa gejala putus obat yang sangat ringan, terutama agitasi. Gejala-gejala ini akan berlangsung selama kira-kira 6 jam rata-rata. 
  • Induksi/detoksifikasi dengan implan NTX dengan sedasi IV merupakan alternatif yang cukup baik dari RION konvensional. Metode ini mengurangi komplikasi dan beaya detoksifikasi opioid dengan bantuan anestesia konvensional. Selain itu, pemakaian NTX subkutaneous agaknya mengurangi derajat keparahan gejala-gejala putus obat dibandingkan dengan teknik-teknik menggunakan NTX oral atau nalokson IV.
  • Implan NTX merupakan suatu cara efektif untuk menghentikan kekambuhan selama implan aktif.24 Untuk profilaksis kekambuhan, NTX implan lebih baik dari NTX oral. Baik dengan NTX oral maupun implan, banyak pecandu narkotika menguji coba blokade opiat sesudah memulai terapi. Pada umumnya, mereka berbuat hal tersebut untuk memastikan bahwa terapi betul-betul bekerja dan biasanya tidak menguji coba secara berulangkali. Namun, beberapa pasien terus menyuntik heroin setiap hari kendati tidak merasakan efek opiat obyektif dan tidak memperlihatkan respons terhadap tantangan nalokson. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh efek-efek non-opiat obat-obat opiat, seperti fenomena pelepasan histamin; eksistensi adiksi untuk menyuntik selain dari adiksi terhadap opiat; dan efek-efek subyektif non-spesifik yang timbul manakala bolus heroin jalanan yang tidak murni yang mengandung berbagai campuran memasuki otak. Untungnya, fenomena ini relatif jarang, tetapi agaknya tidak lagi sepenuhnya benar bahwa NTX selalu berhasil menghambat semua efek heroin, yang berlawanan terhadap efek yang dimediasikan oleh reseptor opiat.
  • Dari penelitian 27 yang menilai apakah ada beda antara pria dan wanita yang menjalani detoksifikasi dalam hal berat ringannya sindroma putus obat, dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis kelamin memang ada pengaruhnya. Wanita cenderung untuk mengalami gejala-gejala putus obat lebih berat. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam regimen terapi.
  • Sunatrio dkk melaporkan pada semua (100%) pasien berhasil dilakukan detoksifikasi tanpa efek samping anestesia yang serius namun untuk terapi rumatan NTX didapatkan hanya 45,8% pasien yang selesai menjalani terapi selama 10 bulan dan 34,7% selama 12 bulan, jadi angka kepatuhan pasien terhadap NTX oral rendah. Pada semua pasien yang selesai menjalani terapi selama 10 bulan didapatkan kesembuhan 100% dalam arti kata craving score-nya nol.
    Kesimpulan
    • Ketergantungan opiat merupakan penyakit fisis, bukan penyakit sosial, karenanya harus ditangani sebagaimana mestinya. Yang kita butuhkan adalah rumah sakit umum dengan fasilitas-fasilitas ICU.
    • Perang dengan opiat tidak akan dimenangkan jika pasien-pasien yang kecanduan opiat tidak ditangani secara efektif. Untuk mencapai itu, hendaknya digunakan pendekatan holistik, yakni pendekatan mediko-psiko-sosio-spiritual. Pendekatan ini terdiri dari neuroregulasi yang dipercepat dan bantuan psiko-sosio-spiritual. Karena kepatuhan pasien terhadap NTX oral pada umumnya rendah, perlu motivasi yang tinggi atau pemakaian NTX implan untuk mencapai keberhasilan yang lebih tinggi.
    • Neuroregulasi yang dipercepat merupakan sebuah penanganan yang efektif, efesien, aman dan manusiawi, tanpa rasa takut akan nyeri, dan memberikan peluang bagi pasien untuk segera kembali ke kehidupan sehari-hari yang normal.

    DAFTAR PUSTAKA
    1. Mattick RP, Hall W: Are detoxification programmes effective? Lancet 1996;347:97-100.
    2. Gold ML, Sorensen JL, McCanlies N, et al: Tapering from methadone maintenance: Attitudes of clients and staff. J Subt Abuse Treat 1988;5:37-44.
    3. Azatian A, Papiasvili A, Joseph H: A study of the use of clonodine and naltrexone in the treatment of opioid addiction in the former U.S.S.R. J Addict Dis 1994;13:35-52.
    4. Simon DL: The rationale for naltrexone therapy as an alternative to methadone treatment for opiate addiction. Conn Med 1996;60:683-685.
    5. Presslich O, Loimer N: Opiate detoxification under general anesthesia by large doses of naltrexone. Clin Toxicol 1989;27:263-270.
    6. Personal communication with Dr. Andre Waismann, Megama, The Israeli Institute of Advanced Treatment and Research for Opiate Dependency, Tel Aviv, Israel. http://www.megama.com/about.html.
    7. Bradley CJ, French MT, Rachal JV: Financing and cost of standard and enhanced methadone treatment. J Subst Abuse Treat 1994;11:433-442.
    8. Kleber HD, Topazian M, Gaspari J, et al: Clonidine and naltrexone in the outpatient treatment of heroin withdrawal. Am J Drug Alcohol Abuse 1987;13:14-17.
    9. Cvejic S, Trapaidz N, Cyr C, et al: Thr 353 located within the COOH-terminal tail of the delta opiate receptor is involved in receptor downregulation. J Biol Chem 1996;271:4073-4076.
    10. Baumbaker Y, Gafni M, Keren O, et al: Selective and interactive downregulation of mu and delta opioid receptors in neuroblastoma SK-N-SH cells. Mol Pharmacol 1993;44:461-467.
    11. Senft RA: Experience with clonidine-naltrexone for rapid opiate detoxification. J Subst Abuse Treat 1991;8:257-259.
    12. O’Connor PG, Waugh ME, Carroll KM, et al: Primary care-based ambulatory opioid detoxification: The results of a clinical trial. J Gen Intern Med 1995;10:255-260.
    13. Resnick RB, Kestenbaum RS, Washton A, et al: Naloxone-precipitated withdrawal: A method for rapid induction into naltrexone. Clin Pharmacol Ther 1977;21:409-413.
    14. Simon DL: Rapid opioid detoxification using opioid antagonists: History, theory and the state of the art. J Addict Dis 1997;16:103-122.
    15. Legardo JJ, Gossup M: A 24-hour inpatient detoxification treatment for heroin addicts: A preliminary investigation. Drug Alcohol Depend 1994;35:91-93.
    16. Rasmussen K, Beitner-Johnson DB, Krystall JH, et al: Opiate withdrawal and the rat locus coeruleus: Behavioral, electrophysiological and biochemical correlates. J Neurosci 1990;10:2308-2317.
    17. Gold CG, Cullen DJ, Gonzales S, et al: Rapid opioid detoxification during general anesthesia. Anesthesiology 1999;91:1639-1647.
    18. Kienbaum P, Thurauf N, Michel M, et al: Profound increase in epinephrine concentration in plasma and cardiovascular stimulation after mu-opioid receptor blockade in opioid-addicted patients during barbiturate-induced anesthesia for acute detoxification. Anesthesiology 1998;88:1154-1161.
    19. Hoffman W, Berkowitz R, McDonald T, et al: Ultra rapid opioid detoxification increases spontaneous ventilation. J Clin Anesth 1998;10:372-376.
    20. Currie J, Cox P, Collins L, et al. Rapid antagonist induction/rapid induction onto naltrexone: A randomized clinical trial of anesthesia-assisted versus sedation-assisted techniques, and a comparison with conventional detoxification. 6th International Conference Royal Society of Medicine. A two-day conference on Advances in Antagonist-Assisted Abstinence; Rapid Opiate Detoxification and Naltrexone Treatment, London 11-12th April, 2001.
    21. Currie J, Cox P, Collins L, et al. Rapid antagonist induction/rapid induction onto naltrexone: A randomized clinical trial of anesthesia-assisted versus sedation-assisted techniques, and a comparison with conventional detoxification. 6th International Conference Royal Society of Medicine. A two-day conference on Advances in Antagonist-Assisted Abstinence; Rapid Opiate Detoxification and Naltrexone Treatment, London 11-12th April, 2001.
    22. Maksoud N. Rapid induction of opiate withdrawal using intravenous thiopental: Experience with over 7000 cases in Cairo. 6th International Conference Royal Society of Medicine. A two-day conference on Advances in Antagonist-Assisted Abstinence; Rapid Opiate Detoxification and Naltrexone Treatment, London 11-12th April, 2001.
    23. Pereira C. Rapid opioid detoxification induced by a naltrexone implant. 6th International Conference Royal Society of Medicine. A two-day conference on Advances in Antagonist-Assisted Abstinence; Rapid Opiate Detoxification and Naltrexone Treatment, London 11-12th April, 2001.
    24. Steele T, Brewer C. Three months outcome in naltrexone implanted patients following the Asturian detoxification technique. 6th International Conference Royal Society of Medicine. A two-day conference on Advances in Antagonist-Assisted Abstinence; Rapid Opiate Detoxification and Naltrexone Treatment, London 11-12th April, 2001.
    25. Gölz J, Partecke L, Veith S, et al. Follow up of opiate addicts after rapid opiate detoxification under anesthesia; relapse prophylaxis with naltrexone orally and subcutaneously implanted with psychological care. 6th International Conference Royal Society of Medicine. A two-day conference on Advances in Antagonist-Assisted Abstinence; Rapid Opiate Detoxification and Naltrexone Treatment, London 11-12th April, 2001.
    26. Brewer C. Continued intravenous heroin use despite adequate blockade with implanted naltrexone: Some possible mechanisms and remedies. 6th International Conference Royal Society of Medicine. A two-day conference on Advances in Antagonist-Assisted Abstinence; Rapid Opiate Detoxification and Naltrexone Treatment, London 11-12th April, 2001.
    27. Chinyamunzore R. Gender differences in withdrawal symptoms experienced by opiate dependent individuals during a compressed opiate detoxification programme. 6th International Conference Royal Society of Medicine. A two-day conference on Advances in Antagonist-Assisted Abstinence; Rapid Opiate Detoxification and Naltrexone Treatment, London 11-12th April, 2001.
    SLIMING CAPSUL
    Suplement pelangsing terbaik. Lulus Standard GMP (Good Manufacturing Practice) dan uji tes SGS. Pesan sekarang Juga!!!
    sikkahoder.blogspot
    ABE CELL
    (Jamu Tetes)Mengatasi diabetes, hypertensi, kanker payudara, mengurangi resiko stroke, meningkatkan fungsi otak, dll.
    sikkahoder.blogspot
    MASKER JERAWAT
    Theraskin Acne Mask (Masker bentuk pasta untuk kulit berjerawat). Untuk membantu mengeringkan jerawat.
    sikkahoder.blogspot
    ADHA EKONOMIS
    Melindungi kulit terhadap efek buruk sinar matahari, menjadikan kulit tampak lenih cerah dan menyamarkan noda hitam di wajah.
    sikkahoder.blogspot
    BIO GLOKUL
    Khusus dari tanaman obat pilihan untuk penderita kencing manis (Diabetes) sehingga dapat membantu menstabilkan gula darah
    sikkahoder.blogspot


    ADVERTISE HERE Ads by Sikkahoder
    Body Whitening
    Mengandung vit C+E, AHA, Pelembab, SPF 30, Fragrance, n Solk Protein yang memutihkan kulit secara bertahap dan PERMANEN!!
    Sikkahoder.blogspot
    PENYEDOT KOMEDO
    Dengan alat ini, tidak perlu lg memencet hidung, atau bagian wajah lainnya untuk mengeluarkan komedo.
    Sikkahoder.blogspot
    Obat Keputihan
    Crystal-X adalah produk dari bahan-bahan alami yang mengandung Sulfur, Antiseptik, Minyak Vinieill. Membersihkan alat reproduksi wanita hingga kedalam.
    Sikkahoder.blogspot
    DAWASIR
    Obat herbal yang diramu khusus bagi penderita Wasir (Ambeien), juga bermanfaat untuk melancarkan buang air besar dan mengurangi peradangan pada pembuluh darah anus
    Sikkahoder.blogspot
    TERMOMETER DIGITAL
    Termometer digital dengan suara Beep. Mudah digunakan, gampang dibaca dengan display LCD dan suara beep ketika selesai mendeteksi suhu.
    Sikkahoder.blogspot


    ADVERTISE HERE Ads by Sikkahoder