Artritis Reumatoid (AR)
PENDAHULUANArtritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini,etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti.
Rheumatoid arthritis (RA) atau (AR) adalah penyakit peradangan kronis yang ditandai dengan nyeri sendi bengkak, sendi dan kerusakan sendi sinovial, menyebabkan cacat yang parah dan kematian dini. Mengingat keberadaan autoantibodi, seperti faktor rheumatoid (RF) dan anti-citrullinated protein antibodi (ACPA) (diuji sebagai anti-cyclic peptida citrullinated), yang dapat mendahului manifestasi klinis RA oleh bertahun-tahun, maka RA dianggap sebagai penyakit autoimun. Autoimunitas dan peradangan sendi sistemik mendorong perkembangan destruktif dari penyakit. Namun, meskipun perubahan struktural, yang dapat divisualisasikan oleh radiografi konvensional atau teknik pencitraan lainnya, paling membedakan RA dari gangguan rematik lainnya, kerusakan sendi jarang terlihat dalam tahap sangat awal dari penyakit, melainkan terakumulasi secara konsisten dari waktu ke waktu.
Berbeda dengan osteoartritis, dimana kelainan utamanya dimulai dan proses degenerasi pada rawan sendi, maka pada artritis reumatoid dimulai dengan radang pada sinovia (sinovitis) disusul oleh proses kerusakan sendi yang disebabkan oleb 2 hal yaitu :
- Akibat proses inflamasi sinovia, akan dikeluarkan komponen destruktif kedalam cairan sinovia yang akan merusak rawan sendi.
- Kerusakan pada rawan sendi akibat proliferasi dan jaringan granulasi yang disebut pannus.
PATOFISIOLOGI ATAU PROSES TERJADINYA ARTRITIS REMATOID (AR)
Rheumatoid arthritis atau artritis rematoid adalah suatu penyakit sistemik kronis dengan etiologi yang tidak diketahui. Karakteristik dari rheumatoid arthritis adalah adanya suatu peradangan sendi synovial, keterlibatan sendi yang simetris. Tanda khas dari penyakit ini adalah adanya peradangan sendi synovial yang menyebabkan kerusakan dari tulang rawan dan erosi tulang, dimana hal ini berakibat pada perubahan integritas sendi.
Proses inflamasi pada celah sendi synovial dan cairan persendian menyebabkan gejala nyeri pada sendi dan pembengkakan. Hal ini merupakan akibat dari pelepasan prostaglandin dan leukotrien dari sel polymorphonuclear. Penghancuran tulang rawan dan tulang disebabkan oleh adanya inflammatory proteinases dan prostanoids yang diaktifkan oleh limfosit dan monosit
Dipercayai bahwa sel T adalah pencetus dalam proses pathogenesis rheumatoid arthritis. Adanya interaksi antara sel T dan dendritic sel pada kelenjar limfe akan mengaktifasi lebih jauh sel T dan menyebabkan peningkatan populasi sel T dan kemudian akan mengaktifkan sel B. Sel T kemudian bermigrasi menuju jaringan synovial, lebih lanjut lagi peningkatan sel T dan aktifasi sel B akan menghasilkan antibody seperti rheumatoid factor dan anticyclic citrullinated peptide (CCP) antibody.
Aktifasi sel T menstimulasi monosit, makrofag dan syinovial fibroblas untuk memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF-α. Produksi interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) oleh monosit
merupakan proses sentral dalam peradangan. Dalam kenyataannya, IL-1 bertanggung jawan dalam menstimulasi pelepasan prostaglandin E 2(PGE2), sedangkan TNF-α merupakan kunci dalam proses pengaktifan matriks proteinase. Jaringan synovial yang terprolifikasi setelah diaktifkan selanjutnya akan menginvasi struktur tulang rawan dan tulang dan kemudian bersifat sebagai tumor invasive local. Sitokin seperti IL-6,terinduksi oleh IL-1 dan TNF- α, sedangkan IL -1 sendiri berperan dalam fitur-fitur sistemik antara lain demam, nyeri otot, dan penurunan berat badan.
Pada rheumatoid arthritis terjadi penumpukan dari IL-1 pada permukaan dinding sendi synovial. Karena potensinya sebagai mediator kerusakan sendi, IL-1 menjadi bagian dalam terjadinya rheumatoid arthritis. IL-1 adalah sitokin yang memiliki aktifitasi imunologis dan pro-inflamasi dan memiliki kemampuan untuk menginduksi dirinya secara otomatis.
|
|
Didapatkan kenyataan bahwa tingkat aktifitas penyakit dalam rheumatoid arthritis dan kerusakan sendi yang progresif berhubungan dengan kadar IL-1 dalam plasma dan cairan snovial. IL-1 menstimulasi PGE2 dan nitiric oxide dan matrix metalloprotease dimana kemudian mengkibatkan degradasi sendi.
|
GEJALA KLINIS
Gambaran klinik artritis reumatoid sangat bervariasi tergantung dari saat kita memeriksa penderita. Variasi sangat luas, mulai dari gejala klinik yang ringan sampai ke tingkat yang sangat berat dimana penderita dalam keadaan cacat dan tidak lagi mampu untuk bergerak. Stadium awal biasanya ditandai dengan gangguan keadaan umum berupa malaise, penurunan berat badan, rasa capek, sedikit demam dan anemia. Gejala lokal yang berupa pembengkakan, nyeri dan gangguan gerak pada sendi metakarpofaligeal.
Perjalanan penyakit juga sangat bervariasi ada penderita yang dalam waktu singkat menderita penyakit yang berat, tetapi ada pula penderita yang menderita sejak puluhan tahun tetapi tidak menderita cacat yang berat. Pada sebagian besar penderita maka awal penyakit berlangsung secara bertahap selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, disertai dengan gejala kelemahan dan kelelahan dan nyeri pada otot dan tulang.
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis (terjadi pada beberapa sendi) yang mengakibatkan kerusakan rawan sendi dan tulang di sekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Pada kasus AR yang jelas, diagnosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi jelas, sehingga kadang-kadang timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis.
Walaupun demikian, seorang dokter tidak perlu terlalu cepat menegakkan diagnosis pasti; lebih baik menunda diagnosis AR selama beberapa bulan dari pada gagal mendiagnosis jenis artritis lain yang seringkali memberikan gejala serupa. Pada penderita harus diberi tahukan bahwa makin lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman, umumnya akan makin baik pula prognosis AR yang dideritanya.
Gejala pada sendi meliputi:
- Poliartritis yang nyata pada sendi tertentu yang akan mengalami pembengkakan, nyeri, panas dan kemerahan, serta gangguan fungsi.
- Simetris, sendi sisi kiri dan kanan terserang serentak atau berturut-turut.
- Sendi yang terserang ialah : tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, panggul, lutut, pergelangan kaki, kaki dan vertebra cervical, temporomandibular dan sendi cricoaritenoid. Sendi tangan yang terserang ialah sendi carpalis, sendi metakarpofalangeal (MCP) dan sendi proksimal interfalang (PIP), sedangkan yang tidak pernah terserang ialah sendi distal interfalang (DIP). Tidak terserangnya sendi DIP ini penting untuk membedakan dengan artritis lainnya (misalnya terhadap osteoartritis).
- Kaku pagi (morning stiffness) merupakan ciri khas dan penyakit ini, biasanya berlangsung panjang (lebih dari 1 jam). Makin berat penyakit makin bertambah panjang pula waktu kaku pagi. Setelah masa istirahat lama seperti tidur atau duduk lama selalu diikuti dengan kaku sendi.
- Deformitas sendi yang khas dapat ditemukan pada berbagai sendi.
- AR pada Tangan
- Gejala awal yang khas dan AR pada tangan ialah pembengkakan sendi PIP yang membentuk gambaran fusiform atau spindle-shape. Keadaan ini kemudian diikuti dengan pembengkakan sendi metakarpofalangeal (MCP) yang simetrik. Proses peradangan yang lama akan menyebabkan kelemahan dari jaringan lunak disertai pula dengan subluksasi falang proksimal sehingga menyebabkan deviasi jari-jari tangan kearah ulnar (ulnar aeviation). Deviasi ulnar ini selalu disertai dengan deviasi radial dan sendi radiocarpalis, sehingga akan memberikan gambaran deformitas zig-zag .
- Pada kasus lanjut dapat terjadi deformitas leher angsa (swan-neck) , sebagai akibat kombinasi dan hiper ekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP. Kombinasi dari fleksi sendi PIP dan ekstensi sendi DIP akan menyebabkan deformitas boutonniere. Akibat dan semua ini akan mengakibatkan tangan tidak dapat berfungsi dengan sempurna.
- AR pada Pergelangan tangan
- AR hampir selalu menyerang pengelangan tangan, pada awalnya berupa sinovitis yang dapat diraba, dan pada keadaan lanjut terjadi deformitas sehingga gerakan dorsofleksi pergelangan tangan terbatas (kurang dan 180 derajat). Proliferasi sinovia kearah palmar akan menyebabkan penekanan pada nervus medianus sehingga mengakibatkan terjadinya sindrom carpal-tunnel, berupa parestesi pada aspek palmar ibujari, jari kedua dan ketiga dan aspek radial jari keempat.
- AR pada Siku
- AR siku menyebabkan pembengkakan dan kontraktur fleksi. Keadaan ini sering dijumpai dan menyebabkan kerusanan melakukan aktivitas sehari-hari.
- AR pada Bahu
- AR bahu biasanya terjadi pada tahap lanjut penyakit ini, akibatnya terjadi keterbatasan gerak dan rasa nyeri pada prosesus coracoid bagian bawah dan lateral.
- AR pada Cervikal
- AR cervical menyebabkan nyeri dan kaku tengkuk. Biasanya sendi yang terserang ialah Cl dan C2. Pada keadaan lanjut dapat terjadi subluksasi atlanto-oksipital yang mengakibatkan penekanan pada syaraf spinal dan menyebabkan gangguan neurologik.
- AR Panggul
- Gejala AR panggul yang dapat dilihat ialah gangguan jalan dan keterbatasan gerakan sendi, sedangkan pembengkakan dan nyeri sendi sulit diobservasi, penderita hanya merasa tidak enak di lipat paha yang menjalar ke pantat, pinggang bawah dan lutut.
- AR Lutut
- Gejala yang sering terlihat ialah hipertrofi sinovia dan efusi sendi.
- AR Pergelangan kaki dan kaki
- AR didaerah ini memberikan gambaran yang tidak berbeda dengan AR tangan. Subluksasi dari ibu jari kaki menyebabkan terjadinya deformitas hammer toe. Disertai dengan deformitas lainnya akan menyebabkan kesukaran dalam menggunakan sepatu normal, sehingga diperlukan sepatu khusus.
- Kulit : nodul subkutan (merupakan tanda patognomonik yang khas ditemukan pada 25% dari penderita arthritisrheumatoid) , vaskulitis
- Jantung : fibrosis penikard, nodus reumatoid di miokand dan katup jantung.
- Paru : nodul reumatoid di pleura, efusi pleura, pneumonitis fibrosis interstitiel difusi
- Neurologik : mononeuritis, sindrom carpal-tunnel, kompresi medula spinalis.
- Mata : sindrom Sjogren.
- Sindrom Felty: splenomegali, limfadenopati, anemia, trombositopenia, dan neutropenia.
KRITERIA DIAGNOSIS AR (ARTHITIS REMATOID)
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rurnit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi AR tersebut pada tahun 1958.
Dengan kriteria tahun 1958 ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari 1l kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya memenuhi 2 kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang pesat mengenai AR, ternyata banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat memasukkan jenis artritis lain seperti spondyloarthropathy seronegatif, penyakit pseudorheumatoid akibat deposit calcium pyrophosphate dihydrate, lupus eritematosus sistemik, polymyalgia rheumatica, penyakit Lyme dan berbagai jenis artritis lainya sebagai AR.
Kriteria diagnosis arthritis rheumatoid menurut American Rheumatism Assciation (ARA) pada tahun 1958 adalah :
| |
1.
|
Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari (morning stiffness)
|
2.
|
Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi
|
3.
|
Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada salahsatu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
|
4.
|
Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi
|
5.
|
Pembengkakan sendi yang bersifat simetris
|
6.
|
Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah ekstensor
|
7.
|
Gambaran foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid
|
8.
|
Uji aglutinasi faktor rheumatoid
|
9.
|
Pengendapan cairan musin yang jelek
|
10.
|
Perubahan karakteristik histologik lapisan synovial
|
11.
|
Gambaran histologik yang khas pada nodul.
|
Berdasarkan kriteris tahun 1958 ini maka disebut:
- Klasik, bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu
- Definitif, bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu
- Kemungkinan rheumatoid, bila terdapat 3 kriteria dan sudah berlangsungsekurang-kurangnya 4 minggu.
|
Pembagian AR sebagai classic, definite, probable dan possible, secara klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari-hari, tidak perlu dibedakan penatalaksanaan AR classic dari AR definite. Selain itu seringkali penderita yang terdiagnosis sebagai penderita AR probable ternyata menderita jenis artritis yang lain.
Walaupun peranan faktor reumatoid dalam patogenesis AR belum diketahui dengan jelas, dahulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok penderita seropositif dari seronegatif. Akan tetapi faktanya, faktor reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit atau pembentukannya dapat ditekan oleh disease modifying antirheumatic drugs (DMARD). Selain itu spesifisitas faktor reumatoid ternyata tidak dapat diandalkan karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua kriteria tahun 1958 yang lain seperti analisis bekuan musin dan biopsi membran sinovial memerlukan prosedur invasif sehingga tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.
Dengan menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262 penderita AR dan 262 penderita kontrol, pada 1987 ARA berhasil merevisi kriteria klasifikasi reumatoid artritis dalam format yang baru. (Tabel 1)
Tabe1 1. 1987 Revised ARA. Criteria for Rheumatoid Arthritis
1. Kaku pagi hari
2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
3. Artritis persendian tangan
4. Artritis simetris
5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
|
Kesimpulan: Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang- kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.
|
Berdasarkan kriteria 1987 yang di revisi, ternyata masih juga terdapat kesalahan diagnosis AR, oleh karena itu American College of Rheumatology (ACR) pada 2010 mengumumkan rilis revisi hasil terbaru dari kriteria klasifikasi untuk rheumatoid arthritis, yang akan memungkinkan studi pengobatan untuk AR pada tahap awal sehingga dapat mencegah kerusakan sendi yang lebih parah. Pada tahun 2010, diperkenalkan 2010 ACR / EULAR Rheumatoid Arthritis ClasificationCriteria.
Dibagi menjadi 4 domain:
- Domain Keterlibatan Sendi:
- 1 sendi sedang dan besar (0 poin)
- 2-10 sendi sedang dan besar (1 poin)
- 1-3 sendi kecil (2 poin)
- 4-10 sendi kecil (3 poin)
- Lebih dari 10 sendi kecil (5 poin)
- Domain Serology
- Negative pada rheumatoid factor ataupun Anti-citrullinated proteinantibody (0 poin)
- Paling sedikit satu dari dua test diatas postitif pada titer rendah (lebih daribatas atas nilai normal tetapi tidak sampai 3 kali dari nilai atas normal) (2poin)
- Paling sedikit satu dari dua test positif dengan titer tinggi (lebih dari 3kali dari nilai normal) (3 poin)
- Domain Durasi dari sinovitis
- Kurang dari 6 minggu (0 poin)
- 6 minggu atau lebih (1 poin)
- Domain Acute phase reactans
- Baik C-reactive protein maupun LED dalam batas normal (0 poin)
- Abnormal CRP atau abnormal LED (1 poin)
|
- Kelas I: pasien dapat melakukan semua aktifitas hariannya tanpa keterbatasan.
- Kelas II: pasien dapat melakukan aktifitas normalnya meskipun terdapat keterbatasan berupa ketidaknyamanan atau gerakan yang terbatas pada satu ataubeberapa sendi.
- Kelas III: pasien terbatas untuk melakukan beberapa aktifitas kesehariannya.
- Kelas IV: pasien tidak dapat melakuan kegiatan, memakai kursi roda, dan hanya dapat melakukan kegiatan keseharian yang terbatas atau tidak dapat melakukan kegiatan keseharian sama sekali.
KONSEP PENGOBATAN AR (ARTITIS REUMATOID)
Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis yang menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan, dan keterbatasan dalam gerakan dan fungsi beberapa sendi. Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan untuk :
- Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal rnaupun sistemik.
- Mencegah destruksi jaringan
- Mencegah deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
- Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara penderita dan keluarganya dengan dokter atau team pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar memelihara ketaatan penderita untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama
TREND PENGOBATAN AR SAAT INI
Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara para ahli penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang rnenggunakan “piramida terapeutik”. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk rnenggunakan pendekatan step down bridge dengan rnenggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD (Disease-modifying antirheumatic drugs) pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat terkontrol. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif hanya dapat dicapai bila pengobatan diberikan pada masa dini.
Pengobatan pada awal penyakit adalah dengan obat-obatan, meskipun fisioterapi danokupasional terapi dapat membantu. Agen farmakologis yang digunakan adalah NonSteroidal Anti Inflamatory Drugs, kortikosteroid, metrotrexate, dan agen biologis. Agenbiologis adalah rekombinan protein yang secara umum menyerang inflammatory sitokinseperti tumor nekroting factor. Diharapkan dengan agen ini dapat mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk pembedahan pada pasien, akan tetapi agen ini menghalangi sistem imun penderita dan dapat menyebabkan peningkatan resiko infeksi pada pasien yang meminumnya. Metode pengobatan yang diberikan meliputi:
- Dukungan psikologis bagi penderita
- Istirahat dan pengobatan konstitusional
- Pemberian obat-obatan yang terdiri atas:
- Obat-obat anti-inflamasi non-steroid
- Obat-obat kortikosteroid
- Garam-garam emas dan penisilamin
- Injeksi intra-artikuler dengan hidrokortison dapat dipertimbangkan
- Pemberian alat-alat bantu ortopedi, misalnya bidai
- Fisioterapi dan terpai okupasi
- Operasi dan rekonstruksi
- Bila kelainan terbatas pada sinovia, maka dilakukan sinovektomi dan bilaterjadi rupture tendo dilakukan penjahitan tendo
- Pada tingkat lanjut dimana terdapat kerusakan tulang dan tulang rawan,maka dilakukan osteotomi, artrodesis atau artroplasti tergantung tingkatkerusakannya.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umumnya diberikan pada penderita AR sejak masa dini, dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS bekerja dengan cara :
- Memungkinkan stabilitas membran lisosomal
- Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
- Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
- Menghambat proliferasi seluler
- Menetralisasi radikal oksigen
- Menekan rasa nyeri
Efek samping OAINS
- Semua OAINS secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas OAINS yang umum dijumpai adalah efek samping traktus gastrointestinalis terutama jika digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS.
- Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa suppositoria, “pro drugs”, “enteric coated”, “slow release” atau “non-acidic”. Akhir-akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
- Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan sistem hematopoetik.
- Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh di pasaran. Dalam memilih suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR, seorang dokter umumnya harus memperitmbangkan beberapa hal seperti
- Khasiat anti inflamasi
- Efek samping obat
- Kenyamanan/kepatuhan penderita
- Biaya
- Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam rnenggunakan OAINS
Pada dasarnya saat ini terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini
penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya menemukan bahwa 90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pada dua tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui.
Cara pendekatan lain adalah dengan rnenggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat-obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan.
Sebenarnya tidak terdapat batasan tegas mengenai saat harus mulai rnenggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini belum ada cara tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang rawan pada penderita AR. Dengan demikian, keputusan untuk rnenggunakan DMARD pada seorang penderita AR akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya.
Umumnya pada penderita yang diagnosisnya telah pasti, OAINS harus diberikan segera. Pada penderita yang tersangka menderita AR yang tidak menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu, DMARD dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah :
Klorokuin
- Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang amat terjangkau sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal eradikasi penyakit malaria. Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan.
- Banyak ahli yang berpendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya juga lebih rendah. Dari pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia diketahui bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi penyakitnya.
- Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam jangka panjang. Efek samping pada mata, sebenarnya hanya terjadi pada sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and Scherbel, pada penelitiannya telah dapat menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin pada retina bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular, nausea, diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa penderita.
- Sulfasalazine (SASP, salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Nana Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada mulanya obat ini digunakan untuk mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan karena infeksi, akan tetapi setelah digunakan beberapa waktu, perhatian terhadap obat ini menurun akibat dipublikasikannya laporan Sinclair dan Duthine mengenai pengaruh yang kurang baik pada penggunaan obat ini di Inggris. Obat ini kemudian kembali menjadi populer setelah dipublikasikannya laporan McConkey Bira dan kawan-kawan yang meneliti kembali khasiat SASP pada penderita AR dengan metodologi penelitian yang lebih baik.
- Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg/hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g/hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang dikehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.
- Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena mengalami nausea, muntah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat seperti pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan pansitopenia yang reversibel telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi kurang lebih pada 1% sampai 5% dari penderita yang menggunakan SASP. Penurunan jumlah sel spermatozoa yang reversibel juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah dilaporkan adanya peningkatan abnormalitas foetus.
- D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuh puluhan. Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekuat, dan rentang waktu ini dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita AR.
- Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
- Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbiliformis akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan trombositopenia, lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan proteinuria ringan yang reversibel sampai pada sindrom nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat timbul adalah lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan alopesia.
- Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu gold standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi, walaupun seringkali menyertakan efek samping dari yang ringan sampai yang cukup berat.
- AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan kedua 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu, dosis penuh diberikan sebesar 50 mg/minggu selama 20 minggu. Jika respons penderita belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat tercapai.
- Efek samping AST antara lain adalah pruritus stomantis, proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada pengemban HLA-DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan untuk sementara, AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.
- Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak awal dekade yang lalu dan dianggap sampai sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST.
- Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal penggunaan auranofin, banyak penderita yang mengalami diare, yang dapat diatasi dengan menurunkan dosis pemeliharaan yang digunakan.
- Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif lebih pendek (3-4 bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain.
- Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis thymidine sehingga menyebabkan hambatan pada sintesis DNA dan proliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum diketahui dengan pasti.
- Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg, (5 mg untuk orang tua) setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar penderita sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan, dosis MTX harus ditingkatkan.
- Efek samping MTX dosis rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang dijumpai, dapat timbul berupa kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomantis, intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah dengan tidak rnenggunakan MTX pada penderita AR yang obese diabetik, peminum alkohol atau penderita yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati.
- Pada penderita yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Leucovorin diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/ml luas permukaan badan setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek samping MTX yang dapat membahayakan penderita.
- Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR yang progresif dan gagal di kontrol dengan DMARD standard lainnya.
- Cyclosporin - A (CS-A), adalah suatu undecapeptida siklik yang di isolasi dari jamur Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR. Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progrestivitas erosi dari kerusakan sendi. Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kraatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingiva, hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.
- Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobtan AR adalah 2,5 mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan sebesar 15% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4 mg/KgBB/hari sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74-150 mg/ml atau jika kadar kreatinin serum meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal. Dosis pemeliharaan rata-rata berkisar antara 4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam beberapa outcome yang diukur.
- Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun tidak menimbulkan perubahan yang bermakna pada kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian ini akan sangat berguna mengurangi keluhan penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.
- Menurut Sones, Operasi pada rheumatoid arthritis harus memenuhi satu atau lebih dari tujuan berikut: meredakan nyeri, mencegah kerusakan kartilago atau tendon, atau memperbaiki fungus sendi dengan meningkatkan atau menurunkan pergerakan, memperbaiki deformitas, meningkatkan stabilitas, memperbaiki kekuatan otot yang efektif, atau kombinasi dari yang disebut diatas.
- Synovectomy telah menjadi peran penting dalam pengobatan rheumatoid arthritis dalam beberapa tahun. Indikasinya sebagian besar untuk nyeri pada pasien dengan kerusakan structural yang minimal pada sendi yang sulit disembukan dengan agen farmakologis. Synovectomy terbuka mulai jarang dilakukan karena arthrosopic synovectomy mulai dikenal, teruama pada sendi lutut. Dengan teknik total joint arthroplasty, terapi operatif untuk pengobatan rheumatoid arthritis pada orang dewasa menjadi berkembang. Pada pasien dengan kerusakan kartilago dan tulang subchondral sedang sampai berat, total joint arthroplasty dapat meredakan nyeri dan memperbaiki fungsi pada kebanyakan sendi.