DIABETES MELITUS
EPIDEMIOLOGI DIABETES MELITUS
Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan mortalitas pada beberapa golongan penduduk dan menghubungkannya dengan faktor sosioekonomi serta demografi masyarakat masing-masing.
Dikenal 3 periode dalam transisi epidemiologis. Hal tersebut terjadi tidak saja di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain yang sedang berkembang.
- Periode 1. Era pestilence dan kelaparan. Dengan kedatangan orang-orang barat ke Asia pada akhir abad ke 15, datang pula penyakit-penyakit menular seperti pes, kolera, influenza, tuberkulosis dan penyakit kelamin, yang meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi-bayi rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah pada waktu itu.
- Periode II. Pandemi berkurang pada akhir abad ke 19. Dengan perbaikan gizi, higiene serta sanitasi, penyakit menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata-rata harapan hidup pada waktu lahir meningkat dan jumlah penduduk seperti di pulau Jawa nampak bertambah.
- Periode III. Periode ini merupakan era penyakit degeneratif dan pencemaran. Karena komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat, penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus meningkat. Tetapi apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat kehidupan tradisionai, seperti di daerah pedesaan penyakit-penyakit tersebut umumnya jarang ditemukan.
Dari penelitian Zimmet ( 1978) dapat dilihat bahwa beberapa golongan etnik mempunyai semacam proteksi terhadap efek buruk pengaruh barat, antara lain bangsa Melanesia dan Eskimo. Di samudera Pasifik, diabetes melitus sangat jarang terdapat pada orang Polinesia yang masih melakukan gaya hidup tradisional, beda dengan daerah urban seperti Mikronesia, Guam, Nauru dan negara-negara Polinesia seperti Tonga, Hawai, Tahiti, di mana jumlah pasien diabetes sangat tinggi. Begitu pula banyak penelitian yang menunjukkan adanya kenaikan prevalensi diabetes pada penduduk emigran seperti pada orang Yahudi yang berasal dari Yaman dan pindah ke Israel, masyarakat india di Afrika Selatan, orang indian di Amerika Serikat dan penduduk asli di Australia yang berimigrasi ke daerah perkotaan.
Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di lndonesia mengalami pergeseren yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, meskipun diakui bahwa angka penyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan timbulnya penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS, juga angka kesakitan TBC yang tampaknya masih tinggi.dan akhir-akhir ini flu burung, demam berdarah dengue (DBD), antraks dan polio melanda negara kita yang kita cintai ini. Di lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, di antaranya diabetes meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit ini diduga ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran, ke pola makan ke barat-baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanah siap santap yang akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda.
Di samping itu cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, apalagi bagi para eksekutif hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan menu makanan barat yang 'aduhai'. Pola hidup berisiko seperti inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes, hiperlipidemia.
Menarik sekali apa yang dimuat dalam majalah Fortune edisi bulan Juni 1991 yang menganalisis perkembangan ekonomi di Asia. Dikatakan bahwa perkembangan ekonomi di kawasan ini sangat menggembirakan. Yang aneh tetapi nyata adalah di antara parameter untuk mengukur kemajuan ekonomi itu adalah jumlah restoran McDonald. Di Thailand ada 6 buah, di Malaysia 23 buah, di Singapura 37 buah, di Filippina 34 buah dan di Jepang 809 buah dan dua negara yang mempunyai hanya 1 buah restoran McDonald yaitu lndonesia dan Cina. Pada tahun 1996 hanya dalam waktu 5 tahun saja di Indonesia sudah ada 40 gerai. 33 di antaranya berada di Jakarta. Data terakhir tahun 2006 jumlah restoran McDoanld di Indonesia sudah mencapai 120 gerai. Akibat lain dari cara hidup berisiko ini adalah biaya kesehatan menjadi sangat mahal. Sebagai contoh, dapat dikemukakan angka-angka di bawah ini1. Di Massachussetts AS, seorang laki-Iaki berumur 80 tahun dirawat karena sakit jantung. Biaya perawatannya mencapai 800.000 dollar. Masyarakat AS memang mulai gelisah menghadapi biaya kesehatan yang makin membengkak ini. Anggaran biaya kesehatan tahun 1991 di negara ini mencapai 671 miliar dollar (12 % GNP AS). Anehnya adalah, meskipun sudah sedemikian besamya biaya yang dikeluarkan, taraf kesehatan mereka tetap tidak lebih baik daripada negara maju lain, seperti Kanada, Inggris, Jerman, Swedia dan Jepang. Keadaan ini dapat dilihat pada angka kematian bayi (tiap 1000 kelahiran) misalnya di AS 10,4, jauh lebih tinggi daripada di Kanada 7,3, hggris 7,3, Jerman 5,6, Swedia 5,9 dan Jepang 4,5. Begitu juga dengan usia harapan hidup di AS baru mencapai 75,6 tahun, sedangkan di Kanada 79,2 tahun, Inggris 76,3 tahun, Jerman 77,2 tahun, Swedia 77,7 tahun dan jepang 79,3 tahun. ironisnya adalah bahwa biaya kesehatan di negara-negara itu jauh lebih murah.
Diakui bahwa perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah banyak menyelamatkan nyawa manusia. Penyakit-penyakit yang selama ini tidak terdiagnosis dan terobati sekarang sudah banyak yang teratasi. Tetapi untuk memperbaiki taraf kesehatan secara global tidak dapat mengandalkan hanya pada tindakan kuratif, karena penyakit-penyakit yang memerlukan biaya mahal itu sebagian besar dapat dicegah dengan pola hidup sehat dan menjauhi pola hidup berisiko. Artinya para pengambil kebijakan harus mempertimbangkan untuk mengalokasikan dana kesehatan yang lebih menekankan kepada segi preventif daripada kuratif. Rupanya inilah keunggulan negara-negara maju di luar AS yang tadi disebut.
DIABETES MELITUS DI MASA DATANG
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun bejum1ah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang. Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang tidak pemah mendapat perhatian para ahli diabetes di negara-negara barat sampai dengan Kongres International Diabetes Federation (IDF) ke IX tahun 1973 di Brussel. Baru pada tahun 1976, ketika kongres IDF di New Delhi India, diadakan acara khusus yang membahas diabetes melitus di daerah tropis. Setelah itu banyak sekali penelitian yang dilakukan di negara berkembang dan data terakhir dari WHO menunjukkan justru peningkatan tertinggi jumlah pasien diabetes malah di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia (Gambar1)
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. Data epidemiologis di negara berkembang memang masih belum banyak. Oleh karena itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.
DIABETES MELITUS TIPE 2
Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antan 3-6 % dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makmur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifrk, Indian Pima di AS, orang Meksiko yang ada di AS, bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di Mauritius, Singapura dan Taiwan.
Tentang baku emas yang tadi dibicarakan, sebenarnya juga ada kekecualiannya, misalnya suatu penelitian di Wadena AS, mendapatkan bahwa prevalensi pada orang kulit putih sangat tinggi dibandingkan dengan baku emas tadi (Eropa) yaitu sebesar 23,2% untuk semua gangguan toleransi, terdiri dari 15,1 % TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) dan 8,I % DM Tipe 2. Dengan kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa faktor lingkungan sangat berperan. Hal ini dapat dilihat pada studi Wadena tadi bahwa secara genetik mereka sama-sama kulit putih, tetapi di Eropa prevalensinya lebih rendah. Di sini jelas karena orang-orang di Wadena lebih gemuk dan hidupnya lebih santai. Hal ini akan berlaku bagi bangsa-bangsa lain, tenrtama di negara yang tergolong sangat berkembang seperti Singapura, Korea dan barangkali Indonesia.
Contoh lain yang baik bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh adalah di Mauritius, suatu negara kepulauan, yang penduduknya terdiri dari berbagai kelompok etnik. Pada suatu penelitian epidemiologi yang dilakukan di sana dengan jumlah responden sebanyak 5080 orang, didapatkan prevalensi TGT dan DMTT1 seperti tertera pada tabel 3. Dari tabel tersebut tampak bahwa pada bangsa-bangsa lndia, Cina dan Creole (campuran Afrika, Eropa dan lndia) prevalensi DM jauh lebih tinggi dari baku emas, padahal di negara asalnya prevalensi DM sangat rendah. Perlu diketahui bahwa keadaan ekonomi di Mauritius untuk golongan etnik tadijauh lebih baik dibanding dengan di negara asalnya. Dari data ini semua dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan kemakmuran suatu bangsa merupakan faktor kuat yang akan meningkatkan kekerapan diabetes. Keadaan ini tentu saja harus diantisipasi oleh pembuat kebijaksanaan di tiap negara berkembang supaya dalam menentukan rencana jangka panjang kebijakan pelayanan kesehatan di negaranya, masalah ini harus dipertimbangkan.
Tabel 1 Prevelensi TGT dan diabetes melitus type 2 di Mauritus
| ||
Kelompok etnik
|
TGT
|
DM type 2
|
India hindu
|
16,2
|
12,4
|
India muslim
|
15,3
|
13,3
|
Creole
|
17,5
|
10,4
|
Cina
|
16,6
|
11,9
|
DM TIPE 2 DI INDONESIA
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6% (Gambar 2). Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% di daerah rural.
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69%, sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Ha1 ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43 % di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.
Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan pevalensi DM Tipe 2 sebesar l4.7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12.5%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis. Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO seperti tampak pada tabel2, Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025,naik 2 tingkat dibanding tahun 1995. Untuk dapat meramal keadaan diabetes di masa datang ada baiknya kita menyimak sedikit apa yang dilakukan oleh ahli-ahli demografi di Indonesia.
Ananta menyatakan bahwa revolusi demografi di Indonesia adalah salah satu contoh di mana perubahan demografik tidak perlu menunggu perubahan sosioekonomi. Intervensi pemerintah secara langsung dalam memperbaiki angka fertilitas dan mortalitas jelas mempercepat proses transisi demografi. Angka kematian bayi menurun dan usia harapan hidup orang Indonesia makin panjang. Piramida penduduk akan mengalami perubahan dari yang berbentuk kerucut (ekspansif) menjadi lebih berbentuk panjang, mendekati stasioner di mana penduduk usia dewasa dan lanjut usia lebih banyak dari pada keadaan tahun 1990. Dari segi diabetes hal ini sangat menarik karena seperti tadi sudah dikatakan bahwa umumnya DM Tipe 2 timbul setelah dekade 4. Ini berarti bila nanti pada tahun 2020 menjadi kenyataan jumlah pengidap diabetes akan mengalami ledakan yang luar biasa besarnya.
Tabel 2. Urutan 10 negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak pada penduduk dewasa di seluruh dunia 1995 sampai 2025
| |||||
Urutan
|
Negara
|
1995 (juta)
|
Urutan
|
Negara
|
2025 (juta)
|
1
|
India
|
19,4
|
1
|
India
|
57,2
|
2
|
Cina
|
16,0
|
2
|
Cina
|
37,6
|
3
|
Amerika serikat
|
13,9
|
3
|
Amerika serikat
|
21,9
|
4
|
Federasi rusia
|
8,9
|
4
|
Pakistan
|
14,5
|
5
|
Jepang
|
6,3
|
5
|
Indonesia
|
12,4
|
6
|
Brasil
|
4,9
|
6
|
Federasi rusia
|
12,2
|
7
|
Indonesia
|
4,5
|
7
|
Meksiko
|
11,7
|
8
|
Pakistan
|
4,3
|
8
|
Brasil
|
11,6
|
9
|
Meksiko
|
3,8
|
9
|
Mesir
|
8,8
|
10
|
Ukraina
|
3,6
|
10
|
Jepang
|
8,5
|
Semua negara
|
49,7
|
103,6
| |||
Lain-lain
| |||||
Jumlah
|
135,3
|
300
|
Kenaikan ini sungguh sangat besar dibandingkan kenaikan seluruh penduduk dari 180,383,697 orang menjadi 253,667,565 orang atau kenaikan hanya sebesar 40,6%. Selain itu penduduk perkotaan yang pada tahun 1990 berjumlah 51,932,467 orang atau 28,79% daripenduduk, pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 132,465,221 orang atau 52,2% dari semua penduduk. Hal lain yang menarik adalah jumlah usia lanjut. Penduduk 65 tahun akan bertambah dari 7,1 juta pada tahun 1990 menjadi 18,5 juta pada tahun 2020. Jadi selama 30 tahun itu jumlah penduduk dengan usia lanjut akan bertambah sebanyak 11,4 juta yang menurut Aranta jumlah itu sama dengan jumlah penduduk Jakarta ditambah penduduk Yogya saat ini. Kekerapan diabetes pada usia lanjut jauh lebih tinggi lagi bisa 4 kali lipat dari rata-rata.
Dari angka-angka tadi dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%, yang disebabkan oleh karena:
• Faktor demografi:
o Jumlah penduduk meningkat;
o Penduduk usia lanjut bertambah banyak;
o Urbanisasi makin tak terkendali
o Gaya hidup yang ke barat-baratan:
o Penghasilan per capita tinggi;
o Restoran siap santap;
o Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan
o Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
o Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.
DM TIPE LAIN
Salah satu jenis ini adalah Diabetes Melitus Tipe Lain. Jenis ini sering ditemukan di daerah tropis dan negara berkembang. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanya malnutirisi disertai kekurangan protein yang nyata. Diduga zat sianida yang terdapat pada cassava atau singkong yang menjadi sumber karbohidrat di beberapa kawasan di Asia dan Afrika berperan dalam patogenesisnya. Di Jawa Timur sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi diabetes di pedesaan adalah l,47% sama dengan di perkotaan (1,43%). Sebesar 21,2% dari kasus diabetes di pedesaan adalah jenis ini. Diabetes jenis ini di masa datang masih akan banyak, mengingat jumlah penduduk yang masih berada di bawah kemiskinan yang masih tinggi. Dulu jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), tetapi oleh karena patogenesis jenis ini tidak jelas maka jenis ini pada klasifikasi terakhir (1999) tidak lagi disebut sebagai MRDM tetapi disebut Diabetes Tipe Lain.
Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. lni meliputi 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar. Adam mendapatkan prevalensi diabetes gestasi sebesar 2-2,6% dari wanita hamil. Karena pentingnya, masalah ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab tersendiri.
PENCEGAHAN DIABETES MELITUS
Mengingat jumlah pasien yang akan membengkak dan besarnya biaya perawatan pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang paling baik adalah pencegahan.
Menurut WHO tahun 1994, npaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap yaitu:
- Pencegahan primer : Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
- Pencegahan sekunder : Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel
- Pencegahan tersier. Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi:
- Mencegah timbulnya komplikasi
- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ
- Mencegah kecacatan tubuh
Dalam hal ini Indonesia cukup beruntung karena sejak tahun 1993 PERKENI telah menyusun dan memberlakukan konsensus pengelolaan diabetes di Indonesia yang ditandatangani oleh seluruh ahli di bidang diabetes. Di dalam buku konsensus itu sudah dicanangkan bahwa pencegahan adalah upaya yang harus dilaksanakan sejak dini. Mengenai pencegahan ini ada sedikit perbedaan mengenai definisi pencegahan yang tidak terlalu mengganggu. Dalam konsensus yang mengacu ke pada WHO 1985, pencegahan ada 3 jenis yaitu pencegahan primer berarti mencegah timbulnya hiperglikemia, pencegahan sekunder mencegah komplikasi sedangkan pencegahan tersier mencegah kecacatan akibat komplikasi. Menurut laporan WHO 1994 pada pencegahan sekunder termasuk deteksi dini diabetes dengan skrining, sedangkan mancegah komplikasi dimasukkan ke dalam pencegahan tersier.
Strategi Pencegahan
Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada pencegahan penyakit menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain:
Pendekatan Populasi/Masyaralat (population/comntunity appro ach).
Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak saja oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan masyarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM,pemuka masyarakat dan agama)
Pedekatan Individu Berisiko Tinggi.
Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur lebih dari 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi lebih dari 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan kadar kolesterol.
Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olah raga teratur. Dengan menganjurkan olah raga kepada kelompok risiko tinggi" misalnya anakanak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah. Motto memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah ragayang merata sampai ke pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olahraga yang memadai.
Pencegahan Sekunder
Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataannya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus nomral Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara nonfarmakologis dulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak merokok dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin. Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan untuk itu (diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien diabetesnyajuga luas, artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus dapat mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok penduduk dengan risiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit. Di AS saja kelompok ini sama besar dengan yang terdiagnosis, bisa dibayangkan keadaan di Indonesia.
Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena masih reversibel. Untuk negara berkembang termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal. Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder
Pencegahan Tersier
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap:
o Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai pencegahan sekunder
o Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ
o Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk keperluan itu yaitu penyuluh diabetes (diabetes educator).
PENYULUH DIABETES
Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan meningkatnya komplikasi terutama PJK, tadi sudah diuraikan upaya pencegahan, baik primer, sekunder maupun tersier adalah yang paling baik. Karena upaya itu sangat berat, adalah tidak mungkin dilakukan hanya oleh dokter ahli diabetes atau endokrinologis. Oleh karena itu diperlukan tenaga terampil yang dapat berperan sebagai perpanjangan tangan dokter endokrinologis itu. Di luar negeri tenaga itu sudah lama ada disebut diabetes educator yatg terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi atau pekerja sosial dan lain-lain yang berminat. Di Indonesia atau tepatnya di Jakarta oleh Pusat Diabetes dan Lipid FKUV RSCM melalui SIDL-nya (Sentral Informasi Diabetes dan Lipid) sejak tahun 1993 telah diselenggarakan kursus penyuluh diabetes yang sampai saat ini masih berlangsung secara teratur. Kursus itu ternyata mendapat sambutan luar biasa dari rumah sakit seluruh Indonesia, bahkan di beberapa kota misalnya di Bandung, Surabaya, Bali Ujung Pandang, Manado dan lain-lain. Mereka sudah melaksanakan sendiri kursus itu. Untuk sementara kursus itu dibatasi hanya untuk dokter, perawat dan ahli gizi yang merupakan satu kesatuan kerja di rumah sakit masing-masing. Sampai tahun 2006 sudah dididik sebanyak 1000 orang penyuluh, tersebar di 80 rumah sakit di seluruh Indonesia. Karena kegiatan ini sudah dianggap mapan, mulai tahun 1996 kursus ini dilaksanakan oleh Diklat RSCM bersama dengan SIDL, hingga dengan demikian secara formal keberadaan penyuluh diabetes tidak diragukan lagi. Ini penting untuk yang bersangkutan dalam pengembangan kariernya. Bila tenaga penyuluh diabetes sudah banyak, maka penyuluhan akan lebih banyak dilakukan oleh mereka dari pada oleh dokter spesialis yang jumlah dan waktunya terbatas.
Dalam pelaksanaannya para penyuluh diabetes itu sebaiknya memberikan pelayanan secara terpadu dalam suatu instansi misalnya dalam bentuk sentral informasi yang bekerja 24 jam sehari dan akan melayani pasien atau siapapun yang ingin menanyakan seluk-beluk tentang diabetes terutama sekali tentang penatalaksanaannya termasuk diet dan komplikasnya.
KESIMPULAN
Jumlah pasien diabetes dalam kurun waktu 25-30 tahun yang akan datang akan sangat meningkat akibat peningkatan kemakmuran, perubahan pola demografi dan urbanisasi. Di samping itu juga karena pola hidup yang akan berubah menjadi pola hidup berisiko. Pencegahan baik primer, sekunder maupun tersier merupakan upaya yang paling tepat dalam mengantisipasi ledakan jumlah ini, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah, LSM, guru-guru dan lain-lain. Dari segi teknis, karena cakupannya sangat luas dalam pelaksanaannya perlu dibantu oleh para penyuluh diabetes yang terampil
REFERENSI