BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sepsis neonatorum
sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pelayanan dan perawatan
neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terdapat 5 juta
kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam
28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian
tersebut berasal dari negara berkembang. Secara khusus angka kematian neonatus
di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup. Dalam laporan WHO yang
dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data tahun 2000-2003)
dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh penyakit infeksi,
diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan 23% kasus
disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus
disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, serta 7% kasus
oleh sebab lain. Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk penyakit infeksi
pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan
sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus
sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena
banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan
ditanggulangi. Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat mencapai
50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.14
Angka kejadian/insidens
sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-18 per 1000 kelahiran hidup
dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di negara maju angka kejadian
sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian
10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang diperoleh dari
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari-September 2005, angka
kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%.15
Seringkali sepsis
merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya yang terjadi pada bayi
maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada bayi dengan asfiksia
dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong terjadinya
infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah pada ibu,
misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain. berisiko
terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan
terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan kerusakan
otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan juga kerusakan
organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati, dan
lain-lain.
Masih tingginya angka
kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran hidup) mendorong Health
Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk melakukan kajian lebih lanjut
mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar rekomendasi bagi pembuat
kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara umum dan insidens sepsis
neonatorum secara khusus.
BAB II
SEPSIS NEONATORUM
2.1. Definisi
Sepsis bakterial pada
neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti
dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Dalam sepuluh tahun terakhir
terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya
menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis
adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari
infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi
multiorgan, dan akhirnya kematian.8
Sepsis adalah sindrom yang dikarakteristikan
oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat
berkembang ke arah septisemia dan syok septik.
Tabel
2.1 Kriteria SIRS8
Usia Neonatus
|
Suhu
|
Laju Nadi
Permenit
|
Laju Nafas
Permenit
|
Jumlah
Leukosit x 103/mm3
|
Usia
0-7 hari
|
>38,5°C
atau <36 o:p="">36>
|
>
180/<100 o:p="">100>
>50
>34
Usia 7-30 hari
>38,5°C
atau <36 o:p="">36>
>
180/<100 o:p="">100>
>40
>19,5
atau <5 o:p="">5>
Definisi SIRS pada
neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel. Salah satu di
antaranya adanya kelainan suhu atau leukosit.8
Tabel
2.2 Kriteria Infeksi, Sepsis, sepsis Berat, Syok Sepsis8
Kriteria
|
Definisi
|
Infeksi
|
Terbukti infeksi (proven
infection) bila ditemukan kuman penyebab, atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat
sindrom klinis (gejala klinis dan penunjang lain)
|
Sepsis
|
SIRS disertai infeksi yang terbukti
atau tersangka
|
Syok Sepsis
|
Sepsis dan disfungsi organ
kardiovaskular
|
2.2. Etiologi
Bakteri, virus, jamur, dan protozoa (jarang) dapat
menyebabkan sepsis pada neonatus. Penyebab paling sering dari sepsis pada mulai
– awal adalah streptokokus group B (SGB) dan bakteri enterik yang di dapat dari
saluran kelamin ibu. Sepsis mulai akhir dapat di sebabkan oleh SGB, virus herves
simplek, enterovirus dan E.coli. Pada bayi dengan berat badan lahir sangat
rendah, candida dan stapilokocus koagulasi-negatif (CONS), merupakan patogen
yang paling umum pada sepsis mulai-akhir.10
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya,
sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis
neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis
neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).2
Sepsis awitan dini (SAD)
merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang
dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero.
Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus
Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus
influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara
berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang
Gramnegatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus
per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.10
Sepsis awitan lambat
(SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari
lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21 Proses infeksi
pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka
mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara
maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida
albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang
didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella,
dan Pseudomonas aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan
klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.11
Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan
awitan dan sumber infeksi
Awitan < 72 > 72
Sumber
infeksi Jalan lahir Linkungan
(nasokomial)
Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson
M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.
Di negara berkembang
pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan
di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui apakah
berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL).
2 .4. Faktor Risiko
Terjadinya sepsis neonatorum
dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi dan lain-lain. Faktor risiko ibu:
1.
Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila
disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
2.
Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),
kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
3. Cairan ketuban hijau keruh dan
berbau.
4. Kehamilan multipel.
5. Persalinan dan kehamilan
kurang bulan.
6. Faktor sosial ekonomi dan gizi
ibu.13
Faktor
risiko pada bayi:
1. Prematuritas dan berat lahir
rendah.
2. Dirawat di Rumah Sakit.
3. Resusitasi pada
saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress dan trauma
pada proses persalinan.
4.
Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,
infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.
5.
Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,
atau asplenia.
6. Asfiksia
neonatorum.
7. Cacat bawaan.
8. Tanpa rawat
gabung.
9. Tidak diberi ASI.
10. Pemberian nutrisi
parenteral.
11. Perawatan di
bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
12. Perawatan di
bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.
13. Buruknya
kebersihan di NICU.12
Sepsis
Awitan Dini – Faktor Risiko
• Ketuban Pecah Dini >18 jam
• Korioamnionitis maternal(ibu demam 38C) cairan
ketuban berbau
• Asfiksia Antenatal atau Intra partum
• Infeksi saluran kemih ibu
• Persalinan prematur
Sepsis Awitan
Lambat – faktor risiko.
•
Prematuritas/BBLR.
•
Prosedur invasif - ventilator, alat infus, akses vena sentral, kateter urine,
pipa torakal.
•
Kontak dengan penyakit infeksi - dokter, perawat, bayi dengan infeksi.
•
Tidak diberi ASI.
• Buruknya kebersihan
di NICU.
2.5.
Patofisiologi
Selama dalam kandungan, janin relatif
aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh
seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi
pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat
timbul melalui berbagai jalan yaitu: 2
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita
ibu dapat mencapai janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan
masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema
pallidum atau Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan
faktor a/antisepsis misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi
khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur
dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi
kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang
berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini
kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman
melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman
pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih
dari 18-24 jam.