EPIDEMIOLOGI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS
Di Indonesia penyakit oleh Soil Transmitted Helminths masih merupakan problem besar bagi kesehatan masyarakat prevalensi tertinggi pada kalangan anak Sekolah Dasar yaitu 60-80%. Dampak infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada masyarakat perlu dipelajari untuk dapat menentukan cara-cara pencegahan. Penyebaran infeksi Ascaris dan Trihuris mempunyai pola yang hampir sama; demikian juga epidemiologi cacing tambang dan Strongyloides.
Cacing Ascaris lumricoides dan Trichuris trichiura
Beberapa survei yang dilakukan di Indonesia (tahun 1970 – 1974) menunjukkan bahwa seringkali prevalensi Ascaris yang tinggi disertai prevalensi Trichuris yang tinggi pula. Prevalensi Ascaris yang lebih tinggi dari 70% ditemukan antara lain di beberapa desa di Sumatra (78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%) dan Jawa Barat (90%) . Di desa-desa tersebut prevalensi Trichuris juga tinggi yaitu untuk masing-masing daerah 83%, 83%, 83%, 84% dan 91%. Tingginya prevalensi di suatu daerah tergantung beberapa hal seperti: tahun dilakukannya survei, lokasi survei apakah di pedesaan atau kota, umur penduduk yang disurvei, kondisi iklim di daerah survei, sanitasi lingkungan dan sebagainya.
Di daerah kumuh kota Jakarta infeksi Ascaris dan Trichuris sudah ditemukan pada bayi berumur kurang dari satu tahun. Pada umur satu tahun 80 – 100% di antara kelompok-kelompok anak ini pernah terkena infeksi Ascaris; untuk T.trichiura angkanya lebih rendah sedikit, yaitu 70%. Usia anak, yaitu 70%. Usia anak yang termuda mendapat infeksi Ascaris adalah 16 minggu, sedangkan untuk Trichuris adalah 41 minggu. Ini terjadi di lingkungan tempat kelompok anak berdefekasi di saluran air terbuka dan di halaman sekitar rumah (door yard infection). Karena kebiasaan seperti defekasi sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, bermain-main di tanah di sekitar rumah, maka khususnya anak balita akan terus menerus mendapat reinfeksi. Dengan demikian golongan rawan infeksi kedua spesies cacing ini adalah anak balita.
Di daerah endemi dengan insidens Ascaris dan Trichuris tinggi, terjadi penularan secara terus menerus. Transmisi ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang menguntungkan parasit, seperti keadaan tanah dan iklim yang sesuai. Kedua spesies cacing ini memerlukan tanah liat untuk berkembang. Telur A.lumbricoides yang telah dibuahi dan jatuh di tanah yang sesuai, menjadi matang dalam waktu 3 minggu pada suhu optimun 25° – 30°C. Telur T.trichiura akan matang dalam 3 – 6 minggu pada suhu optimun kira-kira 30°C. Telur matang kedua spesies ini tidak menetas dalam tanah dan dapat bertahan hidup beberapa tahun, khususnya telur A.lumbricoides. selain keadaan tanah dan iklim yang sesuai, keadaan endemi juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam tubuh hospes. Beberapa jenis antelmentik mempunyai efek memperlambat masa perkembangan telur bahkan menimbulkan perubahan bentuk telur sehingga memperkecil kemungkinan reinfektif.
Diketahui bahwa banyaknya telur yang dihasilkan satu ekor cacing betina adalah sebagai berikut : A.lumbricoides kira-kira 200.000 sehari, T.trichiura kira-kira 5000 sehari dan cacing tambang kira-kira 9000 – 10000 sehari. Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran dan lain-lain), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah. Jumlah telur yang dapat berkembang, menjadi semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin berat, karena berdefekasi di sembarangan tempat, khususnya di tanah, yang merupakan suatu kebiasaan sehari-hari.
Pada umumnya tidak ada perbedaan prevalensi infeksi Ascaris dan Trichuris antara kedua jenis kelamin.
Cacing tambang dan Strongyloides stercoralis
Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar antara 30 – 50% di berbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Prevalensi infeksi cacing tambang cenderung meningkat dengan meningkatnya umur. Tingginya prevalensi juga dipengaruhi oleh sifat pekerjaan sekelompok karyawan atau penduduk. Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut : kelompok karyawan, wanita maupun pria, yang mengolah tanah di perkebunan teh atau karet, akan terus menerus terpapar terhadap kontaminasi.
Kedua jenis cacing ini memerlukan tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang pada hari ke 5 – 8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu optimun bagi N.americanus adalah 28° – 32°C dan untuk A.duodenale adalah sedikit lebih rendah : 23° – 25°C. Ini salah satu sebab mengapa N.americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.duodenal.
Larva filariform cacing tambang dapat bertahan 7 – 8 minggu di tanah dan harus masuk menembus kulit manusia untuk meneruskan lingkaran hidupnya. Larva S.stercoralis berkembang lebih cepat daripada larva cacing tambang; dalam waktu 34 – 48 jam terbentuk larva filariform yang infektif. Larva ini mempunyai kelangsungan hidup yang pendek di tanah kira-kira 1 – 2 minggu, akan tetapi cacing ini mempunyai satu siklus bentuk bebas di tanah yang terus menerus menghasilkan bentuk infektif sehingga perkembangan bentuk bebas di tanah dapat mencapai endemitas tinggi. Larva ketiga spesies ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, oleh karena itu olahan tanah dalam bentuk apapun di lahan pertanian dan perkebunan akan menguntungkan pertumbuhan larva.
Perkembangan di Tanah dan Suhu Optimum Bentuk Infektif Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah
Spesies Cacing
|
Perkembangan di Tanah
|
Suhu Optimun
|
Ketahanan Bentuk Infektif
|
A.lumbricoides
|
Telur matang dalam 3 minggu di tanah liat
|
25° – 30°C
|
Tahan sekali
|
T.trichiura
|
Telur matang dalam 3 – 6 minggu
|
Kira-kira 30°C
| |
Cacing tambang
|
Telur menetas dalam 24 – 36 jam keluar larva rabditiform yang pada hari ke 5 – 8 menjadi larva filariform, di pasir
|
N.americanus
28° – 30°C
A.duodenale
23° – 25°C
|
7 – 8 minggu dalam keadaan baik
|
S.stercoralis
|
Dalam 36 – 48 jam terbentuk larva filariform di tanah pasir. Ada siklus bentuk bebas di tanah
|
1 – 2 minggu
|
Pencegahan dan Pemberantasan
Pencegahan dan pemberantasan cacing-cacing ini adalah dengan :
- Memutuskan rantai daur hidup dengan cara :
- Berdefekasi di kakus
- Menjaga kebersihan, cukup air bersih di kakus, mandi dan cuci tangan secara teratur
- Pengobatan masal dengan antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan.
- Pemberian penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi cacing-cacing ini.
- Rumah-rumah berhimpitan di daerah kumuh (slum area) di kota-kota besar yang mempunyai sanitasi lingkungan buruk, khususnya tempat anak balita tumbuh.
- Di daerah pedesaan anak berdefekasi dekat rumah dan orang dewasa di pinggir kali, di ladang dan perkebunan tempat ia bekerja.
- Penggunaan tinja yang mengandung telur hidup untuk pupuk di kebun sayuran.
- Pengolahan tanah pertanian/perkebunan dan pertambangan dengan tangan dan kaki telanjang, tedai terlindung.
BACA
JUGA
|