ASIDOSIS LAKTAT
PENDAHULUAN
Asam laktat merupakan zat perantara metabolik yang tidak toksik dan dapat diproduksi oleh semua sel. Banyaknya asam laktat yang terdapat di berbagai jaringan dan organ bervariasi tergantung pada keadaan hemodinamik maupun metabolik seseorang. Asam laktat darah juga telah lama dikenal sebagai indikator beratya penyakit dan sebagai prediktor prognosis.
Peningkatan kadar asam laktat dalam darah sering dihubungkan dengan defek pada metabolisme aerob, akibat hipoksia atau iskemia yang terjadi pada pasien syok, atau sebagai petunjuk pasien berada dalam keadaan gawat. Untuk kebutuhan energi, eritrosit dan sel anaerob memproduksi adenosinetriphosphate (ATP) melalui jalur glikolisis non oksidatif dengan melepas asam laktat. Melalui proses daur ulang, hati mensintesis glukosa dari asam laktat, dengan menggunakan ATP hasil oksidasi beta asam lemak bebas.
Hipoksia yang terjadi pada keadaan sepsis menyebabkan gangguan pada sistem metabolisme, kadar asam laktat darah akan meningkat dan ini dianggap sebagai akibat peningkatan produksi asam laktat perifer dan inhibisi metabolisme asam laktat di hati.
METABOLISME ASAM LAKTAT
Asam laktat merupakan produk sampingan dari proses akhir glikolisis, oleh karena itu asam laktat dapat diproduksi oleh semua sel. Produksi asam laktat kurang lebih 1400 mmol per harinya dan kadarnya dalam darah normal berkisar antara 0,4- 1,2 mmoL. Hati merupakan organ utama tempat metabolisme asam laktat, yaitu sekitar 40% dari asam laktat yang diproduksi dalam keadaan basal, sedangkan penggunaan lainnya oleh ginjal sebesar l0-30%. Stabilitas kadar asam laktat dalam keadaan basal merupakan gambaran keseimbangan antara produksi dan penggunaan asam laktat.
Meskipun hampir semua jaringan dapat memproduksi asam laktat; eritrosit, otot skelet, otak, dan medulla ginjal merupakan sumber utama asam laktat. Asam laklat dibentuk dari piruvat dalam sitosol oleh enzim dehidrogenase (LDH) yang terdapat di semua sel dalam konsentrasi yang tinggi. Sintesis asam laktat meningkat jika laju pembentukkan piruvat dalam sitosol melebihi laju penggunaan oleh mitokondria. Asam laktat merupakan suatu bentuk end product sehingga sebelum dapat memasuki suatu jalur reaksi metabolisme tertentu harus diubah dahulu menjadi piruvat kembali.
Reaksi ini akan menyebabkan proses oksidasi NADH menjadi NAD+ yang dibutuhkan untuk proses glikolisis.
Pada keadaan anaerob misal pada aktivitas fisik berat, dimana oksigen tidak mencukupi untuk mengoksidasi piruvat untuk membentuk AIP, NADH yang dihasilkan dari proses glikolisis tidak dapat direoksidasi karena kurangnya oksigen untuk membentuk NAD+ sehingga rangkaian proses glikolisis akan berhenti. Pada keadaan tersebut oksidasi glukosa oleh sel otot tidak dapat berlangsung sempurna, tapi bahkan dalam keadaan demikianpun sejumlah kecil energi tetap dapat dikeluarkan ke sel melalui proses awal glikolisis karena reaksi kimia pada pemecahan glukosa menjadi asam piruvat tidak memerlukan oksigen. Dalam keadaan darurat seperti ini, sel akan tergantung sepenuhnya pada reaksi pembentukkan asam laktat untuk memperoleh NAD+ yang harus dibentuk melalui reaksi lain yaitu dengan meminjam elektron dari NADH melalui perubahan piruvat menjadi asam laktat sesuai reaksi di atas.
Jadi pada keadaan anaerob, proses pembentukkan energi melalui metabolisme piruvat terhambat, oksidasi aerobik pada siklus asam sitrat terblokade dan piruvat akhirnya terkonversi menjadi asam laktat. Perubahan NADH menjadi NAD+ selama konversi piruvat menjadi asam laktat tadi menyebabkan proses glikolisis dapat berlangsung tanpa harus melalui oksidasi NADH oleh oksigen. Pada keadaan di atas jika kemudian oksigen perlahan kembali normal setelah otot diistirahatkan, NADH dan H+ serta asam piruvat ekstra yang telah dibentuk dengan cepat dioksidasi sehingga konsentrasi zat tersebut berkurang. Sebagai akibatnya reaksi kimia untuk pembentukkan asam lakiat berbalik, asam laktat kini diubah kembali menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis di hati.
Keseluruhan rangkaian proses mulai perubahan glukosa menjadi asam laktat di jaringan perifer dan asam laktat kembali diubah menjadi glukosa di hati dikenal sebagai siklus Cori. Pada keadaan normoksia (Gambar 2), kadar laktat yang dilepas oleh erihosit biasanya tidak tinggi dan laktat terutama didaur ulang di hati melalui proses glukoneogenesis. Pada organ lain seperi otot atau jantung, dalam keadaan normoksia substrat utama adalah glukosa yang akan dioksidasi menjadi CO2, dan hanya sebagian kecil akan dilepas sebagai laktat.
Pada keadaan hipoksia (Gambar 3), akan menyebabkan kadar laktat menjadi lebih tinggi akibat inhibisi laktat di hati. Di banyak tempat seperti di otot, kompetisi antara laktat dengan glukosa sebagai sumber karbohidrat untuk oksidasi akan didominasi oleh laktat. Keadaan ini memungkinkan glukosa dicadangkan untuk organ-organ yang penting seperti jantung.
Pada manusia telah dibuktikan bahwa hipoksia kronis akan menyebabkan peningkatan oksidasi glukosa di jantung, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan asam laktat adalah suatu kejadian yang memungkinkan oksidasi asam laktat atau glukosa sebagai substrat aerob sesuai dengan prioritas metabolisme pada pasien - pasien yang kritis.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa sulit untuk menentukan mekanisme peningkatan kadar asam laktat darah hanya dari pemeriksaan biokimiawi rutin. Kadar asam laktat yang tinggi dapat disebabkan peningkatan produksi asam laktat atau penurununan pemakaian asam laktat atau kedua-duanya sekaligus. Pemeriksaan asam laktat dan piruvat dapat memberikan estimasi defisit metabolisme oksidatif oleh karena rasio laktat piruvat menggambarkan akumulasi ekuivalen reduki NADH) dalam sel. Normal ratio L/P adalah 10 : l. Meskipun merupakan estimasi yang kasar, peningkatan rasio L/P menunjukkan gangguan oksidasi meskipun mungkin hanya terjadi pada gangguan oksidasi yang berat (kapasitas metabolisme tubuh terutama hati sangat tinggi untuk mempertahankan keadaan aerob).
DIAGNOSIS
Asidosis laktat adalah suatu keadaan asidosis metabolik dengan peningkatan asam laktat dan nilai anion gap.Pada pasien sakit berat, nilai asam laktat masih dianggap normaL sampai kurang dari 2 mmoL. Batasan peningkatan kadar asam laktat yang digunakan bervariasi diantara masing-masing peneliti antara 1,3 - 9,0 mmol/L sedangkan nilai pH bervariasi antara 7,37 - 7,20 namun kriteria manapun yang digunakan ternyata tetap didapatkan hubungan bermakna antara semakin tinggiya kadar asam laklat dalam darah dengan angka mortalitas pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Anion gap menggambarkan selisih antara nilai anion dan kation serum tak terukur dan bisa dihitung dengan rumus: Anion gap : Na - (Cl + HCo3.). Peningkatan niai anion gap sering terjadi akibat peningkatan anion tak terukur, misal akibat peningkatan anion organik seperti pada kasus asidosis laktat atau ketoasidosis dan nilai normalnya adalah sekitar 8 mM. Nilai anion gap yang meningkat disertai dengan penurunan pH serum lazim digunakan sebagai dasar diagnosis asidosis laktat meskipun pada prakteknya sering dijumpai keadaan dimana kadar asam laktat meningkat dalam serum namun tidak disertai dengan peningkatan nilai anion gap. Iberti dkk menunjukkan bahwa ternyata onion gap bukan merupakan parameter yang sensitif untuk menilai terjadinya asidosis laktat. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehta dkk. Nilai pH serum juga kurang sensitif untuk menilai keadaan asidosis laktat karena dalam beberapa kasus bisa didapatkan pH serum nomal pada pasien sakit berat, kemungkinan akibat kompensasi dari pernapasan atau pada saat bersamaan terjadi alkalosis metabolik.
Peningkatan asam laktat sering dihubungkan dengan defek pada metabolisme aerob akibat hipoperfusi dan hipoksia atau sebagai petunjuk terapi pasien dalam keadaan gawat. Walaupun demikian tidak semua asidosis laktat disertai hipoksia. Cohen dan Wood kemudian mengklasifikasikan asidosis laktat menjadi 2 kelas, yaitu tipe A yang umumnya disebabkan hipoksia dan tipe B yang bukan disebabkan hipoksia dan masih dibagi lagi menjadi tipe B1 yang disebabkan adanya penyakit dasar tertentu, B2 jika penyebabnya obat-obatan atau intoksikasi dan B3 jika penyebabnya gangguan metabolisme sejak lahir.
PENGUKURAN ASAM LAKTAT DARAH
Asam laktat darah telah lama diketahui sebagai indikator beratnya penyakit dan sebagai faktor prediktor prognosis. Asam laktat darah juga dapat digunakan sebagai monitor pengelolaan syok dan sebagai variabel prognosis pada berbagai keadaan akut dan kritis. Misalnya dengan memantau laklat darah pada pasien infark miokard akut dapat diprediksi pasien yang akan jatuh ke dalam syok kardiogenik. Pada sebagian besar pasien yang masuk ke ruang darurat, nilai laktat sangat sensitif dan prediktif untuk menilai angka mortalitas di rumah sakit.
Peretz dkk mendapatkan peningkatan angka kematian dari 18 % hngga 73% pada pasien sakit berat dengan nilai asam laktat lebih dari 4,4 mmol/L. Iberti dkk melakukan penelitian terhadap 56 pasien dewasa yang dirawat di ICU dengan kadar asam laktat lebih dari 2,5 mmol/L. Dari penelitian itu didapatkan bahwa peningkatan kadar asam laktat dalam darah tanpa memandang berat ringannya asidosis yang terjadi, berhubungan dengan prognosis pasien yang dirawat di ICU. Broder and Weil mendapatkan 89 % dari pasien syok dengan kadar laktat lebih dari 4 mmol/l meninggal dunia. Pengukuran laktat untuk memprediksi kemungkinan timbulnya syok sepsis maupun gagal organ multipel juga dinilai lebih baik dibanding dengan pengukuran variabel - variabel transpor oksigen.
Beberapa penulis mengatakan bahwa pemeriksaan kadar asam laktat secara serial selama pengobatan merupakan parameter yang lebih bermakna untuk menilai prognosis penyakit dibanding pemeriksaan kadar laktat non serial. Dengan memantau nilai laktat serial dapat dibedakan antara pasien yang prognosisnya baik atau buruk. Dari sebuah penelitian didapatkan bahwa pasien yang menderita syok ternyata prognosisnya lebih baik jika didapatkan penurunan kadar lakat (5-10 %) dalam 1 jam setelah mulainya pengobatan.
Tabel 1. Penyebab asidosis laktat (klasifikasi menurut kohen dan wood)
| ||||||||||||||||||||||||||||||
Type A
| ||||||||||||||||||||||||||||||
Type B, terdiri dari
|
ASIDOSIS LAKTAT PADA PASIEN SEPSIS
Hubungan antara perfusi jaringan dengan pH darah pertama kali dilaporkan oleh Cannon pada tahun 1918. Metabolisme oksidatif akan tertekan sebagai respon dari efek sitotoksik yang disebabkan oleh gangguan lintasan H+ di mitokondria-sitoplasma. Hal ini akan manyebabkan kebutuhan ATP tidak dapat dipenuhi melalui proses glikolisis dan menyebabkan terjadinya asidosis laktat. Berdasarkan logika di atas, seharusnya peningkatan kadar laktat akan berkurang sebanding dengan perbaikan oksigenasi selular. Namun dalam banyak kasus seringkali didapatkan kadar laktat yang tetap meningkat meskipun oksigenasi selular membaik. Defek produksi energi oksidatif memang menyebabkan peningkatan laktat namun hal sebaliknya belum tentu benar, yaitu peningkatan laktat tidak harus merupakan akibat dari defek proses energi oksidatif.
Saat ini asidosis laktat pada pasien sepsis diduga lebih banyak disebabkan oleh perubahan pada regulasi metabolisme dibanding akibat hipoksia jaringan. Gangguan pada enzim piruvat dehidrogenase dapat terjadi pada sepsis karena endotoksin menghambat enzim tersebut. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa peningkatan metabolisme aerob mungkin lebih penting daripada defek metabolisme atau metabolisme anaerob. Produksi serta oksidasi glukosa dan piruvat justru meningkat pada keadaan sepsis. Jika piruvat dehidrogenase distimulasi oleh dikloroasetat, konsumsi oksigen akan meningkat tetapi produksi glukosa dan piruvat akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa hiperlaktatemia pada sepsis terjadi akibat peningkatan metabolisme aerob.
ASIDOSIS LAKTAT KARENA OBAT
Biguanid
Metformin sudah digunakan lebih dari 40 tahun dalam pengobatan DM tipe II Walaupun demikian, terdapat kekhawatiran akan efek samping dari metformin yang dapat menyebabkan timbulnya asidosis laktat, dimana angka mortalitasnya dapat mencapai 50%.
Penyakit hati dan ginjal, alkoholisme, dan kondisi yang berkaitan dengan hipoksia (misalnya penyakit jantung dan paru, pembedahan) merupakan kontraindikasi penggunaan metformin. Faktor risiko lain asidosis laktat yang diinduksi oleh metformin adalah sepsis, dehidrasi, dosis tinggi dan usia tua. Asidosis laktat ihr mungkin disebabkan oleh pengaruh biguanid menyebabkan naiknya produksi dan penurunan klirens dari asam laktat yang mengakibatkan naiknya kadar laktat seluler. Potensial redoks inhaseluler akan beralih dari metabolisme aerobik ke anaerobik. Penurunan aktivitas piruvat karboksilase yang merupakan rate limiting enzyme pada pembentukan glukosa dari laktat dapat juga menurunkan metabolisme laktat di hati.
Pada tahun 1998 Brown dkk membandingkan angka insidens dari asidosis laktat sebelum dan sesudah beredarnya Metfonnin di Amerika Serikat, mereka menemukan tidak ada perbedaan insidens. Sebelum adanya metformin, insidensnya sebesar 9,7-16,9 per 100.000. Pada suatu meta analisis oleh Salpeter, insidens asidosis laktat pada pasien DM tipe II yang menggunakan metformin sebesar 9,9 per 100.000, sedangkan yang tidak menggunakan metformin sebesar 8,1 per 100.000. Sepertinya memang tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara insindens asidosis laktat pada pengguna Metformin dengan insidens pada pasien dengan DM tipe II. Hal ini menunjukkan bahwa DM merupakan fakor risiko untuk terjadinya asidosis laktat, bukan penggunaan metformin.
Sementara itu pada penelitian lain ditemukan bahwa kadar plasma metformin tidak berhubungan dengan kadar asam laktat dalam darah. Temuan ini tentunya semakin mempertanyakan hubungan kausal antara penggunaan metformin dan asidosis laktat.
Etanol
Penyebab penting dari asidosis laktat tipe B adalah intoksikasi etanol. Metabolisme etanol akan-mengasilkan NADH dan akan mengakibatkan konversi dari piruvat menjadi laktat (Gambar 4). Keadaan ini biasanya ringan dan tidak membutuhkan pengobatan.
KESIMPULAN
Asidosis laktat terjadi akibat peningkatan kadar asam laktat darah, yang disebabkan gangguan perfusi dan hipoksemia. Dalam keadaan normoksemia asidosis laktat dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti biguanid dan etanol. Tingginya kadar asam laktat dapat dipakai sebagai prediktor kegagalan metabolisme karbohidrat dan berat penyakit/kematian.
REFERENSI