Alergi Makanan pada Telinga, Hidung, dan Tenggorok
PENDAHULUAN
Alergi makanan adalah penyakit alergi yang disebabkan oleh alergen yang terdapat dalam makanan. Alergi makanan sering ditemukan pada semua golongan umur, bahkan pada bayi berusia beberapa bulan. Istilah alergi makanan sering tidak tepat karena setiap reaksi tak-diinginkan yang timbul setelah mengonsumsi makanan selalu dianggap sebagai alergi terhadap makanan tersebut.
Sejarah alergi makanan pertama kali dilaporkan di China pada tahun 3000 SM, berupa reaksi kulit yang timbul beberapa saat setelah makan. Hippocrates menyatakan bahwa susu dapat menimbulkan gangguan lambung dan reaksi kulit pada orang-orang tertentu yang sensitif. Laporan terperinci mengenai alergi makanan dimulai pada abad kedua puluh saat Von Pirquet menjelaskan konsep alergi pada tahun 1906. Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia di bawah 3 tahun karena belum matangnya sistem imunitas mukosa saluran cerna. Alergi makanan pada anak dilaporkan bervariasi di berbagai negara, antara 6-8%. Dari jumlah tersebut, yang terbanyak ialah alergi terhadap susu sapi (2,5%), diikuti alergi telur (1,5%) dan alergi kacang (0,5%). Sedikitnya 2,5% bayi memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap susu sapi sampai berusia 1 tahun, 25% di antaranya akan menetap sampai dewasa. Ring et al melaporkan bahwa jenis makanan yang sering menimbulkan reaksi alergi pada anak adalah berbagai jenis protein, seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan, kedelai, dan gandum (85%).
Alergi makanan merupakan suatu reaksi klinis yang tidak diinginkan terhadap makanan secara imunologis. Berbagai jenis manifestasi klinik reaksi hipersensitivitas tipe I menurut Gell dan Coomb diantaranya adalah disebabkan reaksi alergi terhadap makanan. Anak dengan riwayat atopi dalam keluarganya akan cenderung alergi terhadap makanan tertentu. Ditemukan 35% anak yang menderita dermatitis atopi juga memiliki alergi terhadap makanan (yang diperantarai oleh Ig E). Pada 6% anak penderita asma, juga dilaporkan terjadi eksaserbasi asma setelah mengonsumsi makanan tertentu.
Insidens alergi makanan pada orang dewasa tidak banyak dilaporkan. Di Amerika, hanya 2% populasi dewasa yang memiliki alergi terhadap makanan. Berbagai jenis makanan dilaporkan dapat menimbulkan reaksi alergi, tetapi yang tersering menimbulkan alergi pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan makanan laut, seperti udang, kepiting, dan lobster. Zat pewarna makanan, zat aditif, serta pemanis buatan yang digunakan dalam industri makanan juga dilaporkan dapat menimbulkan reaksi alergi, meskipun jarang.
Prevalensi jenis alergen makanan tergantung pada budaya dan geografi: di Jepang, nasi adalah alergen utama pada anak; di Skandinavia, alergi terhadap ikan lebih sering; di Spanyol, alergi buah lebih tinggi insidensnya; di Amerika, alergen utamanya adalah susu sapi, soya, telur, gandum, kacang, dan ikan.
Konsep penyakit alergi terbaru menyatakan bahwa penyakit alergi adalah penyakit sistemik dengan menifestasi klinis pada organ sasaran. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa penyakit ini mempunyai manifestasi klinis pada organ hidung, telinga, dan tenggorok. Reaksi yang timbul akibat alergi makanan dapat bervariasi dan dapat mengenai berbagai sistem dalam tubuh, seperti kulit, saluran napas, hidung, tenggorok, telinga, gastrointestinal, kardiovaskuler, sampai yang terberat, syok anafilaktik. Reaksi alergi makanan dapat terjadi dengan atau tanpa perantaraan IgE.
Alergi makanan masih merupakan masalah bagi dunia kedokteran, khususnya dalam penegakan diagnosis. Diagnosis alergi makanan sulit ditegakkan apabila terdapat reaksi silang antara alergen dari makanan dan alergen dari udara. Diagnosis alergi makanan juga mempunyai dampak dilematis; overdiagnosis dapat mengakibatkan malnutrisi terutama pada anak-anak, tetapi underdiagnosis akan mengakibatkan serangan alergi yang terus menerus. Oleh sebab itu, keputusan diagnosis ini harus diambil dengan cermat.
Penanganan terbaik pada penderita alergi makanan adalah dengan menghindari makanan penyebabnya. Pemberian obat-obatan anti alergi dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab alergi. Mengenali secara cermat gejala alergi dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, maka gejala alergi dapat dikurangi. Pada tulisan ini, akan diuraikan mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, dan berbagai tes alergi yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis alergi makanan.
DEFENISI
Secara umum, istilah alergi dipakai dalam konteks reaksi hipersensitivitas (reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun) yang disebabkan oleh reaksi imun yang berakibat buruk terhadap jaringan atau mengganggu proses fisiologik manusia. Reaksi imun tersebut dicetuskan oleh adanya kompleks biokimiawi atau respons inflamasi yang menghasilkan gejala klinis. Respons tersebut bergantung pada tingkat reaktivitas reseptor jaringan yang terlibat dan sel efektor.
Alergi makanan adalah reaksi abnormal dari sistem imun atau kekebalan tubuh terhadap komponen makanan (protein) dan menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Semua zat yang menyebabkan reaksi imunologi disebut alergen. Apabila alergen masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan membentuk antibodi yang selanjutnya akan menyerang alergen tersebut sehingga memicu reaksi alergi. Alergi makanan merupakan suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan.
PERBEDAAN ALERGI MAKANAN DENGAN INTOLENRANSI MAKANAN
Orang sering bingung antara alergi makanan dengan intoleransi makanan, ini karena intoleransi makanan dapat menyebabkan beberapa tanda-tanda dan gejala yang hampir sama sebagai alergi makanan. Sebenarnya keduanya sangatlah berbeda, mulai dari gejala hingga dampaknya. Pengertian alergi makanan mencakup reaksi imunologik terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Istilah alergi makanan (food hypersensitivity) perlu dibedakan dengan intoleransi makanan ( food intolerance atau food sensitivity) yang merupakan reaksi non-imunologik. Yang paling banyak dijumpai adalah intolerensi makanan.
Alergi makanan adalah reaksi terhadap makanan yang dapat berulang, mempunyai latar belakang reaksi imunologik abnormal, dimana reaksi imunologis (kekebalan tubuh) yang menyimpang ini karena masuknya bahan penyebab alergi dalam tubuh, masuknya bahan alergen dalam tubuh akan membuat tubuh membentuk antibodi yang selanjutnya akan menyerang alergen tersebut sehingga memicu reaksi alergi. Sedangkan intoleransi makanan berbeda dengan alergi. Intoleransi makanan adalah respons dari sistem pencernaan saat ada makanan yang tidak dapat dicerna atau diuraikan dengan sempurna. Intoleransi bukanlah respons dari sistem kekebalan tubuh, seperti halnya alergi tetapi merupakan reaksi kimia terhadap makanan.
Pada intoleransi makanan, terdapat faktor makanan itu sendiri, seperti kontaminasi toksin bakteri, kandungan farmakologik (seperti tiramin yang terdapat pada keju yang telah lama), atau kelainan metabolik (seperti defisiensi enzim laktase). Intoleransi makanan bertalian dengan semua jenis reaksi fisiologik abnormal terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Termasuk dalam kategori ini ialah reaksi idiosinkratik (misal intoleransi laktosa), keracunan makanan, dan reaksi farmakologik (mis., terhadap kafein, tiramin).
Intoleransi makanan merupakan reaksi negatif terhadap makanan yang dapat berulang, tidak mengenakkan, psikologis, dengan latar belakang non-imunologik, seperti defisiensi enzim (mis., defisiensi laktase), farmakologis (mis., reaksi terhadap kafein), pelepasan histamin non-imunologis (mis., sehabis makan sejenis kerang), dan iritasi langsung (oleh isi lambung pada esofagus sehingga terjadi esofagitis).
Intoleransi makanan dapat menimbulkan beberapa gejala (cenderung berhubungan dengan pencernaan, seperti kram, diare, gas dan kembung), namun tidak melibatkan sistem imun tubuh (non imunologik). Pada alergi, target organ utama untuk reaksi alergi makanan ini adalah kulit, saluran pencernaan dan sistem pernapasan. Efek yang timbul serta keparahan alergi dipengaruhi oleh konsentrasi dan tipe alergen, rute paparan, serta sistem organ yang terlibat (misalnya: kulit, saluran pencernaan, saluran pernapasan). Jika yang terlibat adalah kulit, mungkin penderita akan merasakan gatal-gatal atau ruam. Jika yang terlibat adalah saluran pencernaan, mungkin penderita akan merasakan sakit perut, diare, atau kram. Dan apabila yang terlibat adalah saluran pernapasan, mungkin penderita akan merasakan tenggorokan gatal, kesulitan bernapas atau menelan.
Biasanya, gejala yang disebabkan oleh alergi makanan terjadi segera setelah mengkonsumsi makanan, sedangkan gejala yang disebabkan oleh intoleransi makanan dapat terjadi langsung atau dapat juga terjadi 12 sampai 24 jam sesudahnya. reaksi intoleransi makanan biasanya berhubungan dengan jumlah makanan yang dikonsumsi, dimana intoleransi mungkin baru bisa terjadi sampai jumlah tertentu (ambang batas) dari makanan yang dimakan, tetapi jumlah ini bervariasi untuk setiap orang
Penyebab intoleransi makanan adalah karena sistim pencernaan penderita kekurangan enzim yang dibutuhkan untuk mencerna zat tertentu dalam makanan atau juga terjadi ketika adanya iritasi pada sistem pencernaan seseorang atau ketika seseorang tidak mampu mencerna atau kegagalan karena makanan. Sedangkan, reaksi alergi terhadap makanan melibatkan sistem kekebalan tubuh. Tubuh menghasilkan suatu antibodi terhadap makanan yang dikonsumsi. Untuk selanjutnya, tubuh akan memberikan respons kekebalan tubuh dengan penglepasan histamin dan bahan kimia lain yang memicu timbulnya gejala alergi.
Perbedaan antara alergi makanan dan intoleransi makanan
| |
Alergi makanan
|
Intoleransi makanan
|
Ada Sensitisasi
|
Tidak ada sensitisasi
|
Imunologik
|
Non-imunologik
|
Lebih jarang (5%)
|
Lebih sering (lebih dari 5%)
|
Gejala klinis jelas
|
Gejala klinis sering tidak spesifik
|
Timbul pada dosis rendah
|
Sebagian tergantung dosis
|
Kadang ada riwayat keluarga
|
Tanpa riwayat keluarga (kecuali defisiensi enzim)
|
Sedikit dipengaruhi psikis
|
Pengaruh psikis kuat
|
Reaksi Hipersensitivitas pada Alergi Makanan
Sebagian besar alergi makanan dasarnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe III yang diperankan oleh kompleks antigen- antibodi. Reaksi alergi makanan dapat timbul tanpa keterlibatan IgE, seperti pada trombositopenia akibat alergi terhadap susu sapi yang diperankan oleh reaksi antibodydependent cell-mediated cytotoxicity (reaksi hipersensitivitas tipe II), dan reaksi kompleks antigen-antibodi (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan reaksi imunologik lain, seperti antibodi anti-IgA gliadin pada celiac disease. Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV), gejalanya timbul setelah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian dan sering memberikan gejala pada saluran cerna. Sampai saat ini, masih sulit membuktikan patogenesis alergi makanan yang didasari reaksi hipersensitivitas tipe II dan IV. Diperkirakan sebagian besar alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I(yang diperankan oleh IgE) , reaksi hipersensitivitas tipe III, atau kombinasi keduanya.
Alergi makanan dibagi menjadi dua jenis, dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE. Pada reaksi ini, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh dan merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen, tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang kedua kali dengan alergen yang sama. Gell and Coomb mengklasifikasikan reaksi alergi/hipersensitivitas ke dalam 4 kelas:
- Reaksi alergi tipe I
- Pada keadaan anafilaksis terhadap makanan, telah lama diketahui bahwa alergen makanan, yang berikatan dengan IgE spesifik untuk kedua kalinya, akan memicu degranulasi sel mast, mengakibatkan dilepaskannya mediatormediator kimia. Reaksi tipe 1 ini terdiri dari 2 fase, yaitu fase cepat dan fase lambat.
- Reaksi alergi fase cepat timbul saat kontak dengan antigen sampai dengan 1 jam sesudahnya. Pada fase cepat ini, akan dilepaskan mediator-mediator kimia karena degranulasi sel mast atau basofil. Mediator tersebut ada yang telah terbentuk, seperti histamin dan beberapa enzim, ada pula yang baru dibentuk, seperti prostaglandin D2, Leukotrien D4, Leukotrien C4, bradikinin, dan platelet activating factor. Mediator-mediator ini selanjutnya menimbulkan efek lokal, seperti diare dan kolik pada saluran cerna, serta meningkatkan absorpsi antigen makanan sejenis atau antigen lain. Keadaan ini juga akan menimbulkan efek sistemik, seperti bronkokonstriksi dan pengendapan kompleks imun yang akan menimbulkan keluhan urtikaria.
- Fase kedua adalah reaksi alergi fase lambat. Reaksi ini mulai berlangsung 2-4 jam pasca-pajanan, dengan puncak setelah 6-8 jam, dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Reaksi alergi fase lambat akan melibatkan pelepasan mediator kimia, terutama eosinofil (seperti eosinophilic cationic protein [ECP], eosinophilic-derived protein, major basic protein, dan eosinophilic peroxidase).
- Reaksi alergi tipe II
- Disebut juga reaksi sitotoksik. Reaksi ini terjadi akibat terbentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigenantibodi dapat pula mengaktifkan komplemen yang, melalui reseptor C3b, memudahkan fagisitosis atau menimbulkan lisis.
- Contoh reaksi tipe II ini ialah pada keadaan trombositopenia yang berhubungan dengan alergi susu sapi.
- Reaksi alergi tipe III
- Disebut juga reaksi kompleks imun. Reaksi ini terjadi apabila ditemukan ikatan antigen-antibodi dalam sirkulasi darah atau jaringan, yang mengaktifkan komplemen. Dalam keadaan normal, ikatan antigen-antibodi.ini secara cepat dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial tanpa menimbulkan kondisi patologis. Namun, bila terdapat kompleks imun dalam konsentrasi tinggi disertai ukuran kompleks imun yang kecil, kompleks tersebut akan sulit dimusnahkan. Selanjutnya, kompleks imun ini akan mengendap pada kapiler atau jaringan dan akan mengaktifkan komplemen untuk kemudian merangsang sel mast dan basofil. Zat vasoaktif yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan reaksi inflamasi.
- Kompleks imun ini akan memberikan gejala sesuai dengan lokasi pengendapannya. Jika target organnya saluran cerna, akan terjadi kolik abdominal atau diare. Apabila kompleks ini mengendap di hidung, akan timbul gejala kongesti atau rinorea. Reaksi tipe III ini merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada kasus alergi makanan.
- Reaksi alergi tipe IV
- Reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi imun seluler, karena tidak terdapat peran antibodi. Pada reaksi ini, antigen yang datang dari luar akan dipresentasikan oleh sel APC ke sel Th1 yang bergantung MHC II. Sel Th1 yang diaktifkan akan melepas berbagai sitokin, antara lain macrophage inhibitory factor (MIF), macrophage activating factor (MAF), dan interferon (IFN), yang akan mengaktifkan makrofag dan merupakan sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan. Respons yang timbul pada reaksi tipe IV ini berkisar antara 24-48 jam setelah pajanan. Beberapa kasus alergi susu sapi tergolong reaksi tipe IV ini, yang telah terbukti secara laboratoris.
ALERGI MAKANAN
Kandungan makanan antara lain terdiri dari lemak, kabohidrat, dan protein. Kandungan yang sering bersifat alergen adalah glikoprotein yang larut dalam air dengan berat molekul antara 18.000-36.000 Dalton. Umumnya, alergen ini stabil terhadap pemanasan serta tahan terhadap asam dan enzim protease
Meskipun dalam jumlah sedikit, alergen dapat menimbulkan sensitisasi dan menimbulkan gejala pada individu atopik;beberapa mikrogram alergen inhalan sudah dapat merangsang pembentukan IgE. Dalam konteks alergi makanan, tidak dapat diduga berapa banyak protein yang diserap, berapa lama kontak dengan sistem imun, dan berapa cepat alergen yang dimakan dipecah untuk dapat diserap; diperkirakan 1mikrogram laktoglobulin sudah dapat menimbulkan sensitisasi. Hanya sebagian kecil makanan yang dilaporkan bersifat alergen yang dapat memberikan reaksi alergi; alergen utama pada susu sapi ialah laktoglobulin, kuningdan putih telur mempunyai alergen utama ovomukoid, alergen utama pada kacang dan soya adalah albumin, visilin, dan legumin,sementara alergen utama pada udang terdapat pada ototnya (yang disebut tropomiosin).
Susu sapi terdiri dari kurang lebih 25 macam protein yang memproduksi antibodi spesifik pada manusia. Antigen tersering pada susu sapi adalah kasein (80%) dan whey (20%). Whey terdiri dari laktoglobulin, laktalbumin, bovine serum albumin(BSA) dan bovine gammaglobulin. Bahan penyedap dan zat warna juga dapat merupakan alergen, seperti aspartam, zatwarna merah, kuning, dan hijau, nitrit, serta monosodium glutamat
PATOFISIOLOGI ALERGI MAKANAN
Reaksi simpang pada makanan (berakibat merugikan bagi manusia) pada dasarnya dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu reaksi imunologik (melalui mekanisme imun atau hipersensitivitas (alergi makanan) dan reaksinon-imunologik (tidak melalui mekanisme imun (intoleransi makanan). Reaksi alergi makanan sendiri dibagi menjadi dua,dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE
Alergi makanan merupakan bagian darireaksi hipersensitivitas gastrointestinal umum, yakni hiperresponsivitas imunologik terhadap antigen spesifik, yang dapat berasal dari makanan sehari-hari atau mikroorganisme patogen maupun produknya, atau terhadap antigen milik sendiri (self-antigen) yang disajikan atau dipresentasikan tidak semestinya. Pada alergi makanan, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh, yang merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen, tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang kedua kali dengan alergen yang sama. Umumnya,pajanan ulang oleh substansi antigenik/alergen akan meninggikan respons imun sekunder yang bersifat spesifik. Pada kasus hipersensitivitas/alergi, terjadi reaksi imun berlebihan yang justru menimbulkan kerusakan jaringan atau gangguan fungsional di dalam tubuh
Alergen makanan diabsorpsi dari mulut dan saluran cerna, tetapi jumlah alergen yang diperlukan untuk dapat mencetuskan respons imun terutama bergantung pada permeabilitas mukosa saluran cerna. Setiap kondisi yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna akan memudahkan reaksi alergi yang lain untuk timbul. Target utamanya ialah pada epitelium, yang akan menimbulkan perubahan sekresi asam lambung, transporion, produksi mukus, dan fungsi sawar (barrier) fisik mukosa. Secara struktural, kerusakan mukosa usus ditunjukkan dengan adanya edema, disrupsi enterosit, dan perubahan enzimatik. Pada pemeriksaan endoskopi, kemungkinan ditemukan gambaran mukosa hiperemis, edema,bercak-bercak kemerahan, dan kadang-kadang ditemukan perdarahan submukosa
Pajanan antigen/alergen di dalam lumen usus individu yang telah tersensitisasi akan menimbulkan degranulasi sel mast, yang selanjutnya melepaskan mediator-mediatorkimia yang kemudian akan berpengaruh langsung pada epitelium, endotelium, dan otot polos, atau memberi pengaruh tidak langsung melalui serabut saraf. Keadaan ini merupakan manifestasi reaksi hipersen-sitivitas tipe langsung atau cepat yang diperantarai oleh antibodi IgE. Selain selmast, sel lainnya (seperti neutrofil dan,khususnya, eosinofil) ikut berperan dalam memodulasi reaksi hipersensitivitas, baik secara langsung maupun tidak langsung(berinteraksi dengan sel mast)
Berdasarkan konsep penyakit alergi terbaru yang menyatakan bahwa penyakit alergi adalah penyakit sistemik dengan menifestasi klinis pada organ sasaran, tidak tertutup kemungkinan penyakit ini mempunyai manifestasi klinis pada organ hidung, telinga, dan tenggorok. Gangguanakibat reaksi hipersensitivitas terhadapmakanan pada saluran napas bagian atasdapat terjadi melalui 3 cara, yakni (1) alergen yang diserap di usus, atau mediator kimia yang mencetuskan respons hipersensitivitasdi usus, dibawa aliran darah hingga mencapai saluran napas atas, (2) alergen terhirup ke dalam saluran napas sewaktu makan dan minum, (3) kontak faring dengan alergen ketika menelan. Keadaan ini membuat diagnosis reaksi alergi makanan pada saluran napas atas sulit ditegakkan; disamping itu, terdapat reaksi silang antara beberapa alergen makanan dengan alergen inhalan, yang juga mempersulit penegakan diagnosis alergi makanan pada saluran napas atas. Reaksi silang antara makanan dan alergen inhalan yang tersering adalah antara tepung sari (alergen inhalan) dan molekul makanan yang homolog (seperti profilin). Tingginya kasus alergi makanan pada bayi dan anak karena pada bayi baru lahir dan anak, terdapat peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna.
Jenis Alergi Makanan Berdasarkan Manifestasi Klinis
Alergi makanan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) dengan keterlibatan(diperantarai) IgE, yang secara klinis dikenal sebagai alergi makanan jenis tetap (fixed atau immediate type) dan (2) tanpa keterlibatan (tidak diperantarai) IgE, yang secara klinis dikenal sebagai alergi makanan jenis siklik (cyclic atau delayed type)
1. Alergi makanan jenis tetap
- Alergi makanan jenis ini melibatkan respons IgE yang memberikan gejala dalam waktu beberapa detik sampai beberapa jam setelah kontak dengan alergen. Beberapa penderita mengeluhkan gejala urtikaria yang timbul lambat sampai 24 jam setelah pajanan. Sensitivitas terhadap makanan menetap bertahun-tahun, bahkan dalam waktu yang tak-terbatas. Reaksi yang timbul cepat, jelas, dan sering kali berat. Apabilatelah terjadi reaksi sensitisasi, gejala akan selalu timbul jika individu tersebut terpajan alergen yang sama. Gejala yang timbul tidak ditentukan oleh kuantitas makanan yang dikonsumsi; jumlah alergen yang minimal sekalipun dapat menimbulkan gejala.
- Saat IgE pertama kali ditemukan tahun 1966, beberapa penelitian telah menyokong fakta bahwa alergi makanan jenis tetap ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantaraiIgE. Alergi makanan jenis ini dapat memberikan gejala klinis bermacam-macam, seperti flushing, dermatitisatopik, eksema, asma, rinitis alergi,konjungtivitis alergi, urtikaria,angioedema, oral allergy syndrome,gangguan gastrointestinal, hingga reaksianafilaktik yang fatal
- Tipe ini pertama kali dikemukakan oleh Rinkel, berdasarkan pengamatan klinis terhadap hasil pengaturan diet makanan pada penderita alergi. Pada jenis ini,gejala dapat timbul beberapa jam sampai beberapa hari setelah mengonsumsi makanan. Jenis ini tidak melibatkan IgE dan mewakili 60-80% dari seluruh kasus alergi makanan yang ditemukan dalam klinik. Sementara itu, Boyles menyatakan bahwa 95% kasus alergi makanan tergolong jenis siklik dan sisanya jenis tetap
- Reaksi alergi makanan jenis siklik diduga diperantarai IgG dan merupakan reaksi kompleks imun (tipe III). Tipe siklik ini dapat dibedakan dengan tipe tetap berdasarkan ketergantungannya terhadap jumlah makanan yang dikonsumsi dan seberapa sering konsumsi tersebut. Pada beberapa kasus, reaksi akan timbul apabila penderita mengonsumsimakanan dalam jumlah banyak atau sering; dalam hal ini, reaksi hanya akan timbul dengan jumlah alergen yang besar yang dapat membentuk kompleks imun
- Tipe siklik ini memiliki 9 stadium berdasarkan gejala yang ditimbulkannya:
- Stadium 1 - sensitisasi tersamar (masked sensitization)
- Pada stadium ini, penderita tidak menyadari bahwa ia alergi terhadap makanan yang dikonsumsi, tetapi merasakan gejala alergi yang kronis. Jika makanan tersebut dikonsumsi terus-menerus, kompleks imun akan terus terbentuk dan gejala alergi berlangsung kronik. Pada stadium ini, terdapat fenomena masking, yaitu pemajanan terhadap antigen yang jumlahnya sedikit,tetapi sering tidak menimbulkan gejala. Dengan demikian, penderita merasa sehat-sehat saja, bahkan kadang-kadang ketagihan makanan tersebut.
- Stadium 2 - omission
- Apabila makanan penyebab alergi tidak dikonsumsi dalam 4-5 hari, antigen yang berada dalam tubuh akan dimusnahkan oleh sistem pencernaan dan aliran darah,tetapi masih terdapat titer antibodi IgG spesifik yang tinggi dalam sirkulasi darah. Hal ini dapat menimbulkan eksaserbasi gejala (withdrawal symptoms). Gejala yang timbul ini dapat sedemikan beratnya serta bisa berlangsung hingga 4 hari karena adanya penurunan titer antigen dan keseimbangan kompleks antigen-antibodi
- Stadium 3 -hyperacute sensitization
- Pada stadium ini, terdapat konsentrasi antibodi yang tinggi dalam sirkulasi. Jika terdapat alergen makanan dalam jumlah besar, akan terbentuk kompleks imun yang pada akhirnya menimbulkan gejala. Keadaan ini merupakan dasar bagi tesprovokasi makanan (oral challenge). Stadium ini berlangsung selama 4 sampai 12 hari. Tes provokasi makanan dilakukan pada hari ke-4 atau ke-5. Sebelumnya,pasien puasa dari makanan yang akan diuji. Jika tes provokasi dilakukan lewat dari waktu tersebut, reaksi yang timbul menjadi lebih ringan dan sulit diidentifikasi. Namun, apabila tes dilakukan tanpa eliminasi makanan yang dicurigai minimal selama 4 hari, gejala bisa tidak muncul karena fenomena masking
- Stadium 4 - active sensitization
- Gejala akan timbul jika individu mengonsumsi makanan yang bersifat antigen, dan reaksi yang timbul biasanya tidak begitu berat. Karena itu, tesprovokasi makanan dilakukan pada hari ke-5 hingga ke-12 setelah eliminasi. Pajanan terhadap alergen makanan dapat menyebabkan gejala yang ringan atau tanpa gejala sama sekali, kecuali jika terjadi pajanan berulang.
- Stadium 5 -latent sensitization
- Tidak adanya alergen makanan dalam waktu tertentu akan menurunkan konsentrasi antibodi sehingga timbul toleransi. Jika alergen makanan dikonsumsi pada stadium ini, akan timbul gejala ringan atau tidak muncul gejala sama sekali, kecuali jika terjadi pajanan berulang
- Stadium 6 dan 7-tolerance to food
- Stadium ini timbul setelah 4-5 bulan tubuh tidak terpajan alergen. Konsentrasi antibodi sedemikian rendahnya sehingga tidak memunculkan gejala. Pada stadium ini, makanan dapat diberikan dalam diet secara rotasi agar tidak terjadi peningkatan titer antibodi yang dapat mencetuskan gejala.
- Stadium 8 dan 9 - sensitization
- Jika pasien mengonsumsi kembali makanan pencetus alerginya, terjadi peningkatan titer antigen tersebut, yang akan menstimulasi memori limfosit sehingga terbentuklah antibodi yang baru. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kompleks imun dan, pada akhirnya, menimbulkan gejala.